Calender Of Event Pariwisata Danau Toba 2017

“Time’s kicking, yet preparation is lacking. Whatever, keep performing”, begitu kata seorang teman yang menghadiri launcing Calender Of Event Pariwisata Danau Toba 2017. Para stakeholder, baik yang berorientasi murni laba maupun yang mengejar nilai budaya atau campuran keduanya, tentu tidak akan melupakan kesempatan-kesempatan emas untuk unjuk gigi ini.

Berikut jadwal yang dimaksud, seperti dikutip dari Voice of Sumatera.

  1. Coffee Festival Toba (20-21 Mei 2017)
  2. Soposurung Art Festival (16-17 Juni 2017)
  3. Pesta Bunga dan Buah (Kabupaten Karo, 6-9 Juli 2017)
  4. Festival Gondang Sabangunan (Kabupaten Humbanghas, 24 Juli 2017)
  5. Toba Nauli Photo Contest & Exhibition (27-30 Juli 2017)
  6. International Toba Kayak Marathon (Kabupaten Tobasa, 28-30 Juli 2017)
  7. Paralayang (Kabupaten Tapanuli Utara, 15-17 Agustus 2017)
  8. Toba Granfondo 2017; 18-19 Agustus 2017
  9. Toba Rock 25 Agustus 2017
  10. Karnaval Pesona Danau Toba (Kabupaten Tobasa), 26 Agustus 2017
  11. Pesta Oang-oang, Kabupaten Pakpak Bharat, (6-7 September 2017)
  12. Pesta Budaya Njuah-Njuah (Kabupaten Dairi, 26-30 September 2017)
  13. Pesta Rondang Bittang (Kabupaten Simalungun, 28-30 September 2017)
  14. EXCOTISM T.O.B.A. BLUE (7-9 Oktober 2017)
  15. Toba Trail Run 2017 (21 Oktober 2017)
  16. Samosir Jazz Seasons (Kabupaten Samosir, 28 Oktober 2017)
  17. Festival Danau Toba (Prov Sumut/ Kab. Humbahas, 6-9 Desember 2017)

Don’t miss every chance!

Agora Toba – Dari Efesus ke Samosir

Agora

Agora (bahasa Yunani: Ἀγορά, Agorá) adalah tempat untuk pertemuan terbuka di negara-kota di Yunani Kuno. Pada sejarah Yunani awal, (900–700 SM), orang merdeka dan pemilik tanah yang berstatus sebagai warga negara berkumpul di Agora untuk bermusyawarah dengan raja atau dewan. Di kemudian hari, agora juga berfungsi sebagai pasar tempat para pedagang menempatkan barang dagangannya di antara pilar-pilar agora. Dari fungsi ganda ini, muncullah dua kata Yunani: αγοράζω, agorázō, “aku berbelanja”, dan αγορεύω, agoreýō, “aku berbicara di depan umum”. Dari sini muncul istilah agorafobia digunakan untuk menunjukkan rasa takut terhadap tempat umum.  Di tempat lain, muncul forum romana, bentuk pertemuan bangsa Romawi yang mengikuti agora dan di banyak catatan sejarah dikenal juga dengan nama yang sama.

Yunani Kuno

Ephesus (baca: Efesus), kota yang kerap-kerap disebut pada zaman Yunani Kuno, berada di sebelah barat dari Anatolia, sekarang kota Selçuk, Provinsi Izmir, Turki. Ephesus adalah salah satu dari dua belas kota dari liga Ionian dalam sejarah pemerintahan Yunani kuno. Dari bukti-bukti yang terkumpul diperkirakan Ephesus ini sudah di huni 6000 tahun Sebelum Masehi. Kota ini terkenal dengan candi Artemis yang selesai dibangun 550 SM, merupakan satu dari Tujuh Keajaiban Dunia Kuno, Candi ini di robohkan di tahun 401 oleh massa yang di dalangi oleh St. Yohannes Chrysostomus. Kaisar Constantinus I membangun kembali kota ini, tetapi di tahun 614 sebagian hancur lagi karena gempa bumi. Kota yang menjadi pusat perdagangan ini pun melemah, terutama setelah pelabuhan yang semakin tahun makin tertutup oleh lumpur dan mengisolir kota ini. Kuil ini sendiri saat ini hanya berupa pilar-pilar yang tidak mencolok mata pada saat penggaliannya oleh Museum Inggris di tahun 1870-an.

Tentang bagaimana artefak untuk mempelajari sistem dan peradaban di kota ini diperkirakan masih berada dibawah tanah dan harus digali. Para ilmuan hanya bisa menjelaskan bahwa hujan dan banjir telah menenggelamkan Kota ke dalam tanah. Hanyutan lumpur menutup permukaan dermaga hingga sekarang menjadi tanah perkebunan. Tentu saja teori ini masih jauh dari kebenaran karena para arkeolog sendiri masih meragukan hipotesanya.

Yang menarik adalah ada dua ‘agora’ atau pasar komersial untuk melakukan bisnis negara juga tergali di sekitar kota ini.

Dari sebuah anal yang tercatat, kita bisa mereka-reka bagaimana kebiasaan masyarakat Efesus.

Anak-anak muda belajar di jalanan. Mereka berjalan-jalan, mengamati suatu objek yang menarik sambil sesekali berdiskusi di bawah bimbingan seorang guru. Celetukan, pertanyaan dan juga ocehan menjadi kurikulum tak tertulis mereka. Ada saja yang menarik perhatian mereka dan mereka haus untuk bertukar pikiran sembari memastikan apakah pendapat yang seorang sama dengan yang lain untuk hal yang sama.

Mungkin karena inilah Simonides dalam salah satu syairnya berkata, “Kota mengajar manusia”.

Via Shutterstock

Mereka belajar dengan memperhatikan, mendengarkan dan berdiskusi.

Mereka belajar geografi dengan mendengarkan obrolan pedagang yang baru kembali dari tanah seberang.

Mereka juga mempelajari berbagai keahlian, seperti pandai besi dan pertukangan kayu, dengan memperhatikan tukang bekerja di depan rumahnya masing-masing.

Mereka belajar politik dengan mendengarkan perdebatan orang di agora (pasar)

Mereka adu pendapat mengenai harga barang di pasar

Mereka bahkan sudah berani berargumen tentang pajak, pemerintahan, kebijakan senat yang bahkan di dua puluhan abad kemudian di sebuah wilayah berjuntai pulau di bawah pelukan hangat Khatulistiwa, orang bahkan harus menutup pintu untuk membicarakannya. Hmm …

Selanjutnya di hampir seluruh kota Yunani, termasuk Efesus juga, muncullah kaum Sofis yang memperkenalkan metode baru dalam pendidikan, yaitu orasi dan retorika. Mereka memanfaatkan kefasihan lidah mereka beragumentasi untuk menjelaskan suatu isu. Sayangnya banyak dari aliran sofistik itu bukanlah pelayan kebenaran, melainkan pelayan diri sendiri, yang memanfaatkan kelebihan mereka untuk mencari uang dan kedudukan.

Hingga suatu saat di antara mereka muncullah Sokrates di Athena, seorang yang pandai berdebat namun juga tertarik pada yang benar. Ia mampu mengalahkan para Sofis dalam perdebatan umum di pasar. Sokrates, yang mendapatkan julukan orang paling bijak di Yunani, mengubah metode pendidikan dengan mengajukan pertanyaan-pertanyaan cerdas kepada pemuda-pemuda yang mengikutinya, untuk memaksa mereka berpikir.

Salah satu pengikutnya, Plato, akhirnya mendirikan sebuah sekolah, yang sebenarnya tidak lebih dari tempat kumpul-kumpul di sebuah taman bernama Akademos, sehingga sekolahnya diberi nama Akademia. Di sana mereka berargumen mengenai perihal alam, negara dan apa saja yang terpikirkan oleh mereka, meneruskan tradisi yang telah dibangun oleh Sokrates.

Salah satu murid Plato, Aristoteles, juga mendirikan sekolah dengan semangat yang kurang lebih sama meskipun dengan filsafat yang berbeda, bernama Lyceum. Kedua sekolah inilah yang menjadi landasan sebagian besar pemikiran di dunia hingga saat ini. Bersama dengan peradaban maju lainnya yang melakukan revolusi awal di bidang pendidikan, Efesus dengan agora-nya menjadi kontributor terbesar bagi perkembangan pemikiran kemudian. Berkat puluhan revolusi lain puluhan abad kemudian di wilayah yang kita sebut sebagai “dunia Barat”, gerak maju pendidikan dan literasi dalam berpendapat akhirnya sampai juga ke Nusantara setelah melewati tahun-tahun yang tidak enak di bawah penguasaan bangsa-bangsa Eropa, lalu dengan agak susah-payah Anda dan saya akhirnya bisa menikmati segudang tulisan. Salah satunya ya ketika Anda membaca tulisan ini.

Oke, sejauh ini kira-kira apa yang bisa kita dapatkan?

Mungkin sulit untuk membawa pembaca pada suasana di sebuah agora, di sebuah kota, di sebuah negara ribuan kilometer dari tempat duduk pembaca saat ini pada kurun puluhan abad sebelum sekarang. Agora di Efesus pada ribuan tahun lalu telah berhasil menciptakan iklim pengetahuan yang berbicara banyak pada sejarah setelah susah payah akhirnya berhasil juga melahirkan maestro pengetahuan sepanjang masa, Sokrates, serta merintis sistem pendidikan modern di hampir seluruh dunia dewasa ini, yaitu Akademia.

Socratic Academians learning method via Pinterest

(Itu khan di Negeri Para Dewa. Kasih contoh yang di Nusantara donk.)

Banyak kesamaan antara Efesus dengan Toba dan Samosir. (Barangkali ada yang sontak ingin mem-bully Saya dengan paralelisme yang bernuansa cocoklogi ini). Memangnya, ada hubungan historis? Atau Sokrates pernah meliput di Danau Toba begitu? Tentu tidak seakronistik itu.

