Demonologi Kristen

Demonologi adalah ilmu tentang iblis, yakni roh (atau roh-roh) jahat yang mempunyai kemampuan untuk mempengaruhi dunia fisik, termasuk manusia, binatang, dan peristiwa alam.

Entah kita percaya atau tidak dengan keberadaan dari makhluk atau benda semacam ini, demonologi adalah ilmu yang gelap, artinya ada beberapa metode klasifikasi,  hirarki dan indentifikasi terhadap nama, tanda dan teori tentang iblis terkait kuasa jahat yang dimilikinya; batasannya, ritual pemanggilan, bagaimana memerintahkan dan mengusirnya.

Ada ratusan, bahkan ribuan teks sihir yang sudah ditulis tentang tema ini.

Demonologi sama pentingnya bagi umat beriman maupun bagi mereka yang ingin mencari bagaimana cara mengendalikan iblis untuk berbagai tujuan jahat.

Bagi umat beriman, memahami demonologi bisa membantunya untuk menjaga diri dari pengaruhnya. Ini disebut sebagai pertarungan spiritual, sebuah perang antara Yang Baik dan Yang Jahat yang berlangsung terus-menerus. Ini sebuah keniscayaan.

Bagi banyak orang, ini menarik.

Barangkali catatan paling tua yang kita bisa lacak tentang roh jahat ini adalah sebuah teks magis dari Mesopotamia Kuno, yang mencatat ada 7 entitas jahat yang disebut udug. Udug tidak pernah digambarkan secara visual, hanya dicirikan sebagai bayangan gelap dengan cahaya memudar di sekeliling mereka, udara beracun dan suara yang keras menakutkan.

Ini ilustrasi udug dari seniman kontemporer


Ketujuh udug/utukku ini dipercaya menyebabkan penyakit. Instruksi detail perihal bagaimana cara mengusir udug inilah yang kemudian menghasilkan beberapa teks Sumeria awal 5000 tahun lalu, pada milenium ketiga sebelum Masehi.

Demonologi Kristen

Fokus kita saat ini adalah Demonologi Kristen, salah satu cabang yang paling berkembang dalam kancah studi tentang iblis.

‘Demon’ sendiri adalah istilah yang berakar dari bahasa Yunani ‘daim‘ yang berarti kekuatan atau roh supranatural. Pada masa Yunani Kuno, istilah ini sama sekali tidak bermakna negatif. Roh-roh ini bisa baik, jahat atau sepenuhnya netral. Filsuf Sokrates, misalnya, berbicara tentang ‘daim’-nya sendiri sebagai figur spiritual yang menginspirasinya untuk mencari kebenaran dari realitas.

Tetapi seiring waktu, kata ini berevolusi hingga semakin spesifik merujuk pada entitas jahat yang sering disalahkan setiap kali ada penyakit mematikan, penyakit jiwa, atau peristiwa malapetaka dan bencana alam yang sulit dijelaskan, misalnya ketika rumah seseorang terbakar secara misterius.

Dari perspektif Kristen, pembahasan tentang iblis ini sangat kompleks.

Sebagai catatan awal, sangat umum diterima dalam kultur populer bahwa malaikat itu baik dan iblis itu jahat. Tetapi dalam teks asal, kedua makhluk ini sebenarnya ambigu secara moral. Misalnya, malaikat yang utamanya adalah pengirim pesan, bertindak mirip robot yang diprogram oleh Tuhan untuk melakukan kehendakNya. Sementara itu, iblis lebih rumit. Mereka sebenarnya adalah malaikat juga, yang dalam tradisi Kristen awal sebagaimana halnya dalam tradisi pendahulunya Judaisme, tetapi mengalami kejatuhan, yakni para malaikat yang kemudian berdosa dan secara permanen diusir dari Surga. Bahasa sederhananya, jika para malaikat secara esensi beroperasi bak robot, maka iblis atau malaikat yang jatuh ini merusak bahasa pemrograman dan tujuan asli mereka sendiri dan turun ke bumi untuk melakukan tindakan lain, seperti berhubungan seksual dengan manusia perempuan karena parasnya yang cantik.

Ini misalnya dapat kita temukan dalam Kejadian pasal 6.

Ketika manusia itu mulai bertambah banyak jumlahnya di muka bumi, dan bagi mereka lahir anak-anak perempuan, maka anak-anak Allah melihat, bahwa anak-anak perempuan manusia  itu cantik-cantik, lalu mereka mengambil isteri dari antara perempuan-perempuan itu, siapa saja yang disukai mereka. Berfirmanlah TUHAN: “Roh-Ku tidak akan selama-lamanya tinggal di dalam manusia, karena manusia itu adalah daging, tetapi umurnya akan seratus dua puluh tahun saja.” Pada waktu itu orang-orang raksasa  ada di bumi, dan juga pada waktu sesudahnya, ketika anak-anak Allah menghampiri anak-anak perempuan manusia, dan perempuan-perempuan itu melahirkan anak bagi mereka; inilah orang-orang yang gagah perkasa di zaman purbakala, orang-orang yang kenamaan. 

Setan sendiri mulanya dianggap malaikat kelas atas yang aslinya bernama Lucifer. Maka, penting diingat bahwa semua iblis, termasuk Setan sendiri, adalah makhluk yang memiliki hubungan langsung dengan Tuhan, mempunyai kekuatan yang berasal dari Surga, meskipun terbatas sesuai kehendak Tuhan. Artinya, Setan dan makhluk iblis lainnya adalah ciptaan dari Allah yang Mahakuasa, yang memberikan mereka izin dan kekuatan untuk menciptakan kerusakan di Bumi dan mencobai manusia.

Membingungkan, tentu saja. Tetapi demikianlah pemikiran Gereja, yakni bahwa dengan cara inilah Tuhan secara berkelanjutan menguji dan membuktikan iman orang kepadaNya, yakni ketika orang yang memilih Setan memilih berdosa.

King James, misalnya – yang kemudian membuat Alkitab versi King James – menekankan bahwa iblis bertindak seturut izin dari Tuhan sebagai ‘Tongkat Pengkoreksi’ (the Rod of Correction) –  sebuah istilah yang diciptakannya sendiri – yakni benda yang dahulu umum digunakan oleh guru dan orangtua ketika mengajari anak-anak.

"Rod of Correction", gambar dari relevate.org

Dengan begitu, iblis adalah malaikat-malaikat yang gagal mengikuti instruksi Tuhan. Mereka tidak jahat dalam dirinya sendiri (inheren) tetapi lebih merupakan aktor independen, yang tidak begitu berbeda dengan manusia dalam hal moralitas dalam bertindak.

Ada iblis yang mempunyai agenda pribadinya sendiri. Ada yang diarahkan oleh hasrat primitif seperti hasrat berhubungan seks. Yang lain lagi secara langsung dipengaruhi oleh Setan di Neraka dan secara aktif melancarkan rencana jahatnya.

Tetapi, ada juga iblis yang ‘baik’, dan percaya atau tidak, ada iblis yang menyembah Tuhan. Hal ini sangat menarik: beberapa kali dalam perikop Kitab Suci, kita menemukan iblis yang tunduk pada kuasa Yesus, sebagai putera Allah dan bagian dari Tritunggal Mahasuci.

Dalam Injil Markus, kita menemukan misalnya setiap kali iblis berhadapan dengan Yesus, ia akan sontak bersimpuh atau tiarap dan menyembah Yesus. Jika kita melakukan penelusuran serupa dari teks Kitab Suci dari yang paling awal ditulis hingga Kitab Wahyu, kita akan menemukan bahwa pada waktu itu ada gagasan bahwa iblis itu netral dan baik.

Meski begitu, Kitab Suci kemudian berfokus pada yang jahat, dan iblis yang secara khusus mengabdi sebagai  pasukan (legion) Setan. Dari sinilah kemudian berkembang gagasan baru bahwa para iblis itu memang dari sendirinya jahat. Kedua gagasan ini bercampur-baur sehingga pada perikop Markus 5:1-20 kita membaca bagaimana Yesus mengusir roh jahat dari orang Gerasa.

