Tips Menghindari Gosip dari Socrates

Semakin lama, media sosial terasa semakin toxic.

Padahal, namanya media sosial kan mestinya adalah sarana untuk berinteraksi dengan orang lain sebagai sesama, sebagai teman (socius-i, Lat. berarti “teman”). Niat awal membuka akun digital social media mengenal semakin banyak orang, dan mendapat semakin banyak teman.

Tetapi kenyataan di lapangan berkata berbeda. Lihat saja. Terjadi polarisasi dan perseteruan dimana-mana. Ada terlalu banyak ghibah dan skandal.

Media sosial juga membuat kita lebih mudah minder. Iklan, propaganda dan hasutan dalam berbagai bentuk akhirnya berhasil membuat kita menyerah: kita akhirnya membandingkan diri sendiri dengan orang lain.

Dalam banyak hal.

Mulai dari yang menempel di tubuh (pakaian, perhiasan, kekayaan materi) sampai yang akan menempel di nisan nanti (nama besar, gelar, cerita kesuksesan).

Akhirnya susah berhenti mendengarkan omongan orang lain. Kemudian merasa kebanjiran sampai kelelep saking bayaknya informasi di media sosial. Kemudian menjadi cemas dengan diri sendiri. Jadinya melihat orang terus. Kemudian ingin belajar dari orang lain supaya bisa menjadi seperti mereka. Eh, tapi kok malah jadi semakin minder ya.

Padahal, kalau kita mau berhenti sejenak mengambil jarak dari keriuhan di media massa dengan tren silih berganti ini, sangat mungkin kita menemukan pola yang berulang. Atau setidaknya jadi tahu bahwa tren yang kita rasa ombak besar, ternyata hanya riak kecil, artinya tak perlu kita ikuti.

Dengan mengambil jarak sebentar, entah dengan cara puasa media sosial pada hari libur, atau dengan mengambil waktu 5 menit sebelum tidur untuk melakukan consideratio status, kita bisa melihat dengan jelas kekotoran dan toksisitas di dalamnya.

Ini beberapa temuan sederhana toxicity yang kumaksud …

  • Standar hubungan (segala jenis relationship) atau pasangan (romantic couple)
  • Informasi yang salah atau kurang lengkap
  • Postingan yang sama sekali tidak mengindahkan netiquette sedikit pun dengan dalih #shitpost atau #menfess.
  • Maksud mengedukasi tetapi isinya kurang lengkap, terlalu dangkal dan menimbulkan kesalahpahaman atau malah memang disengaja menyesatkan (ini jenis clickbait versi legend)
  • Harusnya media sosial itu untuk memerdekakan hati, tapi yang didapat malah sebaliknya.
  • Dulu ber-Wiki-ria satu jam saja rasanya indah sekali, sebab bisa mengakses banyak informasi. Sekarang, scrolling berjam-jam, bahkan berhari-hari di media sosial, tetapi rasanya kok tidak ada pengetahuan atau skill yang bertambah.
  • Berusaha ingin mengatasi insecurity dengan berusaha keras keep in touch dengan teman-teman yang jauh lebih sukses diatas kita (sebab kita kadung menelan mentah-mentah motivasi ala postingan quotes Instagram “surround yourself with successful people“) , terus juga mau usaha biar bisa. Tetapi ekspektasi selalu ditampar oleh kenyataan.

 

Lalu mulai sadar. Ternyata tergantung algoritma juga ya. Akun atau topik apa yang kita ikuti. Platform mana yang aktif kita gunakan. Bagaimana sikap mental kita menyikapinya. Media sosial rupanya ibarat pisau dapur. Bisa digunakan untuk memotong sayur, cabe tetapi juga bisa digunakan untuk melukai bahkan membunuh orang lain.

Bagaimana caranya supaya kita terhindar dari gosip dan informasi lain yang tidak perlu?


Ternyata ada cara sederhana. Filsuf tua kita, Socrates, yang mengajarkannya.

Untuk menghindari ghibah dan gosip di media sosial dan berinteraksi tanpa toxicity, kita bisa melakukannya dengan menerapkan triple filter test.

Apa itu Triple Filter Test?

Sederhananya, sebelum ngomong atau menyebarkan informasi, periksa terlebih dahulu.

Goodness – Usefullness – Truth

Benarkah informasinya benarkah? Sesuaikah perkataan dan kenyataan? Faktual atau tidak?

Hal yang disampaikan, baik atau tidak?

Adakah manfaat yang kita dapat dari membahas atau melihat informasi ini?

Kalau jawaban dari salah satu, salah dua atau ketiganya adalah tidak, maka lebih baik hindari dan tidak perlu disebar ke orang lain. Jadi, itu kriterianya ya. BAIK – BERGUNA – BENAR.

 

 

Hambatan Komunikasi di Media Sosial

“Kok bisa ya. Teknologi komunikasi semakin maju, kok rasanya semakin kesini semakin susah ngobrol nyambung sama rangorang”?

Begitu salah satu komentar dari teman pada diskusi suatu waktu.

Relate?

Kupikir iya. Teknologi digital seharusnya membuat komunikasi lebih mudah, lebih cepat dan lebih baik. Tetapi mengapa tidak terjadi begitu, malah lebih sering sebaliknya?

Kalau begitu, mesti ada hambatan, baik antara kamu dengan orang terdekatmu, keluarga atau “si doi” (internal) maupun dengan pihak ketiga (eksternal). Hal serupa juga berlaku secara internal antara rekan kerja dan secara eksternal dengan orang-orang yang perlu kamu jangkau dengan pesan organisasi tempatmu berada.

Hambatan inilah yang mengganggu kemampuanmu untuk menyampaikan apa yang kamu maksudkan melalui email, obrolan, teks, papan diskusi, aplikasi, media sosial, situs web, dan saluran online apa pun.

Mari kita lihat apa saja hambatan itu.

#1. Hambatan fisik

Hambatan fisik menghadirkan tantangan yang berbeda untuk komunikasi offline versus online. Teknologi telah membantu mengurangi dan bahkan mengatasi jarak, memungkinkan orang berbagi informasi tanpa perlu bertemu di kehidupan nyata. Tapi, hambatan fisik bukan hanya soal jarak, melainkan juga waktu, tempat dan media.

Waktu menjadi penghalang jika kamu tidak memiliki cukup waktu dalam sehari untuk menanggapi email, memperbarui situs webmu atau membuat konten untuk saluran lain, dan jika kamu berbagi informasi tetapi orang-orang tidak mendengarkan. Misalnya: kamu ingin berbagi konten materi lewat Zoom yang sudah kamu persiapkan presentasinya dengan baik, tetapi sayangnya ketika kamu berbicara orang-orang tidak mendengarkan.

Tempat menjadi penghalang jika kamu mencoba berkomunikasi dengan orang-orang di saluran yang belum mereka gunakan, atau tempat mereka tidak menerima informasi yang kamu coba bagikan. Misalnya: kamu ingin berbagi tautan tulisan yang sudah kamu racik dengan telaten di Tumblr, tetapi ternyata teman-temanmu tidak bisa membuka pesanmu karena situs tersebut sudah tidak bisa diakses secara wajar di Indonesia.

Media adalah penghalang jika alat komunikasi digitalmu gagal berfungsi seperti yang diharapkan, seperti jika algoritme menyembunyikan pesanmu atau jika orang yang perlu kamu hubungi tidak memiliki akses. Misalnya: kamu tertarik menonton sebuah video yang bagus di sebuah halaman Facebook, tetapi sayangnya temanmu di negara lain tidak bisa membukanya karena kebijakan pemilik aplikasi.

#2. Hambatan emosional

Hambatan emosional atau psikologis mungkin merupakan hambatan komunikasi yang paling umum, baik digital maupun komunikasi langsung secara tatap muka.

Sampainya pesanmu bukan hanya soal terkirim atau tidak, tetapi juga soal diterima atau tidak. Orang yang menjadi alamat pesanmu juga harus mau mendengarkan dan percaya, dan membuat keputusan yang baik. Keyakinan, sikap, dan nilai individu yang mereka miliki memiliki pengaruh yang kuat terhadap cara mereka memproses informasi yang kamu bagikan.

Itulah sebabnya orang dapat dengan mudah salah menafsirkan komunikasi digital, yang seringkali tidak mencakup infleksi vokal, nada suara, ekspresi wajah, bahasa tubuh, atau jenis isyarat visual atau audio lainnya yang diandalkan orang untuk memahami makna emosional. Karena manusia adalah makhluk emosional, kamu tidak dapat menghilangkan emosi dari komunikasi. Emosi dapat membantu penyebaran pesan.

Maka, sebelum kamu menekan tombol kirim, publikasikan, posting atau tweet, jeda untuk mengevaluasi motivasi emosional dari apa yang akan kamu komunikasikan.

Periksa keadaan emosimu saat ini, pertimbangkan apakah perasaanmu secara tidak sengaja mengubah pesanmu, dan tinjau kontenmu untuk menemukan sesuatu yang tidak pada tempatnya.

Selanjutnya, tingkatkan empatimu. Bayangkan orang yang ingin kamu ajak berkomunikasi dan pikirkan tentang respons emosional seperti apa yang ingin kamu: apakah ada bagian dari pesanmu yang dapat disalahartikan.

#3. Hambatan identitas

Hambatan identitas yang ada di masyarakat dapat menjadi bagian atau diperkuat oleh upaya komunikasi digital. Hambatan ini dapat mencakup jenis kelamin, ras, etnis, orientasi seksual, kelas, usia, kecacatan, status veteran, atau identitas pribadi, sosial, atau budaya lainnya. Hambatan identitas dapat menyebabkan miskomunikasi dan kesalahpahaman, serta kesalahpahaman tentang orang dan gagasan mereka. Bahkan jika kamu tidak secara sadar membangun penghalang identitas, mereka dapat menyerang pesanmu dan caramu berkomunikasi.

Siapa yang menulis konten onlinemu, siapa yang menjalankan webinarmu, siapa yang kamu kutip dalam artikel, siapa yang kamu tunjukkan dalam foto dan video, yang ceritanya kamu ceritakan, siapa yang mengumpulkan dan menganalisis datamu, di mana kamu berbagi, siapa yang kamu ikuti serta libatkan secara online; semua ini dapat memperkuat atau mengurangi hambatan identitas ini.

Maka, untuk meminimalkan hambatan identitas, ambil langkah-langkah menuju komunikasi digital yang lebih inklusif. Kumpulkan umpan balik tentang bagaimana saluran komunikasi digital, konten, dan pendekatanmu dapat mendorong hambatan identitas. Tinggalkan asumsimu dan dengarkan orang, subkultur, dan komunitas yang pengalamannya berbeda denganmu. Rekrut dan kenali lebih banyak jenis orang sebagai pembuat digital, pembawa pesan, dan pemberi pengaruh. Berusahalah untuk memahami norma, nada, dan saluran yang digunakan berbagai kelompok orang untuk berkomunikasi, dan sesuaikan pendekatan komunikasi digitalmu untuk bertemu dengan mereka di mana mereka berada.

#4. Hambatan semantik

Hambatan semantik adalah tentang perbedaan interpretasi kata dan simbol yang digunakan untuk berkomunikasi. Bisa jadi orang yang berbicara dalam bahasa atau dialek yang berbeda, memiliki kemampuan bahasa yang terbatas, tidak memiliki banyak pengetahuan tentang suatu masalah, atau menggunakan kata dan simbol dengan cara yang berbeda darimu.

Potensi ambiguitas semantik sangat kuat terutama dalam komunikasi digital di mana tagar yang sedang tren, meme yang terbang cepat, dan emoji masing-masing dapat menyampaikan ide yang kompleks dan berkembang, menumbuhkan solidaritas melalui pemahaman bersama, namun mengecualikan orang yang tidak memahami maknanya.

Hal yang sama berlaku untuk jargon, slang, akronim, dan bahasa yang terlalu kompleks, yang penggunaannya cenderung menciptakan penghalang antara mereka yang mengerti dan yang tidak. Komunikasi digital yang efektif tidak dapat terjadi jika pengirim dan penerima tidak memiliki pemahaman yang sama tentang pesan yang dimaksud. Sekalipun orang berbicara dalam bahasa yang sama, konteks, budaya, atau faktor lain seseorang juga dapat mengubah arti kata dan simbol serta menciptakan perbedaan pemahaman.

#5. Hambatan aksesibilitas

Hambatan aksesibilitas sering kali diabaikan dalam upaya menuju komunikasi digital. Komunikasi digital hanya efektif jika orang dengan semua kemampuan dapat mengakses dan memahami informasi.

Organisasi yang melayani masyarakat memiliki kewajiban untuk berkomunikasi secara efektif dengan penyandang disabilitas komunikasi. Foto, grafik, emoji, streaming langsung, webinar, podcast, PDF, video, dan format audio dan visual lainnya sekarang menjadi bagian penting dari cara orang dan organisasi berkomunikasi secara online. Namun, setiap format konten ini dapat mencegah sebagian orang mengakses informasi.

Mengatasi hambatan aksesibilitas komunikasi digital membutuhkan lebih dari sekadar memberi teks video dan menambahkan deskripsi ke gambar, meskipun keduanya penting untuk dilakukan. Informasi harus dapat diakses oleh orang-orang dengan gangguan penglihatan, pendengaran, motorik atau kognitif, atau gangguan lain yang dapat mempengaruhi komunikasi dan pemahaman.

#6. Hambatan perhatian

Hambatan perhatian adalah ketika orang melewatkan apa yang kamu katakan karena mereka teralihkan dari fokus penuh pada pesanmu. Saat kamu mencoba berkomunikasi dengan orang-orang saat mereka menggunakan komputer, tablet, ponsel cerdas, atau perangkat lain, kamu sebenarnya sedang bersaing untuk mendapatkan perhatian mereka dengan gangguan online dan dunia nyata.

Orang mudah lelah dengan informasi yang berlebihan, dengan sedikit perhatian tersisa. Mereka juga akan bingung jika kamu memberi mereka terlalu banyak detail atau opsi, atau jika mereka tidak dapat dengan mudah menemukan informasi yang relevan dengan kebutuhan unik mereka. Mereka mungkin ingin memperhatikan pesanmu, tetapi bos mereka berteriak, anak mereka menangis , ayam berkokok di pekarangan rumah atau telepon mereka berdering.

Sulit untuk menembus kebisingan dan mengatasi hambatan perhatian untuk komunikasi online. Saat berkomunikasi secara digital, kamu mungkin tidak tahu apakah audiensmu memperhatikan. Inilah mengapa mengukur dampak komunikasimu sangat penting — dan sangat menantang.