Samosir di Indonesia

Kalau orang Yunani di Efesus punya agora, orang Batak Toba di Samosir (kemudian juga orang Batak Toba di seluruh dunia) juga punya kawah sendiri untuk berdialog, berdiskusi, adu argumen atau setidaknya untuk “say hello”, yakni lapo tuak. “Lapo” adalah kedai/warung seperti warung kopi. Mungkin seperti Starbucks, Coffee Bean atau Kedai Kopi Ong yang terkenal itu. (Hahaha …) Tempat-tempat yang kerap Saya jauhi karena sudah lumrah menjadi tempat nongkrong sekaligus latihan pecah rekor Nyisip Kopi Terlama yang Pernah Ada. (Saya kurang tahu apakah sudah ada event organizer yang pernah menggagas lomba semacam ini). Betapa tidak, secangkir kopi seharga Rp 40 ribuan bagi seorang karyawan dengan upah dua juta-an per bulan. You know-lah, that’s not like drinking mineral water. Semoga kita sepakat dalam hal ini.

Jika diperhatikan, maka aktifitas berbicara-mendengarkan-berdiskusi di agora ini sangat mirip dengan acara “Markombur” (ngobrol ngalur-ngidul) di lapolapo yang sejak dulu menjadi tempat berkumpul kaum bapak di Samosir. Umumnya di zaman masyarakat Toba yang patriarkhis kental ini, kaum ibu lebih memilih untuk diam di rumah atau melakukan kegiatan lain daripada menjadi gunjingan.

Bedanya adalah seperti namanya percakapan di antara para gentleman Batak ini biasanya menjadi semakin hangat berkat adanya minuman tradisional beralkohol yakni tuak. Soal berapa persen kadar yang dikandungnya memang sepengetahuan saya belum ada yang menghitungnya, mungkin nanti bisa jadi bahan penelitian untuk tugas akhir mahasiswa Batak yang siap-siap duduk lagi di semester-semester berikutnya. Seperti halnya minuman beralkohol, tentu akan tidak baik jika dikonsumsi dengan berlebih.

Budaya diskusi orang Batak itu ternyata dibesarkan di lapo tuak. Orang-orang, tua dan muda, setelah pulang bertani selalu berkumpul di lapo tuak. Daerah-daerah seperti Toba Samosir, Humbang Hasundutan, Simalungun, Tanah Karo, Dairi memang menunjukkan ciri yang sama: Meminum tuak menjadi pemandangan umum pada malam hari, antara lain lantaran iklim daerah-daerah tersebut yang dingin.

Lagi tentang Samosir

Pulau Samosir sendiri ialah pulau vulkanik hasil erupsi purba Gunung Toba yang sekarang menjadi Danau Toba. Sebuah pulau dalam pulau dengan ketinggian 1.000 meter di atas permukaan laut menjadikan pulau ini menjadi sebuah pulau yang menarik perhatian bagi siapapun yang mengunjunginya. Di pulau ini terdapat pula dua danau lain yang lebih kecil, yaitu Danau (Aek) Sidehoni dan Danau (Aek) Natonang. Keduanya kerap disebut “danau di atas danau”.

Untuk mencegah salah kaprah, berikut beberapa term yang kerap diasosiasikan dengan Samosir.

  1. Kabupaten Samosir, yakni sebuah kabupaten di Sumatera Utara. Sebagian wilayahnya mencakup Pulau Samosir.
  2. Kabupaten Toba Samosir, yakni sebuah kabupaten di Sumatera Utara.
    Samosir juga adalah salah satu marga dari Batak (Toba) yang berasal dari Kabupaten Samosir.
  3. Pulau Samosir yang dikelilingi oleh Danau Toba dihuni oleh suku Batak, lebih spesifik lagi etnis Batak Toba.
  4. Marga Samosir, salah satu dari ratusan marga yang umum dikenal dalam kekerabatan genealogis masyarakat Batak toba.

Perihal orang Batak sendiri konon adalah penutur bahasa Austronesia namun tidak diketahui kapan nenek moyang orang Batak pertama kali bermukim di Tapanuli dan Sumatera Timur. Bahasa dan bukti-bukti arkeologi menunjukkan bahwa orang yang berbahasa Austronesia dari Taiwan telah berpindah ke wilayah Filipina dan Indonesia sekitar 2.500 tahun lalu, yaitu pada zaman batu muda (Neolitikum). Karena hingga sekarang belum ada artefak Neolitikum (Zaman Batu Muda) yang ditemukan di wilayah Batak maka dapat diduga bahwa nenek moyang Batak baru bermigrasi ke Sumatera Utara pada zaman logam. Pada abad ke-6, pedagang-pedagang Tamil asal India mendirikan kota dagang Barus, di pesisir barat Sumatera Utara. Mereka berdagang kapur Barus yang diusahakan oleh petani-petani di pedalaman. Kapur Barus dari tanah Batak bermutu tinggi sehingga menjadi salah satu komoditas ekspor di samping kemenyan. Pada abad ke-10, Barus diserang oleh Sriwijaya. Hal ini menyebabkan terusirnya pedagang-pedagang Tamil dari pesisir Sumatera. Pada masa-masa berikutnya, perdagangan kapur Barus mulai banyak dikuasai oleh pedagang Minangkabau yang mendirikan koloni di pesisir barat dan timur Sumatera Utara. Koloni-koloni mereka terbentang dari Barus, Sorkam, hingga Natal. Batak merupakan salah satu suku bangsa di Indonesia. Nama ini merupakan sebuah tema kolektif untuk mengidentifikasikan beberapa suku bangsa yang bermukim dan berasal dari Tapanuli dan Sumatera Timur, di Sumatera Utara. Suku bangsa yang dikategorikan sebagai Batak adalah: Batak Toba, Batak Karo, Batak Pakpak, Batak Simalungun, Batak Angkola, dan Batak Mandailing.

R.W Liddle, seorang penulis, mengatakan, bahwa sebelum abad ke-20 di Sumatra bagian utara tidak terdapat kelompok etnis sebagai satuan sosial yang koheren. Menurutnya sampai abad ke-19, interaksi sosial di daerah itu hanya terbatas pada hubungan antar individu, antar kelompok kekerabatan, atau antar kampung. Dan hampir tidak ada kesadaran untuk menjadi bagian dari satuan-satuan sosial dan politik yang lebih besar. Pendapat lain mengemukakan, bahwa munculnya kesadaran mengenai sebuah keluarga besar Batak baru terjadi pada zaman kolonial. Dalam disertasinya J. Pardede mengemukakan bahwa istilah “Tanah Batak” dan “rakyat Batak” diciptakan oleh pihak asing. Sebaliknya, Siti Omas Manurung, seorang istri dari putra pendeta Batak Toba menyatakan, bahwa sebelum kedatangan Belanda, semua orang baik Karo maupun Simalungun mengakui dirinya sebagai Batak, dan Belandalah yang telah membuat terpisahnya kelompok-kelompok tersebut. Sebuah mitos yang memiliki berbagai macam versi menyatakan, bahwa Pusuk Buhit, salah satu puncak di barat Danau Toba, adalah tempat “kelahiran” bangsa Batak. Selain itu mitos-mitos tersebut juga menyatakan bahwa nenek moyang orang Batak berasal dari Samosir.

Terbentuknya masyarakat Batak yang tersusun dari berbagai macam marga, sebagian disebabkan karena adanya migrasi keluarga-keluarga dari wilayah lain di Sumatra. Penelitian penting tentang tradisi Karo dilakukan oleh J.H Neumann, berdasarkan sastra lisan dan transkripsi dua naskah setempat, yaitu Pustaka Kembaren dan Pustaka Ginting. Menurut Pustaka Kembaren, daerah asal marga Kembaren dari Pagaruyung di Minangkabau. Orang Tamil diperkirakan juga menjadi unsur pembentuk masyarakat Karo. Hal ini terlihat dari banyaknya nama marga Karo yang diturunkan dari Bahasa Tamil. Orang-orang Tamil yang menjadi pedagang di pantai barat, lari ke pedalaman Sumatera akibat serangan pasukan Minangkabau yang datang pada abad ke-14 untuk menguasai Barus.

Agora Toba

Di lapo, orang-orang akan mengambil kesibukannya masing-masing. Ada yang sebatas duduk-duduk sambil mengobrol (markombur), ada yang bermain catur, bernyanyi, dan ada juga yang hanya makan lalu pulang. Semua itu pemandangan yang biasa di lapo. Kembali ke soal diskusi tadi, di lapo orang-orang yang mengobrol biasanya akan memperbincangkan berbagai macam hal. Dari yang remeh temeh sampai ke diskusi soal negara. Diskusi biasanya akan berlangsung mulai dari suasana yang datar sampai ke perdebatan yang alot. Dan hampir sebagian besar dari mereka berdiskusi dengan menawarkan teorinya masing-masing (karena mereka berdebat dengan latar pendidikan yang berbeda-beda).

Budaya diskusi, berdebat, hal itu sangat mudah ditemui di lapolapo. Dan juga sangat mudah ditemui ketika dua-tiga orang Batak bertemu. Selalu ada hal untuk didiskusikan dan diperdebatkan. Budaya tersebut tanpa disadari telah membentuk karakter. Jika menyebut orang batak kebanyakan akan dengan segera mengasosiasikannya dengan profesi-profesi tertentu semisal pengacara. Hal itu bukan tanpa alasan.

Selain budaya diskusi, catur dan bernyanyi adalah bagian yang tidak terpisahkan dari lapo dan orang batak. Melalui kebiasaan bermain catur di lapolapo, orang batak terasah untuk berpikir. Selain menyalurkan hobi, catur juga menambah daya ingat. Dan tanpa disadari, kebiasaan-kebiasaan itu telah menjadi karakter yang melekat pada orang Batak.

Apapun profesinya, meninggalkan lapo sepertinya hal yang sulit dilakukan orang Batak. Hal itu dibaca dengan jeli oleh pengusaha-pengusaha lapo. Lapo berkembang dari waktu ke waktu. Kini menemui lapo dengan berbagai tipe dan kelas sangat mudah. Di Jakarta misalnya, lapolapo tuak cukup beragam ditemui. Mulai dari yang sederhana, menengah sampai kelas elit.

Pada akhirnya, lapo dan orang Batak menjadi hal yang tak terpisahkan seperti agora dan orang Efesus pada zaman Yunani Kuno. Keduanya besar karena saling membesarkan. Melihat kesamaan fenomen di Efesus dan di Samosir inilah saya mengusulkan ke siapapun yang berwewenang untuk menambah diksi agora Toba ke perbendaharaan kata kita.