Lalu sampailah mereka di seberang danau, di daerah orang Gerasa. Baru saja Yesus turun dari perahu, datanglah seorang yang kerasukan roh jahat dari pekuburan menemui Dia. Orang itu diam di sana dan tidak ada seorangpun lagi yang sanggup mengikatnya, sekalipun dengan rantai, karena sudah sering ia dibelenggu dan dirantai, tetapi rantainya diputuskannya dan belenggunya dimusnahkannya, sehingga tidak ada seorangpun yang cukup kuat untuk menjinakkannya. Siang malam ia berkeliaran di pekuburan dan di bukit-bukit sambil berteriak-teriak dan memukuli dirinya dengan batu. Ketika ia melihat Yesus dari jauh, berlarilah ia mendapatkan-Nya lalu menyembah-Nya, dan dengan keras ia berteriak: “Apa urusan-Mu dengan aku, hai Yesus, Anak Allah Yang Mahatinggi? Demi Allah, jangan siksa aku!” Karena sebelumnya Yesus mengatakan kepadanya: “Hai engkau roh jahat! Keluar dari orang ini!” Kemudian Ia bertanya kepada orang itu: “Siapa namamu?” Jawabnya: “Namaku Legion, karena kami banyak.” Ia memohon dengan sangat supaya Yesus jangan mengusir roh-roh itu keluar dari daerah itu. Adalah di sana di lereng bukit sejumlah besar babi sedang mencari makan, lalu roh-roh itu meminta kepada-Nya, katanya: “Suruhlah kami pindah ke dalam babi-babi itu, biarkanlah kami memasukinya!” Yesus mengabulkan permintaan mereka. Lalu keluarlah roh-roh jahat itu dan memasuki babi-babi itu. Kawanan babi yang kira-kira dua ribu jumlahnya itu terjun dari tepi jurang ke dalam danau dan mati lemas di dalamnya.


Seiring waktu, dengan berkembangnya Kekristenan dan menyebar ke seluruh Eropa, berkembang pula penggunaan istilah untuk menyebut iblis. Istilah-istilah itu kemudian berkembang, yang tadinya hanya merujuk pada malaikat-malaikat yang jatuh, kini juga mencakup semua ilah kafir, ilah yang tak dapat dipercaya, terutama dari agama-agama politeistik seperti Yunani, Romawi, Skandinavia, Jerman dan lainnya. orang Kristen mula-mula dan abad pertengahan meyakini bahwa semua dewa-dewi yang disembah dan dipercayai mempunyai kekuatan terhadap dunia fisik adalah entitas iblis yang menjauhkan orang dari Satu Allah yang Benar.

Pemahaman akan Iblis dengan cara pandang ini sebenarnya tidak dituliskan dalam naskah asli Kitab Suci, namun menjadi semacam apokrif, sebab juga dicatat oleh para penulis Kristen sejak abad II. Cerita rakyat dari berbagai wilayah penyebaran Kristen tentu memiliki legenda dan asal-usul entitas iblis dan dari cerita ini berkembanglah gagasan tentang iblis yang tidak lagi hanya menyebut malaikat-malaikat jatuh dan dewa-dewi kafir, tetapi juga mencakup hantu, ghoul, goblin dan peri. Empat sebutan terakhir ini dimaksudkan untuk menyebut roh lebih rendah yang tidak mempunyai tubuh fisik, tetapi memiliki kemampuan untuk berinteraksi dengan dunia fisik, kadang bahkan dalam cara yang luar biasa. Sebaliknya, manusia juga bisa berinteraksi dengan mereka dengan memanggil mereka, berbicara dengan mereka bahkan mengendalikan mereka dengan serangkaian tindakan magis, atau setidaknya, diyakini begitu.

Maka, supaya tidak meluas, kita kembali pada gagasan awal Demonologi Kristen, yakni kodrat dari malaikat-malaikat yang jatuh dan menjadi jahat, mereka yang mengabdi pada Setan. Seperti apa tampilan mereka, kuasa apa yang mereka miliki, dan bagaimana mereka melaksanakan misinya. Misi yang tentu saja dimaksudkan untuk menguji iman seseorang kepada Tuhan dengan serangkaian godaan dan manipulasi sampai batas ekstrem.

Para iblis

Iblis-iblis sama dengan malaikat dalam hal: bersifat non-fisik, berada di angkasa, dan tidak bisa mati. Iblis tidak mahatahu, tetapi memiliki seperangkat pengetahuan spesifik yang menjadi spesialisasi mereka. Ada yang luas seperti pengetahuan (filsafat) hayati dan moral; ada juga yang sempit seperti pengetahuan tentang berbagai jenis racun berbahaya dan penyembuhan dengan ramuan herbal. Kuasa yang iblis miliki memang berasal dari Surga, tetapi dengan seksama dibatasi oleh Tuhan.

Dimana iblis tinggal?

Iblis juga umumnya hanya bisa hadir di satu tempat pada waktu tertentu, ia tidak mahahadir (omnipresent). Tetapi beberapa tradisi menyebutkan bahwa Setan itu bisa juga mahahadir: inilah yang membuat kuasa Setan jauh di atas melebihi iblis manapun. Injil Markus dua kali mencatat bagaimana kawanan iblis bisa menempati satu orang, dan secara umum iblis-iblis itu dikenal suka menyiksa orang yang mereka rasuki untuk waktu yang cukup lama atau serangkaian upaya lain tanpa henti sampai mereka akhirnya benar-benar merasuki orang itu seutuhnya dan akhirnya memegang kendali. Tidak hanya kepada manusia, kawanan iblis ini juga bisa merasuki binatang. Intinya, semua makluk hidup bisa mereka pengaruhi, semuanya rentan terhadap pengaruh mereka.

Tetapi ketika mereka tidak memasuki seseorang atau binatang, kemana para iblis itu pergi? 

Umumnya kita akan berpikir bahwa iblis-iblis itu tinggal di Neraka. Tetapi Injil Lukas menyebutkan bahwa mereka akan mengembara tanpa henti di tempat yang gersang, tidak ada air, tempat yang terpisah dari dunia fisik ini. Itulah sebabnya rumah asli mereka, tempat yang paling nyaman mereka, adalah dalam tubuh manusia, binatang, patung, atau gambar yang umumnya melekat dengan penyembahan kafir.

Bagaimana rupa iblis?

Lalu, seperti apa penampilan iblis jika ternyata mereka bukanlah makhluk fisik?
Kebanyakan gambaran tentang iblis berasal dari Kitab Wahyu, terutama gagasan bahwa mereka memiliki tanduk. Tetapi sebenarnya gagasan ini tampaknya berasal dari periode yang jauh lebih dahulu, yakni dari dewa-dewi kafir, misalnya Moloch, yang digambarkan seperti sapi. Ada juga dewa-dewi lain yang memiliki kepala sapi, atau justru mengenakan tanduk sebagai mahkota.

Maka, jika kamu berpikir seperti jemaat awal Kristen yang meyakini bahwa dewa-dewi ini adalah iblis yang disembah oleh orang yang jatuh ke dalam pencobaan mereka, kita bisa katakan bahwa tanduk memang menjadi pertanda atau ciri khas iblis. Tetapi, Kitab Suci menjelaskan bahwa iblis-iblis bisa mengambil bentuk dan wajah dari tampilan fisik apapun yang mereka suka, termasuk tampilan dari apa yang kita anggap baik, bahkan suci.

2 Korintus 11:13-15 mencatat:

Sebab orang-orang itu adalah rasul-rasul palsu, pekerja-pekerja curang, yang menyamar sebagai rasul-rasul Kristus. Hal itu tidak usah mengherankan, sebab Iblispun menyamar sebagai malaikat Terang. Jadi bukanlah suatu hal yang ganjil, jika pelayan-pelayannya menyamar sebagai pelayan-pelayan kebenaran. Kesudahan mereka akan setimpal dengan perbuatan mereka.


Demikianlah menurut Kitab Suci, Setan bisa mengambil rupa beragama binatang, termasuk ular berbisa, kambing, atau naga merah berkepala tujuh. Tidak ada penampakan yang secara khusus bisa menggambarkan iblis sebab mereka bisa mengambil rupa dari apapun selama itu membantu mereka mencapai tujuannya.