#7. Hambatan kredibilitas

Hambatan kredibilitas mengganggu komunikasi digital saat orang tidak dapat mempercayai pesan, pembawa pesan, atau keduanya. Pada saluran digital, mudah untuk menemukan pesan di luar konteks, menganggap pembawa pesan bias, atau memaksakan arti yang berbeda dari yang dimaksudkan dalam tweet 280 karakter atau email yang ditulis terburu-buru.

Orang dapat memanipulasi kehadiran digital mereka agar tampak seolah-olah mereka adalah otoritas atau pemberi pengaruh, meskipun mereka tidak memiliki kredensial atau pengikut untuk mendukung klaim tersebut. Orang-orang juga masih tertipu oleh gambar-gambar yang diedit dan ditipu oleh orang iseng, sementara audio dan video yang dimanipulasi (alias deepfakes) menjadi masalah serius.

Orang-orang mengandalkan perusahaan teknologi untuk memverifikasi akun, memblokir pengirim spam, memblokir peretas, melindungi privasi, dan mencegah orang lain berpura-pura menjadi orang lain – tetapi belakangan ini perusahaan-perusahaan ini menunjukkan bahwa mereka tidak sanggup melakukan tugas itu.

Orang-orang semakin mempertanyakan apakah informasi yang mereka dapatkan melalui saluran digital dapat dipercaya dan khawatir tentang seberapa aman berpartisipasi dalam percakapan online. Saat orang-orang kehilangan kepercayaan pada kemampuan perusahaan teknologi untuk mengawasi platform mereka dan melindungi penggunanya, kita yang mengandalkan saluran ini untuk berkomunikasi perlu mengembangkan kepercayaan dari audiens kita.

Selamat berkomunikasi!


Disempurnakan dari DotEdu

“Jejak Digital Tidak Bisa Dibohongi” – 10 Netizen Etiquette Dasar yang Wajib Kamu Pahami

Ada jargon yang akhir-akhir ini semakin sering disebutkan orang ketika seorang yang dipuja dan dikagumi ternyata memiliki catat atau terlibat skandal, yakni:

Jejak digital tidak bisa dibohongi


Aturan etiket di dunia maya sama pentingnya dengan etiket di dunia nyata. Di dunia maya, kita mengenal “netiquette”, singkatan dari sekaligus dua isitilah yang saling terkait, yakni netizen etiquette dan network etiquette.

Netiket adalah cara berkomunikasi atau etiket sebagai pengguna di dunia online atau internet.

Melanggar netiket bahkan bisa membawa sanksi yang lebih lama menghantuimu dibandingkan pelanggaran etiket di kehidupan nyata. Hal ini bisa dipahami sebab jika di kehidupan nyata, saksi langsung atas pelanggaran etiket yang kamu lakukan umumnya terbatas; sementara jika itu terjadi di dunia maya yang bisa diakses oleh siapa saja, bukan perkara mudah untukmu menerima sanksinya.

Mari kita mengandaikan bahwa kamu sudah memahami basic manners atau perilaku dasar yang perlu dalam kehidupan nyata. Sekarang, yuk kita lihat satu persatu netiket yang perlu kamu pahami supaya kamu tidak menghancurkan hubunganmu dengan orang lain (bahkan juga hubunganmu dengan dirimu sendiri) baik di dunia nyata maupun maya; supaya kamu bisa melindungi reputasi dan martabatmu.

Kapanpun kamu login di akun media sosial, aplikasi chatting atau berselancar di lautan internet ini, pahami dan ingatlah 10 (sepuluh) netiket dasar ini.


#1: Prioritaskan Manusia yang Nyata Hadir di Sampingmu

Tidak ada yang lebih menjengkelkan daripada mencoba menciptakan percakapan dengan seorang manusia yang tanpa hentinya sibuk dengan handphone, tablet atau gawai elektronik lainnya. Apalagi jika orang itu adalah teman kencan, pasangan, anak atau orangtua. Jika kamu merasa jengkel dalam situasi seperti itu, maka jangan lakukan hal serupa sebab orang lain pun akan merasakan kejengkelan yang sama.

Jika kamu terus-menerus mengecek email, voicemail atau pesan “japri” di Facebook ini berarti kamu mengirimkan pesan kepada orang di samping atau sekitarmu bahwa kamu tidak perduli dengan mereka. Sangat tidak enak rasanya jika harus duduk dengan seseorang yang terlihat sibuk dalam percakapan yang tidak melibatkanmu.

Maka, jika orang lain mencoba berbicara denganmu ketika kamu membuka HP, tablet atau komputer, hentikanlah sebentar dan dengarkan mereka. Ketika orang lain berbicara, dengan kamu melihat dan menunjukkan wajahmu kepada mereka, itu berarti kamu sungguh mendengarkannya. Apapun yang terjadi di dunia maya umumnya bisa kamu tunda, kamu bisa melihatnya nanti. Kecuali kalian sudah sepakat bahwa kamu menggunakan HP-mu untuk mencatat apa yang mereka katakan.

Prioritaskan orang lain di tempat dan fasilitas publik seperti rumah makan, warung, lift dan perpustakaan. Kamu bisa melakukan ini dengan tidak menggunakan HP untuk bertelepon ketika berada di ruang bersama (shared spaces), atau dengan menonaktifkan bunyi notifikasi.

Ketika kamu hendak berkomunikasi secara elektronik, entah mau mengirim email, direct message (pesan instan), nimbrung dalam percakapan atau diskusi online, mengirim pesan, atau sejenisnya; sementara ada orang lain di sampingmu, praktekkanlah Aturan Dasar (Golden Rule) ini:

Perlakukanlah orang lain sebagaimana kamu ingin diperlakukan.

#2: Gunakan Bahasa yang Pantas

Mengejek, memaki dan melontarkan opini yang jelas menyerang orang lain – kalau kamu tidak ingin ada orang yang melihat kalimatmu dengan nada ini, maka jangan tulis. Hal ini berlaku di situs-situs media sosial, forum, room chat dan percakapan email. Menurutmu postinganmu tidak bisa dilacak? Bisa.

Melakukan penyalahgunaan verbal seperti ini secara online bisa membuatmu diusir (banned) dari group sosialmu. Setidaknya, apa yang kamu ungkapkan akan dihapus.

Ingatlah bahwa apa bukan hanya apa yang kamu ungkapkan yang bisa dianggap tidak pantas, tetapi juga caramu mengungkapkannya. Sebagai contoh, jika kamu mengetik dengan semua karaktek huruf kapital secara umum orang akan menganggap kamu seperti sedang berteriak. Entah dengan menggunakan huruf kapital sesuai Pedoman Umum Ejaan Berbahasa Indonesia (PUEBI) atau menggunakan huruf kecil saja, pokoknya jangan menggunakan caps lock.

Jangan lupa mengucapkan “minta tolong” dan “terima kasih” sebagaimana biasanya. Jika kamu terlanjur mengeluarkan bahasa yang tidak pantas dalam kalimat atau bahkan hanya sekedar GIF dan sticker, segeralah menghapusnya dan meminta maaf.

#3: Timbang sebelum Berbagi

Share with Discretion

Jangan mengirimkan foto atau gambar bugil atau mengepos gambarmu sendiri atau orang lain yang sedang menggunakan alkohol, obat-obatan terlarang atau informasi lain terkait kehidupan privatmu secara daring (online). Mengapa? Sebab begitu gambar atau pernyataan itu kamu kirimkan ke internet, informasi itu akan berada disana selamanya, bisa diakses orang.

Bahkan ketika kamu mencoba untuk menghapus postingan seperti ini kemudian, seringkali sudah terlambat. Sudah banyak kasus dimana postinganmu bisa membuatmu mendatangkan sanksi dari sekolah, tempat kerja atau organisasi yang kamu ikuti, apalagi jika postinganmu bersifat diskriminatif.

Salah satu cara supaya kamu terhindar dari godaan untuk mengepos terlalu banyak informasi pribadi secara online adalah dengan terlebih dahulu bertanya: apakah ini akan membuat masalah antara kamu dengan atasan, orangtua atau anak-anak di masa depan? Jika jawabannya adalah iya, maka jangan ketik atau kirimkan.

Hal yang sama pula berlaku ketika kamu sedang bertelepon di tempat publik. Setiap kali kamu berbicara cukup keras, orang lain bisa nguping. Ini artinya, orang lain yang tidak berkepentingan pun jadinya memiliki akses terhadap informasi pribadi. Maka, jangan membagi secara berlebihan. Don’t overshare.

#4: Jangan Mengabaikan Orang Lain

Ketika kamu diabaikan, kamu akan merasakan emosi negatif bahkan bisa kehilangan kendali. Efek ini terjadi pada laki-laki dan lebih lagi pada wanita.

Jika ada lelucon yang ingin kamu bagikan, kirimkanlah melalui japri (jaringan pribadi). Selain itu, janganlah mengirimkan postingan yang kabur atau tidak jelas ke Facebook, forum atau Instastory karena ini mengesankan bahwa kamu sengaja mengesampingkan mereka dari apapun yang kamu katakan.

Hal yang sama berlaku ketika kamu menertawakan sebuah teks, meme di media sosial atau email ketika ada manusia lain di hadapanmu. Jika kamu memang tidak ingin membagikan apa yang sedang kamu tertawakan kepadanya, simpan untuk nanti.

Prinsip yang sama pentingnya juga harus kamu ingat ketika ingin memasukkan seseorang ke dalam group chatting atau group media sosial. Netiket yang baik mengharuskanmu untuk meminta izin terlebih dahulu kepada yang bersangkutan guna memastikan bahwa mereka setuju dengan tindakanmu.

#5: Pilihlah Teman secara Bijak

Terbuang dari daftar teman seseorang di media sosial bisa terasa sangat menghinakan. Maka, sebelum itu terjadi, pikirkan terlebih dahulu sebelum kamu mengirimkan permintaan pertemaan atau menerima undangan berteman. Jika kamu memang tidak ingin berinteraksi dengan orang tersebut dalam jangka waktu lama, netiket yang baik menganjurkan supaya kita tidak langsung menambahkan mereka sebagai teman.

Misalkan kamu ingin terhubung dengan seorang rekan kerja tanpa menambahkan mereka sebagai teman di Facebook, katakan kepada mereka bahwa kamu hanya menggunakan Facebook untuk teman dekat dan keluarga saja. Kamu bisa menyarankan supaya kalian terhubung di LinkedIn atau situs jejaring profesional lainnya.

Kekecualian dari netiket no 5 adalah jika kamu “berteman” dengan seseorang tetapi seiring berjalannya waktu, terjadi perselisihan diantara kalian. Dalam kasus seperti ini, sangat bisa dipahami jika akhirnya kamu memutuskan pertemanan jika hubungan kalian sudah sulit untuk diperbaiki. Bahkan itu lebih baik sehingga kamu tidak menyiksa dirimu sendiri atau orang yang bersangkutan jika kamu hubungan kalian putus-nyambung di media sosial.

#6: Hormati Privasi Orang Lain

Jangan meneruskan informasi yang dikirimkan kepadamu tanpa mengecek sumber asli pertama terlebih dahulu, sebab sekali kamu mengirimkan informasi yang salah apalagi bohong (sekalipun tidak sengaja), kamu bisa kehilangan kepercayaan selamanya.

Jika hendak meneruskan pesan email ke lebih dari satu orang, lebih baik gunakan fitur BCC (blind carbon copy) dibanding CC (carbon copy). Ini untuk menjaga privasi di antara para penerima emailmu.

Mungkin kamu berfikir “ah, semua kita yang di dunia maya ini kan berteman”, tetapi sadarilah bahwa tidak semua orang yang bersedia data pribadi atau alamat email mereka di-publish ke orang yang tidak mereka kenal.

Hal yang sama berlaku ketika mau mengunggah foto atau video secara publik yang menyertakan orang lain, atau men-tag seseorang.

#7 Cek Fakta sebelum Reposting

Riset tahun 2018 mengindikasikan bahwa di Facebook saja, terjadi lalu lintas misinformasi sejumlah 70 juta setiap bulan. Belum lagi di media sosial lainnya.

Jika kamu tidak yakin dengan fakta di balik sebuah kisah atau postingan media sosial, tanyalah ke teman yang tahu atau tahu caranya untuk mencari tahu. Atau, kamu sendiri melakukan riset di Google untuk menentukan apakah postingan itu benar atau scam belaka.

#8 Jangan Menebar Spam

Spam menunjuk pada berbagai bentuk pesan yang masuk ke akun kita tanpa kita minta (email, teks, atau pesan media sosial).

Hindari menebar spam supaya hubunganmu tetap baik. Jika ingin menyebarkan informasi ke kontakmu, selalu baik untuk bertanya terlebih dahulu sebelum mengirimnya.

#9 Tanggapi Email dan Pesan

Terutama jika berasal dari keluarga atau teman dekat, selalu bersikap responsif. Balaslah email atau pesan dari mereka begitu kamu ada waktu. Jika kamu butuh waktu untuk menanggapi secara lengkap, beritahu mereka.

Bahkan jika pesan ini menyiratkan sesuatu yang tidak ingin kamu campuri atau melibatkan diri, bersikap asertif itu baik. Katakan bahwa kamu tidak tertarik karena jika kamu diamkan saja kamu akan merasa tidak nyaman atau merasa bersalah, dan itu tidak baik.

#10 Perbaharui Status Onlinemu

Jika kamu tidak akan menggunakan sebuah media sosial untuk jangka waktu tertentu, beri tahu ke teman-temanmu.

Bagaimana Seharusnya Orang Kristen Menggunakan Media Sosial?

Paus ternyata memiliki akun Twitter.

Akun @Pontifex sendiri dibuat pada Februari 2012 pada masa kepemimpinan Paus Benediktus XVI dan dilanjutkan oleh penerusnya, yakni Paus sekarang: Paus Fransiskus. Sampai hari ini, 28 Agustus 2022, akun tersebut diikuti oleh sebanyak 19 juta pengguna.

Mengapa seorang pemimpin tertinggi Gereja Katolik menggunakan akun media sosial se”receh” Twitter? Bukankah seharusnya sebagai pemimpin tertinggi organisasi religius terbesar di dunia, seorang Paus akan dikecam banyak orang karena menggunakan Twitter?

Dengan segala macam konsekuensinya, ternyata hal ini sejalan dengan semangat pembaharuan (aggiornamento) Gereja yang sejak konsili Vatikan II antara lain secara tegas menyatakan bahwa: Gereja wajib menggunakan media sosial.

Apa? Orang Katolik atau orang Kristen wajib menggunakan media sosial?

Wajib. Setidaknya itulah yang diajarkan Gereja Katolik dalam Dekrit Konsili Vatikan II tentang Upaya Komunikasi Sosial (“Inter Mirifica”).