Western and Easterns Met in Lapo Tuak via Hipwee.com

 

Balik Nama

Tulisan ini tidak ada hubungannya dengan Bea Balik Nama (BBN), Ganti Nama atau sejenisnya. Tiba-tiba saja terbersit di pikiran saya bahwa tanpa edukasi yang njelimet dan kritisisme yang ketat, bisa-bisa semakin banyak orang tanpa sadar menjadi korban dari propaganda dan provokasi. Semoga saja tulisan ini sendiri tidak ditengarai sebagai sebuah upaya provokasi.

Di sebuah group Whatsapp, seorang teman post sebuah candaan sebagai intermezzo di tengah diskusi group yang tensinya mulai naik.

BALIK NAMA

Ada ibu mangamu di Samsat, ba urus BPKB mo bale nama.

Ibu : Kita nyanda mau tau pak, pokoknya kita nyanda mau bale nama.
Petugas: : Aduh Ibu, hrs itu soalnya nama yg lama sdh dihapus, jd Ibu harus balik nama.
Ibu : Biar mo mampos mar kita nyanda mau Pak.
Petugas : Knp Ibu tdk mau Balik Nama? Alasannya apa?
Ibu : Kita pe nama Maya Rolot! Coba ngana pikir kalau mau Balik Nama jadi Tolor Ayam. Itu Saya nyanda rela, Pak.

Kita, para member group Whatsapp tersebut pun masing-masing menghargainya dengan sebuah emoticon smile. Oke, fair donk: A joke and a smile.

Akan tetapi, melihat fenomen akhir-akhir ini, rasanya alur pikir yang dikandung humor ini cukup membantu untuk menjelaskan banyak hal. Setidaknya, untuk mengatasi kegalauan dan keprihatinan dari banyak teman.

Joke atau candaan sejatinya memang bukan untuk dianalisis karena akan kehilangan kelucuannya. Tapi, pembaca joke tadi sudah mengapresiasinya dengan tertawa. So, that’s enough for joke. Now, the analysis.

Entah benar ada seorang ibu bernama Maya Rolot, dan dia pergi ke Samsat untuk keperluan administrasi kendaraan bermotornya, pembaca tentu mafhum bahwa inti dari kelucuannya adalah pada frasa [tolor ayam] (baca: telor ayam). Berkat kepolosan si Ibu mengartikan secara denotatif instruksi dari petugas soal Balik Nama berikut Bea Balik Nama, terjadilah kegaringan di mata para pembaca, kebingungan di mata petugas, dan rasa tidak terima bagi si Ibu tadi. Cerita pun direka – supaya semua aspek itu terjadi – dengan kelihaian si pembuat joke yang sengaja menamai si Ibu dalam cerita tadi sebagai Maya Rolot.

Padahal, dalam dunia nyata, realitas yang bisa kita damaikan dengan alur pikir kita (yang mudah-mudahan masih dengan nalar logika yang sehat) adalah jika si cerita berangkat dari nama real pribadi, bukan dari pembalikan huruf nama pribadi tersebut. Jadi, real person first (subject) baru kemudian predicate, bukan sebaliknya.

Seperti biasa, joke menjadi lucu ya karena itu: menawarkan alternatif berfikir dengan cara terbalik. Tentu saja jika diplikasikan ke dunia nyata akan terjadi banyak kekacauan di sana-sini. Whatever, for the sake of a laughter, tidak banyak yang memberi notice terhadap dampak pola pikir terbalik tersebut.

Terbalik gimana sih maksudnya, Om?

Kira-kira begini jalan ceritanya. Jreng … jreng … jreng


Hatta …

Tersebutlah bahwa menurut sekelompok orang – yang mengatasnamakan ajaran tertentu, dan ajaran tertentu itu mengatasnamakan diri sebagai ajaran yang paling benar – seorang figur publik dianggap, dituntut, dicaci dan didesak untuk mundur dari kedudukannya sebagai pemimpin di sebuah lembaga pemerintahan karena sebuah perkataan yang dinilai sebagai penistaan terhadap ajaran mereka.

Entah tau atau tidak, entah tau tapi peduli atau tidak, sejatinya perkataan yang dimaksud itu sudah diedit dan dipelintir pula. Maka, klop-lah. Makin beranilah mereka untuk memperjuangkan anggapan, tuntutan dan desakan mereka. Tentu saja, cacian dan sumpah serapah mengiringi aksi super-duper berani dan ramai itu. Alhasil, bipolaritas pun menjadi dua realitas sosial di kota itu: pasukan kotak-kotak versus pasukan berjubah putih.


 

That’s the end of the story. By the way on the busway You Got A Way and I’m Only One Call Away … (begh …), story tadi bukan tale loh. Ribuan media di Indonesia menyorot sosok fenomenal ini kok. Sungguh terlalu jika pembaca tidak tahu siapa yang saya maksud.

Lantas, apa hubungannya dengan humor tadi?

Pembalikan nama dalam cerita tadi menjadi lucu karena merupakan visualitas versi lucu dari apa yang selama ini banyak terjadi pada setiap aksi massa. Entah itu class action, street firing mass, #twitwar, debat kusir, atau saling pentung.

Memangnya apa yang terjadi? Yang terjadi ialah: Massa membiarkan diri digiring oleh alur pikir dan framing dari informasi yang disesuaikan dengan kehendak si Tuan Besar. Si Tuan Besar ini bisa siapa saja, bisa pribadi, bisa organisasi, bisa agama, bisa fanatisme kelompok, ataupun radikalisme peer group. Ciri utamanya: Si Tuan Besar ini punya kuasa terhadap massa.

Jika massa kritis, maka mereka akan menemukan bahwa urutasn sebenarnya kejadian ialah:

  1. Si Figur Publik tadi berorasi (dalam sebuah kesempatan kunjungan kerja)
  2. Orasinya untuk audiens tertentu (sejauh ini terkonfirmasi bahwa audiens sendiri tidak keberatan dengan isi orasi tersebut)
  3. Isi orasinya menyoal konteks tertentu (bahwa Orang bisa saja menggunakan Otoritas apapun untuk menguatkan efek kekuasannya, termasuk jika harus setiap saat melakukan logical fallacies (kesesatan logika) dalam kata dan tindakan. Entah itu dengan ad auctoritatem, kata-kata dalam Kitab Suci, atau referensi lain yang dianggap akan didengarkan oleh massa). Adapun keperluan orasi itu adalah untuk mengedukasi massa bahwa sejatinya jika tidak menggunakan kesesatan logika tadi, massa akan melihat bahwa kekuasaan tersebut mendatangkan mudarat bagi massa, bukan manfaat. Ketik saja “korupsi di Jakarta” di address bar ketika Anda browse di internet, maka Anda langsung mengerti maksudnya.
  4. Lalu datanglah Sumber Kedua, seorang yang lain mengedit orasi tersebut, mengunggah editannya di sebuah akun media sosial miliknya. Editannya lalu dibaca oleh massa.

Sialnya, di hati para peserta aksi Anggapan, Tuntutan dan Desakan tadi, alur pikir yang terjadi adalah sebaliknya.

  1. Versi dari Sumber Kedua itulah yang benar.
  2. Maka, jelaslah, si Figur publik tidak suka dengan kelompok ajaran tertentu
  3. Karena itu, si Figur Publik mengeritik ajaran tertentu itu dengan menyitir ayat-ayat kitab suci mereka.
  4. Menyerang ajaran kita berarti menyerang kelompok kita. Maka kita tidak boleh diam. Ayo bergerak.
  5. Maka, setelah menilik primbon, menilik partikkian yang simbolis, terjadilah …

411 …

212 …

313..

(Masih belum ada informasi apakah akan terjadi lagi 414, 515, 616 dan seterusnya.)

 

Terus, keseimpulannya apa?

Seandainya si Ibu tadi bertanya lebih dahulu apa artinya Balik Nama pada administrasi kendaraan bermotor, maka kegaguan dan kegaringan tidak akan terjadi pada cerita joke tadi.

Seandainya massa bertanya terlebih dahulu kepada Figur Publik langsung, bukan berdasarkan Sumber Kedua, maka kericuhan, lempar-lemparan, teriak-terikan dan aksi desak-desakan tidak akan terjadi di sepanjang lintasan jalan-jalan utama Jakarta.

 

Begitulah dulu ya.

 

 

 

Dear Uncle Sam, I Do Not Want To Mess You Up.

Sebagai presiden dari negara yang masih dianggap sebagai polisi dunia ini, tentu saja terpilihnya Donald Trump sebagai presiden Amerika Serikat mendapat perhatian dari seluruh dunia, tak terkecuali saya dan beberapa teman ngopi di bilangan Tanah Kusir, Jakarta Selatan. Kami ngobrol ngalur ngidul saja, sebab masing-masing tahu dan sadar tidak punya pengetahuan dan keterampilan yang cukup untuk memahami sepenting dan seberharga apa pengaruh presiden baru USA terhadap Indonesia, apalagi terhadap segelintir lelaki jomblo di Tanah Kusir (hehehe …).

Sehabis menonton sekilas acara inaugurasi di tipi (= television;  in case you take it serioulsy as a mispell), rasanya perlu untuk menyimak pesan resmi pertama Bapak Presiden terhadap warganya tersebut. Sebab, empat tahun berikutnya, implementasi dari isi kata-kata itulah yang akan menjadi perbincangan dan titik berangkat dari kebijakan yang akan diambil. Maka, dengan bantuan Google Translate, saya mencoba menterjemahkan isi pidato inaugurasi presiden terpilih US Donald Trump menggunakan teks tranksrip kasar yang dilansir oleh CNBC.

Kurang lebih begini bunyinya dalam bahasa Indonesia:


Hakim Agung Roberts, Presiden Carter, Presiden Clinton, Presiden Bush, Presiden Obama, rekan sebangsa Amerika dan masyarakat dunia, terima kasih.

Kita, rakyat Amerika, kini kita disatukan dalam upaya nasional yang besar untuk membangun kembali negara kita dan mewujudkan kembali janji kepada segenap warga.

Bersama-sama, kita akan menentukan jalannya Amerika dan dunia selama bertahun-tahun yang akan datang. Kita akan menghadapi tantangan. Kita akan menghadapi kesulitan. Tapi kita akan menyelesaikan tugas itu.