Upaya untuk melakukan kategorisasi atas iblis, misalnya, mengenal bahwa umumnya ada 2 jenis (spesies) iblis yang dikenal manusia, yaitu incubi dan succubi, yang sama-sama bertujuan untuk melakukan pencobaan dengan bujuk rayu.

Incubus akan mengambil bentuk seorang pria dengan paras menarik untuk merayu seorang manusia wanita dan bersetubuh dengannya. Succubus, sebaliknya, akan tampil dalam rupa wanita cantik untuk melakukan hal serupa dengan manusia pria.

Sebuah spesies lagi bisa kita tambahkan, bersumber pada catatan tentang sihir dari abad XV “Malleus Maleficarum“, yakni bahwa beberapa iblis lebih suka muncul sebagai anak kecil. Ada ciri khusus yang membedakan anak kecil jelmaan iblis ini dengan anak lainnya, yakni: mereka umumnya memiliki berat badan yang abnormal dan tidak bertumbuh tinggi.

Tanda khusus ini kemudian menjadi subjek diskusi yang menarik. Ada sumber yang mengatakan bahwa tubuh mereka sangat dingin seperti es. Tetapi kalau ditelusuri, kepercayaan soal tubuh yang sangat dingin ini berkembang selama periode Penganiayaan terhadap Tukang Sihir di berbagai wilayah di Eropa, dimana para tukang sihir itu akan disiksa dengan mengikat mereka dan membenamkannya pada balok-balok es supaya mereka mau mengakui perbuatannya.


Jenis kelamin iblis

Topik berikut yang cukup hangat didiskusikan dan sekaligus kontroversial adalah: apakah iblis ini memiliki jenis kelamin?

Iblis-iblis dalam tradisi Kristen – misalnya Satan dan Belzebul – selalu ditunjukkan sebagai laki-laki, dan ini konsisten baik dalam sumber agama maupun dalam sumber okultis. Ini juga mencakup succubi, yang tampil sebagai wanita cantik untuk bersetubuh dengan lelaki. Bahkan, Succubi juga ternyata laki-laki. Diyakini bahwa mereka akan mengambil sperma lelaki yang bersetubuh dengannya, lalu berubah kembali menjadi incubus, kemudian ketika bersetubuh dengan wanita menggunakan sperma itu untuk menghamili si manusia wanita yang digaulinya. Para teolog umumnya sepakat bahwa inilah caranya malaikat-malaikat jatuh generasi pertama menghasilkan keturunan pada kitab Kejadian.


Meskipun tidak memiliki tubuh fisik, para iblis ini selalu ingin memilikinya. Dan ketika memilikinya, sebenarnya mereka ini tidak berjenis kelamin tertentu, melainkan menyesuaikan dengan gender yang dibutuhkan.

Ketertarikan seksual dan nafsu sangat penting dalam demonologi sebab mudah dipahami kedua godaan ini paling sulit ditolak oleh manusia sebab sudah menjadi kodrat manusia sebagai makhluk seksual – sama seperti makhluk hidup lainnya – untuk bereproduksi.

Tidak melulu perjumpaan singkat untuk bersetubuh, umumnya para demonolog (pegiat demonologi) Kristen menyepakati bahwa hubungan konsensual jangka panjang antara manusia dan iblis itu sangat mungkin. Meskipun hubungan itu penuh penderitan dan menyakitkan, tetapi orang-orang yang mengaku memiliki hubungan semacam ini, misalnya para tukang sihir jahat dan para pengikut Lucifer abad XIII, menyebutkan bahwa apa yang mereka alami itu benar pengalaman yang memuaskan dan nikmat.


Siapa saja iblis itu?

Sebelum menggali lebih lanjut tentang kemampuan iblis dan bagaimana cara memanggil dan mengendalikan mereka, kita kembali melihat inti ilmu demonologi.

Sebagai sebuah studi, tidak berbeda dengan ilmu tentang makhluk hidup atau biologi, para demonolog tak henti berupaya untuk mengklasifikasikan para iblis ini dan meletakkannya dalam sebuah model hirarki, sebab dengan cara inilah kita bisa memahami lebih baik perihal kuasa apa yang iblis miliki, pengetahuan yang menjadi spesialisasi mereka, serta kepada atasan yang mana mereka tunduk dan mengabdi.

Kita mulai dengan para leluhur iblis, yakni iblis pertama (arcdemons). Seperti halnya para leluhur malaikat atau para malaikat pertama memandu paduan suara para malaikat di surga, maka para leluhur iblis ini memimpin legiun atau pasukan iblis. Bedanya – tidak seperti angelologi –  demonologi tidak memiliki daftar pasti berisi mana saja yang merupakan iblis pertama. Dalam dunia okultis pun sejak dulu hingga sekarang masih ada kontroversi soal ini.

Contohnya, ada dewa-dewi Kanaan yakni Baal dan Astarte, yang dalam Kekristenn kuno dipandang sebagai dua musuh besar Allah Yahweh. Ini mendorong para demonolog awal untuk menyebut keduanya sebagai leluhur iblis; dan mengasosiasikannya dengan iblis Bael dan Astaroth.

Tetapi, semenjak pemujaan terhadap Baal dan Astarte berhenti, besarnya ancaman dari kedua ilah ini juga hilang, demikian juga dengan tempat mereka dalam hirarki para iblis.

Ketujuh Pangeran Neraka

Baru pada Abad Pertengahan ada hirarki yang hingga saat ini masih bertahan, yakni Ketujuh Pangeran Neraka. Para teolog menyepakati ketujuh sosok ini direkayasa berdasarkan Tujuh Dosa Mematikan: masing-masing iblis menggunakan salah satu dari godaan dari ketujuh dosa sebagai metode mereka. Sistem ini ditelusuri berasal dari sebuah traktat abad XV yang disebut Lantern of Light. Siapa saja ketujuh pangeran iblis itu?

Pertama, Lucifer (Si Pembawa Cahaya), yakni malaikat jatuh yang pertama. Lucifer melambangkan Kesombongan.

Kedua, Leviathan, yang dalam Bibel digambarkan sebagai ular laut berbisa, yang mewakili Dengki.

Ketiga, Sathanas, yakni kata Latin untuk Setan, nama yang disandang Lucifer setelah ia jatuh. Sathanas mewakili Amarah.

KeempatBelphegor, yang disebut sebagai yang paling malas dan paling lalai: ia mewakili Kemalasan.

Kelima, Mammon, malaikat jatuh, yang dalam tulisan okultis digambarkan selalu menatap pelataran emas di Surga ketimbang menatap wajah Allah sendiri. Maka, Mammon melambangkan Keserakahan/Tamak.

Keenam, Belzebul. Dalam demonologi Katolik, Belzebul dianggap sebagai satu dari tiga malaikat yang jatuh dari Surga (bersama Lucifer dan Leviathan). Namanya yang dalam terjemahan literal berarti Tuhan para Lalat. Maka, Belezebul melambangkan Kerakusan.

Ketujuh, Asmodeus, yang digambarkan sangat mirip dengan utuqqu hasil rekayasa seniman kontemporer diatas, tetapi dengan tiga kepala: satu kepala manusia,  kambing, satu lagi kepala lembu. Dengan penggambaran yang aneh ini, Asmodeus dianggap mewakili Hawa Nafsu/Kecabulan.


Selain ketujuh leluhur iblis ini, ada tak terhitung banyaknya buku teks sihir (grimoire) abad pertengahan yang berisi daftar yang sangat panjang, ada yang ratusan tetapi tidak konsisten, yang tentu saja dibuat untuk menggolongkan iblis dari kelas lebih rendah berdasarkan tugas, peringkat dan gelar.

Perihal gelar, umumnya gelar yang iblis miliki berasal dari gelar yang dulu mereka miliki sebagai malaikat sebelum diusir dari Surga. Misalnya iblis bernama Olivier dulunya adalah Pangeran dari antara para malaikat agung (archangels) dan ia tetap menggunakan gelar itu di Neraka, meskipun jelas sekali bahwa ia tidak lagi menyandang posisi itu.