Dekrit ini sendiri adalah salah satu dari 16 dokumen yang dihasilkan oleh Konsili Ekumenis terbesar yang pernah ada tersebut. Terbesar karena sebanyak 2.908 pria (yang disebut para bapa Konsili) tercatat memiliki hak suara dalam konsili tersebut. Ekumenis karena sebanyak 17 gereja-gereja Ortodoks dan denominasi Protestan juga mengirimkan pengamat-pengamat mereka.

Bersama dokumen lainnya, Inter Mirifica secara jelas menghembuskan napas pembaharuan Gereja dalam berbagai bidang. Paus Paulus sejak awal sudah menggaungkan semangat itu pada Amanat Pembukaan 29 September 1963 yang menekankan kembali sifat Pastoral Konsili, dan menetapkan empat tujuan Konsili, yakni:

  1. untuk lebih mendefinisikan sifat dasar gereja dan tugas pelayanan para uskup;
  2. untuk memperbaharui gereja;
  3. untuk mengembalikan kesatuan di antara kaum Kristiani, termasuk meminta maaf akan kontribusi Gereja Katolik pada masa lampau terhadap perpecahan itu; serta
  4. untuk memulai dialog dengan dunia modern.

Kita kembali ke Inter Mirifica.

Pada artikel 3 tertulis:

Gereja Katolik didirikan oleh Kristus Tuhan demi keselamatan semua orang; maka merasa terdorong oleh kewajiban untuk mewartakan Injil. Karena itulah Gereja memandang sebagai kewajibannya, untuk juga dengan memanfaatkan media komunikasi sosial menyiarkan Warta Keselamatan, dan mengajarkannya, bagaimana manusia dapat memakai media itu dengan tepat.

Dalam bahasa sederhana, artikel ini memuat sekaligus dua kewajiban yang dimaksud:

  1. Kewajiban menggunakan media komunikasi sosial untuk mewartakan keselamatan
  2. Kewajiban untuk mengajar bagaimana menggunakan media komunikasi sosial dengan tepat.

Jika demikian, wajibkah semua orang Katolik atau orang Kristen memiliki HP dan menginstal aplikasi media sosial? Jika iya, sekarang ada ribuan aplikasi media sosial dan masih akan bertumbuh, yang mana yang harus diinstal dan digunakan, yang mana yang tidak perlu? Apakah ini berarti bahwa semua orang Kristen wajib memiliki akun Facebook, Instagram, Tiktok, Twitter dan sejenisnya?

Pertanyaan ini mungkin terdengar konyol dan receh bagi orang yang memahami atau setidaknya pernah membaca dekrit konsili tersebut.

Maka, pada kesempatan ini aku ingin mengajak kamu memahami apa pentingnya dokumen resmi Vatikan ini dalam bahasa sesederhana mungkin. Sehingga pertanyaan “receh” seperti ini atau pertanyaan serius lainnya yang kamu punya bisa terjawab.

Media Komunikasi Sosial bukan Sekedar Media Sosial

Gereja menggunakan istilah “Komunikasi Sosial”. Terlepas dari pemakaiannya yang kurang umum dibandingkan media massa atau media sosial, “Komunikasi Sosial” lebih tepat.

Mengapa? Karena seluruh komunikasi bersifat sosial;  namun belum tentu semua komunikasi itu bisa disebarluaskan kepada “massa”. Komunikasi antara dua pribadi yang sedang curhat, misalnya,  sudah dapat disebut sebagai komunikasi sosial. Padahal, sangat sering isi curhat itu tidak pantas disebarluaskan ke semua orang (publik/massa).

Meskipun sekarang kedua istilah ini dianggap sama, tetapi jika kita meletakkan keduanya pada makna aslinya, kita akan lebih memahami kewajiban orang Kristen menggunakan media sosial tadi.

Tanggung jawab dan tujuan positif dari Komunikasi Sosial tidak hanya ditanggung oleh seorang individu namun seluruh Gereja melalui berbagai tingkatan otoritasnya. Mengikuti kebijakan Dewan Kepausan ini, lingkup Gereja yang lebih spesifik (mulai dari tingkat keuskupan sebagai Gereja partikulir, paroki hingga lingkungan atau komunitas basis Gerejani) seharusnya gencar memperkenalkan pula kewajiban menggunakan MKS ini untuk berbagai misi Gereja.

Hari Komunikasi Sosial

Kewajiban menggunakan media komunikasi sosial (MKS) begitu penting hingga kemudian dua tahun setelah Konsili Vatikan II, Paus Paulus VI meresmikan Hari Komunikasi Sosial Sedunia untuk memberikan pesan tahunan Gereja kepada Gereja Katolik universal dan kepada seluruh dunia.

Tema Hari Komunikasi Sosial tahun 2022 ini adalah:

DENGARKANLAH


Kita kembali sebentar ke dokumen yang menjadi rujukan kewajiban menggunakan media komunikasi sosial ini, yakni Dekrit Inter Mirifica.

Inter Mirifica” dalam bahasa Indonesia berarti “diantara penemuan yang menakjubkan”. Penemuan mana yang dimaksud? Artikel 1 secara jelas menjawabnya, yakni:  Penemuan media komunikasi sosial: media cetak, sinema, radion, televisi dan sebagainya – yang mampu mencapai dan menggerakkan bukan hanya orang-orang perorangan, melainkan juga massa, bahkan seluruh umat manusia.

Saat dekrit ini ditulis dan dipromulgasikan (diundangkan) pada 4 Desember 1963 internet belum lahir. Namun, berdasarkan hakikat yang sama dengan media komunikasi yang sudah sebelumnya, internet dan berbagai media sosial di dalamnya adalah juga bagian dari media komunikasi sosial. Maka, patutlah kita mencari apa petunjuk yang diberikan Inter Mirifica perihal bagaimana seharusnya orang Katolik, orang Kristen dan seluruh manusia menggunakan media sosial.

Satu hal sudah jelas tadi, yakni: Gereja wajib menggunakan media sosial sebagai sarana pewartaan keselamatan. Mari kita telisik hal-hal lain tentang media sosial yang bisa digali dari Inter Mirifica.

 

Sejujurnya, sebagai awam, sangat pantas kita mengharapkan bahwa para Bapa Konsili merumuskan lebih banyak pandangan tentang masa depan. Sebab sebagai otoritas yang diakui Gereja Katolik, mereka terutama wajib untuk terus melatih diri “membaca tanda-tanda zaman”.

Sudah bukan saatnya lagi untuk mengabaikan peran media dalam kehidupan kita di dunia ini. Dalam sudut pandang itu, kita dapat menganggap bahwa Inter Mirifica adalah pembuka jalan bagi tahapan selanjutnya perihal bagaimana seharusnya orang – aku dan kamu – menjalani, mengalami dan menjelajah lebih mendalam realitas dunia media.

Moralitas dalam Media Sosial

Media sosial harus digunakan secara bermoral. Semua yang menonton, membaca atau mendengarkan media haruslah memiliki standar moral dan menaatinya. Begitu pula dengan semua pihak yang memproduksi, mendistribusikan dan membuat regulasi atas konten media. Semua keputusan terkait media haruslah didasarkan pada prinsip-prinsip moral, sebab segala media komunikasi dapat memengaruhi umat manusia secara positif maupun negatif.

Tujuan tertinggi dalam bermedia ialah untuk mengungkapkan kebenaran.

“Kebenaran ada banyak, kebenaran yang mana?”, mungkin muncul pertanyaanmu. Kamu tidak salah. Sebab tentu saja kita tidak bisa menutup mata terhadap pengalaman sehari-sehari dibombardir dengan pengaruh dari kombinasi paham dan situasi yang sangat membingungkan dewasa ini, yakni paham relativisme dan situasi dunia postmodernisme dengan tawaran absurditasnya.

Dalam sudut pandang Kristen, kebenaran yang dimaksud tentu saja adalah kebenaran dalam arti kabar baik keselamatan. Keselamatan dari apapun yang menjauhkan manusia dari hakikatnya sebagai co-creator (citra Allah): kemiskinan, penindasan, pembungkaman, dan keterasingan diri.

Media bertugas mempersatukan orang-orang dan mendampingi mereka dalam perjalanan meningkatkan kualitas hidup masyarakat.

Tujuan akhir dari media seharusnya tidak diukur dari pencapaian laba atau keuntungan finansial. Adanya saling percaya (trust) diantara pihak-pihak yang terlibat pada sebuah media tertentu (produsen, regulator, distributor dan pengguna) justru esensial untuk sehingga usaha media itu bisa berjalan terus secara bekelanjutan (viable).

Begitu sesuatu dikomunikasikan menjadi konten media (medium), konten itu membawa serta substansi pesan bahwa kita memiliki potensi untuk meningkatkan kualitas diri kita. Kurang lebih dapat kita gambarkan sebagai berikut:

POTENTIA – MEDIUM – ACTUS

Semakin kita tercerahkan sebagai bagian dari seluruh semesta ini, kita semakin mampu untuk memberi respon yang pas dan pantas.

Maka, tujuan akhir dari komunikasi bukanlah semata untuk menghibur atau menjajal tawaran stimulasi emosional.

Justru, tujuan sosial dari komunikasi adalah untuk mengembangkan persaudaraan dan persatuan. Itulah sebabnya mengapa penyalahgunaan bentuk-bentuk komunikasi menjauhkan orang dari sesama. Miskomunikasi menyebabkan konfik dalam masyarakat. Dimana masyarakat terpecah-belah, iblis (kejahatan) meraja. Disharmoni dalam kemanusiaan adalah pintu lebar bagi masuknya berbagai agenda kejahatan.

Kebebasan untuk mendapatkan akses terhadap informasi membuat orang berkembang dan maju. Opini personal dan publik yang berguna hanya muncul dalam masyarakat yang melek informasi (well-informed).

Jika informasi yang dihasilkan justru salah atau bias, maka opini yang berkembang di masyarakat juga tidak menunjukkan realitas yang sebenarnya terjadi. Inilah yang membuat masyarakat gagal merespon secara pas dan pantas, dan malah membenarkan hal yang salah dan tidak adil. Jika sudah begini, maka kemanusiaan yang berkemajuan sedang mengalami jalan buntu.

Memang tidak ada jaminan bahwa komunikasi kita alami dalam bentuk yang sempurna, bahkan ketika segala macam cara dan kemampuan kita rasa sudah kita kerahkan. Ketidaksempurnaan ini menjadi cermin kemanusiaan kita. Tetapi ada tanggung jawab moral di pundak pihak media bahwa ketika mereka melakukan kesalahan, mereka harus mengesampingkan citra diri dan biaya yang harus dikeluarkan demi mengoreksi komunikasi. Singkatnya: jika melakukan kesalahan, akui dan perbaiki.

Sebagai contoh, isu yang menggandung kekerasan, penggambaran tubuh manusia secara seksual, dan merendahkan martabat manusia kerap dikemas tanpa mempertimbangkan bagaimana seharusnya konten ini di disebarluaskan dengan dalih untuk memastikan bahwa setiap detil kebenarannya tersampaikan. Ini adalah prinsip yang jelas bertentangan dengan prinsip moral atau “index” suara hati bahwa mengumbar kekejaman dunia secara sembarangan itu tidak baik. Akan tetapi, di sisi lain, membuat masyarakat tidak awas terhadap realitas yang kejam atau mempromosikan berbagai bentuk korupsi juga tidak baik.

Solusi atas dilema moral seperti ini dapat kita cari dengan bertolak dari kesadaran bahwa manusia dapat mengalami kemajuan secara intelektual jika ada beragam cara dan bentuk edukasi; dan orang-orang memiliki akses terhadapnya.

 

Tema Hari Komunikasi Sedunia ke-56 (2022)

Melanjutkan tradisi untuk merayakan Hari Komunikasi Sedunia, Paus Fransiskus telah mengumumkan tema Hari Komunikasi Sedunia ke-56 pada tahun ini, 2022. Fransiskus memilih tema dalam satu kata saja, yakni “Dengarkan!”

Dalam pengumuman tersebut, Tahta Suci mengatakan,

Paus Fransiskus meminta dunia untuk mendengarkan lagi.

Setelah Pesan 2021, yang berfokus pada pergi dan melihat, dalam pesan barunya untuk Hari Komunikasi Sedunia 2022 Paus Fransiskus meminta dunia komunikasi untuk belajar mendengarkan lagi.

Pandemi telah memengaruhi dan melukai semua orang. Semua orang perlu didengar dan dihibur. Mendengarkan juga merupakan dasar untuk informasi yang baik. Pencarian kebenaran dimulai dengan mendengarkan. Demikian pula kesaksian melalui sarana komunikasi sosial.

Setiap dialog, setiap hubungan dimulai dengan mendengarkan. Untuk alasan ini, untuk tumbuh, bahkan secara profesional, sebagai komunikator, kita perlu belajar kembali untuk banyak mendengarkan.

Yesus sendiri meminta kita untuk memerhatikan bagaimana kita mendengarkan (lih. Luk 8:18). Untuk dapat benar-benar mendengarkan membutuhkan keberanian, dan hati yang bebas dan terbuka, tanpa prasangka.

Saat ini ketika seluruh Gereja diundang untuk mendengarkan untuk belajar menjadi Gereja sinode. Kita semua diundang untuk menemukan kembali  arti tindakan mendengarkan sebagai hal yang penting untuk komunikasi yang baik.

Ulas Lagu “High School in Jakarta – Niki”

Lirik “High School in Jakarta”

Didn’t you hear Amanda’s movin’ back to Colorado?
It’s 2013 and the end of my life
Freshman’s year’s about to plummet just a little harder
But it didn’t ’cause we kissed on that Halloween night
I bleached half my hair when I saw Zoe on your Vespa
It was orange from three percent peroxide, thanks to you

I needed a good cry, I headed right to Kendra’s
I hated you and I hoped to God that you knew

Now there’s drama (drama), found a club for that
Where I met ya (met ya), had a heart attack
Yadda, yadda, at the end, yeah, we burned
Made a couple U-turns, you were it ’til you weren’t, mm

High school in Jakarta, sorta modern Sparta
Had no chance against the teenage suburban armadas
We were a sonata, thanks to tight-lipped fathers
Yeah, livin’ under that was hard, but I loved you harder
High school in Jakarta, an elaborate saga
I still hate you for makin’ me wish I came out smarter
You love-hate your mother, so do I
Could’ve ended different, then again
We went to high school in Jakarta

Got a group assignment, I’ll be at Val’s place
You don’t text at all and only call when you’re off your face
I’m petty and say, “Call me when you’re not unstable”
I lie and tell you I’ll be getting drunk at Rachel’s
I wasn’t, she doesn’t even drink
But I couldn’t have you sit there and think
That you’re better ’cause you’re older
Are you better now that we’re older?

