Kritisisme atas Kritik Christopher Hitchens terhadap Mother Teresa

Suffering is nothing by itself. But suffering shared with the passion of Christ is a wonderful gift, the most beautiful gift, a token of love.” ― Mother Teresa, In the Heart of the World: Thoughts, Stories and Prayers

Banyak Dikutip, Siapakah Teresa?

Bersama kutipan lainnya, kutipan ini banyak dibagikan, terutama oleh mereka yang kagum dengan apa yang dilakukan oleh Agnes Bonxha (Mother Teresa) pada kaum papa di Kalkutta beberapa dekade lalu. Para pengagum tersebut berasal dari berbagai belahan dunia, berbagai denominasi ajaran agama (termasuk Gereja Katolik, yang menjadi rumah religius Mother Teresa), terutama para penduduk Kalkutta.

Mari kita lihat sekilas apa yang dikatakan orang tentang dia. Tidak sulit mencarinya karena ulasan tentangnya memang begitu melimpah. Seperti di laman Wikipedia ini.

Bunda Teresa (Agnes Gonxha Bojaxhiu) lahir di Üsküb, Kerajaan Ottoman, 26 Agustus 1910 – meninggal di Kalkuta, India, 5 September 1997 pada umur 87 tahun) adalah seorang biarawati Katolik Roma keturunan Albania dan berkewarganegaraan India yang mendirikan Misionaris Cinta Kasih (bahasa Inggris: Missionaries of Charity; M.C.) di Kalkuta, India, pada tahun 1950.

Selama lebih dari 47 tahun, ia melayani orang miskin, sakit, yatim piatu dan sekarat, sementara membimbing ekspansi Misionaris Cinta Kasih yang pertama di seluruh India dan selanjutnya di negara lain. Setelah kematiannya, ia mendapat gelar beata (blessed dalam bahasa Inggris) oleh Paus Yohanes Paulus II dan diberi gelar Beata .

Pada 1970-an, ia menjadi terkenal di dunia internasional untuk pekerjaan kemanusiaan dan advokasi bagi hak-hak orang miskin dan tak berdaya. Misionaris Cinta Kasih terus berkembang sepanjang hidupnya dan pada saat kematiannya, ia telah menjalankan 610 misi di 123 negara, termasuk penampungan dan rumah bagi penderita HIV/AIDS, lepra dan TBC, program konseling untuk anak dan keluarga, panti asuhan, dan sekolah. Pemerintah, organisasi sosial dan tokoh terkemuka telah terinspirasi dari karyanya, namun tak sedikit filosofi dan implementasi Bunda Teresa yang menghadapi banyak kritik. Ia menerima berbagai penghargaan, termasuk penghargaan pemerintah India, Bharat Ratna (1980) dan Penghargaan Perdamaian Nobel pada tahun 1979. Ia merupakan salah satu tokoh yang paling dikagumi dalam sejarah. Saat peringatan kelahirannya yang ke-100 pada tahun 2010, seluruh dunia menghormatinya dan karyanya dipuji oleh Presiden India, Pratibha Patil.

Popularitas Teresa: Situasi sekarang

Bagi Gereja Katolik dan jutaan rakyat Kalkutta terutama, Mother Teresa itu benar melakukan kebaikan bagi manusia selama pelayanannya di Kalkutta. Menjadikannya seorang kudus dan sosok yang pantas diteladani adalah puncak dari kekaguman itu.

Bagi Hitchens, Zaenab, dan kritikus lain yang menyebut bahwa Mother Teresa melakukan malpraktek dan memanfaatkan karyanya sebagai ajang mencari popularias, Mother Teresa seharusnya tidak menjadi seorang kudus. Ia penuh kecurangan.

Kritisisme yang saya tawarkan adalah ajakan untuk menggali kembali sebanyak mungkin sumber-sumber valid dari kedua belah pihak, baik yang pro maupun kontra terhadap kebaikan Mother Teresa. Berkat bantuan akses internet, kini sumber-sumber informasi tentang realitas karya Mother Teresa di Kalkutta hingga wafatnya pada tahun 1997 bisa diakses sama mudahnya dengan memberikan kembali umpan balik, pandangan, opini dan komentar terhadapnya.

Tidak ada jaminan untuk bersikap objektif seratus persen, bahkan kendatipun fakta yang sama hadir di depan kita.

Mengomentari Mother Teresa sebagai seorang Katolik, rentan dicap sebagai kekaguman buta.

Mengomentari Mother Teresa sebagai orang luar, bukan penduduk Kalkutta, dan bukan sebagai Katolik, rentan masuk dalam kebingungan saking bersaingnya pages di internet, hampir sama porsinya, baik dari sisi pro maupun kontra terhadap validitas karya Mother Teresa.

Bahkan, Nobel Perdamaian yang diraih Mother Teresa pun bisa dibungkam sebagai sesuatu yang dicemari oleh nuansa politis.

Sebaliknya, mengomentari Mother Teresa sebagai seorang ateis, agnostik, muslim atau kaum agama lain yang anti-Kristen (entah golongan ini ada atau tidak, setidaknya ini semantik yang banyak digunakan), rentan dianggap sebagai argumentasi yang terdorong oleh kebencian belaka. Umum ditemui bahwa pendapat mereka ini ditengarai sebagai opinionisasi a lahaters“.

Meski demikian, karena argumentasi memang tidak harus (dan tidak akan bisa) menyenangkan siapapun, apapun posisi dan latar belakang kita dalam memandang sosok Mother Teresa, tidak berarti bahwa kita sebaiknya berhenti menggali kembali:

Benarkah Mother Teresa memang sebaik yang diberitakan oleh banyak media massa?

Sebaliknya,

Benarkah Mother Teresa memang securang dan semunafik seperti yang ditulis oleh Christopher Hitchens?

Teresa Is A Fraud?

Kritisisme yang menyoal kembali benar-tidaknya kiprah Mother Teresa bagi warga Kalkutta pada masa hidupnya mengalir deras. Bahkan sampai pada puluhan diskusi, tak terhitung banyaknya tulisan yang menyebut bahwa karya yang dilakukan oleh si Agnes Bonxha bukanlah sesuatu yang benar. Karenanya, ia tidak pantas menjadi mendapat gelar Mother Teresa, apalagi sampai menjadi Santa. Salah satu kritisisme yang paling terkenal datang dari seorang jurnalis dan polemicist, Christoper Hitchens.