Perihal peringkat, para iblis secara tradisional dikelompokkan dengan mekanisme mirip hirarki militer, tersusun mulai dari seorang presiden yang memerintah banyak legiun iblis, jenderal yang bertugas mengatur kelompok iblis tertentu, sampai pada iblis lebih rendah yang mirip pasukan infantri.

Sebagai contoh, ada iblis Sargatanas yang dalam buku teks sihir The Red Dragon disebut berpangkat brigadir mayor. Ia memerintah tiga iblis bawahan bernama Faraii, Loray, dan Valefar. Sargatanas sendiri melapor pada iblis berjabatan lebih tinggi yakni Astaroth.

Dictionnaire Infernal

Adalah sebuah kamus yang ditulis pada 1818 Jacques Collin de Plancy berjudul Dictionnaire Infernal yang cukup lengkap dalam hal pemeringkatan para iblis ini.

Ada Melchom, penerima sumbangan pesta alias tukang kutip uang. Nisroch, chef (kepala urusan dapur). Behemoth, penyaji piala. Dagon, kepala pantry.  Dan Nybbas, si badut. Daftar lengkap untuk urusan perjamuan pesta.

Selain berdasarkan peringkat, tugas iblis juga ada yang digolongkan berdasarkan waktu dan tempat kemunculan mereka di dunia manusia. Leonard adalah tuan hari Sabat. Belial adalah duta Italia.

Empat Raja Mata Angin

Akhirnya ada hirarki berdasarkan penjuru utama mata angin yakni Utara, Selatan, Timur dan Barat. Inilah yang dapat kita temukan dalam teks sihir terkenal The Lesser Key of Solomon, yang menawarkan alternatif kategorisasi selain sistem Ketujuh Pangeran dari Neraka tadi. Menurut versi ini, ada Empat Raja dari keempat mata angin yang mengabdi langsung kepada Satan. Di bawah keempat raja ini, ada 72 iblis kuat yang pernah dipanggil oleh Salomo.

Keempat Raja itu adalah: Zimniar, Raja dari Utara; Corson, Raja dari Barat; Amaymon, Raja dari Timur yang dikenal sebagai Tuhan Maharakus; Gaap, Raja dari Selatan.

Ada keterangan menarik tentang dua raja terakhir ini. Terkait Amaymon diceritakan bahwa ketika orang memanggil iblis ini, maka si pemuja harus berdiri tegak dan melepas tudung atau penutup kepalanya untuk menunjukkan rasa hormat mereka. Jika si pemuja lupa atau lalai melakukan ini, maka Amaymon akan berpura-pura bahwa semua baik-baik saja, tetapi diam-diam dia akan merancang kehancuran dan malapetaka bagi orang itu. Perihal Gaap: ketika ia mengambil bentuk fisik, ia akan muncul sebagai pangeran berparas menarik atau bangsawan rupawan. Gaap dikenal sebagai ahli asmara berikut kelakuan dan keahliannya menyediakan perawatan kecantikan bagi wanita, yang bisa membuat wanita tampak semakin menarik dan menggoda bagi lelaki, tetapi Gaap sekaligus akan membuat mereka mandul. Buku teks yang sama juga menyebut bahwa Gaap mampu membuat seorang lelaki menjadi dungu atau menjadi tak dianggap. Seperti kita ulas sebelumnya bahwa para iblis ini cenderung memiliki seperangkat bidang pengetahuan, maka Gaap dianggap sebagai tuan dari seni liberal.


Empat Iblis King James Version

Tidak diketahui banyak orang, ternyata King James (yang membuat Bibel versi King James) sendiri adalah seorang demonolog ekstrem. Ia sampai menulis disertasi berjudul Daemonologie pada 1597. Dokumen ini mengelompokkan iblis dalam empat tipe utama berdasarkan metode unik yang mereka gunakan dalam membuat masalah.

PertamaSpectra, yakni roh jahat yang menghantui rumah atau bangunan yang terbengkalai, mirip konsep modern yang kita sebut hantu atau ‘poltergeist’.

Kedua, Obsession, yakni roh jahat yang mengikuti manusia tertentu dan menyebabkan masalah pada apapun di sekitar orang itu sehingga ia dianggap sebagai pembawa sial.

Ketiga, Possession, yakni roh jahat yang menempel pada manusia dan menyebabkan kerusakan dari dalam, mirip konsep modern yang kita kenal sebagai perilaku psikiotik, depresi ekstrem hingga berganti kepribadian.

Keempat, Fairies, yakni roh jahat yang secara fisik sebagai manusia dan dengan itu berinteraksi dengan manusia secara langsung. Interaksi ini yang akan menuntun manusia menuju bahaya, bersetubuh dengannya, atau membawa mereka berpetualang dari satu tempat ke tempat lain.


Enam Iblis Michael Psellos

Klasifikasi tak kalah penting lainnya muncul dari seorang pertapa Byzantin bernama Michael Psellos, yang menyebut ada 6 tipe iblis berdasarkan tempat tinggal mereka.

Pertama, tipe Leliurium, yakni yang paling kuat dari antara keenam iblis. Iblis tipe lelurium menempati dunia ether, di atas bulan.

Kedua, tipe Aerial, yang menempati udara dan atmosfer, di bawah bulan.

Ketiga, tipe Terrestrial, yang tinggal di bumi.

Keempat, tipe Marinal, yang tinggal di dalam air.

Kelima, tipe Subterranean, yang tinggal di gua-gua dan saluran bawah tanah.

Keenam, tipe lucifugous, yakni yang paling lemah dari keenam tipe iblis ini, mereka tinggal neraka paling bawah sehingga mereka buta total dan tidak bisa merasakan apapun.

Perihal kuasa iblis, Michael Psellos menjelaskan bahwa iblis paling kuat akan menyerang pikiran dan akal manusia untuk memanipulasi khayalan mereka dan menghasilkan ilusi yang tampak benar-benar nyata. Sementara itu, iblis paling lemah hanya bisa menggerutu atau bertindak secara insting, melulu mengikuti amarah manusia dan karena itu tidak panjang akal serta menjengkelkan.

Ada berapa jumlah iblis?

Berapa sebenarnya jumlah iblis yang ada? Jika hendak mengutip secara literal, berdasarkan kitab Wahyu, sepertiga dari seluruh malaikat akhirnya jatuh, terusir dari surga dan menjadi iblis. Berapa persisnya? Sejumlah demonolog mencoba menawarkan teori mereka dengan menggabungkan kutipan dari naskah Wahyu dan teks sihir yang banyak tersebar.

Johann Weyer,Seorang demonolog abad XVI, menghitung ada sebanyak 4.439.622 yang kemudian dikelompokkan kedalam 666 legion, dengan masing-masing legion beranggotakan 6.666 iblis, yang keseluruhnya diperintah oleh 66 mangkubumi, pangeran dan raja dari neraka.

Alphonso de Spina, seorang Uskup pada abad XV, menyebut bahwa ada sejumlah 133.316.666 iblis.

Tetapi kedua tawaran teori ini dan yang sejenisnya akan mengalami kendala ketika kita berbicara tentang prokreasi iblis, yakni kemampuan iblis untuk menghasilkan keturunan. Jika benar seperti kita baca pada kitab Kejadian bahwa iblis bisa mengawini manusia perempuan dan beranak-pinak, maka tidak mungkin jumlah iblis ini konstan (tetap).


Bagaimana memanggil (to summon) dan memerintah (to command) iblis?

Sampai pada bagian ini, baik kalau kita berhenti sebentar.

Mengingat apa yang dikatakan Albertus Magnus ketika berbicara tentang teologi. Kalau kita memparafrasekannya dalam demonologi, maka akan berbunyi:

A daemonibus docetur, de daemonibus docet, et ad daemones ducit

(Ilmu ini diajarkan oleh para iblis, mengajarkan tentang iblis, dan menuntun pembaca kepada iblis).

Mari kita renungkan sebentar. Sebelum kita melanjutkan tulisan ini. Supaya setelah sekuel dari tulisan ini terbit, maka niat, situasi, cara dan hasil yang ditimbulkan pada pembaca menjadi baik, indah, bermakna, serta berguna.