High school in Jakarta, sorta modern Sparta
Had no chance against the teenage suburban armadas
We were a sonata, thanks to tight-lipped fathers
Yeah, livin’ under that was hard, but I loved you harder
High school in Jakarta, a comedy drama
I still hate you for makin’ me wish I came out smarter
You love-hate your mother, so do I
Could’ve ended different, then again
We went to high school in Jakarta

Natasha’s movin’ to New York (New York)
Probably sometime in August (ah)
And I’m spendin’ the summer in Singapore (ah)
I’m so sad I can’t tell you shit anymore
I made friends with Abby this year (this is how I met your mom) (oh, my God)
We’re movin’ in in March or so
And although you bring me to tears
I’m glad that we gave it a go

High school in Jakarta, American summer
Had no chance against the Marxist girl with marijuana
I was your pinata, she was a star-charter
Glad she gave it to you real hard, but I loved you harder
High school in Jakarta, I won’t, but I wanna
Ask you when you talk about it, do I ever come up?
Say thanks to your mama, now we’re through
Could’ve ended different, then again
We went to high school in Jakarta


APERSEPSI

“Vibe lagunya enak banget pak … 😍”, balas Arin, seorang siswi membalas Snapgramku ini.

Seorang lainnya, sebut saja namanya Sam membalas:

“Ya mungkin klo dri segi fasilitas emang beda, gk cuma di Siantar tpi mayoritas sekolah di Indo gtu smua krn banyakan sekolah negri whereas jarang ada murid international nor godly facilities. Sekolah yg seperti itu mungkin bisa dihitung jari pak, bahkan yg sekolah di Jakarta belum tentu bisa relate dengan suasana sekolah di video itu 😬. Kalo yg aku bilang tdi enak krn chord progressionnya unik aja😂 gk kyk lagu” pop barat pada umumnya yg 1 4 5 6 4 or something like that”

Seorang lain lagi, Dira beralasan mengapa lagu ini untuknya sedap ya karena “vibesnya cocok untuk edit-edit video masa-masa SMA pak karna ‘high school’ wkwkw”.

Dan masih banyak reply lain selain dari mereka yang kusebut secara anonim tadi. Pada intinya, rekan-rekan virtualku itu sepakat: Lagu Niki Zefanya ini enak didengar, sedap ditonton.


Bersama Rich Brian, rapper asal Indonesia yang tempo hari dipanggil Pak Jokowi, Niki Zefanya memang anomali. Dari Wiki, kita tahu bahwa keduanya di bawah label rekaman yang sama, label dari Amerika yakni 88Rising. Konon Rich Brian yang sudah terlebih dahulu bernaung disana, mengajak Niki bergabung setelah menemukan video Niki meng-cover lagu-lagu Barat terutama dari genre R&B. Belakangan kita tahu bahwa selera musik R&B itu mengalir deras dari ibu Niki.

Ada banyak ulasan menarik tentang Niki, terutama lagu “High School in Jakarta” ini. Silakan kamu Google sendiri.

Satu fakta yang menarik ialah bahwa para fans Niki yang membuat lagu ini trending di Youtube dan platform digital musik lainnya. Ada kesadaran sekaligus kegelisahan yang mereka ungkapkan lewat komentar atau ulasan mereka.

KESADARAN

Masa SMA adalah kawah nostalgia.

Lewat lirik romantis ini, para pendengar seakan terbius. Seakan mereka ikut merasakan atmosfer bersekolah di Pelita Harapan, SMA dimana Nichole Zefanya memang menimba ilmu sebelum kemudian memutuskan mengambil jurusan musik di sebuah kampus di Amerika. Ini saja sudah menjadi alasan yang cukup mengapa banyak anak SMA merasa bisa relate dengan “High School in Jakarta”.  Menariknya, ternyata ini belaku bukan hanya untuk cewek saja, tetapi juga yang cowok (seperti bisa kulihat dari reply mereka kala kami chatting di Instagram).

Relatedness ini semakin kuat karena kita tahu bahwa lirik ini dinyanyikan oleh seorang Niki yang memang mengalami masa remaja tinggal dan duduk di bangku SMA di Indonesia. Video musiknya menggambarkan keseharian Niki yang sama seperti anak SMA pada umumnya. Mengerjakan tugas alias kerkom (kerja kelompok) di rumah teman, hangout alias ‘nongki tipis-tipis’, kenalan dengan teman-teman baru, ikut klub teater, foto buku tahunan, sampai menemukan cinta pertama.

Sah. “High School in Jakarta” pantas kita tambahkan ke dalam list lagu yang berkisah tentang masa SMA. Sebelumnya sudah ada Kita Selamanya – Bondan & Fade 2 Black, Tujuh Belas – Tulus, Remaja – HiVi, Ingatlah Hari Ini – Project Pop, Dulu Kita Masih Remaja – The Panasdalam Band, I Remember – Mocca, Sebuah Kisah Klasik – Sheila On 7, Sampai Jumpa – Endank Soekamti,  Terlalu Manis – Slank, Bebas – Iwa K, hingga yang legend seperti Masih Anak Sekolah – Chrisye.

Ini lirik lagu yang muncul ke pasaran berkat label rekaman yang tentu membantu para penyanyi dan pemusiknya sehingga karya mereka dikenal secara luas. Belum lagi karya dari mereka yang memilih berjuang dari jalur indie.

Bahkan, kalau kamu penasaran adakah karya dari pemula awal yang paling awal sekali (jangankan label rekaman, dihitung sebagai karya indie juga belum), kamu bisa melirik playlist SMA Budi Mulia ini. Ini adalah karya  anak SMA dari sekolah biasa, bukan sekolah musik, yang mencoba mencipta lagu dari pengalaman nyata mereka sendiri dengan kemampuan dan fasilitas musik yang sangat terbatas.

Apa yang bisa kita simpulkan dari fenomena ini? Satu hal yang jelas: Masa SMA adalah masa yang penuh kenangan (nostalgia). Meski, sayangnya, kesadaran akan indahnya nostalgia SMA ini baru menjadi jelas bagi orang-orang justru setelah mereka meninggalkannya. Sama seperti semua hal lainnya, menyitir penggalan lagu “Yellow Taxi”-nya Counting Crows, kita baru bisa menghargai sesuatu setelah ia berlalu, setelah ia pergi: Don’t it always seem to go, that you don’t know what you got till it’s gone

Mengetahui ini, mungkin kamu yang anak SMA akan berpikir: “Kalau begitu, mumpung aku masih di SMA, aku nikmati saja semua proses dan dinamika emosi yang terjadi disini?” Yes. Tentu saja. Lakukanlah. Nikmatilah. Tak ada yang melarangmu mengalami apa saja yang ditawarkan masa SMA. Jika Niki bisa melalui pengalaman romantis – kombinasi antara jatuh cinta dan patah hati ini – kamu juga punya hak yang sama.

Bentuk dan jenisnya mungkin berbeda. Niki sekolah di sebuah SMA di bilangan Jakarta dengan fasilitas yang mentereng untuk ukuran SMA di Indonesia pada umumnya lengkap dengan interaksi dalam bahasa Inggris dan wajah bule – yang entah mengapa masih kita iyakan superioritasnya – yang membuatnya kelihatan istimewa. Kamu sekolah di sekolah negeri atau swasta biasa dengan prestasi biasa saja, dengan fasilitas seadanya, tanpa teman sekelas berwajah expatriat; malah wajah oriental melulu yang kamu temui. Jika Niki berhak dan sudah mengalami ini semua, kamu juga punya hak atas romansa dan nostalgia yang sama.

[Aku sendiri tidak pernah mengalaminya. Sebab sejak SMA hingga Perguruan Tinggi, melulu tinggal di asrama yang dihuni oleh laki-laki semua. Tak ada romansa alias cinta-cintaan remaja disana. "Mengcyedih ya, Pak" katamu. Ya nggak apa-apa. Setiap orang ada jalannya sendiri-sendiri. Gampang saja aku memberikan argumentasi seperti itu.]

KEGELISAHAN

Kesadaran akan indahnya masa remaja di SMA disertai juga dengan sekian banyak kegelisahan di dalamnya. Seperti halnya semua romantisme, tentu saja emosi yang terjadi selalu diisi dengan kontradiksi atau bahkan paradoks. Itu yang membuat pengalaman masa SMA istimewa dan layak dikenang.

Seperti yang kamu alami, ternyata hubungan Niki dengan mantan pacarnya juga seperti roller coaster, yang dipenuhi drama anak SMA. Perkara cemburu, enggak dikabarin, lalu berakhir patah hati karena ditinggalkan, semuanya ada.

Niki bahkan menggambarkan kekalutan dan turun-naik emosinya seperti berada di medan perang zaman Sparta. High School in Jakarta, sorta (sort of) modern Sparta. Ada kemenangan yang membahana, kepuasan yang luar biasa dan kegembiraan yang membuncah. Tetapi ada juga serangkaian kekalahan yang menyedihkan, perasaan insecure yang menyiksa dan kesedihan yang terkadang membuat masa SMA serasa kelabu untuk sementara waktu.

Menariknya, musik yang mengemas cerita galau Niki justru tidak membuat kita tenggelam dalam kesedihannya. Ia justru memperingati patah hati tersebut dengan melodi up beat R&B. Seakan semua kisah itu adalah momen yang patut dirayakan. Ini satu hal lain lagi yang membuat “High School in Jakarta” menjadi istimewa. Mengapa? Sebab seperti fungsi musik pada idealnya, lagu adalah selebrasi terhadap kehidupan. Bernyanyi berarti merayakan kehidupan, tidak melulu menangisinya. Life is a party, celebrate it.

Niki menulis liriknya mengalir seperti percakapan. Mirip dengan kamu yang rajin menulis diari di Watpadd dengan akun anonim, Niki meng-update keseharian di sekolahnya. Semua liriknya langsung ditujukan ke mantan pacarnya, mirip dengan kamu yang tak bosan-bosannya mengirimi pesan anonim di akun MenFess sekolah.

 


Benarkah “High School in Jakarta” memang untukmu?

Mari kita uji sekali lagi relatability dari lirik lagu Niki ini. Related atau tidak?Berangkat dari pengalaman nyata pribadi dan kebanyakan teman, aku coba parafrase tulisan Aurelia Gracia di Magdalene

Dari lirik pertamanya, Niki langsung memberikan jawabannya. Buatku – dan sepertinya kebanyakan teman di dunia nyata atau di dunia virtual Twitter dan Instagram – jawabannya, jelas tidak. Tidak relate sama sekali.

“Didn’t you hear Amanda’s moving back to Colorado?” kata Niki, membuka lagunya.

Aku – mungkin juga kamu, sama-sama bersekolah di Siantar. Bahkan sekalipun bersekolah di Jakarta seperti Niki (yang sebenarnya sekolah di Karawaci, Tangerang) – kita tidak punya teman yang “pulang kampung” atau pindah ke Amerika Serikat. Anak-anak sekolah Swasta di Siantar, apalagi dari sekolah negeri pasti mengerti maksudku. Kita itu kalau pulang kampung tidak ke Colorado, tapi ke Balige, Rantauprapat, Dolok Sanggul atau bahkan Dolok Batu Nanggar Serbelawan dan Marihat Ulu Tanah Jawa. Hahaha …

Dengan kurikulum yang silih berganti mulai dari kurikulum Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) 2006 hingga Kurikulum Merdeka yang sekarang diuji coba, kita melihat model pembelajaran yang masih berpusat pada guru dan satu arah, tidak maksimal melibatkan murid berdiskusi. Lingkungannya juga didominasi orang-orang kelas menengah, yang berangkat dan pulang sekolah masih naik transportasi umum. Satu dua saja yang diantar jemput dengan kendaraan pribadi. Sudah jelas, bahasa Indonesia jadi bahasa pengantar dan digunakan untuk ngobrol bareng teman-teman. Bukan Bahasa Inggris.

Sementara Niki, bersekolah di Sekolah Pelita Harapan (SPH) yang menggunakan kurikulum International Baccalaureate (IB) dan Kurikulum Internasional Cambridge. Selain menggunakan bahasa Inggris untuk bahasa pengantar, kurikulum itu mempersiapkan siswa supaya bisa bersaing secara global. Maka tidak heran kalau sebagian besar siswa melanjutkan pendidikan ke kampus-kampus di luar negeri, memanfaatkan sistem transfer kredit—untuk mempercepat masa studi.

Jika ada yang pindah, kemungkinan mentok-mentok pindahnya ya ke sekolah swasta atau negeri unggulan. Mereka ingin akses ke perguruan tinggi negeri lebih mudah, karena (katanya) kuota yang dibuka lebih besar lewat jalur Seleksi Nasional masuk Perguruan Tinggi (SNMPTN). Bukan seperti dua teman Niki yang pindah ke New York dan Colorado.

Jangankan pindah ke Amerika Serikat, ya, liburan ke sana aja mungkin bisa bikin heboh satu kelas. Soalnya pasti mendadak dicap anak orang kaya.

Kemudian, soal nongkrong di rumah teman setelah menyelesaikan kerja kelompok, menunjukkan perbedaan cara bergaul antara kita dan Niki. Penyanyi kelahiran Jakarta itu bisa ngeles ke pacarnya, “I lie and tell you I’ll be getting drunk at Rachel’s.” Mungkin di kalangannya, minum alkohol yang harganya mahal sudah menjadi sesuatu yang umum dilakukan saat kopdar (kopi darat). Berbeda dengan kita yang membeli roti Ganda seribu dan boba di angkringan samping sekolah atau yang dekat kosan.


Bagi kita yang tidak merasa terwakili oleh lagu ini karena alasan-alasan tadi, rasanya akan lebih cocok menyebut lagu ini sebagai “(International) High School in Jakarta”.

Kalau begitu, salahkah Niki?

Tidak.

Niki memang ingin mengungkapkan pengalaman personalnya. Yang menjadi permasalahan adalah jika karena kesenjangan dan perbedaan pengalaman antara Niki dengan kita, kita menjadi merasa inferior.

Jika Niki bertemu dengan Ben – karakter mantan pacarnya yang diperankan Peter Sudarso, saat keduanya berpapasan di lorong sekolah yang dilengkapi dengan loker untuk tiap siswa, persis tipikal film romantic comedy ala Hollywood; kita juga bisa mengingat pengalaman berpapasan dengan crush pertama kita di lorong kantin sehabis menyantap mi gomak atau bakwan goreng dan sebotol teh manis kemasan.