Belakangan, menjelang kanonisasi Mother Teresa sebagai santa dalam Tradisi Gereja Katolik, kritisisme yang tendensius mendiskreditkan kiprah kemanusiaan Mother Teresa oleh Hitchens tersebut di-viral-kan kembali oleh banyak orang, baik dalam perbincangan di dunia nyata maupun diskusi di dunia maya, seperti yang saya alami dalam sebuah group Facebook.

Sebuah artikel yang ditulis Zaenab Akande, seorang penulis alumna University of Delaware di website Mic.com, disebarluaskan kembali secara masif. Tulisan itu berjudul: “Mother Teresa Not a Saint: New Study Suggests She Was a Fraud” (Mother Teresa Bukan Seorang Kudus: Studi Terbaru Menunjukkan Bahwa Dia Melakukan Kecurangan).

Berikut kutipan artikelnya secara utuh:

Anjezë Gonxhe Bojaxhiu, known worldwide as the Blessed Mother Teresa, is often said to be a pillar of peace. With a Nobel Prize under her belt and a legacy of charity, the results of a new study may seem shocking to some.

The study was a joint effort by Serge Larivée and Genevieve Chenard from the University of Montreal as well as Carole Sénéchal from the University of Ottawa. It delves into the effective PR strategy the Vatican constructed for her while disregarding questionable methods she used to conduct her work.

A television documentary released nineteen years earlier, in 1994, brought to light similar claims by journalist and writer Christopher Hitchens. The documentary was titled Hell’s Angel, as Hitchens’ following book release in 1995 was shrewdly named The Missionary Position: Mother Teresa in Theory and Practice. He is said to be one of the many resources utilized in the study. This brings forth the conundrum — if Mother Teresa wasn’t as good as she seemed while she was still alive, then why is she a saint in the public’s eye? Larivée and his fellow collaborators practically answer this question in the form of another, “What could be better than beatification followed by canonization of this model to revitalize the Church and inspire the faithful especially at a time when churches are empty and the Roman authority is in decline?”

Beatification is the third step towards canonization — in short, making Mother Teresa an official saint of the Catholic Church. The late Pope John Paul II beautified her in 2003. Two miracles must be attributed to her outside of the one that elevated her to beatification must occur in order for her to be recognized as a saint. A miracle called by the Vatican sped up Mother Teresa’s beatification, which is usually a five-year wait. A woman with abdominal pain gave credit to a blessed trinket for aiding in her recovery when doctors countered modern medicine did the trick. In London of 1968, Mother Teresa found camaraderie in the capable hands of Malcolm Muggeridge, a journalist who held the same Roman Catholic and conservative ideas as her. Let it be noted that Mother Teresa was anti-abortion, divorce, and contraception. It was in his name gave the booming start to Mother Teresa’s career in the limelight. His influence is so profound that it has been noted that without Muggeridge, there would be no Mother Teresa.

After analyzing over 200 documents about Mother Teresa, the researchers of the study came across jarring contrasts to her reputation, one including her policy on taking care of the poor and ill.

She once said, “There is something beautiful in seeing the poor accept their lot, to suffer it like Christ’s Passion. The world gains much from their suffering,” in response to criticism pushed on by Hitchens. With money bountiful from her charity efforts, Mother Teresa was equipped with resources to give the ill that came from across the world for healing. Instead, she allowed their health to decline, without medicine to hinder pain, proper food, and cleanliness. Yet hypocrisy dictated that when Mother Teresa needed medical care, she received it in a hospital.

Furthermore, Mother Teresa seemed to favor the darkly wealthy while offering nothing but prayer to the poor. The study points out how she accepted honors and grants from Haitian dictator Jean-Claude Duvalier, a man known for the severe mistreatment of his own people while living in a bubble of luxury. When asked to return donated money from the corrupt banker Charles Keating, she remained silent and she also accepted money from Robert Maxwell, later discovered as stolen money. She had millions of dollars transferred to secret accounts to which Larivée asked once again, “Given the parsimonious management of Mother Teresa’s works, one may ask where the millions of dollars for the poorest of the poor have gone?” When floods and chemical disaster hit her home of India, there were no financial relief efforts to be found.

The ideal situation would situate Mother Teresa in an arena where she can’t be touched — but that has not and should not be the case. Everyone wishes to remember her as an idol to look up to, rather than the reality that she was a flawed human being — arguably, a fraud.

Tulisan ini cukup provokatif, dan punya beberapa nilai pencerahan. Poin positif yang bisa diambil dari artikel ini ialah upaya kritisisme tanpa henti, seperti telah dimulai sejak Hitchens (yang reportasenya dijadikan dasar penulisan oleh Zaenab), sedemikian sehingga para pengagum Mother Teresa ini membuka mata akan adanya kemungkinan lain soal apa yang sesungguhnya dilakukan oleh Mother Teresa. Tulisan ini bersama puluhan halaman lain adalah upaya menulis ulang hasil repotase Hitchens. Karenanya, kritikus yang pantas diperhitungkan dalam kontribusinya mengenai validitas karya kemanusiaan Teresa tetap Christopher Hitchens.

Konkusi Hitchens yang cukup mencengangkan ialah bahwa menurutnya Agnes Bonxha melakukan malpraktek dalam pelayanannya di Kalkutta.

Selain itu, Agnes juga dituding sengaja menyalahgunakan dana donasi yang diperuntukkan bagi karyanya dengan malah menyimpan dana itu di sebuah rekening rahasia.

Kesucian Tidak Bisa Dimanipulasi Maupun Difabrikasi.

William Doino Jr, seorang penulis Inside Vatican, menulis sebuah kritik di First Things (afiliasi dari The Institute on Religion and Public Life, sebuah lembaga riset dan pendidikan inter-religius dan non-partisan) terhadap metodologi yang dilakukan oleh Christopher Hithens untuk menanggapi kembali viralitas tentang tuduhan eksploitasi oleh Agnes Bonxha. Tanpa menjadi apologetis fanatik, William menunjukkan beberapa hal mendasar yang juga perlu diketahui publik sehingga mereka bisa melihat kembali siapa itu Agnes Bonxha: Apakah benar seperti yang ditulis dan difilm-kan oleh Hitchens.