Setiap empat tahun kita berkumpul dengan cara yang kita lakukan sekarang untuk melaksanakan transfer kekuasaan yang tertib dan damai.

Dan kami berterima kasih kepada Presiden Obama dan Ibu Negara Michelle Obama untuk bantuan murah hati mereka sepanjang masa transisi ini.

Mereka luar biasa.

Terima kasih.

Upacara hari ini, bagaimanapun, memiliki makna yang sangat istimewa karena hari ini kita tidak hanya mentransfer kekuasaan dari satu pemerintahan ke yang lain atau dari satu pihak kepada pihak lain, tapi kita sedang memindahkan kekuasaan dari Washington, DC, dan mengembalikannya kepada Anda, rakyat Amerika.

Sudah terlalu lama, sebuah kelompok kecil di ibukota negara kita telah menuai manfaat dari pemerintah sementara rakyat yang harus menanggung biayanya. Washington berkembang, tetapi rakyat tidak ikut menikmati manfaatnya. Politisi makmur tapi pekerjaan semakin langka dan pabrik-pabrik tutup.

Sistem yang ada membentengi diri sendiri, tetapi tidak iktu melindungi warga negara kita. Kemenangan mereka bukan kemenangan Anda. Kejayaan mereka bukan kejayaan Anda. Dan sementara mereka bersenang-senang di ibukota negara ini, hampir tidak ada alasan untuk merayakan hal yang sama di tengah keluarga-keluarga yang ditimpa berbagai kesulitan, yakni keluarga-keluarga yang tersebar di seantero negeri.

Semoga semua perubahan akan berawal di sini dan sekarang, karena saat ini adalah kesempatan bagi Anda.

Perubahan ini milik Anda.

Perubahan ini milik semua orang yang berkumpul di sini hari ini dan semua orang menonton di seluruh Amerika.

Hari ini  adalah hari Anda.

Perayaan ini adalah perayaan Anda.

Dan ini, Amerika Serikat, adalah negara Anda.

Yang penting bukanlah soal partai mana yang mengontrol pemerintah kita, tapi apakah pemerintah kita dikendalikan oleh rakyat atau tidak.

20 Januari 2017 akan dikenang sebagai hari dimana rakyat kembali menjadi penguasa di negeri ini.

Rakyat yang selama ini disisihkan tidak akan tersisih lagi. Semua orang mendengarkan Anda sekarang. Bersama puluhan juta rekan lainnya, Anda datang untuk menjadi bagian dari gerakan bersejarah, sesuatu yang tidak pernah disaksikan sebelumnya oleh dunia.

Inti dari gerakan ini adalah munculnya kembali suatu keyakinan penting bahwa negara hadir untuk melayani rakyat. Rakyat Amerika menginginkan sekolah besar untuk anak-anak mereka, lingkungan yang aman bagi keluarga mereka dan pekerjaan yang baik bagi diri mereka sendiri.

Ini merupakan tuntutan yang jujur dan wajar dari rakyat. Sayangnya, realitas yang ada menunjukkan bahwa hal ini tidak terjadi bagi kebanyakan rakyat selama ini.

Ibu dan anak terperangkap dalam kemiskinan di tengah-tengah kota-kota kita. Pabrik-pabrik yang berkarat tersebar seperti batu nisan di segenap penjuru negeri.

 

Sistem pendidikan kita penuh dengan siraman uang tunai, tetapi justru hanya menghasilkan siswa-i kita yang muda dan cantik ini malah kehilangan pengetahuan.

Belum lagi kejahatan dan geng dan obat-obatan yang telah mencuri terlalu banyak kehidupan dan merusak generasi muda, kekayaan negara, tanpa kita sadari.

Kita adalah satu bangsa, rasa sakit yang mereka rasakan adalah mereka adalah rasa sakit kita juga.

Mimpi mereka adalah mimpi kita, dan kesuksesan mereka akan menjadi kesuksesan kita juga. Kami berbagi satu hati, satu rumah dan satu takdir yang mulia.

Sumpah jabatan saya ambil hari ini adalah sumpah setia untuk semua orang Amerika.

Selama beberapa dekade kita telah memperkaya industri asing dengan mengorbankan industri Amerika, memberi subsidi kepada tentara negara lain sementara tentara kita sendiri mendapat penghasilan yang begitu menyedihkan.

 

Source: ChristianPost.com
Donald Trump speaks

 


What a great speech!

Hampir tidak ada impressum yang tepat untuk menggambarkan gemuruh dari jiwa rakyat Amerika yang hadir dan mendengar pidato ini. Rakyat yang begitu yakin bahwa Trump dan segenap jajaran di birokrasinya akan bahu-membahu mewujudkan janji-janji yang hari ini diucapkannya. Tentu saja, ada juga sebagian besar warga dari negara yang sama, yang berunjuk rasa menentang pelantikan Donald Trump, menolaknya menjadi pemimpin mereka.

Berhubung saya bukan warga AS, bukan juga simpatisan Donald Trump (kendatipun kami punya kesamaan nama depan), bukan pula pengamat politik di AS, maka tidak ada catatan khusus yang saya akan tambahkan untuk dimaksudkan sebagai endorsement terhadap cucu dari Frederic Trump ini. Sebagai rakyat kecil dengan lokasi domisili terpaut ratusan kilometer dari Gedung Putih dan pusat-pusat properti Donald Trump, sepengetahuan dan sependengaran saya, kebanyakan teman-teman di Indonesia dan saya hanya berharap supaya hubungan AS dengan Indonesia baik-baik saja. Semacam rasa was-was karena kekurangan akses ke data intelijen. Bukan pula berarti kalau punya data itu lantas tahu berbuat dan bereaksi seperti apa. Selain itu, dengan kesadaran bahwa sebagai satu-satunya “paman” di dunia ini, kita berharap bahwa Donald Trump dan kebijakan-kebijakan selanjutnya, entah itu terkait pembahasan Trans Pacific Partnership ataupun bordership policy, kami berharap bahwa ke depan kami di Nusantara dan Anda-anda di negeri Paman Sam akan baik-baik saja.

 

Dear Uncle Sam, 

 

Please be kind.

My friends and I do not want to mess you up.

You want to make America great again, just do it.

But, please, be great without making us small.

 

Cheers,

 

My Friends and Me.

 

[Parapharase] – Filosofi Kopi

Berumah tangga itu ibarat ngopi.

Takarannya gak melulu pas. Kadang manisnya lebih terasa. Suatu waktu pahitnya pun dominan. Jangan kau hindari. Nikmati saja hingga suatu saat kau terbiasa. Ketika rumah tanggamu sudah jadi candu bagimu, maka percayalah bahwa gak ada regukan yg lebih nikmat di luar sana.

Berumah tangga itu ibarat ngopi.

Harga kopi di kafe tentu beda dengan harga kopi di warung, meski rasanya sama. Karena yg dibeli sebenarnya bukan semata-mata kopinya, melainkan suasananya. Karena itu mahalkanlah suasana rumah tanggamu. Buatlah berkualitas setiap waktu kebersamaanmu.

Berumah tangga itu ibarat ngopi.

Jika kau hanya mau manisnya saja, jangan ngopi, tapi minumlah sirup.

Sirup adalah rasa manis yg dinikmati oleh mereka yg memutuskan pilihan hidup single. Gak ada pilihan lain selain manis. Memang manis, tapi tentu saja gak senikmat kopi. Demikian pula jika kau hanya menikmati sensasi pahitnya saja. Jangan ngopi, tapi minumlah jamu. Nah itulah jomblo.

Berumah tangga itu ibarat ngopi.

Para pengopi adalah orang-orang yg terlatih dalam menakar hidup. Istri pemasak airnya, suami baristanya. Dibutuhkan kerja sama yg cermat mulai dari proses hingga hasil. Orang-orang hanya boleh melihat asap yg mengepul dan aroma yg wangi, tanpa perlu tau gimana berantakannya dapurmu.

Berumah tangga itu ibarat ngopi.

Soal rasa yang utama. Nikmatnya ada di permukaan, ampasnya cukup kau sembunyikan, jika perlu endapkan hingga ke dasar terdalam gelasmu. Jangan kau umbar pada siapapun bahkan ke orang-orang terdekatmu.

Jika rumah tanggamu ibarat kafe besar, tentu saja konyol membagi rahasia racikanmu.

Berumah tangga itu ibarat ngopi.

Kadangkala ada pihak ke tiga yg mencampuri, otomatis menambah gurih, tapi bisa pula sebaliknya. Taruhlah seperti krimer atau susu. Jika krimer atau susunya kebanyakan, maka berpotensi mengurangi kenikmatan.

Krimer itu bisa berwujud saudara atau ipar-ipar, sementara susu itu anggap saja mertua. Campuran lain yg mematikan adalah sianida. Kalo yg ini sudah pasti mantan. Maka buang jauh-jauh. Pastikan gelasnya bersih sebelum menuang kopi yg baru.

Berumah tangga itu ibarat ngopi.

Kau tentu gak sudi jika ada yg mencoba mengaduk kopi di gelas istrimu. Tapi sebaiknya kembalikan juga pada dirimu, apa kau yakin gak pernah menikmati adukan kopi yg lain? Demikianlah cemburu. Akarnya adalah ketidaknyamanan. Jangan sepelekan selingkuh-selingkuh kecil, karena ia adalah awal pengkhianatan terhadap kasih sayang.

Berumah tangga itu ibarat ngopi.

Jangan berharap kesempurnaan pada segelas kopi yg murahan.

Jangan menuntut berlebihan, jika kau sendiri main belakang.

Kau tanamkan pada istrimu definisi setia, sementara kau sibuk menjempol foto profil wanita. Jika bersama, kau bermanja-manja, oh my wife.. Oh my wife.Tapi jika ia gak ada, kau berasyik masyuk dengan Bigo Live.

Lalu kesetiaan mana yg kau maksud?

Berumah tangga itu ibarat ngopi.