Jika Niki dan Ben kemudian secara resmi berkenalan di klub teater dan mulai berkencan; kita juga bisa mengingat pengalaman berkenalan dengan crush pertama kala MPLS alias ospek di bawah pohon roda atau ketika  badan kita basah penuh keringat sehabis kegiatan ekstrakurikuler voli dan sepakbola.

Tetapi tentu saja semua argumentasi ini tidak hendak memadamkan anganmu untuk bisa mengalami masa SMA seperti di video musik Niki yang sudah mirip film ini.

Lagipula, sangat mungkin bahwa Niki juga mengalami hal-hal lain yang detailnya tidak diceritakan dalam drama singkat dan padat nan romantis ini. Sama seperti kamu, selain hak untuk mengalami romantis anak SMA, Niki juga punya kewajiban untuk mengikuti setiap proses pembelajaran.

Maka, sah-sah saja jika kamu – dan aku – menikmati lagu Niki “High School in Jakarta” ini tanpa harus lupa daratan: kita adalah siswa di sebuah SMA di Siantar. Atau di tempat lain di Indonesia dengan karakteristik yang serupa.

Bukan mustahil pula, gambaran akan sekolah yang menjadi lokasi syuting Niki yang kamu sebut sebagai “high school dream” kamu ini kelak terwujud di sekolahmu.

Tetapi tentu saja, supaya itu bisa terjadi, ada harga yang harus dibayar. Pertama dan yang paling penting adalah kemauan dari seluruh stakeholder yang terlibat: pemerintah – kurikulum – pemilik sekolah – lingkungan belajar – pola pikir orangtua – dan kamu sendiri sebagai siswa. (Ups, jadi melebar kemana-mana.)

Lanjut lagi.

Cerita patah hati Niki di “High School in Jakarta” ternyata adalah rangkaian utuh dengan dua video musik sebelumnya – Before dan Ocean and Engines – yang ditutup dengan tragis sekaligus manis. Masih dalam fase patah hati, banyak memori mengingatkan Niki dengan sosok Ben. Ia melepaskan Ben, sambil mempertanyakan mengapa mereka kini asing terhadap satu sama lain.

Ini mirip sekali dengan pengalamanmu. Dengan berbekal patah hati, kamu hanya nimbrung sesekali di group WhatsApp alumni sebab tidak ingin terjebak dalam lingkaran emosi pahit yang sama dengan si doi yang kemungkinan juga berada di group chatting yang sama. Kamu juga berusaha melepaskannya, meski sesekali mempertanyakan mengapa semua kini terasa berbeda. Sesudahnya, kamu melanjutkan cita-citamu, dia dengan cita-citanya. Dan semua memori itu menjadi kisah – yang bisa sangat indah jika kamu memutuskan untuk melihatnya dari sudut pandang itu.

Maka, tidak ada alasan untuk menjadi minder atau inferior. “Ah, itu kan Niki. SMA PH yang keren. Sementara aku SMA biasa yang tidak ada terkenal-terkenalnya”

Inspirasi untuk tidak inferior – meski kamu tidak mengalami SMA persis yang dialami Niki – sebenarnya justru bisa kita timba dari motif tersembunyi yang Niki coba sampaikan dalam video musiknya.

Selengkapnya kukutip tulisan Aurelia Gracia:

Dalam musik video, Niki memilih aktor Peter Sudarso yang memerankan karakter cinta pertamanya. Selain mencerminkan orang Indonesia—mungkin juga mantan pacar Niki berkewarganegaraan yang sama, kehadiran Peter lebih dari sekedar pengingat bahwa ada aktor Tanah Air yang berkecimpung di industri perfilman Hollywood. Kehadirannya sekaligus menunjukkan, bahwa aktor laki-laki Asia mampu menjadi pemeran utama. Sudah jadi rahasia umum ya, kalau laki-laki Asia memiliki stereotipnya tersendiri dalam film-film Hollywood. Biasanya mereka cuma pelengkap, sifatnya kemayu, kurang jantan, kurang menarik, dan tidak memenuhi standar maskulinitas kulit putih di Amerika Serikat. Stereotip yang lahir dari sikap rasisme.

Stereotip itu berawal pada pertengahan 1800-an, ketika imigran laki-laki dari Cina dipaksa melakukan pekerjaan domestik. Pemaksaan itu merupakan pembalasan atas efisiensi jasa mereka, karena dilarang melakukan pekerjaan pertambangan dan konstruksi. Stereotip-stereotip tersebut makin diperkuat representasi laki-laki Asia dalam film-film kanon Hollywood. Misalnya Mr. Yunioshi (Mickey Rooney) dalam Breakfast at Tiffany’s (1961), Fu Manchu (Warner Oland) dalam The Mysterious Dr. Fu Manchu (1929), dan Charlie Chan (Warner Oland) di serial Charlie Chan (1931-1937). Mereka memerankan ketiga karakter tersebut dengan aksen khas orang Asia, dan perilaku konyol yang berlebihan. Bahkan, aktor Sessue Hayakawa yang dipandang menarik perempuan kulit putih, tidak dapat melakukan adegan interaksi fisik dengan lawan mainnya. Adegan Hayakawa mencium seorang kulit putih yang adalah lawan mainnya, malah diblokir. Ia tidak dapat mengandalkan fisik untuk menjual daya tarik maskulinnya, sebelum lembaga sensor di Amerika Serikat melarang representasi pasangan dan seks antar ras. Hal tersebut semakin memperburuk citra laki-laki Asia yang tampaknya layak dijadikan hiburan, asal muasal diskriminasi yang sampai saat ini kerap terjadi.

Namun, karakter Ben yang diperankan Peter dalam musik video High School in Jakarta justru mendobrak stereotip tersebut—yang belakangan ini juga mulai dihapuskan. Ia memiliki peran signifikan, dengan menghidupkan karakter seorang siswa SMA yang bergabung dengan klub teater, sekaligus menjadi cinta pertama Niki.

Begitu pula dengan peran Peter dalam sejumlah film dan serial televisi. Di antaranya Power Rangers Ninja Steel (2017-2018), Justice for Vincent (2019), The Paper Tigers (2020), dan Supergirl (2015-2021), membuktikan laki-laki Asia mampu bersanding dengan aktor lainnya di perfilman Hollywood. Terutama laki-laki Asia dari Jakarta.


Tetapi jika laki-laki Asia dari Jakarta bisa, sangat mungkin laki-laki Asia dari Dolok Sanggul, Parapat, Palipi apalagi Siantar juga bisa.

Akhirnya, paparan agak panjang mengulas “High School in Jakarta” ini semoga membawa kita pada kesadaran baru: Setiap anak SMA punya hak yang sama untuk mengalami high school yang bermakna.

Maka, jika Niki mampu memikat banyak penggemar dengan bernyanyi “High school in Jakarta, sorta modern Sparta, had no chance again the teenage of suburban armadas …” dan seterusnya, kamu juga bisa bernyanyi dengan kebanggaan yang sama menggunakan nada yang sama dalam parafrase lirik ini:

“SMA Siantar, Melanton Siregar, nggak bisa nandingan bangor anak Tanah Jawa ….” dan seterusnya.

Kompartementalisasi – Solusi buat Remaja Jompo SMA

“8 les sehari, semuanya ada PR.

Alamak .. Ngeri kali ternyata di SMA ini bah“, begitu curhat seorang siswaku di Snapgram-nya.

Can you feel it?

I can. 

Bahkan setelah hampir 20 tahun meninggalkan bangku SMA, aku masih bisa mengerti mengapa curhat retjeh ini muncul.

Jangan salah paham dulu. Dengan kata “receh”, aku tidak bermaksud menyepelekan beratnya beban mengikuti pembelajaran di sekolah, lengkap dengan kewajiban menenteng buku paket tebal dan buku catatan untuk masing-masing mata pelajaran, ditambah lagi dengan PR setiap hari.

Pertama, siswa yang membuat status itu kukenal. Pada tatap muka di kelas, dia seingatku bukan tipe orang yang kesulitan mengikuti pelajaran. Memang sesekali tampak wajahnya seperti mengantuk. Mungkin karena malam sebelumnya harus mengerjakan banyak PR. Tapi sesekali saja. Secara umum,  dia tidak ketinggalan dan tampak ceria mengikuti proses belajar di kelas.

Jadi, snapgram-nya itu kuanggap sebagaimana mestinya saja: status untuk memeriahkan timeline saja. Lho kok? Lha iya, sebab zaman sekarang jika anak remaja benar-benar ingin curhat, nadanya akan berbeda. Mungkin saja akan berbunyi begini: Please help me. Aku udah cape“. Jadi tidak akan sempat membuat kalimat panjang, tambahan lagi pakai kata “alamak”. Jadi, aku tahu pasti, dia sedang baik-baik saja.

Tetapi, kedua, kata receh juga seperti biasanya: selalu memuat paradoks. Di satu sisi, si pembuat status jika ditanyai seadanya soal apa maksudnya dengan membuat status seperti itu di akun media sosialnya, dia akan berkilah: “Nggak ada apa-apa loh, Pak. Cuman status ajanya itu. Biar nggak apa kali”. Meski kita juga tidak tahu persis apa arti kata “nggak apa kali” disini, kita bisa asumsikan bahwa tidak ada yang serius.

Di sisi lain, jika kita mau sedikit melakukan pengamatan lebih cermat dan pengenalan lebih dalam terhadap status itu, kita akan cepat menemukan fenomen sejenis ternyata juga ada pada siswa lainnya. Jadi, dia tidak sendirian mengeluhkan beratnya beban ini. Cukup valid kalau kita mengambil hipotesa sementara bahwa benar ada sesuatu yang perlu didiskusikan. Bahwa benar, jika diberi kesempatan, mereka akan memilih untuk tidak menjalani 6 hari seminggu dengan banyaknya materi pelajaran dan PR setiap hari seperti ini. Benar, mereka masih bisa menanggung beban ini. Tetapi juga sekaligus benar bahwa ini cukup berat buat mereka.

Terkadang, setengah bercanda, selain bersama para rekan guru kami mempertanyakan “apanya sih yang merdeka dari kurikulum Merdeka ini untuk kita para guru”, beberapa siswa juga sudah mulai ada yang kritis lewat celetukan: “Bukankah belajar itu seharusnya menyenangkan, Pak? Tidak malah memberatkan seperti ini?”


Jika kamu seorang Baby Boomer dan sudah sampai pada bagian ini, kujamin kalian akan berkomentar:

Dasar anak remaja sekarang memang daya juangnya lemah. Dikit-dikit mengeluh. 

Tentu saja, sebagai orang yang sudah lebih tua, yang sudah lebih banyak makan garam beryodium dan tidak beryodium, kalian (eh, kita?) punya seribu argumentasi sehingga sampai pada simpulan berupa komentar diatas. Tentu kita tidak mau juga disalahkan oleh para siswa kita. “Tau apa mereka? Mereka kan siswa kita, kita guru mereka”, begitu kesadaran subliminal kita yang serba patronizing itu hendak menghakimi mereka.

Tapi tenang dulu. Tanpa perlu kita berkomentar demikian, mereka sudah duluan. Mereka sudah mampu mengungkapkan betapa absurdnya diri mereka dan situasi mereka. Buktinya mereka percaya diri saja mengidentifikasi diri sebagai “remaja jompo”.

Frasa dengan contradictio in terminis itu kupikir cukup jelas maksudnya. Identifikasi diri ini bisa ditanggapi sebagai humor (jika kamu bisa menikmati sebuah meme, kupikir kalian tahu maksudku). Untuk kultur “teenage thingy” mereka, ini identitas yang mempersatukan mereka sekaligus menjembatani jurang atau social gap – antara murid dari keluarga kaya versus murid dari keluarga menengah ke bawah, antara murid “ambis” versus murid “santuy” dan antara murid paralel vs murid yang megap-megap ketika rapat kenaikan kelas berlangsung. Dengan menyebut diri sebagai “remaja jompo”, mereka bersatu. Mungkin mirip dengan kaum buruh yang (bermimpi) bersatu di bawah manifesto Karl Marx . (Ups …)

Tetapi bisa juga dimaknai sebagai keluhan serius bahkan seperti mengejek diri sendiri. Bagaimana tidak? Masih remaja, tetapi sudah gampang lelah. Belajar sedikit, maunya libur seminggu. Kerja sedikit, maunya healing sebulan.

Tergantung kalian, mau memaknainya dari sisi mana.

Yang jelas, mereka masih mengagumi kita yang sudah sampai pada tahap ini, bisa menjadi tenaga pendidik untuk mereka. Semoga juga menjadi  guru untuk mereka dalam arti seutuhnya. Intinya, mereka ingin seperti kita. Menjadi dewasa. Menjadi orang yang punya pekerjaan dan penghasilan. Orang yang tidak lagi menjadi beban keluarga.

Mereka serius ingin menjalani masa SMA mereka dengan belajar semaksimal mungkin sesuai dengan impian (goals) mereka.

Mereka bahkan sudah menuliskan dengan jelas materi motivasional pengantar sesuai instruksi yang kuberikan kepada mereka kala MPLS. Bahwa jika ingin menjalani masa SMA dengan baik dan nikmat, sejak awal mereka sudah harus bisa menuliskan goals yang mereka ingin capai, dan sebaiknya mereka menulisnya dalam format S-M-A-R-T.

S = specific

M = measurable

A = attainable/achievable

R = Relevant

T = Timebound.

Jadi, misalnya, ada siswa yang pada minggu pertama di bangku SMA, bisa menuliskan bahwa 3 tahun berikutnya dia melihat dirinya sebagai mahasiswa kedokteran di salah satu universitas top tier di Indonesia. Target atau cita-cita ini sudah memenuhi kriteria specific.

Cara mengukurnya (measurable) juga mudah. Ya, dilihat dari apakah nanti mereka lulus atau tidak di kampus impian mereka itu.

Achievable? Yes. Sudah banyak kakak kelas mereka yang membuktikan bahwa ini bisa dicapai. Jika pendahulu mereka bisa, mereka juga optimis bisa melanjutkan tekad serupa.

Relevant? Tentu saja. Mereka tahu bahwa apa yang mereka jalani sekarang relevan dengan harga yang harus dibayar sampai mereka bisa dengan bangga berswafoto ria di Instagram dengan jaket kampus impian tadi.

Time-bound? Jelas. 3 tahun dari sekarang, target itu harus tercapai. No matter what, at any price, they would do it.


Lalu, darimana datangnya frasa humor sekaligus ejeken terhadap diri sendiri tadi?

Sudahlah remaja jompo, anak SMA pula. Combo. Paket lengkap.

Aku melihatnya secara positif.