Untuk menyeimbangkan tulisan-tulisan Hitchens sebagaimana dikutip Zaenab, disini saya muat kembali artikel William Doino.

She was called a “messenger of the love of Christ,” awarded the Nobel Peace Prize, and beatified by the Holy See. But for most people, she is simply Mother Teresa, one of the most admired women of modern times.

Born as Agnes Bojaxhiu in Macedonia in 1910, Blessed Teresa came to public attention relatively late in life, but when she did, her impact was profound. In 1969, Malcolm Muggeridge hosted a BBC documentary on her, Something Beautiful for God, following it with his now-classic book of the same name. In it, he recounted the series of events that led a young Balkan girl to become a nun, found a new religious order, and become a heroic servant of the poor and dying”first in the streets of Calcutta, then all over the world. The documentary deeply moved people, and inspired a new generation of Christian activists; more than a few became Missionaries of Charity themselves.

As with all models of beauty in life, however, there are cynics who have tried to tar Mother Teresa. In the 1990s”after Muggeridge had died, but with Teresa still active”the late Christopher Hitchens launched an aggressive attack on Mother with a documentary and book aimed to inflame: Hell’s Angel and The Missionary Position. These polemics didn’t reflect the truth, but did manage to fool a number of people.

The remarkable thing about Hell’s Angelis that it purports to defend the poor against Mother Teresa’s supposed exploitation of them, while never actually interviewing any on screen. Not a single person cared for by the Missionaries speaks on camera. Was this because they had a far higher opinion of Blessed Teresa than Hitchens would permit in his film?

Avoiding the people at the heart of Teresa’s ministry, Hitchens posed for the camera and let roll a series of ad hominem attacks and unsubstantiated accusations, as uninformed as they were cruel. He called Muggeridge”one of the most acclaimed journalists of the twentieth century”an “old fraud and mountebank,” mocked his belief in the supernatural, and even referred to Mother Teresa as a “presumable virgin.”

She was denounced for meeting with unsavory politicians and businessmen, in order to assist the poor, but ironically, it is Hitchens who used the film to promote Jean-Bertrand Aristide, a notorious ex-priest whose was symbolized by corruption and abuse. Of Teresa’s travels abroad, Hitchens declared: “She may or may not comfort the afflicted, but she has certainly never been known to afflict the comfortable””but the documentary shows her doing exactly that, decrying abortion in front of affluent pro-choice audiences.

Hitchens expressed shock that Teresa encouraged victims to forgive those who harmed them, causing many to wonder whether he was aware of the basic tenets of Christianity.

The height of absurdity came when Hitchens assailed Mother Teresa for allegedly giving her heart to greater Albania, “a cause that was once smiled upon by Pope Pius IX and his friend Benito Mussolini.” It would have been hard for Pius IX to have been friends with Benito Mussolini, given that Pius died in 1878, and Mussolini was not born until 1883, but why should Hitchens be concerned about historical facts, when he was having such fun making them up?

Despite this effort to diminish Mother Teresa’s reputation, it stands as high as ever, fifteen years after her passing. Her order and affiliates continue to expand. By 2010, notes biographer Kathryn Spink there were over five thousand Missionary of Charity sisters, serving in 766 houses in 137 countries, and another 377 active brothers serving in sixty-eight houses in twenty-one countries. The Lay Missionaries of Charity, now twenty-five years old, are also growing, operating in fifty countries.

The expansion of her order speaks volumes about its integrity and effectiveness, but the support and admiration it has received has proven too much for some. On March 1, three Canadian academics”Serge Larivee, Genevieve Chenard, and Carole Senechal”released a report on Mother Teresa, renewing the criticism. A press release, darkly entitled “Mother Teresa: Anything but a Saint,” read:

In their article, Serge Larivee and his colleagues . . . cite a number of problems not taken into account by the Vatican in Mother Teresa’s beatification process, such as her “rather dubious way of caring for the sick, her questionable political contacts, her suspicious management of the enormous sums of money she received, and her overly dogmatic views regarding, in particular, abortion, contraception and divorce.”

That was not all. The researchers accused Mother Teresa of running facilities with inadequate medical care while receiving quality medical care herself, said she was more in love with poverty than helping the poor, and implied she was psychologically unstable because she suffered through bouts of doubt. For good measure, they attacked the miracle that the Church has attributed to her intervention.

After studying their report”twenty-seven pages in French”I sought out people who had known Mother Teresa, or been involved with her cause to inquire about its charges. Every single one of them told me that the Mother Teresa presented by the Canadian researchers was unrecognizable from the one they encountered, and to prove it, provided point by point rebuttals to their accusations.

Fr. Peter Gumpel, an official at the Congregation for the Causes of Saints, told me that far from overlooking criticism of Mother Teresa, the allegations were taken quite seriously, and answered:

There are mistakes made in even the most modern medical facilities, but whenever a correction was needed, Mother and the Missionaries showed themselves alert and open to constructive change and improvement. What many do not understand is the desperate conditions Mother Teresa constantly faced, and that her special charism was not to found or run hospitals”the Church has many who do that”but to rescue those who were given no chance of surviving, and otherwise would have died on the street.

But it is “absolutely false,” he stressed, to claim that she rejected or neglected available medical care for those still treatable, or good palliative care for the terminally ill. “Beware of anecdotal stories circulating from disgruntled people or those with an anti-Catholic agenda,” he warned.

Charges of financial impropriety are equally unfounded; in fact, Blessed Teresa helped raise, and spent, “enormous sums of money” on the poor, and she donated funds to the Holy See, which in turn distributed them to Catholic hospitals and other good works. Utterly bizarre was the researchers’ charge that the Vatican officials did not adequately consider her firm stands against abortion, contraception, and divorce:of course they did”and her orthodoxy was “one of the many assets in her favor.”

Commenting about the doubts Mother Teresa experienced, Gumpel asked, “Do not these researchers understand that periods of doubt, and even severe trials of faith, have affected some of the Church’s greatest saints”St. John of the Cross, Therese of Lisieux”and that persevering and overcoming them is considered one of the signs of sanctity?”