Kebanyakan ngopi di kafe, niscaya akan membuatmu merasa hambar pada kopi di rumah. Kebanyakan urusan di luar, biasanya akan membuatmu gak peka pada masalah internal. Jika istrimu bermuka masam, cari tau jangan hanya diam. Mungkin ia lelah, mungkin pula kau ada salah. Sekali-sekali, rengkuhlah ia dari belakang, belai rambutnya, dan bisikkan lembut di telinganya:
“Sayang.. Postingan tas yg waktu itu kau jempol di olshop, sekarang sudah pre order loh. Mau aku transferin?”

Kopi boleh pahit, rumah tanggamu jangan..

Warm cup of coffee on brown background
Warm cup of coffee on brown background

(Disadur dari obrolan di group Whatsapp SC)

[Metafora] – Opini yang Membunuh Kerbau

Kerbau

 

Selain karena faktor usia, penyakit dan ulah manusia ternyata seekor kerbau juga bisa mati hanya karena sebuah opini.

Masak sih?

Begini ceritanya.


 

Sehabis pulang dari sawah kerbau rebahan di kandang dengan wajah lelah dan nafas yang berat. Datanglah seekor anjing. Melihat temannya datang, kerbau berkata: “Aah.. temanku. Aku sungguh lelah. Kalau boleh, besok aku ingin istirahat sehari saja”

Anjing pun beranjak. Di tengah jalan dia berjumpa dengan kucing yang sedang duduk di sudut tembok. Kata anjing: “Tadi saya bertemu dengan kerbau dan dia besok ingin beristirahat dulu. Sudah sepantasnya sebab majikan memang sering memberinya pekerjaan yang terlalu berat”

Kucing lalu bercerita kepada kambing. “Kerbau mengeluh tentang si bos. Katanya dia dikasih pekerjaan terlalu banyak dan berat. Besok dia tidak mau kerja lagi”

Kambing pun bertemu ayam.

“Yam, kerbau tidak senang bekerja dengan bos lagi, mungkin ada pekerjaan yang lebih baik lagi”.

Ayam pun berjumpa dengan monyet dan dia bercerita pula: “Kerbau tidak akan kerja lagi untuk bos. Dia ingin bekerja di tempat yg lain”.

Saat makan malam monyet bertemu bos. Monyet pun melapor: “Bos, si kerbau akhir-akhir ini telah berubah sifat nya dan ingin meninggalkan bos untuk kerja di bos yang lain”

Demi mendengar ucapan monyet, sang bos pun marah besar. Tanpa bertanya terlebih dahulu dia lalu menyembelih si kerbau karena dinilai telah berkhianat kepadanya.


 

Sebelum lupa karena asik dengan cerita, adapun ucapan asli kerbau ialah:”Aah.. temanku. Aku sungguh lelah. Kalau boleh, besok aku ingin istirahat sehari saja”

Lewat beberapa teman ucapan ini telah berubah dan sampai kepada sang bos menjadi:”Bos, si kerbau akhir-akhir ini telah berubah sifat nya dan ingin meninggalkan bos untuk kerja di bos yang lain”

Berhubung menurut teori yang kita miliki bahwa kita manusia lebih punya kemampuan berfikir dari hewan-hewan yang menjadi simbol dari karakter-karakter tadi, berikut beberapa hal yang baik disimak.

Pertama, ada kalanya satu pembicaraan berhenti hanya sampai telinga kita saja dan tidak usah sampai kepada telinga orang lain.

Kedua, jangan telan bulat-bulat atau percaya begitu saja setiap berita atau perkataan orang lain sekalipun itu keluar dr mulut orang terdekat kita. Kita perlu melakukan check and recheck kebenarannya sebelum bertindak atau memutuskan sesuatu, konfirmasi dan crosscheck kepada sumbernya langsung.

Ketiga, kebiasaan meneruskan perkataan atau berita dari orang lain bahkan dengan menambah atau menguranginya atau menggantinya dengan persepsi dan asumsi kita sendiri bisa berakibat fatal.

Keempat,  bila ragu dengan ucapan atau berita dari seseorang atau siapapun sebaiknya kita bertanya langsung kepada yang bersangkutan untuk menanyakan kebenaran informasi tersebut. Setidaknya dengan sumber yang paling dekat.

Kelima, selalu pastikan bahwa informasi yang ingin kita bagikan kepada orang lain adalah informasi yang benar, disampaikan pada orang yang tepat, dan pada saat yang tepat.

Jadikan diri kita filter sehingga kita tidak mendatangkan celaka bagi orang lain. Di era dimana broadcasted, copy-paste, atau forward message bisa dilakukan oleh siapapun yang memiliki jemari hanya dengan menjentikkan jemarinya di layar Smartphone ini, kita butuh Smartbrain (nalar yang cerdas) juga untuk melatih diri bersikap adil sejak dalam fikiran sehingga pesan yang kita sampaikan tiba dengan utuh:

“Jika ada teman yang mengirimiku pesan yang sudah terdistorsi semacam ini, bagaimana reaksiku?”

Jika Anda marah, atau setidaknya tidak setuju, maka saatnya Anda mulai semakin sering menggunakan fitur Undo atau Retrack message. Jangan terlalu akrab dengan si Enter.

Ingatlah, sebuah rudal bisa diluncurkan dari ruangan rahasia di bunker presiden dan meluluhlantakkan sebuah kota, lengkap dengan seisi penghuninya, hanya dengan menekan tombol Enter.

Missiles

Selamat mencoba.

 

 

(Disadur dari obrolan di grup Whatsapp)

Kapan Saatnya Berhenti Menganggap Diri Favorit

Anak Favorit

Jika menelisik batin dengan jujur, kemungkinan besar setiap kita pernah merasakan bahwa ada perbedaan perhatian dan kasih sayang dari orang tua ke kita anak-anaknya. Atau bagi anak-anak yang tak sempat mengenal orang tua, di panti asuhan misalnya, ada perbedaan dari pengasuh ke anak-anak asuhnya. Ada hipotesa yang berbahaya kalau dicari-cari pembenarannya untuk menjadi teori yakni, “Memang ada kelakuan spesial kepada abang atau adik kita”. Efek yang ditimbulkan dari sikap yang ditunjukkan orang tua yang (menurut kita) memihak tersebut menyebabkan perubahan tingkah laku, dan mental dari seorang anak.

Tentu saja, kalau kita tanyakan kepada setiap orang tua, kemungkinan besar jawabannya sama: “tidak ada spesial, sayang semua”. Inong pangintubu saya bilang:

Dang adong mardingkan au tu hamu. Ai sian butuhakkon do hamu sude

(bagi yang tidak tahu artinya, silahkan ulik-ulik di Kamus Daerah).

Tapi ada seorang ilmuan barat yang namanya Katherine Conga. Beliau meneliti hampir dari 500 anak, dengan pertanyaan bagaimana kelakuan orang tua terhadap mereka. Katherine juga meneliti sikap yang ditunjukkan oleh orang tua kepada anaknya. Katherine berhasil menyelesaikan penelitianya dan menemukan fakta bahwa memang benar biasanya orang tua memberi perhatian yang lebih kepada si sulung.

Lalu bagaimana dengan si adik? Mereka dilahirkan dengan tingkat perhatian yang kurang. Jadi mereka menganggap orang tua berada di dua ekstrem.

Pertama, orang tua cenderung lebih disiplin terhadap mereka.

Kedua, orang tua cenderung lebih memanjakan mereka dan menuruti begitu saja apapun kemauan dan permintaan mereka kendati menyadari akibat buruk dari sikap memanjakan tersebut bagi masa depan si anak di kemudian hari.

Anak Favorit

Dalam konteks keberlangsungan keluarga, supaya siblings war tidak menodai keutuhan keluarga, solusi yang paling mendamaikan dan perlu dipupuk adalah mendorong setiap anak untuk merasa bahwa masing-masing mereka adalah anak favorit. Maka, alih-alih mencari sejuta perbedaan perlakuan orang tua terhadap kakak dan adik, fokus yang mesti dituju adalah mencari pengalaman pada momen membanggakan antara si anak dengan orang tuanya. Lagipula, umumnya orang tua tidak mengakui bahwa mereka punya anak yang favorit, kendatipun ada anak (kalau bukan setiap anak) merasakannya.

Bahwa orang tua cenderung menerapkan perhatian dan sikap yang berbeda-beda bagi setiap anak, mereka punya alasan tersendiri untuk itu. Mereka mengenali anak sulungnya yang ekstrovert, dominan dan ingin memimpin. Maka mereka memberikan perhatian supaya si sulung memiliki sikap kepemimpinan yang benar. Mereka tahu bahwa anak kedua cenderung introvert, pendamai. Maka orang tua mengarahkannya untuk menjadi penengah yang baik setiap kali ada siblings rivalry, baik yang potensial maupun yang sudah jelas kelihatan terjadi. Demikian seterusnya, hingga anak ketiga, keempat sampai ke anak bungsu.

Jika setiap anak bisa mengerti hal ini, maka sah-sah saja jika masing-masing mereka merasa sebagai anak favorit. Sepanjang tidak menimbulkan iri hati. Jika mereka sudah sampai ke tahap ini, mereka sudah bukan anak-anak lagi. Mereka sudah dewasa. Mereka adalah children (anak-anak) yang tidak childish (kekanak-kanakan) lagi. Bahkan, jika ternyata ada keluarga di mana masing-masing anak merasa demikian, rasanya itu akan menjadi keluarga paling romantis yang pernah ada di bumi ini.

 

Lucunya, sudah setua ini peradaban yang dilalui agama-agama samawi, masih banyak pengikutnya yang tetap kekanak-kanakan.

Baik Yahudi, Islam maupun Kristen (Katolik), tetap merasa bahwa mereka adalah anak favorit dari YHWH, Bapa mereka. (Tentu saja, kalau bicara statistik, selalu ada eksepsi. Tak semua mereka begitu.)

Kitab Suci Perjanjian Lama, yang konon merupakan refleksi dari umat Yahudi tentang penyelenggaraan sang Ilahi atas bangsa mereka, bahkan tidak malu-malu menunjukkan bahwa si YHWH juga terkesan memberi perlakuan berbeda terhadap anak-anak pertama dari manusia pertama, si Adam, yang terbuat dari tanah (adamah) itu. Siblings rivalry memenuhi kisah-kisah legendaris itu.