Tapi bukan toxic positivity, yakni godaan untuk overproud yang sering membuat orang jatuh karena terlalu percaya diri. Misalnya sudah sadar diri bahwa lemah dalam bidang sains, tetapi memaksakan diri untuk mengambil jurusan sains murni di kampus nomor satu; padahal ada banyak jurusan lain yang lebih tepat.

Apa positifnya? Sebab mereka sudah bisa memvisualisasikan diri berkat metode SMART goals tadi, mereka pun akhirnya menyadari konsekuensinya: seberat apapun proses belajar yang mereka sebut beban tadi, toh mereka bersedia menjalani prosesnya dan mengikuti setiap tuntutannya. Mereka sadar bahwa tidak ada kata excuse untuk tidak hadir di sekolah lalu pura-pura membuat surat sakit palsu sebab selain itu ilegal, toh tidak banyak berguna sebab besoknya dia akan harus mengikuti ulangan susulan atau pelajaran susulan untuk materi pelajaran yang tertinggal ketika ia tidak hadir. Mereka mengerti bahwa semua proses ini adalah sebuah keniscayaan yang mesti dijalani jika mereka ingin SMART goals itu tercapai nanti.

Mereka sadar itu. Itu yang membuat mereka mencari cara bagaimana supaya sebagai remaja jompo yang gampang lelah, mereka tetap punya energi untuk mengikuti setiap materi pelajaran yang berbeda. Sebagai anak SMA yang mudah galau, overthinking dan mudah insecure melihat pencapaian kakak kelas mereka yang telah terlebih dahulu sampai di kampus yang juga mereka impikan, mereka ingin supaya setiap angka rapor di akun SIABUD atau rapor besar mereka tidak ada yang di bawah standar kelulusan.


KOMPARTEMENTALISASI

Maka, inilah tawaran solusi dariku, untuk kalian wahai remaja jompo SMA: cobalah kompartementalisasi.

Kompartementalisasi (Inggris ‘compartmentalization’) berarti pembagian, penggolongan, atau pengkategorian. Inilah salah satu mekanisme pertahanan diri yang paling umum terhadap berbagai beban, tugas, keraguan dan (mungkin juga) ketakutan.

Gunakan ini untuk mengatasi kondisi kekacauan kognitif yang membuatmu bersusah payah mengerti semua mata pelajaran dan mendapatkan angka rapor yang memuaskan. Untuk mengatasi gangguan mental dan kecemasan yang kadang membuatmu bertanya: “sudah sampai dini hari mengerjakan tugas dan PR, benarkah nanti aku bisa lulus di perguruan tinggi yang kudambakan itu?”

Bagaimana melakukan kompartementalisasi ini?

Pertama-tama, mulai dengan consideratio status (penyadaran diri atas situasi yang kamu alami saat ini). Sadari bahwa saat ini kamu sudah berusaha menjalankan kewajibanmu sebagai pelajar meskipun kamu tahu bahwa kamu punya seribu alasan untuk tidak melakukannya.

Sadari bahwa sebagai siswa yang pernah mengalami kegagalan di bidang akademik tertentu, satu-satunya cara untuk bangkit dari kegagalan itu adalah dengan kembali mempelajari materi pelajaran yang membuatmu gagal sebelumnya.

Sadari bahwa kamu harus mengerjakan semua tugas sekolah persis ketika berada di sekolah agar bisa kembali pulang ke rumah, asrama atau tempatmu ngekost tanpa membawa beban tambahan. Sebab kamu tahu sudah ada PR yang menanti, bukan?

Oke. Sudah. Terus selanjutnya bagaimana?

  1. Pikirkan hal-hal apa saja yang penting dan harus diselesaikan – apakah menghafal rumus kimia Susunan Berkala Unsur-unsur, Tugas Refleksi Agama, atau Rumus Dasar Algoritma Matematika?
  2. Bayangkan bahwa hal-hal itu berwujud ruangan-ruangan yang di dalamnya terdapat 5 soal yang tertulis di papan tulis dan harus bisa kita jawab.
  3. Untuk setiap ruangan, kamu hanya punya waktu 1 jam pelajaran (persis sesuai jadwal atau roster yang sudah disediakan pihak Sekolah untukmu) guna menyelesaikan soal-soal itu. Ketika waktu habis, kamu harus segera keluar dari ruangan pertama dan pindah ke ruangan selanjutnya.
  4. Kamu pantang melanggar batas waktu yang sudah ditentukan.

Agar cara ini berhasil, kamu perlu berhenti mencari-cari alasan ketika  tidak bisa menyelesaikan semua soal dengan baik. Kamu tahu bahwa kamu mampu mengerjakannya. Tinggal soal apakah kamu mau menggunakan kemampuanm hingga level ‘maksimal’ dan menerapkan disiplin pada dirimu sendiri.


Tetapi, tentu saja, aku tidak ingin menjadi motivator yang menyebarkan toxic positivity untukmu. Maka harus kukatakan sejak dini: Tidak Ada yang Menjamin Kompartementalisasi bisa Berhasil 100%.

Tidak semua siswa bisa sukses dengan cara ini.

Setidaknya, metode ini bisa membuat hidupmu lebih teratur. Sehingga sukses belajarmu bukan cuma angan-angan. Tapi, tidak ada jaminan bahwa cara ini akan berhasil 100%. Sebab yang menentukan kesuksesanmu adalah dirimu sendiri.

Kompartementalisasi adalah solusi jangka pendek yang sudah pasti gagal ketika kamu tidak melakukannya dengan sepenuh hati. Contohnya saja:  seorang siswa yang gagal pada mata pelajaran Matematika pada semester sebelumnya mungkin akan kembali merasakan traumanya pada Matematika pada semester berikutnya.

Sama halnya ketika kamu sedang berada di kelas Kimia, bisa saja kamu justru tidak fokus karena memikirkan kegagalan Matematika-mu atau malah memikirkan mengapa si doi yang kamu incar malah mengirimkan menfess ke siswa lain, bukan kamu.

Begitulah, seorang siswa mungkin akan kesulitan memilah-milah mana yang harus dilakukan duluan, mana yang belakangan. Tidak rela menutup pintu ruangan pertama sekalipun waktu 1 jam sudah habis dan tugas di ruangan kedua telah menunggu.

Maka, teknik kompartementalisasi sangat bisa gagal karena secara emosional kamu sering menjadi terlalu terikat dengan salah satu tugas yang kamu anggap dianggap lebih penting dari tugas lainnya. Dampaknya, tugas lain yang sudah menunggu akan diabaikan. Di akhir hari, barulah kamu akan kaget saat melihat betapa sedikitnya pekerjaan yang sudah kamu selesaikan. Ini kunci gagalnya.

Lalu, kunci suksesnya apa?

Kunci sukses kompartementalisasi adalah fokus. F-O-K-U-S. Kegagalan dan kesuksesan metode ini amat tergantung pada seberapa konsistennya kamu dalam menjaga fokus. Sadarilah bahwa kamu punya tenggat waktu untuk masing-masing tugas yang harus ditaati. Kamu tidak bisa mengesampingkan tugas lain hanya untuk sebuah tugas yang kamu rasa paling penting.

Fokuskan konsentrasi dan kemampuanmu untuk melaksanakan hanya satu tugas dalam satu waktu. Taatilah aturan dan ruang imajiner yang sudah kamu ciptakan sendiri. Jangan ragu untuk membuang dan melupakan hal-hal yang memang tidak layak untuk dipikirkan.

Kamu masih khawatir bahwa doi akan berpaling darimu? Tidak apa-apa. Tetapi ingat, rasa khawatirmu tidak akan membuatnya kembali padamu. Dan sangat mungkin bahwa dia akan makin yakin meninggalkanmu jika dia melihatmu gagal lagi, menyerah lagi, dan murung lagi.

Maka, ingatlah kembali kompartementalisasi. Mana yang harus dikerjakan lebih dulu? Tugas mana yang harus ditempatkan di prioritas selanjutnya? Taatilah aturan tersebut. Kerjakan tugasmu satu-persatu sesuai jangka waktu yang kamu sepakati sendiri. Plus, hindari juga distraksi lain seperti godaan scrolling Tiktok secara serabutan atau begadang demi push rank di game Mobile Legend kesayanganmu. Kamu bisa melakukannya nanti. Kalau tugasmu sudah selesai.

Jika kamu bisa melakukan komparementalisasi dengan konsisten, hidupmu akan lebih terorganisir. Tidak ada lagi tumpang tindih kewajiban yang membuat hari-harimu kacau. Hidupmu jadi lebih seimbang.

Perjuangan untuk menciptakan hidup yang lebih seimbang memang tidak selesai dalam satu malam. Ini adalah proses tanpa akhir. Selama kamu bisa memilah, membuat prioritas, dan konsisten pada aturan yang kamu buat sendiri, kamu sudah melakukan kompartementalisasi.

Kompartementalisasi menjadi milikmu. Menjadi bagian darimu. Pelan-pelan kamu akan melihat apa yang diberikannya untukmu. Hidupmu akan berkembang: entah akan lebih baik, atau lebih bermakna.

Penciptaan yang Nyata Itu Ada di Fiksi

Semesta Mendukung

Semua berawal dari kata-kata.

Entah kau seorang Abrahamik yang percaya bahwa semesta berawal dari Logos dalam kalimat ‘Bereshit bara’ ‘elohim (davar). Dengan logos atau davar, semesta tercipta.

Entah kau seorang penikmat filsafat yang memuja sophia (hikmat). Dengan sophia, akademia lahir dan menjadi cikal bakal segala macam pendidikan, kursus dan pelatihan yang ada di muka bumi ini.

Atau orang “biasayang mengagumi retorika dalam pidato apik yang tersaji dalam sebuah kampain public speaking yang berapi-api. Dengan orasi penuh eloquentia yang motivasional, jutaan manusia sepanjang zaman untuk turun ke jalan dan ribuan aksi yang mengubah sejarah terjadi.

Singkatnya, dengan “kata” kamu meyakini bahwa apapun yang kamu yakini, bakal menjadi ada. Akan tercipta.

Terjadi.

Dan ketika terjadi, supaya kamu tetap terkesan sebagai orang yang rendah hati, kamu menyebutnya “semesta mendukung” (mestakung). Padahal itu sama saja artinya dengan “kamu benar-benar menciptakan sesuatu, yang sebelumnya tidak ada”.

Bukankah itu yang membuatmu menulis resolusi, merumuskan cita-cita, lalu kamu seperti punya energi tiada habisnya untuk membuktikan kepada orang-orang bahwa kamu akan mewujudkannya? Kamu berusaha sekuat tenaga menunjukkan kepada dunia bahwa gagasan dan mimpi di kepalamu yang disebut orang sebagai fiksi, pada akhirnya itulah yang akan menjadi nyata.

“Aku akan jadi pengusaha”, katamu. Lalu kau mati-matian merintis dan mengembangkan usahamu. Tentu kamu akan mencapai titik sukses tertentu karena kamu setia melewati prosesnya. Sebab semesta mendukungmu. Dan kamu tidak lupa, itu terjadi karena sejak awal kamu berani mengatakannya terlebih dahulu sebelum itu terjadi.

“Aku akan menjadi seorang manajer di perusahaan terkenal”, katamu. Lalu kau mati-matian mengembangkan diri dan kemampuanmu, berlayar di lautan politik tempat kerja yang buas dan mengarunginya sampai ke titik labuh yang kau tuju. Tentu kamu akan mencapai titik sukses tertentu sebab kamu setia melewati prosesnya. Sebab semesta mendukungmu. Dan kamu tidak lupa, itu terjadi karena sejak awal kamu berani mengatakannya terlebih dahulu sebelum itu terjadi.

“Aku akan menjadi komposer besar di blantika musik negeri ini”, katamu. Lalu kau mati-matian bertahan di antara godaan untuk banting setir – menjadi artis dadakan yang viral semalam tapi lalu tenggelam bulan depannya – dan pilihan untuk tetap konsisten berkarya meskipun kadang diiringi tangis tatkala menyaksikan lagumu sepi dilirik orang, tenggelam di lautan algoritma internet yang dimenangkan oleh artis cover bermodal buka paha atau sensasi receh absurd yang entah darimana datangnya. Tentu kamu akan mencapai titik sukses tertentu sebab kamu setia melewati prosesnya. Sebab semesta mendukungmu. Dan kamu tidak lupa, itu terjadi karena sejak awal kamu berani mengatakannya terlebih dahulu sebelum itu terjadi.

Hal serupa berlaku, apapun pernyataan atau sabda yang dengan berani kau ucapkan lirih dalam diam sepi di kamar tidurmu atau kau proklamirkan dengan berani di status akun media sosialmu. Sebab hasil tidak akan menghianati proses, katamu. Hasil mendukung orang yang punya cita-cita. Dan sebaik-baiknya cita-cita yang terlaksana, kamu tahu, terlebih dahulu cita-cita itu “hanya” mengambil rupa kata-kata saja.

Begitulah semesta mendukung manusia yang bercita-cita. Begitulah setiap kenyataan terjadi: Ia berawal dari kata-kata.

Semesta menolakmu

Tapi kamu juga tidak lupa bahwa beberapa kali kamu tergoda untuk tidak setia. Tidak konsisten dengan fiksi di kepalamu. Sebab kamu sendiri tidak sekali dua kali saja mulai meragukan kebenaran dari proses penciptaan, bahwa sesuatu memang benar-benar bisa ada padahal awalnya cuma kata-kata. Kamu merasa nyaman dengan pemikiran bahwa kamu memang sebaiknya tidak perlu melawan arus: kamu hanya perlu ikuti apa yang kebanyakan orang lakukan, yakni menjadi pengikut saja. Apa yang dunia ini tawarkan, itu saja kamu nikmati dan jalani. Tak perlu membuat sesuatu yang baru, sesuatu yang belum pernah ada.

Bukankah itu yang membuatmu merobek kertas bertuliskan rumusan resolusi yang kau buat dengan penuh percaya diri? Bukankah kau sendiri pernah menertawakan betapa bodohnya pilihan yang kau ambil sebab cita-citamu terdengar naif? Kamu pernah berada di fase dimana kamu akhirnya mengalah pada apa kata dunia: bahwa gagasan dan mimpi di kepalamu itu memang benaran mimpi belaka, dan sampai kapanpun kau tidak akan pernah mewujudkannya.

“Aku tidak mungkin menjadi pengusaha”, katamu. Kau sudah mencoba segala macam cara untuk mengembangkan usahamu, tetapi bisnismu seperti jalan di tempat. Kamu merasa gagal dan mulai meyakini bahwa mungkin memang kamu tidak ditakdirkan menjadi pengusaha. Sebab semesta menolakmu, itu katamu. Dan kamu lupa, betapa bersemangatnya dulu kamu mengatakan kepada dirimu sendiri bahwa kamu akan menjadi pengusaha.