As for the miracle attributed to Blessed Teresa, “There are always skeptics who question every Vatican-approved miracle, and accuse the Church of manipulating the evidence, but the Congregation’s medical board has very vigorous examination procedures, and stands by its decisions.” Against the skeptics, no fewer than five doctors declared there was “ no medical explanation ” of the healing attributed to Mother Teresa.

Fr. Leo Maasburg, an Austrian priest who was Mother Teresa’s close personal friend and spiritual advisor and the author of a moving portrait of her, told me that the idea that Blessed Teresa loved poverty rather than poor people was “a diabolical twisting” of her actual beliefs, which were “to help the poor and suffering to the utmost.” Despite her travels (undertaken purely to spread her charitable activities), Blessed Teresa lived an extremely modest life in Calcutta, and Fr. Maasburg was emphatic that she never asked for special favors or medical care”a fact since confirmed by others close to her, including the physicians who treated her during her final illness.

Fr. Maasburg also stressed that Blessed Teresa was the first to acknowledge her imperfections, and would constantly teach those around her: “If someone criticizes you, first ask yourself, is it right? If he is right, apologize and change, and the issue is resolved. If he is not right, clarify and correct, but if that does not work, take up the unjust accusations with both hands and offer it to Jesus in union with his suffering, because he was slandered by all sides.”

The most powerful witness I spoke to was Susan Conroy, who worked with Mother Teresa in Calcutta”traveling there as a twenty-one-year-old volunteer in 1986. She knew Mother for the last decade of her life, and wrote Mother Teresa’s Lessons of Love and Secrets of Sanctity. She speaks about Blessed Teresa often. She read the report by the Canadian academics in its original French, and reacted with sadness, offering this first-hand testimonial in response:

When I read the criticisms of how the patients were cared for in the Home for the Dying, I kept thinking back to my personal experiences there . . . . I know how tenderly and carefully we tended to each of the destitute patients there”how we bathed them, and washed their beds, and fed them and gave them medicine. I know how the entire shelter was thoroughly and regularly cleaned from top to bottom, and each patient was bathed as often as necessary, even if it was multiple times a day

They were considered “untouchables” of society, and yet there we were touching and caring for them as if they were royalty. We truly felt honored to serve them as best we could. Mother Teresa had taught us to care for each one with all the humility, respect, tenderness and love with which we would touch and serve Jesus Christ Himself”reminding us that “whatsoever we do to the least of our brothers,” we do unto Him.

After hearing from these supporters, I requested interviews with the researchers, and finally obtained one with Dr. Chenard. Her answers to my series of questions were both astonishing and revealing: She confirmed for me that her academic team did not speak to a single patient, medical analyst, associate, or worker of Mother Teresa’s before writing their paper against her; nor did they examine how all her finances were spent; nor did they speak with anyone at the Vatican involved with her sainthood cause, or consult the Vatican’s medical board which certified the miracle attributed to Blessed Teresa.The researchers had not even traveled to Calcutta, whereas even Hitchens, misguided as he was, at least did that.

As it turned out, this “research paper” was nothing but a “review of literature,” a repacking of whatothers had already written, with the academics putting their own negative spin on it. In other words, an indictment based upon no original research, and the author most frequently cited? Christopher Hitchens. Yet these “findings” made international headlines, and were repeated by many without objection.

Sanctity cannot be fabricated, and true holiness often invites worldly ridicule, as Our Lord foretold. But Blessed Mother Teresa’s radiant witness will survive as long as truth and tenderness survive in the human heart”which, God willing, will be until the end of time

Kritisisme Belum Berakhir

Menangkap bulat-bulat gagasan Hitchens ataupun membela mati-matian kekudusan Mother Teresa adalah dua ekstrem yang sebaiknya tidak menjadi final standing position dari kita.

Akan selalu ada perang gagasan, perang media, dan perang viralitas berita tentang setiap sosok fenomenal, karena rating memang mendapatkan sumbangan terbesar dari propaganda, opinionisasi, analisis dan komentar terhadap suatu “public figure”, atau seorang “public property”.

Satu hal jelas, lepas dari pro-kontra benar tidaknya tuduhan malpraktek yang dilakukan oleh Mother Teresa, publik Kalkutta dengan bangga menyebut bahwa Agnes Bonxha atau Mother Teresa adalah bagian dari mereka.

Sebagai pengamat, pembaca, fans ataupun kritikus, ada baiknya kita mendekat ke sumber-sumber yang paling dekat dan paling mengenal sosok Agnes Bonxha atau Mother Teresa, si ibu tua renta, si gadis manis, dan si biarawati dengan raut wajah yang tegas sekaligus penuh welas ini.

“Terpujilah Engkau, Yang Menciptakan Lappet dan Ombus-ombus”

Everybody Needs a Home

Sejatinya setiap orang memang tidak bisa lepas dari lingkungan tempatnya hidup.

Namun, layaknya tidak setiap house (bangunan rumah) adalah home (suasana penuh penerimaan), maka lingkungan tempat seseorang hidup bersama manusia lainnya bisa saja lingkungan yang menerimanya dengan hangat, atau malah penjara yang nyata buatnya.

Sebagai unit masyarakat paling dasar, keluarga didaulat sebagai home paling pertama yang mesti dimiliki setiap orang. Beberapa keluarga memenuhi kriteria ini. Tetapi, bukan saja di negara maju yang kita tuding sebagai akibat dari sekularitas yang kebablasan, di bangsa kita yang penuh dengan adat ketimuran pun sama:

Banyak keluarga yang hancur berantakan; orang tua tidak pernah punya waktu dengan sang anak, anak yang tidak mau berinisiatif untuk berkomunikasi dengan orang tua sehingga terlibat drugs, penodaan tubuh dan penyalahgunaan fungsi-fungsi seksual mereka, bahkan hingga kekerasan dalam rumah tangga baik secara fisik maupun psikologis. Litani ini bisa diperpanjang lagi untuk semakin menunjukkan kegagalan banyak keluarga sebagai home yang “nyaman” dan “membuka tangan secara hangat” bagi semua anggotanya.