Sekian.


Terima kasih banyak atas Mr. Mythos. Videonya adalah bahan dasar yang diubahsuaikan menjadi tulisan ini.
Facebook Comments

Membaca Tanda “Dua Garis Biru” – [Sebuah Parafrase]

Jessy membuka laptopnya kembali.

Logline? Sudah.

Ide? Juga sudah.

Semiotika? Sedikit. Meski dia yakin naskahnya akan mengalir. Apa susahnya menulis kalau sosok yang diceritakannya adalah Ben, cowok yang sudah lama ditaksirnya di kelas. It’s gonna be as easy as makan kerupuk.

Tetapi, bagaimana caranya supaya tanda-tanda absurd di mimpinya itu menjadi jiwa dari naskahnya? Rumah. Benih. Pohon.

Jessy mengingat-ingat lagi, ada nggak film remaja yang menarik untuknya, yang bisa mengajarinya bagaimana menanamkan tanda dan simbol tanpa disadari pembaca dan penonton?

Oh iya.

Dua Garis Biru.

Judulnya saja sudah menjadi petunjuk akan muatan semiotika. Mengapa harus “Dua Garis Baru”? Mengapa nggak langsung “MBA alias Married by Accident” aja?

Hmmm …

Maka, Jessy menonton lagi film karya Gina S. Noer, penulis dan sutradara yang dikaguminya itu. Kali ini Jessy tidak lagi fokus pada sinematika, tetapi membaca simbol atau pertanda apa saja yang ada.

Dan, benar saja. Jessy sendiri mulai terkejut dengan banyaknya layer tanda dan makna tersembunyi yang ditemukannya. (Thanks to akun Twitter Axel yang memberi banyak insight tak terduga)


Soundtrack

Jessy mengaku, soundtrack di Dua Garis Biru berhasil membuatnya mewek. Terutama lagu Growing Up-nya Dara Muda yang paling banyak diputar. Bukan tanpa alasan. Lirik dari lagu ini beberapa kali muncul di adegan yang memorial.

Contohnya, ketika Dara melongo sendirian di kamar. Liriknya secara tidak langsung memberi tahu ke Jessy tentang kesedihan dan tidak stabilnya emosi si Bima dan Dara.

Can anybody tell me
Can anybody tell me
Can anybody help me
How to
What to do


2159

Lalu, ada mobil Grab dengan nomor polisi nomor polisi 2159.

Tiba-tiba jiwa cocoklogi Jessy seperti berteriak. Jessy baru memperhatikan bahwa pada scene keluarga Bima mau berangkat ke rumah Dara untuk acara lamaran, nomor polisi mobil Grab yang mereka pesan itu: 2159.

Bukankah ini pertanda yang jelas, mirip dengan nasihat yang sering didengarnya dari mamanya yang superprotektif itu: “2 orang dalam 1 tempat selama 5 menit, bisa jadi 9 bulan”?

Damn!


Berumah Tangga tidak Semudah Buat Anak

Di scene ini Jessy sempat merinding ketika bapak si Bima mengucap “bismillah” sebelum mereka jalan ke perkampungan. Ada beberapa kejadian yang secara tidak langsung menggambarkan ke Jessy bahwa “berumah tangga itu tidak semudah buat anak”.

Ini terlihat gamblang pada adegan bapak ibu yang berantem karena uang bulanan yang kurang.

Ada juga adegan dimana seorang istri marah-marah ke suaminya karena motornya di-“pakai” orang  lain.

Ini udah kayak teriak: ” Ini loh yang bakal lu hadepin kalo ngelakuin ini (baca: bersetubuh)”


Acara Orang Meninggal

Terus lanjut ke tempat orang meninggal. Buat Jessy, ini cara yang brilian untuk menandakan pesan penulis naskah 2 Garis Biru bahwa: “Tiap kali ada yang datang, pasti akan ada yang pergi”


Lorong Gelap

Lanjut ke adegan pas si Dara masuk ke lorong gelap sambil melihat ke belakang. Gelap dan tampak buntu. Tapi ia tetap berjalan.

Ini semion (tanda) cerdas untuk menggambarkan: “kamu tidak bisa kembali ke belakang; yang bisa kamu lakukan adalah menghadapi masa depan dengan berani”


Jus Stroberi

Jessy berhenti sebentar. Memastikan bahwa semua tanda yang diamati tadi sudah dicatatnya. Kemudian ia lanjut memutar film.

Tiba-tiba matanya tertuju pada jus stroberi. Adegan dimana Dara tiba-tiba menangis melihat jus stroberi. Jessy akhirnya mengerti mengapa Dara menangis. Tentu saja, karena Dara membayangkan seolah-olah stoberi itu anaknya karena disitu posisi janin di rahim Dara baru seukuran buah stroberi.

Campur-aduk rasanya ketika Jessy mencoba merasakan apa yang dirasakan Dara.

Calon ibu mana yang tega membiarkan janin hanya sebesar stroberi, tidak berkembang lebih besar? Tetapi tidak dipungkirinya, pasti Dara juga dihadapkan dengan ribuan ketakutan dan kebingungan: selama ini dia hanya berkutat dengan Matematika, Fisika, dan mata pelajaran lain di bangku sekolah. Siapa yang akan mengajarinya menyusui bayi, mengganti popok.

Oh iya: masih sempatkah dia berdandan kalau tiba-tiba bayinya merengek dan menangis, dan dia harus begadang semalaman? Masihkah dia punya waktu untuk mengecek timeline di IG, Tiktok dan Twitter yang menemaninya selama ini?

Hmmm


UKS

Lanjut ke adegan di ruang UKS. Disitu ada poster alat reproduksi yang seharusnya dibaca dan dipahami oleh murid di sekolah.

Tapi karena kurangnya sosialisasi dan pelajaran seperti ini kepada murid, poster seperti “jauhi pergaulan bebas” dan lain-lain hanya jadi pajangan biasa.

(Sama seperti poster “Dilarang Membuang Sampah Disini”, di depan papan poster itu biasanya ada tumpukan sampah penuh lalat toh?)


“Mama Aja Gagal”

Jessy semakin serius. Ia tenggelam dalam adegan demi adegan.

Lama-kelamaan , ini sepertinya bukan menonton film lagi, sudah lebih ke petualangan menyusuri jejak emosional yang dialami Dara dan Bima. Jessy mengakui, jalan yang dilalui mereka berdua itu sulit, berliku, penuh duri, bahkan gelap di beberapa titik.

This is starting to get personal.

Ia menekan tombol pause beberapa saat ketika Mama si Dara berkata: “Kamu kira gampang jadi orang tua? Mama aja gagal!”

Kemudian dilanjutkan dengan: “Mengandung 9 bulan, jadi orang tua seumur hidup

Seperti mendengar orangtuanya sendiri berbicara, Jessy hampir menitikkan air mata. Ini seperti petir di siang bolong. Sebuah pengingat yang kuat bahwa sebagai remaja cewek di era pubertas yang menggila ini, dia tidak lagi bisa ngeles –  dengan mentalitas khas pemuja ultrafeminisme – dalam hati: “boleh donk melakukan sex dengan siapapun lelaki yang aku suka, nanti kalau hamil pasti cowokku tanggung jawab”. Tidak bisa lagi.

Tetapi tidak hanya itu. Dialog singkat ini tiba-tiba membuat Jessy rindu dengan ibunya. Kini ia mulai memahami beratnya hidup yang harus dilalui ibunya sebagai single mother, sendirian mengasuh mereka berdua (Jessy dan kakaknya) sejak belasan tahun lalu.


Adam

Kemudian ibu si Bima memberi nama Adam untuk cucunya.

Mengapa harus Adam?

Bukankah Adam itu diyakini para penganut Abrahamistik sebagai manusia pertama, anak yang suci? Awal dari seluruh umat manusia loh si Adam ini.


Test Pack 

Lanjut ke adengan dimana Dara membeli testpack. Dengan malu-malu dia tampak ingin menunjuk benda yang ingin dibelinya itu ke penjaga meja kasir.

Mengapa harus malu?