Ada Kain yang membunuh Habel karena rasa iri terkait persembahan mana yang paling disukai oleh YHWH. Tak tanggung-tanggung, rasa iri ingin mendapatkan perhatian dan pengakuan lebih itu bahkan hingga menuntun Kain pada niat untuk membunuh Habel.  Teman-teman yang sudah tidak lagi membaca Kitab Suci, bahkan mengelaborasi lebih lanjut dan mencibir: “Dan YHWH pun tidak melakukan apa-apa untuk mencegah Kain membunuh Habel.” Hmmmm ….Hal yang sama juga kita temukan dalam kisah persekongkolan antara Yakub dengan ibunya, Ribka. Persekongkolan itu berhasil merebut hak kesulungan Esau, pindah ke Yakub. Berlanjut pada iri hati dari anak-anak Yakub yang membuat mereka sampai menjerumuskan Yusuf ke perbudakan.

Tak berhenti hanya pada laki-laki saja, siblings rivalry juga terjadi pada perempuan. Dua bersaudari Leah dan Rakhel pun berkompetisi untuk mendapatkan cinta si Yakob.

Perebutan Anak Favorit dari Kitab Suci ke Kitab Sastra

Shakespeare pun menciptakan gambaran siblings rivalry serupa dalam karya sastranya. King Lear memprovokasi perseteruan di angtara ketiga puterinya dengan meminta mereka bertiga untuk menunjukkans seberapa besar cinta mereka pada ayahnya. Ada pula Edmund yang dengan kelicikannya membuat saudara tirinya Edgar terbuang, terusir dari lingkungan kerajaan dengan segala previlesenya.

Pada lakon The Taming of the Shrew, kakak beradik Kate dan Bianca dipertontonkan berkelahi dengan sengit-sengitnya. Hal serupa terjadi antara King Richard III dengan King Edward (dalam lakon Richard III), antara Orlando dan Oliver, kemudian antara Duke Frederick dan Duke Senior (dalam lakon As You Like It).

John Steinbeck, dalam karyanya East of Eden, melukiskan perseteruan antara dua bersaudara Cal dan Aron Trask, serupa dengan Kain dan Abel pada kisah Bibel.

A Song of Ice and Fire, yang lalu dipanggungkan di layar lebar secara kronikal dalam lakon-lakon Game of Thrones, penuh dengan perebutan anak favorit tersebut.

Baratheon

 

Sejatinya, ada tiga pewaris sah House of Baratheon, yakni Robert Baratheon, Stannis Baratheon, dan Renly Baratheon. Sepeninggal Robert, Stannis akhirnya membunuh Renly dengan sihir gelap, kendatipun tidak begitu jelas apakah Stannis benar-benar menyadari bahwa dia yang melakukan kejahatan itu.

Sejarah keluarga Westeros mencatat “Tarian dari Para Naga” (The Dance of the Dragons). Princess Rhaenyra Targaryen dan saudara tirinya Aegon II Targaryen memperebutkan tahta Iron Throne sepeninggal ayah mereka, Viserys I Targaryen. Aegon berhasil membunuh Rhaenyra, tapi tak lama Aegon pun diracun. Akhirnya putra Rhaenyra naik tahta menjadi King Aegon III.

Litani perebutan anak favorit ini masih bisa bertambah panjang lagi. Baik dalam kehidupan nyata maupun dalam kehidupan yang disketsakan lewat serial film, acara televisi, puisi ataupun cerita novel dan balada satir.

Tapi, bagaimana kalau perebutan anak favorit itu tidak hanya milik penghuni planet bumi ini?

Atau, bagaimana kalau ternyata klaim anak favorit dari sang Bapa Semesta inilah yang menjadi awal dari segala peperangan, baik perang apologetis dan militer (dua-duanya sama menjemukan dan tidak berprikemanusiaan), dan ternyata penyebab dari segala penderitaan yang disebabkan oleh manusia sendiri?

Seperti pada klaim anak favorit pada psikologi orang tua di atas, solusi yang paling adequate ialah jika setiap orang tahu Kapan Saatnya Berhenti Menganggap Diri Favorit.

Gods' Favourite Planet

Klaim berawal dari adanya Galaksi Pilihan Allah.

Kemudian berturut-turut,

  • Lalu ada Bintang dan Tata Surya Pilihan
  • Lalu ada Planet Pilihan
  • Lalu ada Umat Pilihan, lengkap dengan Gurun Pilihan dan Nabi Pilihan.
  • Lalu ada Agama Pilihan
  • Lalu ada Sekte Pilihan

Lalu delusi makin meluas kemana-mana. Tampaknya, ini berlaku untuk semua agama. Padahal dalam sekte atau kelompok manapun (yang menganggap dirinya pilihan), tetap saja ada manusia-manusia di dalamnya. Padahal, pada akhirnya, setiap manusia merasa sebagai Manusia Favorit Penciptanya.

Toh setiap manusia bisa curhat, berkeluh kesah dan menemukan dirinya pada perjumpaan batiniah yang hening dalam renungan yang tenang, menemukan dirinya sendiri.

Hanya ada dia dan Diri-nya.

Lengkap.

Tak ada lagi perbedaan antara Athman dan Brahman di sana.

Tak ada lagi perbedaan mikrokosmos dan makrokosmos disana.

Bahkan ruang paling kecil di mitokondria sel darahnya sama luasnya dengan semesta yang sanggup menampung jutaan galaksi yang ada.

Oh, sungguh indahnya, saat setiap orang tahu Kapan Saatnya Berhenti Menganggap Diri Favorit.

Saat itu tiba, setiap orang tua akan tersenyum. Sebab mereka tahu, ada Allah dalam setiap anak yang dianugerahkan kepada mereka.

[Paraphrase] – Mereka yang Jemu dengan Triumfalisme Agama

Aku

Orang yg belum kenal aku (atau hanya baru kenal di online) mungkin menganggap aku ini nyeleneh. Ada yg bilang aku ini subversif, kontroversial, kritis, bidah, bahkan sesat. Terakhir, para ulama dan katekis gereja yang berteman denganku di laman Facebook, akhirnya memutuskan pertemanan denganku. Kata mereka aku ini sinkretis, masih ada sisa -sisa animis dan dinamis dalam kepercayaanku. Yo wis, sambil ngopi di kala hujan aku cerita sedikit deh.

Kalau tiba masanya Hari Raya Haji, kami pun ikut menikmati hidangan yang disediakan oleh bibiku yang beberapa tahun ini ikut dengan suami yang beragama Islam. Favoritku ialah sop sapinya. Nggak amis. Nikmat rasanya ketika sumsumnya merongsok masuk ke kerongkonganku. Sebenarnya sih, aku nggak begitu yakin apakah mereka tahu bahwa aku juga menikmati saksang babi yang juga selalu menggoda seleraku itu. Jadi, buat amannya, aku tidak pernah memberitahu bibi soal itu. Sebenarnya bukan tanpa alasan sih. Sebelumnya aku pernah melihat bibi membersihkan seluruh perabotan masak ketika dulu ada berita bahwa penyedap masakan yang biasanya bibi pakai itu ternyata mengandung zat kimia yang terbuat dari daging babi. Sampai-sampai si mukenah si bibi belepotan cairan pembersih waktu itu. Sejak itu, aku tahu bahwa si bibi tidak terlalu bersahabat dengan hewan yang satu ini.

Ketika aku tinggal beberapa tahun dengan Oppung di Huta Sibabiat, kampung tempat lahirnya ayah, aku selalu menikmati acara Margondang dan Manortor yang pasti ada dalam setiap apacara adat. Entah kenapa, aku merasa ikut menjadi bagian dari luapan ekpresi emosianal massal lautan manusia itu, kendatipun aku selalu ditertawakan oleh sepupuku karena sudah bisa bertahun-tahun pun tinggal di huta, kosakata Toba yang aku tahu hanya empat, yaitu: Olo, Daong, Mauliate, dan Horas.

Kakakku

Kakakku yang paling sulung menikah dengan pemuda dari suku Dayak Manyaan. Kini mereka tinggal di sebuah perkampungan dekat perkebunan sawit di pinggiran Sungai Lamandau, Kalimantan Tengah. Sempat iri dengan kakakku yang satu ini karena dalam setahun saja, kulihat ia sudah lancar menggunakan bahasa Dayak Manyaan. Padahal, dulu aku lebih unggul soal pelajaran bahasa dari dia, terbukti kosakata bahasa Inggris-ku jauh lebih banyak dari dia. Tak pernah sekalipun dia menang melawanku kalau kami bermain Scrabble. Dasar aku orangnya gampang jatuh hati dengan alam yang asri, sempat pula aku terfikir untuk tinggal di kampung yang sejuk ini, jauh dari kebisingan ibukota Jakarta na balau ini. Apa daya, saat ini aku mesti berdamai dengan situasi hiruk-pikuk tanpa hentinya kota megapolitan ini. Jadilah aku mulai belajar berhitung dalam bahasa Manyaan.

  1. Isa
  2. Rueh
  3. Telu
  4. Epat
  5. Dime
  6. Enem
  7. Pitu
  8. Walu
  9. Suey
  10. Sapuluh
  11. Sawalas
  12. Dua Walas
  13. Tiga Walas
  14. Epat Balas
  15. Lima Walas
  16. Enem Walas
  17. Pitu Walas
  18. Walu Walas
  19. Suey Walas
  20. Ruam Pulu
  21. Ruam Pulu Isa
  22. Ruam Pulu Rueh
  23. Ruam Pulu Telu
  24. Ruam Pulu Epat
  25. Ruam Pulu Dime
  26. Ruam Pulu Enem
  27. Ruam Pulu Pitu
  28. Ruam Pulu Walu
  29. Ruam Pulu Suey
  30. Telu Pulu
  31. Telupulu Isa

Oppung-ku

Konon, oppung-ku punya koleksi buku-buku Dialektika karangan Hegel, Feuerbach, Marx, Habermas. Pantas saja, kalau habis menunaikan tugasnya sebagai guru honor di sekolah dasar yang pelosok itu, dia jarang tidur siang. Waktunya dihabiskan membaca. Bukan hanya itu, Oppung tidak hanya punya Bibel terbitan Lembaga Biblika Indonesia, tapi ia juga rela merogoh uang sakunya untuk membeli Alkitab terbitan Lembaga Alkitab Indonesia. Aku selalu heran mengapa mesti ada dua Kitab Suci di rumah Oppung. Belakangan, kata oppung boru, selain membeli Terjemahan Alquran, Oppung mulai menggunakan komputer bekas di rumah untuk mengakses internet. Sempat aku mengecek data di storage komputernya, aku menemukan file-file PDF tentang Talmud, Zarathustra, Weda dan Teknik Perang Sun Tzu. Entah buat apa oppung mengoleksi semua ini, pikirku.