Peer group, lingkungan arisan, bahkan kopi darat antar teman se-almamater juga tidak jauh berbeda. Berharap bisa menemukan kehangatan yang hilang dari rumah, malah kerap pertemuan-pertemuan yang ada justru menegaskan jurang relasi yang selama ini sudah membentang di antara para anggota. Bisa berupa status sosial, banyaknya aset ekonomis, atau bahkan mulai berhitung prestasi akademis atau monumen hidup yang pantas diceritakan berulang-ulang seperti lagu kebangsaaan pada setiap upacara bendera. Lingkungan ini juga bukan home yang akan bertahan lama.

Berkat kemudahan transportasi dan inovasi teknologi digital, orang menyadari bahwa membangun “home” dengan warga kosmopolitan ternyata mungkin. Bagi yang memiliki budget cukup, berkunjung ke Paris lalu menunjukkan foto selfie di Instagram, lalu mengirimkan tweet #Le Bleus, Merci beaucoup” adalah impian setiap ibu-ibu ceria dan ceriwis yang biasanya punya suami parlente juga. Kita pun tidak tahu pasti apakah pundi-pundi mereka di deposito adalah sisa pembelian saham di perusahaan X di British Virgin Island, atau malah jelas-jelas kuota emas tujuh turunan yang mereka peroleh dari ‘sang tuhan naga’ mereka.

Remaja pun tidak mau kalah. Berhubung mereka umumnya belum bisa mandiri secara finansial, dengan keadaan yang sama: tidak menemukan home yang mereka cari, maka mereka pun mulai mengembara. Mengais perhatian lewat likes, retweet, poke, recommendation, thumbs up, mention. Tak jarang tanpa sadar menghabiskan waktu dan daya kreatifnya berjam-jam menjadi satpam akun media sosialnya. Jika lapar, cukup dengan membeli sebotol Bir Zero dan semangkok Indomie Rebus pakai Telor, maka suasana berselancar di dunia maya dan menggauli dunia maya hingga ngantuk, lemas lalu tertidur. Begitu keesokan harinya, setiap kali mereka punya waktu senggang.

Tetapi mereka juga tidak kunjung menemukan rumah yang mereka “cari”. Buktinya, mereka masih melakukannya lagi besok. Esoknya. Dan besoknya lagi. Kehausan dan pencarian tak kunjung henti “rumah”, “suasana kehangatan” serta “home” yang hilang dari susunan tembok dan langit-langit berinterior mewah ternyata tidak terjadi di daerah perkotaaan saja. Pengaruh modernisasi tidak lagi semata monopoli kaum urban. Orang yang tinggal di pedesaan juga sekarang bukan lagi “orang udik” yang dulu diterangkan lewat folklore Pak Belalang, Lebai Malang, Si Mardan.

Penyalahgunaan fungsi seksual juga terjadi di daerah yang bahkan masih tidak terjangkau akses internet semacam IndiHome atau jaringan Indosat – Oredoo. Penggunaan narkoba juga marak dilakukan anak remaja yang karena tidak punya ide kegiatan peer-group yang menarik lagi, kini saban hari membohongi ibu mereka: Alasannya mau mengerjakan PR kelompok, ternyata mereka ramai-ramai terlentang di ruang kelas sekolah proyek Inpres yang tidak dijaga oleh guru honorer yang mesti menjual pecel lagi untuk memenuhi kebutuhan keluarga. Remaja ini malah jauh lebih lihai merajang tembakau, mengisinya dengan bubuh canabis yang memabukkan itu, atau jika dosis kurang, mereka pun sudah tidak asing lagi dengan si “Jamur”. Tak perlu menyebutkan daerahnya, cukup dengan introspeksi saja.

“Ro hamu, Adong Lappet dohot Ombus-Ombus Di Jabu Nami”

Menulis dan membaca tulisan ini membuat saya sendiri merasa pesimis dengan komitmen manusia dewasa ini untuk menciptakan “rumah” di manapun mereka berada. Rumah, yang mensyaratkan bahwa seorang manusia yang lain mempunyai waktu untuk bertegur sapa dan berbicang-bincang sebagai I-You, kini hanya tinggal dalam album foto keluarga, kenangan lustrum almamater atau bahkan sekedar koleksi foto di Facebook atau DropBox.

Situasi utilitaristik di lingkungan kerja, kompetisi berdarah-darah di dunia wiraswasta, tawaran menggiurkan dari berbagai platform yang menawarkan kenikmatan tubuh tanpa harus diketahui keluarga, bullying yang masih mendarah daging dalam peer group, anak-anak yang setiap hari disodori video games supaya tidak rewel dikunci dalam rumah bertembok tinggi dan berpagar gembok, ditambah lagi dengan komplotan kolot rasis yang sering menunjukkan aksi katrok mereka di fasilitas publik dengan meledakkan diri sendiri, dan rentetan keluhan lainnya membuat tulisan ini sempurna sebagai resume saya atas dunia yang menuju alienasinya. Hingga kemudian, seorang teman lama menelfon dan mengulang kembali ramah-tamah beberapa tahun yang silam.

“Ro hamu, Adong Lappet dohot Ombus-Ombus Di Jabu Nami”, ucapnya antusias tanpa kehilangan nada tulus dalam suara cerianya. Pembicaraan yang hangat itu pun berlanjut pada cerita nostalgia dan tukar cerita soal keadaan masing-masing, termasuk tanpa sungkan bertanya: “Sudah bagaimana kamu sekarang? Sudah punya anak berapa”.

Meskipun, ini merupakan pertanyaan yang paling sulit aku jawab. Bukan apa. Kartu undangan pernikahannya masih didesain. Konon desainer kartu undangan butuh waktu lebih dari dua tahun lagi sejak artikel ini ditulis. Hahaha …

Aku beruntung bahwa keluarga yang membesarkanku secara umum adalah rumah paling ideal yang mungkin aku dapatkan. (Ya. Tentu saja setiap orang akan berkata demikian, bahwa keluarga mereka adalah the best home ever. Jika itu terjadi, justru keluhan tentang keluarga yang jauh dari suasana “home” di bagian atas tentu tidak perlu ada. Jika bukan saya, maka pasti ada dari antara mereka yang berbohong, hahaha …)

Dan, sembari membolak-balik Ajaran Sosial Gereja dan browsing tentang keprihatinan global terhadap ekosistem relasionalitas manusia dewasa ini, maka terhentilah aku pada poin ini. Salah satu poin yang menjadi ringkasan ensiklik Paus Francis “Laudato Si”. Disebutkan: “Don’t Trade Online Relationships for Real One”.