“Aku tidak akan mungkin menjadi manajer di perusahaan ini”, katamu. Kau merasa sudah memperbanyak latihan dan meningkatkan kemampuanmu, tetapi seperti tidak ada perkembangan yang berarti. Kamu mengeluh karena politik di tempat kerjamu sangat buas sekali, dan kau seperti korban yang dicabik-cabik. Pagimu menjadi terasa berat sekali sebab pergi ke tempat kerja seperti berangkat ke medan perang yang tak akan mungkin kau menangkan. Kamu merasa gagal dan mulai meyakini bahwa mungkin memang kamu tidak ditakdirkan menjadi manajer. Kamu mulai belajar menerima kenyataan bahwa menjadi bawahan terus-menerus memang sudah menjadi takdirmu. Sebab semesta menolakmu, itu katamu. Dan kamu lupa, betapa berapi-apinya dulu kamu mengatakan kepada dirimu sendiri bahwa kamu akan menjadi manajer bahkan direktur di tempat kerja yang kau banggakan itu.

“Aku tidak akan pernah menjadi komposer yang diperhitungkan di negeri ini”, katamu. Kamu lalu memilih untuk mengakali industri musik saat ini sebab kamu tergiur dengan postingan pamer uang dari artis dadakan yang barusan viral. Kamu ingin mengikuti jejaknya. Kamu tidak peduli apakah kamu akan tenggelam bulan depannya – sebab saat ini jelas kamu membutuhkan uang untuk membiayai hidupmu yang bahkan tidak ada kemewahan sedikitpun itu. Kamu meyakini bahwa saat ini bukan lagi saat yang tepat untuk menjadi pencipta lagu. Ini adalah era kemenangan penyanyi cover. Cukup dengan sedikit utak-atik SEO dan jargon marketing buzzwords sejenisnya, kamu bisa mendapatkan penghasilan berlipat-lipat dari puluhan lagu yang sudah kau ciptakan dengan mengorbankan waktu tidurmu sebab harus begadang berhari-hari bahkan berminggu-minggu. Kamu pun tak ragu untuk menitipkan konten hasil cover-mu ke situs judi dan halaman penjual obat pembesar payudara. Kamu mulai percaya bahwa mimpi menjadi pencipta lagu memang cita-cita yang kekanak-kanakan. Sebab semesta menolakmu, itu katamu. Kamu mulai lupa betapa bersemangatnya kamu ketika menyelesaikan lagu pertamamu yang dengan bangga kau tunjukkan ke keluarga, teman-teman dan kenalanmu.

Saat-saat dimana semesta menolakmu, kamu menjadi yakin bahwa memiliki cita-cita itu cukuplah untuk anak kecil saja. Ketika dewasa, memelihara cita-cita seperti itu akan membuatmu jadi bahan tertawaan saja.

Semesta tersenyum padamu

Ini pasti kedengaran fiksi, kata orang-orang disekitarmu. Sempat kau ikut mengamininya.

Tetapi kau mulai penasaran. Sebab jika kau hanya mengikuti apa yang orang lalui, lalu apa gunanya rasa percaya dirimu itu? Apa gunanya kelebihan dan bakatmu yang sejak dini sudah kau sadari ada padamu itu? Penasaran inilah yang membuatmu tetap memperjuangkan fiksi itu. Toh, kalau gagal, kamu tidak menyesal lagi. Jika waktumu sudah habis nanti, kamu tidak akan menyalahkan siapapun hanya karena kamu sendiri tidak berani memulai passion yang kau yakini dan kau nikmati setengah mati ini. Tentu kamu ingin sekali ini berhasil. Tetapi kalaupun gagal, toh tidak ada ruginya. Setidaknya kamu sudah mencoba. Dan … voila .. ternyata kamu berhasil. Kamu melihat semesta tersenyum padamu.

Sejak saat itu kamu selalu senang bertemu dengan orang yang punya khayalan tinggi. Kamu tahan berbincang berjam-jam dengan orang yang punya mimpi. Bukan sembarang mimpi, tetapi mimpi yang besar. Tak lupa kau juga mengajaknya untuk membicarakan semua ketakutan yang mungkin muncul dalam proses mewujudkan mimpi itu, tetapi pada akhirnya kau berhasil meyakinkannya bahwa apapun resikonya, orang itu harus berani bertindak. Harus berani memulai sesuatu. Seperti berbicara kepada diri sendiri, kamu meyakinkannya bahwa mencoba tak pernah ada ruginya. Rugi terbesar adalah jika orang itu ingin sekali mewujudkan cita-citanya, tetapi karena ketakutan dan alasan lain tak pernah memulainya hingga usianya menua, lalu menyesal sebab tidak ada kesempatan lagi. Seperti yang sudah kau nikmati, kamu juga ingin sekali orang itu merasakan semesta ikut tersenyum padanya.

Kamu menjadi mulai percaya diri kembali. Kamu tidak lagi takut dengan pilihan dan jalan hidup yang aneh dibandingkan yang ditempuh kebanyakan orang. toh kau sudah membuktikan bahwa mimpi dan cita-cita yang awalnya mereka sebut fiksi tapi kau yakini setengah mati, ternyata tercapai juga. Untuk apa merasa minder.

Kamu sudah kenyang dengan tipuan kegagalan. Sebab kamu sudah mengalami langsung bahwa kegagalanmu di masa lalu – yang sempat menggodamu untuk berhenti – ternyata tidak berdaya apapun dihadapan keyakinanmu yang setinggi gunung. Kamu sudah sampai di puncaknya. Ketika mentari bersinar, orang yang berdiri di puncak gununglah yang akan pertama kali melihatnya. Ketika semesta tersenyum, orang yang berdiri di puncak mimpi merekalah yang akan pertama kali melihatnya. Dan diantara segelintir mereka itu: kamu salah satunya. Itulah sebabnya ketika kamu mengalami gagal, dan orang lain mulai mengajakmu untuk meninggalkan mimpi itu, dengan enteng kamu berkata: “Ya kalau gagal, gak apa-apa. Setidaknya aku sudah mencoba”.

Kamu tidak lagi mengikuti jejak orangtuamu yang ketika bercerita usai makan malam bersama, selalu mendongengkan kisah sedih.

Ayah yang selalu mengulangi cerita penyesalan yang itu-itu saja. “Sebenarnya dulu Bapakmu ini pengen menjadi pengusaha. Tetapi apa daya, Bapak tidak pernah punya kesempatan merintis usaha apapun, sebab kalian keburu lahir. Aku dan Ibumu tak punya pilihan lain selain setia menjadi pekerja di kebun perusahaan ini hingga pensiun”

Atau Ibu yang sejak dulu ingin sekali merasakan nikmatnya bekerja dan menyisihkan pendapatan untuk bertualang ke Bali dan pantai Phuket, “tetapi setelah menikah dan melahirkan kalian, Ibu pasrah saja tidak akan pernah bepergian kesana”.

Tidak ada yang menakutkan dari cerita itu. Menyedihkan, iya. Keseringan menunda, akhirnya nggak pernah lagi berbuat.

Bagaimana bisa orangtua berkata “semua ini kami lakukan untuk membahagiakan kalian anak-anakku” padahal mereka sendiri tidak bahagia? Bukankah ketika kita menyemprotkan parfum ke orang lain, kita harus terlebih dahulu mencium wanginya?

Tentu saja kamu tidak membenci kedua orangtuamu. Hanya saja, kamu tidak ingin mengikuti jejak mereka.

Semesta marah padamu: terlalu lama kau kembali padanya. Tugasmu sudah selesai.

Saat ini semua sudah kau capai. Tidak ada lagi penyesalan. Semua kegagalan sudah kau lalui. Tentu saja, sebab kau keras kepala dengan mimpimu, kau sudah menikmati pula upahnya: keberhasilan-keberhasilanmu.

Tetapi, saat sendiri, entah mengapa masih ada ketakutan di lubuk hatimu.

Suatu saat nanti semesta sudah merasa bosan bermain-main denganmu. Semesta akan marah padamu dan berkata: Kau disini terlalu lama. Tugasmu sudah selesai. Saatnya kembali pulang.

Entah kenapa, masih ada ketakutan itu.

Lalu kau berandai-andai setengah berharap: mungkinkah nanti ada kehidupan setelah ini, untukku mengalami lagi semuanya ini?


Memilih Tetap Kekanak-kanakan – [Storytelling]

“Woy. Kamu itu udah bapak-bapak. Masih aja ngomongin hal ga jelas kayak anak-anak”?, keras sekali suara Pia, sang istri tercinta, di telinga Delano.

Bagaimana mungkin ucapan seperti itu terlontar dari orang yang bersamanya seatap, sekamar, sedapur dan semeja makan?

Saking seringnya mendengar ucapan seperti itu, Delano hanya tersenyum saja. Bahkan sesekali membalasnya dengan candaan dan tingkah kekanak-kanakan yang membuat Pia akhirnya mleyot dan salah tingkah. Kalau sudah begitu, Pia akan pergi ke dapur dan segera membuatkan secangkir kopi hitam untuk sosok misterius yang sudah dinikahinya selama 5 tahun, tetapi tak pernah sungguh dikenalinya.

Sebenarnya ketika pertama sekali ia mendengarnya, saat itu hampir saja ia tersulut emosi. Tetapi untunglah amarahnya tidak sampai meledak. Meski telinga dan hatinya panas, akal sehatnya berkata: bukankah justru karena Pia mengenalnya sangat dekat, mengetahui apa saja yang dia obrolkan, Pia mengenal Delano dengan baik?

Bagaimana kalau ia mencerna sekali lagi arti ucapan istrinya itu: “kamu masih kayak anak-anak”? Apa sebenarnya yang dimaksudkan isterinya itu.


Delano baru saja merayakan ulang tahunnya yang ke-35. Tinggal 5 tahun lagi saja waktunya tersisa untuk benar-benar menjadi seorang laki-laki, Ama, suami dan bapak bagi keluarga kecil mereka. A man. Seorang yang mampu menyediakan apa yang perlu untuk keluarganya sehingga tidak lagi disebut anak-anak oleh sang isteri.

Rumah.

Tempat usaha, investasi, mungkin beberapa sertifikat logam mulia juga.

Plus sebuah jabatan di punguan dongan samarga mereka, supaya ketika ada ulaon (pesta adat), Pia akan bangga duduk menyaksikan orang datang meminta saran dari suaminya itu, dengan tak lupa membawa uang dan ucapan sekapur sirih.

Atau seseorang yang dipercaya menjadi pengurus di gereja tempat mereka beribadah, supaya setiap kali mereka beribadah di sana, isterinya yang sudah bersusah-payah memoles diri dengan pakaian kebaya dan riasan wajah lengkap dengan bulu mata yang lentik itu bisa duduk dengan anggun di barisan depan dan percaya diri, sebab orang akan menyebutnya “itu isteri pengurus Gereja kita“.

Saat ini, penghasilannya sebagai kolumnis sastra di dua-tiga majalah yang oplah cetaknya kecil tentu belum bisa menyediakan semuanya itu.

Tetapi Delano memang berbeda. Seakan tidak cemburu sedikitpun dengan banyak rekan seusianya yang sudah sukses menurut ukuran Pia, Delano masih saja meneruskan kesukaannya menulis puisi.

Dia akan tahan ngobrol lewat telefon berjam-jam dengan Juan, seorang penulis puisi berusia 50 tahunan, tidak menikah. Membahas sebuah puisi dari penyair terkenal lalu menulis puisi. Atau membicarakan sebuah kejadian besar di negara ini, lalu menulis puisi. Bahas, tulis, bahas lagi, tulis lagi. Itulah lingkaran tak berujung yang tepat menggambarkan kegemaran dua lelaki yang Pia sebut kekanak-kanakan ini.

Juan adalah orang yang pertama kali memberi selamat kepada Delano ketika ia memberitahukan bahwa ia akan menikah. “Kawan, hidupmu akan jauh lebih sulit setelah menikah. Kau tidak akan bebas lagi menulis puisi sebebas aku. Aku salut atas keberanianmu mengambil keputusan ini. Kuharap kau bahagia”, ucap Juan 5 tahun yang lalu.

Bersama Juan, tidak hanya sekali saja mereka mencoba membuat buku antologi puisi yang mereka berdua tulis, tetapi selalu ditolak penerbit. Tetapi mereka tak pernah jera. Mereka juga rajin mengirim puisi mereka ke surat kabar lokal, kerap tanpa imbalan jasa sama sekali. Belakangan ketika surat kabar itu sudah cukup besar dan bermigrasi menjadi situs berita online, mereka tak pernah lagi dimintai menulis puisi. “Para pembaca kami tidak tertarik lagi membaca puisi”, begitu balasan email dari pemimpin redaksi mereka saat itu.

Pernah juga mereka menggagasi berdirinya sebuah komunitas penyair, tetapi lalu kompak meninggalkannya sebab saat itu Darmono, yang kelihatan bernafsu menjadi ketua perkumpulan, ternyata menyisipkan agenda untuk membesarkan nama seorang politikus dalam syair-syair puisi mereka. Juan dan Delano langsung melihatnya sebagai gelagat tidak beres. Belakangan politikus yang dipuji Darmono dan kawan-kawannya itu muncul di TV, memakai rompi oranye. Angka korupsi yang dilakukannya tidak main-main ternyata, sehingga ketika menangkapnya, KPK menyebutnya “sebuah tangkapan besar, ikan yang besar”

Perkenalannya dengan Juan sendiri tergolong cukup unik. Ketika itu, Delano masih kelas 5 SD. Ada perlombaan menulis puisi yang diselenggarakan untuk merayakan HUT RI. Juan, mahasiswa muda saat itu, menjadi salah satu juri lomba. “Nak, kamu punya bakat menjadi penulis puisi. Terus berlatih ya”, kata Juan menepuk pundak Delano kecil puluhan tahun lalu.

Sampai kini, meski tinggal di kota yang berbeda, Delano dan Juan masih saling menelepon. Membahas karya pujangga besar seperti Joko Pinurbo, Charles Bukowsi bahkan seorang legenda seperti Leo Tolstoy.

Ini yang membuat Pia tidak habis pikir. Bagaimana bisa dua orang manusia, laki-laki larut dalam percakapan tiada henti, dengan semangat yang berapi-api ketika membahas puisi. Memangnya mereka berdua ini masih anak SD yang ketakutan bakal dimarahi guru kalau PR mengerjakan puisi untuk tugas Bahasa Indonesia tidak selesai?

“Kalian ini laki-laki 35 dan 50 tahun loh”, ketus Pia suatu waktu lain.