Ah, tentu saja. Ini kan di Indonesia. Negara dengan masyarakat yang akan menjudge dan berfikir macam-macam kalau melihat seorang perempuan sendirian membeli test pack. “Mengapa tidak bersama dengan suaminya? Usianya sepertinya masih muda banget loh?”

Bukankah seharusnya – jika pegawai minimarket atau apotik yang biasanya menjual alat seperti itu betul mendalami training melayani pelanggan di awal mereka menjadi karyawan – harusnya mereka membuat pembeli nyaman.

Ini yang terjadi malah sebaliknya.

Jessy bisa mendengar pegawai apoteknya berkata,“ada yang bisa dibantu Mbak?” dengan nada nyolot? Jangankan anak SMA, orang dewasa saja bakal risih. Disitu kan Dara mau membeli testpack, bukan mau beli permen.

Grrrrr

Jessy membayangkan, pasti bakal Dara tidak sebingung itu jika si kasir mendekati Dara dan berbisik, “Sini Mbak, Saya bantu. Mbak bingung kan mau beli yang mana?”. Pasti Dara akan merasa sangat terbantu dan lega.

Lanjut ke adegan berikutnya. Test pack sudah dibeli. Dara kemudian memakainya dan menunjukka hasilnya. Ada 2 (dua) garis biru. Artinya: positif hamil. Tetapi sejurus kemudian kamera menyorot cepat ke Bima dan beberapa penghargaan dan piagam yang pernah diraih Dara.

Jessy seperti hendak teriak ke telinga Bima: “Bim, kamu sudah menghancurkan masa depan orang lain”


Jalan Buntu, Putar Balik

Lanjut ke adegan yang sekilas tampak lucu, yakni ketika Bima mengaktifkan aplikasi Google Map di HP-nya. Bima lupa mematikan. Dia baru sadar ketika ada notifikasi suara yang berbunyi: “Jalan buntu. Putar balik”

Untuk Jessy, lagi-lagi ini semion yang jelas untuk menggambarkan ke Bima, setelah apa yang dilakukannya dengan Dara: “Tidak ada jalan lain lagi selain menikah. Nikahi Dara. Kamu tidak bisa lari lagi dari kenyataan ini”.

Sebuah point of no return yang dikemas ciamik.

 


Kerang

Lanjut ke adegan Bima dan Dara makan di sebuah warung makan. Disini si Dara sendiri yang mengucapkan dialog semotik itu.

Kerang yang udah kebuka itu artinya udah busuk“, ucap Dara sambil memisahkannya.

Jessy ingat ketika teman-temannya menertawakannya dulu ketika dia bingung kala mereka tertawa ngakak sambil menggodai satu sama lain, “Ini kerangku, mana kerangmu?”. Dia sangat malu bahkan sekedar mengingatnya. Tapi kini Jessy memahami. Oke. Jadi, “kerang” adalah kiasan slur untuk vagina.

Kalau begitu, dialog Dara tadi memuat makna yang mendalam. Ini pertanda yang jelas menggambarkan pandangan umum orang Indonesia tentang keperawanan: Yang sudah pernah melakukan hubungan seks, sudah tidak perawan, ini bukan wanita baik-baik.

Bagusnya, di adegan ini, Bima malah memakan kerang sudah terbuka cangkangnya itu.

Sebuah pertanda kepolosan seorang anak SMA: cowok yang tidak punya gagasan apapun akan menjadi ayah.

Tetapi juga pertanda pemberontakan terhadap stereotipe masyarakat yang kadang begitu kejam. Perlawanan terhadap orangtua yang tega menasihati anak lelaki mereka untuk memutuskan hubungan dengan gadis yang telah dihamili anaknya sendiri.

“Nak, si cewek A ini sudah nggak perawan, nggak baik kalau kamu terusin pacaran sama dia. Apa kata orang-orang nanti ke keluarga kita? Nanti yang lain-lain, ke dokter dan macam-macamnya, biar  Mama yang urusin“.

Jessy ingat pernah mendengar ucapan seperti ini ketika menguping pembicaraan ibu Joel, tetangganya yang terkenal berjiwa sosialita itu. Sejak saat itu, ia tidak menaruh respect yang sama lagi terhadap cowok tetangganya Joel, apalagi dengan ibu Joel.


Jam Pasir dan Poster “Semangat”

Di beberapa scene jam pasir di-shoot beberapa kali. Ini jelas menggambarkan “waktu” yang terus berjalan dan selama waktu itu berjalan, Jessy bisa melihat Bima, Dara dan karakter-karakter lain sudah mulai memiliki perubahan baik fisik atau pikiran.

Melelahkan tetapi cukup melegakan buat Jessy.

Tapi film belum selesai.

Akhirnya Jessy sampai pada adegan ketika Dara mengemasi barangnya hendak berangkat ke Korea mengejar impiannya. Nah, disitu ada poster “SEMANGAT” yang dibidik dengan jelas oleh kamera. Buat Jessy, ini penyemangat yang sangat dibutuhkan Dara. Banyak hal yang sudah dialaminya. Tetapi, begitu memutuskan untuk melangkah, Dara harus melangkah. Dan supaya langkahnya tidak terhenti, dia tentu sangat membutuhkan semangat dari orang-orang di sekitarnya; bisa berupa ucapan yang tulus, tapi lebih lagi: perhatian yang tulus.

Jessy, seakan mendalami karakter Dara, akhirnya mematikan laptopnya; mengakhiri petualangan sore hari menonton film Dua Garis Biru itu, menghelas nafas sambil berkata dalam hati:

“Dara adalah aku. Semangat buat aku”.


 

Facebook Comments

Membuat Logline bersama David Wheeler dari Michigan University – Sebuah Parafrase (part. 2)

Elevator Pitch

Sebuah logline (intisari cerita) harus singkat, seperti sebuah elevator pitch. Apa itu elevator pitch?

Jessy ingat Pak Heru sudah pernah menjelaskan ini, bahkan guru muda yang kritis itu menuliskan juga di blognya ketika ia mengulas tentang premis.

Intinya: sebuah kalimat yang harus menarik perhatian seorang produser film atau investor, harus selesai diucapkan ketika berpapasan di elevator. Jessy membayangkan dirinya menaiki eskalator dari lantai 1 menuju ke lantai 2, sementara di seberangnya seorang produser turun dari lantai 2 menuju ke lantai 1.

Oke. Jadi sekarang Jessy harus membuat sebuah logline. Sebuah intisari cerita yang singkat, yang selesai diucapkan ketika Jessy berpapasan dengan sang produser di eskalator imajiner itu.

Jessy berfikir. Kalau ia hendak mengembangkan cerita tentang petualangannya di Indomaret di hari Valentine itu, ia harus membuat logline: sebuah kalimat singkat intisari cerita 110 halaman yang akan ditulisnya.

Hmmm. Apa ya?

Oh iya.

Ia membayangkan dirinya sebagai protagonis. Diketiknya:

Jessy pergi ke Indomaret untuk membeli coklat.

Dia membaca kembali kalimat itu sebentar. Tidak menarik.

Baru diingatnya. Ternyata sebuah logline itu harus mengandung konflik, pertaruhan (stake), ada kekuatan emosi serta karakter yang unik. Keempat elemen (character, conflict, stake, goal) itu harus ada dalam sebuah kalimat singkat.


Merumuskan Logline

Maka, Jessy mulai mengetik lagi. Tidak cocok, dihapusnya. Begitu beberapa kali, sampai akhirnya ia tersenyum membaca kalimat terakhir di layar laptopnya:

Jessy, cewek SMA yang mau membeli coklat di Indomaret untuk hadiah Valentine buat Rachel sahabatnya, terpaksa merebut pisau dari perampok bertopeng di meja kasir.

Ia tampak puas. Kalimat ini sudah mengandung elemen prasyarat sebuah logline.

Ada karakter menarik (anak remaja putri yang masih duduk di bangku SMA).

Kekuatan emosi (siapa sih yang tidak akrab dengan kebiasaan memberi hadiah coklat di hari Valentine).