Relasi nyata yang kini kerap digantikan relasi maya (komunikasi internet) mesti kita kembalikan lagi. Benar bahwa kita punya hak untuk memilih hubungan dengan orang yang kita sukai dan menghilangkan hubungan dengan siapa saja yang membuat kita tidak nyaman.

Tetapi bukan berarti komunikasi seorang remaja puteri dengan ibu harus terhenti hanya karena sebal si ibu cerewet melihat kamar tidurnya yang berantakan, lalu kita memilih untuk mengungkapkan sisi terdalam pubertas dan seksualitasnya dengan mengumbar foto kemaluannya lalu menyebutkan berapa banyak tahi lalat yang ada di sekitar area pubis-nya.

Bukan berarti seorang lelaki tidak bisa lagi berbicang dengan ayahnya meskipun pandangan politik mereka berbeda.

Anak-anak juga perlu menemukan tempat dan waktu bermain yang membuat mereka kelak bangga di masa dewasanya, bahwa masa kecil mereka bukan sekadar DOTA, Clash of Clans, tubuh gembrot dengan lumuran coklat dan pipi pucat karena tidak kurang asupan sinar matahari luar. Atau kacamata pantat botol dengan rambut kuncir padahal kurikulum penyusunan skipsi masih sepuluh tahun lagi. Semua mimpi buruk ini hanya bisa dicegah jika sesegara mungkin aku dan pera pembaca sepakat untuk mulai lagi menciptakan sebanyak mungkin “rumah”.

House bisa hilang, baik karena disita oleh KPK, kita gadaikan sendiri ke Perum Pegadaian, kita wariskan kepada anak-anak supaya mereka tidak bertengkar, atau kita jual kepada pengembang properti yang ingin mendirikan mall di daerah kita, atau lapuk ditelan usia, tetapi “home” adalah sesuatu yang kita bisa bawa kemanapun kita pergi.

Mungkin bisa dimulai dengan langkah kecil saja.

Seperti yang baru saja dilakukan oleh teman saya yang barusan menelfon. “Ro hamu, Adong Lappet dohot Ombus-Ombus Di Jabu Nami”, kata-kata itu masih terngiang.

Sesederhana itu.

Maka, menyitir Laudato Si yang dalam bahasa Indonesia berbunyi “Terpujilah Engkau”, beberapa menit ini aku lalui dengan syukur, sembari berkata dalam hati:

‘”Terpujilah Engkau”, yang menciptakan Lappet dan Ombus-ombus.’

Horas !!!

Meneropong Missing Links Sejarah Batak*

Menjadi Orang Batak Masa Sekarang: Apa artinya?

Menjadi orang Batak pada masa kini, lalu bertemu dengan orang Batak lain dalam beragam jenis dan level pertemuan, berarti larut dalam romantika nostalgia dan kerinduan akan suasana rural-agraris yang stabil di masa lalu. Setidaknya hal itu berlaku bagi mereka yang lahir di tanah Batak (yang menyebut diri sebagai “berasal dari Bona Pasogit“) dan kini menjadi urban migran yang hidup sebagai penduduk diaspora di perkotaan modern.

Di tengah gempuran dan kemudahan di era digital yang penuh dengan kemudahan akses terhadap lalu lintas informasi, ada indikasi kuat bahwa generasi Bona Pasogit ini akan menghadapi ancaman punah dalam dua-tiga generasi dari sekarang.

Jika demikian, warisan nilai-nilai kebatakan apakah yang masih tersisa dan bisa dikembangkan untuk mempertautkan Batak masa lalu dengan ‘generasi digital’ (‘Baby Boomers’ X, ‘Millenials’ Y dan ‘i-Generation’ Z) terkini yang terancam punah dari akarnya? Bagaimana generasi Bona Pasogit bisa mengikuti bangsa-bangsa lain yang maju, mengepakkan sayap (wings) tanpa harus tercerabut dari akarnya (root)?

Filosofi “berakar dan bersayap” hendaknya dipeluk oleh setiap anak muda, yang cinta dengan budayanya, tetapi tidak ketinggalan dengan kemajuan zaman.

Generasi Yang Belum ‘Siuman’

Tahun 1824 adalah tonggak awal pengetahuan kita mengenai Batak di masa lalu. Di sekitar tahun itu dibuat Traktat London sebagai perjanjian transaksi penyerahan kekuasaan wilayah Tapanuli (sebutan tanah Batak di masa itu) dari Belanda kepada koloni Inggris, yang diwakili oleh Stamford Raffles selaku Gubernur Jenderal.

Seluruh tanah Batak di masa itu dan sebelumnya adalah terra incognitadunia yang belum terjamah kemajuan Barat. Bagi kacamata Barat berikut teropong dokumentasi yang menggunakan perspektif itu, masyarakat yang menghuni wilayah itu masih benar-benar splendid isolation.

Menggunakan teropong sekarang, orang-orang Batak yang merasakan urgensi ketersambungan root dengan wings,  bangkit dari status masyarakat yang masih pingsan dan belum siuman adalah konsekuensi logis. Strategi taktis yang harus ditempuh pertama-tama yakni mesti secara sadar mengakui bahwa pada waktu itu tidak ada seorang pun Batak yang sadar bahwa sukunya telah ‘diperdagangkan’ oleh orang-orang yang belum dikenalnya, yakni bangsa Belanda dan Inggris. Baik Belanda maupun lnggeris juga tidak tahu manusia-manusia yang bagaimana menghuni daerah-daerah cakupan traktat itu.” (Dr. A. B. Sinaga, 2007).

Notasi tahun sejak 1824 dan sesudah itu, kini kita ketahui sebagai awal catatan tertulis situasi ‘kesejarahan’ tanah Batak yang kita warisi saat ini. Diantaranya, telah jadi referensi ‘babon’ bagi kita bahwa Burton dan Ward, misionaris Inggris menetap di Silindung pada 1824 dan berhasil menerjemahkan sebagian Kitab Suci ke dalam bahasa Batak. Upaya ini kemudian dilanjutkan oleh Munson dan Lyman (dari Boston, USA).