Aku selalu kagum dengan sosok Oppung yang tak pernah bosan untuk memberi nasihat soal pentingnya kebersamaan dalam keluarga besar kami. Nasihat yang selalu dia ulang baik ketika Natal, ketika Tahun Baru, Hari Raya Haji, dan pada setiap kesempatan berkumpul setiap kali ada anak dan cucunya yang melangsungkan pernikahan. Nasihat panjangnya selalu ditutup dengan umpama: “Pantun Hangoluan, Tois Hamagoan”. Kira-kira artinya: Sikap Hormat Itu Mendatangkan Kehidupan, Sikap Tak Perduli Itu Mendatangkan Kehancuran.

Aku baru menyadari bahwa nasihat yang kadang membosankan itu ternyata obat paling mujarab yang hingga saat ini ampuh menjaga kesatuan keluarga besar kami. Bagaimana tidak, pamanku adalah seorang kader partai banteng yang sangat aktif di berbagai lembaga kemasyarakatan. Amang boruku adalah seorang wartawan senior yang beberapa kali dipanggil bukan  hanya oleh pemimpin redaksinya, tetapi juga Menkominfo karena pemberitaannya yang dituding terlalu berani. Dua tahun sebelumnya dia pernah menulis dugaan korupsi terhadap kepala di badan eksekutif, tak ada yang menggubris beritanya saat itu. Belakangan, oknum yang diberitakannya itu diberitakan rajin beribadah di dalam selnya di sebuah Lembaga Pemasyarakatan. Kakak iparku adalah kepala desa yang terpilih ketika diusung oleh partai pohon beringin. Abangku yang baru lulus dari kuliahnya di Depok itu malah menyatakan sudah mendaftarkan diri sebagai kader partai burung garuda. Melihat konstelasi dunia politik saat ini, aku sangat senang ketika acara keluarga, mereka selalu mau mendengarkan satu sama lain. Tak jarang pula mereka sedikit-sedikit membocorkan agenda dari partai masing-masing. Amangboru-ku yang wartawan itu biasanya langsung mengambil peran sebagai moderator. Kadang aku bingung, ini acara keluarga atau sedang Sidang Dengar Pendapat a la Senayan sana. Hmmmm ….

Agamaku

Aku ini gak masalah orang lain mau nyembah bola, kubus, tiang, pohon, tuhan, hantu, siluman, dll.. mau ibadah sambil jongkok, nungging, jungkir, koprol, dan lain-lain. Selama ritual ibadahnya itu tidak mengganggu orang lain ya monggo, silakan saja. Selama dia orangnya baik, ya kita juga harus baik. Konon sejak zaman Zarathustra hingga Yeshua dari Yehuda, golden rule-nya ya itu-itu juga.

Terus banyak yang penasaran nanya aku ini penganut keyakinan apa. Sebetulnya yang namanya keyakinan dan spiritual itu privasi. Tapi berhubung orang Indonesia itu doyan kepo (Knowing Every Particular Object: Serba ingin tahu dari detail sesuatu, kalau ada yang terlintas dibenaknya dia tanya terus) tapi kalau sudah tahu pun tidak mau membersihkan perspektifnya yang sudah diracuni berbagai asumsi, selalu mencampurkan urusan personal ke ranah sosial, yo wis aku cerita lagi.

 

When Buddha and Jesus living as roommates

Yang namanya agama itu khan ngakunya mengajarkan kebaikan. Baik itu Hindu, Buddha, Konghucu, Islam, Katolik, Lutheran, Yahudi, Parmalim, Pemena dan ribuan aliran kepercayaan lainnya, semuanya mengaku mengajarkan kebaikan. Iya kan??

Nah, aku ini termasuk yang meyakini ajaran kebaikan seperti itu. Ajaran kebaikan yang lebih luas dan universal tanpa membedakan cara ibadah atau objek yg disembah. Apalagi kalau sampai mengklaim bahwa sembahan dan agamanya saja yang benar, punya orang lain tidak. Aku juga meyakini bahwa ibadah tertinggi manusia itu adalah berbuat baik kepada sesama manusia dan lingkungannya.

Makanya kalau aku sering posting yang nyeleneh jangan salah paham dulu. Yang aku kritik itu bukan ajaran yang damai dan penuh rahmat. Yang aku kritik itu adalah para oknum yg penuh diskriminasi dan intoleransi. Maka, sekali lagi, jangan salah paham, jangan tersinggung, kecuali kalau kamu adalah oknum.

(Terinspirasi dari tulisan Chalisa Nita)

[Puisi] – Tuhan, Aku Lapar

Ciliwung

 

Sejenak kuhirup udara bebas

Semilir lewat tanpa permisi di depan hidungku…

Tapi aku tak protes

Nikmat pertama di pagi ini.

Desau air grojokan sesekali minta diperhatikan

Kasihan juga,

Dari semalam tidak ada yang mau menyapanya

Kusesap sedikit dengan lidahku

Terasa kehidupan di dalamnya

Tapi lalu kulirik dari kaca jendela

Ada yang memanggil-manggil dari atas sana

Kehangatannya melukis tawa di cakrawala

Dasar, sang mentari memang jagonya mengumbar cinta

Perlahan aku bangkit

Waktunya memberi keadilan juga pada cacing di perut ini

Toh ia juga butuh gizi

Maka aku bergegas.

Di pinggir Kali Ciliwung ini,

Hari ini aku cuma mau titip sejumput doa:

Selamat pagi, Tuhan.

Aku lapar.

Non Scholae sed Vitae Discere

Di kota kecil Pematangsiantar, ada SMU berasrama yang cukup lama menjadi primadona bagi para putra-putra beragama Katolik. Konon, sekolah yang hingga kini masih fokus pada misi pembinaan calon-calon imam bagi Gereja Katolik terutama Keuskupan Agung Medan ini berhasil menanamkan semangat pendidikan berbasis nilai hidup, bukan sekedar nilai kertas.

Seminari

Hal ini terpatri dalam motto mereka:

Non Scholae sed Vitae Discimus

Kembali soal nilai. Pertanyaan sederhana yang masih belum mendapatkan jawaban final hingga saat ini dari teman masa kecil saya, terbersit kembali:

“Ho ma jo. Husukkun ma ho. Aha do sabotulna tujuanni parsikkolaan. Aha do guna ni sikkola”?

Jawabannya bisa beragam jika ditujukan kepada masing-masing orang. Saat ini, ada zaman dimana seorang anak Indonesia bahkan lebih hafal karakter manga Jepang dan lebih mahir menggunakan seabrek aplikasi di mobile device daripada “rasa keindonesiaan” yang dirumuskan dalam IPolEkSosBudHanKam, hampir pasti  bahwa butuh komunikasi yang lebih intens untuk menyambungkan generasi baby boomer, Gen Y dan gen X yang melek digital ini.

Buat saya: Komunikasi NILAI.

Ketika hampir semua informasi bisa diakses dari mana saja, hanya ada ruang “kecil” bagi nasihat, anjuran, petuah, etika dan norma (yang dulu adalah harga mati) untuk mereka dengarkan.

Misalnya: Seorang anak tidak lagi perlu disuruh menghafal “Katekismus Na Metmet” untuk dianggap lulus test “sikkola minggu” dan ikut bilangan orang dewasa. Kemungkinan mereka tidak akan mau lagi. Alih-alih memaksa mereka untuk takut akan Tuhan (fear of God) dan perintahNya, mereka punya senjata karena berteman dengan Google (friend of Google), yang bahkan lebih bermurah hati memberi mereka jawaban atas banyak hal dalam tempo yang lebih cepat dari si God; bahkan tanpa perlu berdoa pula.

Sebagian teman tidak lagi mengamini pesan di gambar ini; mereka menyatakan yakin bahwa Google lebih berkuasa daripada “imaginary” God.

 

Ruang kecil yang dimaksud adalah Anda sendiri yang harus MENUNJUKKAN kepada mereka bahwa si God jauh lebih berkuasa daripada Google (mudah-mudahan Larry Page, Sundar Pichai dan Sergey Brin tidak besar kepala jika membaca ini). Menunjukkan berarti anda tidak sendiri yang MELAKSANAKAN NILAI itu terlebih dahulu. Pun tidak ada jaminan bahwa mereka akan segera menangkap nilai yang Anda coba tanamkan. Tetapi setidaknya sebagian, iya.

Seperti postingan reflektif dari Yasa Singgih yang saya peroleh dari sebuah group milis ini.


Saya tidak terlahir di keluarga yang sangat kaya, namun juga tidak berasal dari keluarga yang susah. Keluarga kami berkecukupan & sederhana. Tapi saya akui bahwa saya berasal dari keluarga yang menurut saya sangat kaya akan nilai nilai kehidupan.

Papa saya adalah seorang karyawan dengan segudang aktivitas sosialnya yang sangat padat, beliau aktif membangun Yayasan Sutra Bakti yaitu sebuah Yayasan Sosial yang bergerak di bidang pemberdayaan ekonomi desa, program bedah rumah bagi warga kurang mampu di berbagai daerah & bantuan kesehatan untuk orang tidak mampu yang sedang sakit. Mama saya adalah seorang karyawan teladan sekaligus Ibu Rumah Tangga yang sangat luar biasa, beliau rutin memasak Indomie setiap hari Minggu untuk ketiga anaknya. Mereka bukan orang tua yang sempurna, namun mereka orang tua yang terbaik bagi anak-anaknya.

Ada satu kejadian yang tidak akan saya lupa seumur hidup saya. Yaitu kejadian saat saya masih duduk di bangku sekolah dasar, kalau tidak salah saat kelas 3 SD. Dari TK sampai dengan SD, saya selalu mendapatkan juara kelas. Sering kali mendapatkan juara 1 dan beberapa kali mendapatkan juara umum yang membuat saya dibebaskan dari biaya uang sekolah. Disaat banyak anak lain takut mengambil raport, saya tidak pernah takut. Saya yakin saya pasti dapat juara lagi.