Konflik besar oleh karakter lemah (seorang cewek SMA yang umumnya dianggap lemah, tiba-tiba entah mendapat keberanian dari mana, bergerak cepat merebut pisau tajam dari tangan salah satu dari dua pria perampok bertubuh tinggi besar).  Lalu, ada pertaruhan: jika ia tidak merebut pisau itu secepat kilat, besar kemungkinan ia akan ikut dibunuh, atau setidaknya menjadi sandera.

Seperti mendapat ilham, Jessy kemudian mencatat: Ternyata logline itu ada formulanya, yakni: Somebody wants something real bad, but having a hard time while having it.

Eh, tiba-tiba Jessy teringat sesuatu. Di file Word satunya lagi kan Jessy ingin menulis tentang Ben, si cowok ganteng di kelasnya yang sudah lama membuat hatinya hangat dan pipinya memerah.

Kalau yang ini, logline-nya apa ya?

Tapi sepertinya seru kalau dia menggunakan samaran, supaya kalau logline-nya dibaca Rachel dan Cassandra, kedua sahabatnya itu tidak menggodainya. Seperti bergerak sendiri, jemari Jessy mengetik di keyboardnya:

Vanessa, cewek SMA yang sejak kecil ditinggal ayahnya, sekelas dengan Ben yang wajah dan suaranya sangat mirip dengan ayahnya, tetapi ia tidak suka dengan sifat Ben yang temperamental dan terkenal suka berkelahi.



Ini adalah bagian kedua dari parafraseku atas kuliah penulisan naskah film dari David Wheeler dari Michigan University di platform belajar Coursera. Keseluruhan materinya terlalu panjang jika harus dituangkan dalam satu tulisan, pasti akan menjadi artikel TLDR (too long didn't read) yang pastinya kamu akan suka.
Facebook Comments

Menulis Naskah Film bersama David Wheeler dari Michigan University – Sebuah Parafrase (part. 1)

Mencari Ide

Jessy, remaja yang duduk di bangku SMA itu, cukup percaya diri bahwa dia memiliki segudang kreatifitas. Sejak kecil selalu begitu yang dia dengar dari teman-temannya.

Tetapi akhir-akhir ini, muncul keraguan. Soalnya, selama belajar di kelas, sangat jarang Pak Heru – guru Seni Budaya – memberikan penugasan dengan metode active learning. Hanya ceramah, mengupas bacaan dari buku teks, sesekali disuruh menulis analisis sederhana tentang sebuah karya seni, tetapi tidak sampai menghasilkan karya kreatif: sebuah karya yang benar-benar berangkat dari gagasan siswa sendiri dan akhirnya menjadi karya yang bisa dinikmati banyak orang.

Pernah suatu siang, Jessy memberanikan diri bertanya pada Pak Heru. Saat itu Pak Heru sedang duduk di mejanya di kantor guru. Kebetulan para guru lain tampak sudah pulang. “Pak, mau nanya.”

“Eh, ada Jessy. Gimana?”

“Gini, Pak. Kan kebetulan kita sedang membahas materi drama nih. Mengapa kita tidak langsung menciptakan skenario saja?”, tanyanya dengan sikap kritisnya yang khas situ.

Awalnya Jessy sempat ragu, jangan-jangan Pak Heru akan menanggapinya dengan ketus. Tapi, Pak Heru malah antusias. “Makasih loh, Jes. Bapak pikir tidak ada yang memperhatikan ini. For the first note, membuat 30-an orang siswa untuk mencipta scenario from zero to be a writer hero, tentu tidak mudah”, jelas Pak Heru dengan kebiasaannya mencampur-adukkan bahasa Inggris dengan bahasa Indonesia ketika berbicara.

Good insight. Sebenarnya, Bapak sejak kuliah sudah tertarik dengan pendekatan experiential learning atau active learning. Tapi makin kesini kok malah jadi lupa. Untung ada kamu yang mengingatkan lagi. Thanks anyway, Bapak akan mencoba mempertimbangkan saranmu,” lanjut Pak Heru sambil tersenyum.

“Makasih Pak. Saya permisi ya,” ucap Jessy seraya membungkukkan badan sambil meninggalkan gurunya yang sepertinya masih terkejut itu.

Sejak saat itu, Jessy dan Pak Heru semakin intens berkomunikasi. Sesekali ketika bertemu langsung. Selebihnya, melalui chat dan panggilan suara Whatsapp.

Tidak begitu jelas: entah karena sikap Pak Heru yang antusias atau karena sejak awal Jessy memang tertarik dengan dunia tulis-menulis, tetapi yang jelas Jessy semakin tertantang mencipta skenario. Sesuatu yang belum pernah dilakukannya hingga sekarang.


Belum Mulai Menulis

Sebenarnya, perjalanan menulis Jessy belum berakhir. Bahkan, baru saja dimulai. Begitu  menghidupkan laptopnya, tiba-tiba dia berhenti sejenak. Pertanyaan demi pertanyaan bermunculan di benaknya. Skenario macam apa yang hendak kutulis? Naskah film berdurasi panjang? Drama? Komedi romantik? Fiksi sains? Horror? Atau apa?

Menulis cerpen Jessy sudah biasa. Apa bedanya sih dengan menulis skenario

Sebenarnya proses kreatif menulis skenario ini apa saja? Ada nggak struktur yang bisa dipakai untuk menghasilkan naskah yang siap baca (pitch ready script)? Kurang lebih 110 halamanlah.

Oh iya. Selalu butuh peer review. Tiba-tiba Jessy ingat dengan Rachel dan Cassandra. Dua teman yang juga sama kutu bukunya dengan dirinya. Aman kalau begitu.

Tetapi pertanyaan-pertanyaan tadi belum berjawab.

Bahkan, dari percakapan dengan Pak Heru, ia tidak mendapat penjelasan yang menjawab pertanyaan teknis yang ada di kepalanya. “I will guide you, I will show you how to get there. Hopefully, I will inspire you. I will show you how to use script writing software, but I won’t show you how to write or what to write, that is up to you. You are the only one who can illustrate your creative thoughts. I firmly believe that the only way to become a writer is to write, write, write.

Jadi, cara untuk menjadi penulis adalah dengan menulis, menulis dan menulis? Hmmmm …

Jadi, mau nulis apa nih?

Tidak ada yang spesifik. Tetapi kalau diingat-ingat, ada banyak pengalamannya yang menarik ditulis. Ada banyak orang yang dikenalnya dengan kepribadian yang menarik. Bagus juga kayaknya kalau aku menulis tentang teman-temanku aja?

Menarik semua nih.

Bisa jadi. Tapi tidak akan menjadi film sampai Jessy berhasil menyelesaikan utuh naskahnya. Dan naskahnya tidak akan selesai jika dia tidak mulai membuat paragraf pertama. Paragraf pertama tidak akan selesai kalau dia tidak mengembangkan daya pikir kritis dan analitiknya. Daya kritis dan analitiknya hanya akan terlatih jika ia tidak rajin membaca naskah karya orang lain dan memberikan komentar serta masukan yang otentik, membantu, membangun dan bermakna. Komentar dan masukannya hanya akan bermakna otentik kalau dia membuatnya seakan sedang mengkritik naskah tulisannya sendiri.

Masalahnya: mengembangkan gagasan jauh lebih penting dari gagasan itu sendiri.

Itu yang diingatnya dari Nicholas Baker, seorang penulis yang bisa menulis sebuah novel, padahal hanya mengupas 30 detik di eskalator. Sebuah novel loh. Hebat.

Pikiran kreatif Jessy berpetualang cepat. Berpindah dari satu kemungkinan ke kemungkinan lain. Oh iya, hari ini di hari Valentine 2023, ia baru saja pergi ke Indomaret membeli coklat untuk Rachel dan Cassandra, dua teman terbaiknya. Sebenarnya, seperti kutu buku lainnya – ditambah introvert lagi – hanya dua orang itu yang dimilikinya.

Jadi apa yang mau kuketik nih?

Indomaret? Coklat? Rachel, atau Cassandra?