Tetapi dalam perjalanan ke pedalaman, mereka terbunuh di Sisangkak, Lobupining, 28 Juli 1834. Lalu di tahun 1851, H.N. Van der Tuuk, ahli bahasa (filolog) tiba di Sibolga dan pindah ke Barus pada tahun 1852. Dia berhasil menerjemahkan Alkitab ke dalam bahasa Batak.

Pada tahun 1862 di Parausorat, tibalah Pdt. I.L. Nommensen, misionaris muda yang menjadi “Apostel di Tanah Batak”. Dan kemudian pada 7 Nopember 1863, dia sampai di daerah berlumpur aliran sungai Sigeaon, Tarutung, pada usia 30 tahun. Di tempat ini ia berikrar “Tuhan, inilah tempat yang kuimpikan. Biarlah saya mempersembahkan hidupku buat mereka.”

Sejarah Ditulis oleh Kaum Pemenang

Semua catatan yang ditulis pada masa sekitar Traktat London dan sesudahnya bisa dikatakan sebagai catatan mazhab the big man history, yakni sejarah di sekitar orang besar atau di sekitar kekuasaan dan istana tentang Sumatera Utara dan khusus tanah Batak. Diantaranya, perang Paderi (1835), perang Sisingamangaraja (1890 – dan seterusnya), perlawanan rakyat Sunggal di Sumatera Timur, dan sebagainya. Hal yang tidak asing sebetulnya, jika kita melihat fenomen sejenis di berbagai tempat di belahan dunia lain bahwa sejarah yang kita terima saat ini adalah sejarah yang ditulis oleh kaum pemenang.

Tidak kurang dari seorang Malcolm X yang melihat ini sebagai ketimpangan sejarah yang mesti dibereskan oleh semua pihak dan menjadi tugas global.

The big man history seperti di atas itulah yang kita warisi kini dan kita kerap kita jadikan referensi pengetahuan tentang ‘kesejarahan tertulis’ Batak dan Sumut hingga saat ini.

Beberapa pertanyaan besar muncul:

Mengapa catatan sejarah sosial orang-orang biasa (history of the ordinary people) tentang Batak tidak berkembang luas?

Apa yang terjadi pada tahun-tahun sekitar mulai dikenal sistem pertanian dengan irigasi? (Perlu dicatat bahwa inilah tonggak awal peradaban yang memutus rantai ribuan tahun budaya meramu di wilayah splendid isolation.

Bagaimana situasi masyarakat pada periode antara sistem barter sebelum masyarakat Batak dan Sumut mengenal jasa pertukaran dalam bermata-pencaharian dengan situasi pertanian dan perkebunan ((sosio-eko-geografis)?

Bagaimana sejarah sosial di sekitar pembentukan usaha perkebunan tembakau, karet, dan kelapa sawit di daerah pantai timur?

Apa yang membuat begitu aman dan mudahnya segala usaha korporasi itu dan usaha perminyakan di sekitar Pangkalan Brandan di era 1800-an setelah bangkrutnya VOC?

Situasi sosio-ekogeografi apa yang terjadi di sekitar berlakunya Agrarische Wet 1870 pada masa para pejabat kolonial mulai masuk kampung-kampung mengukur setiap jengkal tanah warga?

Seberapa parah siksaan dan derita ringkih nenek moyang kita, di saat mereka ‘kerja paksa’ membuka hutan untuk membangun infra stuktur-keras sarana jalan dan persawahan, di kota dan pedesaan yang kita nikmati saat ini?

Penelitian ilmiah apa dan untuk tujuan apa yang dilakukan oleh sederet ilmuwan Belanda/Eropa di Sumut dan Batak setelah era 1850-an, seperti Junghunn, van Vollen Hoven dengan murid-muridnya, van Bemmelen, dan seterusnya? Apa kontribusi riset mereka terhadap masyarakat yang menjadi objek penelitiannya?

Sederet sejarah sosio-ekogeografi itu masih gelap bagi generasi terkini karena belum diungkap secara umum. Jika tidak segera sembuh dari status ‘pingsan–nya, generasi Batak modern akan ‘dipaksa’ mewarisi sejarah para pahlawan, the big  man history, yang tetap membawa serta muatan permusuhan abadi antara pemenang dan pecundang.

Awal dari siuman adalah ketika orang Batak bersatu, menggunakan segala pengetahuan dan dilandasi dengan keluhuran niat, lalu ‘menguliti’ warisan dokumentasi menggunakan pisau bedah Occam hingga lapisan-lapisan paling tipisnya sehingga kelihatan transparan.

Mana warisan yang sesungguhnya dari nenek moyang Batak yang pantas kita lestarikan? Mana warisan pengetahuan yang kita bantu sebarkan dengan kebanggaan semu karena disebut sebagai orang yang tahu sejarah Batak, padahal itu hanya warisan yang ditulis dengan penuh ketimpangan metodologis untuk ‘kepentingan orang lain’?

 

Seperti halnya Malcolm X membantu merekatkan warga kulit Hitam Amerika dengan mendekatkan mereka kembali pada tradisi asli nenek moyang Afrika mereka, upaya bersama orang Batak untuk memahami nilai asli tradisi nenek moyang Batak-nya adalah dengan mendekatkan kembali orang Batak pada pengenalan akan nenek moyangnya, yang tentu saja sebagian besar tidak tercatat dalam dokumentasi mazhab the big man history. Setelah itu, barulah wacana pelestarian warisan nenek moyang sebagai turunan mereka mendapat makna dan energinya.


Sosio-geografi yang Folklore-sentris

Bagaimana gambaran sosio-geografis tanah Batak pada era sebelum Agrarishe Wet 1870?

Boleh dikatakan bahwa segala narasi kisah tentang asal-usul orang Batak pertama sampai dengan kisah marga-marga dst., adalah tutur lisan berantai oleh moyang kita yang tidak/belum berbudaya baca-tulis. Kebenaran fakta kisah itu bukan reportase berita, seperti laporan wartawan media saat ini. Juga pasti, itu bukan hasil kajian penelitian ilmiah. Paling maksimal semua narasi kisah itu dalam Ilmu Budaya ataupun Sastra disebut Folklore, yang berarti sebagai “cerita rakyat yang berisi ajaran moral yang baik menurut tradisi atau adat-istiadat masyarakat bersangkutan.”