Suatu kali Pia menunjukkan sebuah quote Instagram, berharap mungkin bisa menjadi sindiran pedas bagi suaminya itu. Kutipan itu berbunyi: “Menjadi tua itu pasti, menjadi dewasa itu pilihan”.

Tapi, alih-alih tersindir, Delano malah balik menceramahinya dengan argumen filosofis:

“Sayangku … Quote-mu itu benar sekali. Tapi kebenarannya tidak absolut. Saat ini, menjadi dewasa itu pasti, sebab konstruksi pikir masyarakat menuntut setiap orang, terutama laki-laki, untuk menjadi dewasa. Sebelum umur 25, laki-laki sudah harus menamatkan kuliahnya dan memiliki pekerjaan yang mapan. Sebelum umur 30, laki-laki sudah harus menikah. Sebelum umur 35, laki-laki seperti suamimu ini sudah harus memiliki rumah, menyediakan tempat tinggal untuk keluarganya. Inilah dewasa menurut standar masyarakat sekarang. Tinggal ikuti saja, sudah pasti kamu dianggap dewasa. So, terimalah kebenaran versi lain dariku. Menjadi dewasa itu pasti, menjadi anak-anak kembali itu pilihan


Begini bangunan argumentasi Delano.

Menjadi dewasa itu artinya tidak menjadi anak-anak lagi. Apa yang dimiliki anak-anak, yang harus dihilangkan ketika seseorang memutuskan menjadi dewasa? Hobbi atau minat. Passion.

Dua puluh lima tahun yang lalu, Delano kecil sangat gembira ketika namanya dipanggil saat upacara di sekolah sebagai pemenang lomba menulis puisi. Kedua orangtuanya pun terlihat bangga saat itu ketika tetangga memuji betapa beruntungnya mereka memiliki anak pintar dan berprestasi seperti Delano.

Delano kecil yang melihatnya lalu merenung dalam hati: Ayah dan ibuku tersenyum senang senang karena aku menang menulis puisi. Mereka menyemangatiku dan mengusap kepalaku. Aku ingin mereka tetap senang.

Sejak saat itu, membaca dan menulis puisi menjadi kegemarannya. Ia berangan-angan, ketika besar nanti ia tak hanya menang lomba menulis puisi tingkat sekolah lagi, tetapi menjadi penyair besar yang diperhitungkan di tingkat internasional. Sebab kalau itu terjadi, tentu kedua orangtuanya akan jauh lebih senang lagi. Memikirkannya saja membuat Delano bahagia.

Angan untuk menyenangkan ayah dan ibunya itulah yang memberinya energi dan kepuasan untuk membaca puisi lebih banyak lagi, menulis puisi lebih banyak lagi. Ia gembira setiap kali satu puisi selesai ditulisnya. Di benaknya, satu puisi yang selesai ditulisnya ini adalah harapan untuk kembali membuat bangga ayah dan ibunya. Lengkap sudah.

Bagi Delano, menulis puisi adalah kegembiraan dan harapan.

Menjadi penyair besar suatu saat nanti, itulah mimpinya. Maka Delano harus tetap menulis puisi. Sebab jika Delano tidak menulis puisi lagi, dia takut ia tidak lagi memiliki mimpi.

Akhir-akhir ini dia memang semakin jarang bermimpi. Entah karena tertidur pulas setelah keletihan membaca buku sumber dan mengolahnya menjadi artikel – untuk memenuhi deadline permintaan dari majalah yang memberinya penghasilan meski kerap tidak cukup bahkan untuk kebutuhan sehari-hari mereka – atau karena hal lain, Delano tidak tahu pasti.

Ingatan masa kecil memenangi lomba menulis puisi tingkat SD yang menjadi awal perjalanan karirnya menjadi penulis kolom sastra tidak lagi muncul dalam mimpinya. Mungkin ingatan itu berusaha ditekannya ke alam bawah sadarnya sebab di kenyataan sehari-hari, apa yang dilakoninya sekarang tidak lagi mendapat tepuk tangan dari banyak orang. Bahkan pekerjaannya sebagai penulis kerap menjadi bahan tertawaan rekan sealmamaternya pada satu dua kali reuni. Rekan-rekan satu sekolahnya dulu, yang sekarang setiap kali reuni pasti datang dengan mobil mewah terbaru mereka.

Mungkin seiring bertambahnya usia, orang memang tidak bermimpi lagi. Baik mimpi tidur maupun mimpi dalam arti cita-cita. Sempat Delano berpikir begitu.

Tapi Delano tak bisa membohongi hati kecilnya. Ia bahkan ingat bahwa perasaan bangga yang muncul pertama kali ketika ia menjadi penulis puisi cilik masih terasa hangat. Hingga sekarang, di usianya yang ke-35.


“Dukung Delano. Dorong Delano bermimpi. Bukan sembarang mimpi saja, tetapi mimpi yang besar”, begitu kata Bu Sinaga, wali kelas Delano pada pertemuan dengan kedua orangtuanya pada saat acara kelulusan mereka. Ibu Sinaga sendiri memiliki alasan memberi motivasi seperti itu sebab ingat ketika ia mengajar di kelas Delano.

”Delano, apa cita-citamu?” tanya bu Sinaga.

“Aku ingin jadi penyair, Bu Guru,” kata Delano.

”Aku ingin jadi artis sinetron,” sahut yang Suman, anak yang lain.

”Aku mau jadi astronot,” ujar yang lain berebut.

Selain jawaban itu masih banyak jawaban anak-anak lain yang berbeda. Ada yang ingin menjadi guru, jadi perawat, jadi kyai, polisi, tentara, bahkan ada juga yang menyebut ingin jadi presiden. Itu semua terucap atas pikiran mereka yang begitu sederhana sesuai kemampuan berpikir mereka.

Tapi menjadi penyair? Ini sesuatu yang unik. Bagi Ibu Sinaga, menjadi penyair adalah jawaban yang sangat berani. Terlebih di tengah masyarakat yang mengolok-olok berkesenian sebagai pekerjaan orang malas dan tidak akan mampu menghasilkan banyak uang.

Dan memang benarlah, ketika di bangku kuliah dimana para mahasiswa sudah mampu merumuskan cita-cita mereka lebih mengerucut pada bidang dan profesi yang lebih spesifik. Ada yang mengaku ingin menjadi arsitek, dosen, peneliti, ahli biologi dan sebagainya sesuai dengan bayangan yang mereka inginkan. Dan Delano masih tetap ingin menjadi penyair.

Teman-temannya sendiri sekarang kerap menyindir Delano sebagai pemimpi. Ia tahu, ini sindiran untuknya. Di awal, Delano tidak habis pikir dengan cemooh mereka. Delano beberapa kali ingin menjelaskan dasar pikirnya ini kepada siapapun yang meremahkan profesi dan passion yang dia miliki ini.

Tetapi sekarang Delano memilih menarik diri. Batinnya berkata bahwa bukan kesalahan mereka sehingga mereka tidak bisa melihat bahwa mimpi seorang anak bukanlah omong kosong atau bualan semata. Bukan kesalahan mereka sehingga mereka tidak lagi memperjuangkan sesuatu yang dulu mereka sangat yakini, pikirkan atau bayangkan.

Ia teringat dengan Suman. Rekan masa kecilnya yang tetap satu sekolah dengannya hingga bangku SMA. Saat itu Suman bercerita bahwa ketika ia mengutarakan keinginan menjadi artis sinetron, kedua orangtuanya memberikan tanggapan pesimis.

“Sudahlah, nak. Bapakmu punya lahan sawit yang luas. Kamu mau kuliah, ya kuliah saja. Ngapain mau jadi artis sinetron. Kamu tinggal selesaikan saja kuliahmu sebab kalau tidak, sebagai keluarga terpandang di kampung kita ini, kami akan malu kalau ternyata kamu kuliah lalu malah drop out“. Suman sangat kesal ketika itu. Untuk apa kuliah kalau ijazah yang didapat nanti hanya demi gengsi keluarga, tetapi tidak sesuai dengan cita-citanya.

Suman memang akhirnya meneruskan mengurusi kebun sawit warisan orangtuanya. Tetapi pada pertemuan mereka yang terakhir, Suman banyak mengeluh dalam curhatnya. Wajahnya murung. Meski tidak kekurangan dari segi materi, sepertinya Suman tidak menikmati apa yang ia jalani sekarang. Wajahnya malah tampak berbinar ketika Delano sengaja memancing obrolan tentang industri perfilman Indonesia saat ini.

Sesampainya di rumah, Delano mengingat kembali pertemuan mereka. Seingatnya, selain omongan cerewet Pia isterinya yang selalu menyebutnya kekanak-kanakan itu, seingatnya hari-harinya ia lalui dengan semangat. Terlebih ketika ia menyelesaikan karya-karya puisinya. Berbeda dengan Suman.

Plot Andalan Menulis Naskah yang Storytell-able

Tahukah kamu apa itu “the seven basic plots” (7 plot dasar)?

Bukan hal baru lagi bahwa disana-sini, kamu mendengar dan mengalami sendiri bahwa kemampuan storytelling (bertutur) menjadi skill andalan yang dibutuhkan dimana-mana.

Seorang ustad atau pendeta yang menyisipkan inti kotbahnya dengan gaya storytelling cenderung akan disukai lebih baik jemaat. Seorang manajer yang mampu mempresentasikan program marketing dengan gaya storytelling cenderung disukai oleh jajaran direksi. Bahkan para diplomat menggunakannya dalam pertemuan internasional membicarakan isu global nan mahapenting. Pidato-pidato heroik bahkan klip video motivasi Reels Instagram yang kamu dengar dan membuatmu merinding, kebanyakan juga menggunakan gaya storytelling. Sebagai siswa, kamu juga pasti lebih senang jika teman yang presentasi tugas kelompok di depan kelas mampu menyajikan materi bahasan mereka dengan gaya bercerita.

Pokoknya, banyak deh gunanya.

Inilah yang kita sebut sebagai the power of storytelling. 

Akan tetapi, apakah kamu benar-benar memahami storytelling?

 

Tangkapan layar screenplay oleh Tri Ebigael Sinaga

Semua plot (alur cerita) berfokus pada hero (karakter utama). Maka tetapkan dulu karakter utama kamu siapa/apa. Bisa jadi hero-mu adalah sosok nabi yang kamu kagumi, seekor anjing kampung yang menyelamatkan petani dari ancaman ular berbisa, sebatang pohon ingul yang kayunya digunakan membuat solu, kamu sendiri, atau bahkan sesuatu yang tidak material seperti gagasan (kemiskinan, ketabahan, daya juang, dan seterusnya).

Secara ringkas, sang hero mengalami fase Antisipasi terlebih dahulu, dilanjutkan dengan fase Mimpi, fase Frustrasi, fase Mimpi Buruk dan berakhir dengan fase Resolusi. Atau dengan redaksi yang lain, misalnya metode 8 sekuens yang merupakan pengembangan dari metode tradisi teater Yunani kuno 3 acts structure alias drama tiga babak (permulaan, konflik/perjalanan, akhir cerita).

Mari kita bahas pelan-pelan.

 

Plot 1: Overcoming the monster

Si hero menempatkan dirinya berhadapan dengan kekuatan antagonis.

Pada tahap ini, sang nabi berhadapan dengan nabi-nabi lain yang menjadi hamba ilah palsu. Anjing kampung menyadari bahwa tuannya sang petani, sedang dalam bahaya sebab ia mendengar desis ular yang mendekat. Tanaman ingul yang masih kecil, susah payah mencari sinar matahari sebab masih berada di pot, diletakkan di gudang yang gelap. Atau kamu yang merasa bahwa seisi kelas tidak ada yang mencakapimu, seakan kamu melakukan aib yang membuat mereka memandangmu dengan rasa jijik padahal kamu tidak melakukan apa-apa.

Umumnya, daya antagonis itu mengancam sang karakter utama atau tempat tinggalnya. Plot seperti ini berakhir ketika sang pahlawan akhirnya menaklukkan kekuatan antagonis yang jahat itu.

Plot 2. Rags to riches

Pada plot ini, sang hero itu miskin, lemah atau tak berdaya. Tetapi alur cerita menuntun pada peristiwa dimana dia akhirnya memperoleh karunia luar biasa entah itu berupa kekuatan hebat, mendapat harta karun rahasia, menemukan sahabat yang setia atau pasangan jiwa yang sudah lama ditunggu. Sang hero kehilangan karunia luar biasa itu tetapi ia akhirnya mendapatkannya kembali. Dia berkembang secara personal seiring dengan pengalaman atau petualangan yang dialaminya.

Plot 3. The quest

Pada plot ini, sang hero tidak sendirian. Dia sudah punya kawanan, yakni teman-teman yang setia bersamanya dalam waktu yang cukup lama dan pertemanan yang sudah teruji.

Si pahlawan dan kawanannya kemudian bersepakat untuk mencari sebuah benda atau mencapai sebuah tempat. Selama perjalanan itu, mereka menemukan banyak tantangan dan godaan (terutama godaan untuk menyimpang dari tujuan awal mereka).

Plot 4. Voyage and return

Sang pahlawan pergi ke negeri antah berantah, dimana dia dan gerombolannya harus menaklukkan sejumlah tantangan dan mempelajari pelajaran hidup yang sulit. Ia kembali setelah jiwanya berkembang, diperkaya melalui pengalaman-pengalaman itu.

Plot 5. Comedy

Komedi yang dimaksud disini tak sekedar humor. Di dalamnya ada konflik dan kebingungan (yang sering semakin meningkat dengan cepat seiring dengan jalannya cerita), tetapi semuanya berubah tone, menjadi serius kembali di akhir cerita.

Plot 6. Tragedy

Disini sang pahlawan ditunjukkan dengan kesalahan atau cacat yang serius atau khilaf yang membuatnya malah harus menjalani nasib sial dan tidak menguntungkan. Akhir cerita seperti ini berujung pada momen yang membuat pendengar atau pembaca merasa kasihan.

Plot 7. Rebirth

Sebuah kejadian dramatis memaksa sang hero untuk mengubah jalan hidupnya sendiri dan menjadi orang yang lebih baik.


Selesai.

Lho, mana resep andalannya, Pak?

Silakan kamu racik sendiri. Menggunakan ketujuh plot itu semuanya, atau beberapa saja. Aku sendiri sedang berlatih untuk membuat hidangan menggunakan ramuan plot 1 Overcoming the Monster, plot 2 Rags to Riches dan plot 7 Rebirth untuk naskah storytelling di berbagai kesempatan. Untuk mudahnya, ingat saja Formula 127.

Kamu boleh meniruku atau mengembangkan sendiri sesuai seleramu.


7 Seven Basic Plots ditulis oleh Christopher Booker.