Pun pada saat mendapatkan juara, saya tidak bergembira berlebihan. Biasa saja. Disaat teman saya mendapatkan hadiah disaat ulangannya mendapat nilai bagus, saya hanya mendapatkan semangkuk bakmie & segelas es cendol atas hadiah kerja keras sepanjang tahun menjadi juara 1 di kelas.

Sampai suatu hari momen tak terlupakan sepulang ambil rapot di mobil bersama Papa saya. Beliau bertanya seperti ini, “Hari ini kamu dapet juara 1 lagi ya?”

Dengan santai saya jawab, “Iyaaa Pa…”

Lalu Papa saya melanjutkan, “Sebenernya Papa ngga pernah minta apalagi maksa kamu untuk jadi Juara 1 di sekolah”.

Mendengar itu saya hanya terdiam saja.

Papa melanjutkan, “Iya, sebenernya kalo buat Papa nilai 6 atau 7 juga udah cukup, yang penting naik kelas aja supaya kamu ngga rugi waktu. Tapi kalo kamu ngga naik kelas pun Papa ngga akan marah, kamu cuma rugi waktu, Papa rugi uang. Tapi kamu bisa dapet temen lebih banyak lagi. Sekolah itu intinya bukan nilai di atas kertas, karena ngga semua nilai di atas kertas bisa kamu gunakan di kehidupan. Di sekolah kamu belajar lalu kamu dapet ujian tapi di kehidupan kamu dapet ujian lalu belajar dari ujian tersebut. Sekolah tetep penting, tapi esensi dari sekolah adalah pendewasaan diri. Ibaratnya SD itu kamu masih di aquarium, nanti SMP kamu lompat ke kolam ikan, SMA kamu lompat ke danau, kuliah kamu lompat ke lautan dan begitu seterusnya kamu akan lompat ke dunia yang lebih besar. Jadi, yang penting itu di sekolah kamu harus punya banyak temen dan bergaul yang pintar. Kalo ada temen kamu di sekolah yang dimusuhin, kamu harus temenin dia. Kalo ada temen kamu yang ngga bisa bergaul, bantu dia bergaul. Tolong orang sebanyak-banyaknya, baik dan ramah sama semua orang maka suatu hari kamu pasti ditolong baik sama mereka” begitu kata Papa saya.

Mendengar nasehat tersebut, saya hanya diam saja sambil menganggukkan kepala. Pada saat itu saya belum bisa mencerna nasehat tersebut dengan baik. Saya hanya menangkap bahwa saya harus jadi orang baik dan pintar bergaul sama banyak orang. Itu saja. Selebihnya saya tidak menangkap maksud Papa saya. Namun, memang setelah nasehat tersebut hidup saya berubah. SMP – SMA saya tidak sepintar saat SD lagi, karena saya merasa pintar dalam sosial jauh lebih penting daripada pintar secara akademis. Apalagi banyak pelajaran yang saya tidak suka. Masuk ke kuliah, saya tidak sebodoh saat SMP – SMA. Karena saya memilih jurusan yang saya suka, maka saya tidak kesulitan untuk menjadi mahasiswa yang pintar secara akademis dan juga sosial.

Mungkin disaat usia saya 20 tahunlah saya baru benar benar mengerti seluruh nasehat yang Papa saya berikan pada sata beberapa tahun yang lalu. Disaat – saat inilah saya baru menangkap apa yang diajarkan oleh Papa Mama saya selama ini tentang kehidupan secara tidak langsung.

Dari kecil, saya dan kakak-kakak saya dibesarkan dengan gaya hidup yang sederhana. Keluarga kami terbiasa makan nasi uduk di kaki lima ataupun nasi goreng tek tek di pinggir jalan. Makanan favorit keluarga kami adalah Nasi Goreng Bang Jen di Cipulir atau Nasi Uduk Favorit di Tangerang. Bagi kami kedua makanan tersebut jauh lebih nikmat dibanding restoran manapun. Kami diajarkan untuk tidak membeli barang yang harganya berlebihan & kami diajarkan untuk makan di tempat yang sewajarnya disaat punya uang sekalipun.

Papa Mama saya tidak pernah bertanya kepada saya, “Yasa, gimana ulangan MAT kemaren?” sepulang sekolah.

Pertanyaan yang mereka tanyakan adalah:

“Ada yang seru ngga di sekolah hari ini?”

“Yas, kamu udah punya pacar belom sih? Ada yang cakep ngga?”

“Siapa guru yang ngajarnya paling enak?”, “Siapa temen yang baik di sekolah?”

Bahkan sebuah peraturan unik dibuat oleh Papa saya, kalau saya punya pacar maka saya ditambahkan uang jajan katanya. Hal unik berikutnya, orang yang pertama kali memberikan saya kesempatan mencicipi rokok adalah Papa saya. Orang yang pertama kali memberikan saya kesempatan mencicipi alkohol pun juga Papa saya. Namun anehnya, sampai hari ini saya bukan dan tidak pernah menjadi perokok dan bukanlah peminum alkohol.

Akibat hal tersebut, saya menganggap esensi pendidikan bukanlah sekedar nilai diatas kertas. Sangat disayangkan jika orang tua menuntut anak berdasarkan nilai diatas kertas, bukan proses pembelajaran dari setiap kejadian. Alhasil, anak hanya fokus pada hasil tanpa memperhatikan proses pembelajaran. Apa yang didapat? Nol besar. Orang tua juga sering kali memaksakan kehendak dirinya pada anak, bahkan ada juga yang meminta anak punya mimpi yang sama dengan dirinya tanpa memperdulikan hasrat sang anak. Saya masih ingat di akhir SMA disaat rata rata teman saya sedang bingung memilih jurusan apa yang paling bagus atau jurusan apa yang paling cepat dapat kerja, Papa Mama saya tidak menyarankan apa apa selain, “Pilih yang kamu nikmat ngejalaninnya…”

Saya juga bersyukur keluarga saya mendidik saya dengan gaya hidup yang sederhana, secara tidak langsung saya diajarkan untuk menjadi anak yang siap hidup dalam segala situasi. Papa Mama saya mengajarkan saya etika yang baik saat berada di tempat yang mewah, namun mengajarkan saya untuk siap jika suatu saat hidup sedang berada di posisi yang keras. Saya dibentuk untuk menjadi anak yang siap kaya namun juga siap miskin. Saya belajar bahwa kualitas diri manusia tidak dinilai dari apa yang ia kenakan di luar, melainkan dari apa yang ada di dalam dirinya. Dari begitu banyaknya kegiatan sosial yang dijalankan oleh Papa saya, saya juga belajar banyak bahwa untuk memberikan dampak buat banyak orang tidak perlu menunggu menjadi orang yang mampu melainkan kita hanya perlu menjadi orang yang MAU. Dari kesederhanaan Mama saya, saya belajar bahwa anak tidak bangga pada orang tuanya yang tampil cantik ataupun terlihat kaya, melainkan kepada orang tua yang mampu mendidik anaknya menjadi manusia yang lebih beradab dan beretika.

Sedikit pesan untuk para orang tua. Tugas utama orang tua bukanlah memberikan uang, anak tidak butuh uang. Orang tua adalah pendidik, yang harusnya menciptakan manusia berkualitas, beretika, bernilai, berdaya yaitu anaknya. Untuk mendidik anak seperti itu, butuh waktu, butuh kasih sayang, butuh moral, butuh nilai nilai kehidupan, bukan uang. Tidak perlu sibuk mencari uang agar dapat meninggalkan warisan uang yang banyak untuk anak, jika orang tua mendidiknya dengan benar maka anak itu dapat menciptakan uang jauh lebih banyak daripada jumlah yang orang tua harapkan. Anak adalah cerminan orang tua. Kebanggaan terbesar orang tua adalah saat anaknya berhasil menjadi manusia yang berkualitas, berdaya dan bermanfaat.

Pesan untuk anak, tidak semua orang tua mampu mengajarkan pendidikan moral ataupun nilai nilai kehidupan secara langsung. Namun ketahuilah bahwa perjuangan orang tua kita begitu luar biasa, intensi mereka begitu baik untuk masa depan anaknya. Kita tidak perlu mencari motivasi hidup di luar sana, belajarlah dari perjalanan kehidupan orang tua kita berusaha menghidup kita. Saya yakin ada sebuah cerita inspiratif yang kita temukan disana. Orang tua selalu menginginkan yang terbaik untuk anaknya, namun belum tentu yang diinginkan orang tua juga diinginkan anak. Maka yang dibutuhkan adalah komunikasi yang baik dan terbuka. Orang tua harus mampu memberikan kepercayaan & anak harus mampu bertanggung jawab atas kepercayaan yang telah diberikan.

Dan cara terbaik untuk membangun hubungan yang baik antara orang tua dan anak adalah menginvestasikan WAKTU masing masing untuk saling terbuka & dihabiskan bersama.

Saya bersyukur atas semua nilai kehidupan yang orang tua saya ajarkan pada saya. Itulah yang menjadikan Yasa Singgih pada hari ini. Apabila suatu saat saya menjadi orang yang sukses, apresiasi tertinggi hanya pantas diberikan untuk orang yang menjadikan saya seperti hari ini yaitu Papa Mama saya. Bersyukurlah bukan karena kita terlahir di keluarga yang kaya, namun bersyukurlah karena kita terlahir di keluarga yang penuh nilai nilai kehidupan.

Jika suatu saat nanti mereka tiada, saya tidak akan meminta warisan berbentuk materi apapun dari mereka. Seluruh pelajaran kehidupan yang mereka berikan selama ini, sudah lebih dari cukup.

Don’t try to become a man of success.

Just try to become a man of value.

Success will follow you.

Cinta saya untuk Papa Mama,
Yasa Singgih
14 Juni 2016


Saat ini Yasa Singgih aktif menjadi pembicara di vihara-vihara. Sementara saya dan beberapa teman lebih memilih untuk nongkrong dan mencoba menyambungkan asa yang terlanjur tertanam di kelompok kecil kami bahwa melewatkan momen bersama itu sangat penting, kendatipun betapa sibuknya.

Kendatipun masing-masing tahu: “This too, shall pass“.

Semmen