Mengapa demikian? Sebab jika dirunut dari hasil temuan arkeologis yang dipadu kajian epigragfis dan ilmu sejarah sebagai referensi dasar, maka secara hipotetis diperhitungkan keberadaan orang Batak asal adalah di sekitar tahun 1300. Si Raja Batak sendiri, yang diyakini sebagai manusia Batak pertama diperkirakan baru muncul pada tahun 1260.

Era masa itu adalah pasca mega tsunami yang menenggelamkan peradaban kota internasional emporium Barus pada tahun 1200. Hancurnya peradaban di Barus kuno itu, menurut referensi Barat, dikatakan karena serangan pasukan Gargasi. Referensi ini menjadi ramuan gabungan antara folklore dan catatan perjalanan. Dan sesudah itu, tiada peninggalan apa pun yang bisa dirunut tentang peradaban tanah Batak.

Hermeneutika: Mulai Menggunakan Teropong

Hanya orang yang tertidurlah yang bisa bangun. Tentu saja, harus ada orang lain, yang siuman duluan, membangunkannya.

Detil kisah fakta peristiwa dengan gambaran situasi konteks sosio-geografis era abad ke-13 sampai dengan tahun 1800-an di dalam narasi “sejarah Batak” yang beredar saat ini, sungguh sangat mudah sekali dipatahkan logikanya dari segi rasional ilmiah era modern, jika narasi itu bukan Folklore. Untuk itu, mutlak harus dilakukan tafsir teks terhadap konteks situasi (hermeneutik).

Generasi Batak terkini dengan bangga menyebut diri sebagai manusia rasional dan modern. Mereka menuntut ilmu di sekolah, bahkan sampai di perguruan tinggi dengan capaian akademis tertinggi. Platform komunikasi digital yang menjadi menu harian juga menumbuhkan keniscyaan baru bahwa manusia digital ini bukan lagi generasi yang dengan mudahnya dicekoki folklore apalagi doktrin yang tidak mendapat validasi dari hukum-hukum positif.

Mereka tahu bahwa hingga kini, bahkan teori kreasionis a la Kitab Suci bukan lagi tandingan, setidaknya tidak lagi mumpuni menandingi serangan klaim ilmiah dari teori Big Bang atau String Theory. Maka, jika suatu waktu mereka membolak-balik turiturian yang menceritakan bagaimana Boru Deak Parujar membentuk adonan dari tanah liat dan menciptakan portibi, mereka sudah menikmatinya sebagai myth.

Kini, dari berbagai referensi ilmiah di era modern rasional, telah mudah ditelusuri oleh generasi Batak modern terkini untuk mengetahuinya. Ternyata, setelah ratusan tahun era VOC yang kemudian bangkrut pada 31 Des 1799, lalu menyusul masa pemerintahan kolonial Belanda di tahun 1800. Barulah di tahun 1824, orang-orang Eropa/Belanda mencatat, seluruh daerah tanah Batak sebagai wilayah yang tertutup isolasi rapat karena keadaan alam rimba belantara dengan beragam hewan buas dan ganasnya jurang lembah curam pegunungan yang tertutup rapat. Antar masyarakat kampung (huta) yang satu dengan yang lain, tertutup gundukan tanah tinggi dan pepohonan merapat, sehingga antar mereka tidak berkembang relasi sosio-ekonomis, bahkan selalu saling curiga sebagai musuh.

Imajinasi kita pelaku modern saat ini harus diputar-ulang keluar dari gambar situasi sosio-geografis tanah Batak pasca-kemerdekaan RI, agar kita bisa merasakan rangkaian afeksi peristiwa di dalam narasi itu. Budaya era zaman di dalam kisah ‘narasi sejarah’ atau folklore Batak, hampir pasti masih meramu dengan sistem barter dalam bermatapencaharian. Mereka belum mengenal pola pertanian dengan irigasi dan jasa relasi sosio-ekonomis. Juga pasti, belum ada sarana jalan penghubung yang lancar antar kampung, karena semua infrastruktur keras itu baru mulai dibangun setelah tahun 1800-an di masa pemerintah kolonial, puluhan tahun setelah runtuhnya VOC. Situasi zaman itu hampir pasti, mirip dengan suku-suku primitif Amazon di Amerika Latin atau suku primitif lainnya dalam acara TV National Geographic dan Discovery Channel, Meet the Natives, yang di era global masa kini telah menjadi tontonan hiburan.

Meet The Natives

Narasi kisah ‘sejarah orang Batak’ hampir pasti berupa “petualangan sarat bahaya” di masa sebelum pemerintahan kolonial Hindia Belanda (1800an). Berarti, semua narasi itu ada di masa sebelum kolonial yang pasti juga tanpa ada pengaruh VOC dan suku luar ke wilayah tanah Batak, yang terisolasi hutan lebat alam pegunungan yang dingin menusuk tulang di pagi, sore, dan malam hari. Dalam situasi sosio-geografi itulah, nenek moyang Batak sehari-hari bertualang menembus belantara raya bertabur ancaman bahaya alam dan hewan buas dari satu huta ke huta yang lain, dari lembah yang satu ke lembah yang lain di seputar danau Toba.

Bagaimana mereka menyebar ke berbagai daerah ke luar dari wilayah sekitar danau Toba? Hampir pasti situasi historisnya di zaman itu, sudah masuk era penjajahan dan penindasan yang ringkih dengan kerja paksa oleh pemerintahan kolonial, untuk membangun jalan raya dan merambah hutan menjadi daerah persawahan, perladangan, perkebunan, dan perkampungan (huta) yang kita nikmati di zaman ini. Tetapi lagi-lagi, semua detil fakta peristiwa di dalam narasi migrasi suku dan sub-suku (tribes) itu, tidak bisa dibuktikan sebagai laporan wartawan atau penelitian ilmiah, melainkan benar-benar sebagai folklore, cerita rakyat yang mengandung moral kultural, nilai tradisi unik, karakter kepribadian dan kekeluargaan khas, untuk diwariskan kepada semua turunannya di masa kini dan masa depan.


(*Diubah seperlunya dari kiriman Nikolas Simanjuntak, aktivis ICMICA (Intellectual Movements on Interreligious and Inter-Cultural Affairs) dan Staf Ahli DPR RI sejak 2002)