Gimana kalau begini saja:

Ketika aku baru saja mau bayar belanjaan ke kasir Indomaret, datang dua orang bertopeng yang mau merampok. Lengkap dengan pisau berkilat tajam. Kedua orang itu tentu saja tidak punya pilihan. Selain kedua kasir yang ketakutan setengah mati itu, pasti mereka juga menculikku. Lalu aku – bermodalkan sedikit kelincahan yang kulatih kala ikut kelas bela diri di SMP – spontan merebut pisau dari tangan salah satu penjahat itu, menusuk cepat di bagian dada dan balik mengancam. Kedua penjahat itu lari ketakutan meninggalkan lokasi Indomaret itu. Naik ke mobil hitam yang sedari tadi sudah parkir, sedia menunggu mereka jika terjadi apa-apa. Aku lupa bahwa seperti lokasi belanja lainnya, Indomaret itu punya rekaman CCTV. Aku menjelaskan susah-payah ke penyidik dari pihak polsek setempat, tetapi mereka tidak menerima. Akhirnya, aku ditahan di penjara. Berkenalan dengan sejumlah pelaku criminal lainnya di penjara: pengedar sabu, pemerkosa, pencuri dan pelaku balas dendam yang membunuh pembunuh orangtuanya.

Hei, ini bakal menarik dijadikan film.

Perlahan tapi pasti, jemari Jessy mulai bergerak di laptopnya. Kosakata, alur, adegan dan nama-nama karakter seakan berlomba untuk ditulisnya.

Muncul masalah baru. Bagaimana ia menertibkan lalu lintas gagasan yang kini memadati pikirannya?


Ini adalah bagian pertama dari parafraseku atas kuliah penulisan naskah film dari David Wheeler dari Michigan University di platform belajar Coursera. Keseluruhan materinya terlalu panjang jika harus dituangkan dalam satu tulisan, pasti akan menjadi artikel TLDR yang tentu tidak akan habis kamu baca.
Facebook Comments

Sejarah Singkat Doa “Salam Maria”

Doa Salam Maria sepertinya adalah doa yang paling populer dari antara doa-doa lain kepada Maria. Doa ini terdiri atas 2 bagian berbeda: bagian teks Kitab Suci dan bagian permohonan (intercessory). Bagian pertama dikutip dari Injil Lukas dengan menggabungkan kata-kata malaikat Gabriel ketika mengunjungi Maria (Lukas 1:28) dan kata-kata Elizabeth kepada Maria ketika ia melakukan Kunjungan ke rumah sepupunya itu (Lukas 1:42).

Praktek penggabungan kedua teks ini dapat ditemukan pada awal abad V, bahkan kemungkinan pada abad IV pada ritus liturgi Gereja Timur yang dituli oleh St. Yakobus dari Antiokhia dan St. Markus dari Aleksandria. Hal serupa juga dicatat dalam ritual yang ditulis oleh St. Severus (538 CE). Sementara di Gereja Barat, penggunaannya terlacak di abad VII sebagaimana dicatat sebagai antifon persembahan (offertory antiphon) pada Pesta Maria Diberi Kabar oleh Malaikat Tuhan (Annunciation). Populernya frasa itu dinyatakan dalam tulisan St. Petrus Damianus (1007-1072) dan Hermann dari Tournaii (wafat pada tahun 1147). Barulah pada masa Paus Urbanus IV sekitar tahun 1262, nama Yesus dimasukkan diantara kedua bagian itu.

Sementara itu bagian kedua, yakni bagian permohonan dapat dilacak ke abad XVI dimana terdapat dua bagian penghujung dari doa tersebut. Peghujung pertama, “Sancta Maria, Mater Dei, ora pro nobis peccatoribus” ditemukan pada tulisan St. Bernardinus dari Siena (1380-1444 CE) dan para biarawan Kartusian. Sementara penghujung kedua, “Sancta Maria, Mater Dei, ora pro nobis nunc et in hora mortis nostrae” , dapat ditemukan pada tulisan kaum Servites, pada sebuah Brevir Romawi dan pada arsip beberapa keuskupan Jerman.

Bentuk doa seperti yang kita gunakan saat ini menjadi standar pada periode sekitar abad XVI dan dimasukkan dalam Brevir yang dipromulgasikan oleh Paus Pius pada tahun 1568


AVE MARIA, gratia plena, Dominus tecum. Benedicta tu in mulieribus, et benedictus fructus ventris tui, Iesus. Sancta Maria, Mater Dei, ora pro nobis peccatoribus, nunc, et in hora mortis nostrae. Amen. (Latin)

HAIL MARY, full of grace, the Lord is with thee. Blessed art thou amongst women and blessed is the fruit of thy womb, Jesus. Holy Mary, Mother of God, pray for us sinners, now, and in the hour of our death. Amen. (Inggris)

Salam Maria, penuh rahmat, Tuhan sertamu. Terpujilah Engkau diantara wanita dan terpujilah buah tubuhmu, Yesus. Santa Maria, doakanlah kami yang berdosa ini sekarang dan waktu kami mati. Amin. (Bahasa Indonesia)

Tabi di ho Maria na gok asi, didongani Tuhan i do ho. Ho do na pinasupasu sian akka boruboru jala pinasupasu ma parbue ni bortianmu, Jesus. Ina Maria nabadia, tangianghon ma hami pardosa on, nuang dohot di hamamate nami. Amen. (Bahasa Batak Toba)


Sumber: Preces Latinae

Facebook Comments

Semiotika dalam Penulisan Naskah Lakon

Jessy sudah mulai asyik mengerjakan naskahnya. Tetapi ini baru terjadi hari ini. Sebelumnya, ia harus melalui perjuangan yang cukup melelahkan.

Pak Heru, Guru Seni Budaya yang sudah beberapa kali menjelaskan premis, stake, goals, obstacle, wants, needs dan istilah rumit lainnya beberapa kali harus mengulang materi yang sama. Sebenarnya, masuk akal sih. Jessy, si anak IPA yang ambis ini memang sudah terbiasa dengan materi pelajaran yang pasti dan eksak. Ya, mereka kan guru. Mestinya dikasih tau donk, langkahnya apa saja. Kalau perlu, huruf apa yang harus ditulis pertama kali, dan sekalian dengan jenis font yang bagus. Sialnya, selama materi kepenulisan naskah, hal itu tidak pernah terjadi. Malah, tanpa disadari, seluruh sekuens dari kerangka dramatik alias metode penulisan 8 sequence sudah selesai dibahas di kelas.

“Ini hanya panduan. Disuruh merumuskan premis. Terus, apa dialog pertama yang harus kutulis? Mana acci kek gitu?”, begitu kalimat yang muncul di benak Jessy.

Sampai kemudian dia bermimpi pada suatu malam. Dia tidak persis ingat cerita mimpinya. Yang tersisa hanya ingatan samar bahwa di mimpinya, Ben, cowok di kelasnya mengajaknya menanam pohon di samping rumah. Itu saja. Benih. Rumah.

Awalnya ia merasa semua ini absurd. Mimpi yang absurd, tetapi menyimpan banyak tanda. Kemudian tumbuh rasa penasaran apakah semua ini hanya tanda, atau ternyata pertanda yang sarat makna.

Ia ingat kembali: benih dan rumah. Kedua benda dalam mimpi ini semakin lama semakin sering muncul di benak Jessy, menghantuinya.

Oh iya. Baru dia ingat. Pak Heru sepertinya pernah menjelaskan ini di kelas. “semiotik”, itu istilahnya. Maka dia berselancar sebentar di internet. Halaman itu berbunyi:

“Semiotik memiliki dua tokoh utama, yaitu Charles Sander Pierce di Amerika Serikat (1834-1914) dan Ferdinand de Sausure di Swiss (1857-1913). Pierce menyebut ilmu semiotik dengan nama semiotik, sedangkan Sausure menyebut semiotik dengan semiologi. Dari kedua tokoh ini muncul semiotik aliran Pierce yang dikenal dengan semiologi komunikasi, semiologi konotatif oleh Roland Bartnes, dan semiotik ekspansif yang dipelopori oleh Julia Kristeva.
Munculnya berbagai aliran semiotik dipengaruhi oleh fakta historis, geografis, metodologis, dan kepribadian. Dalam semiotik, hal tersebut akan mempengaruhi dalam pemberian arti sebuah penanda menjadi petanda. Selain itu, fenomena sosial juga dapat dibahami berdasarkan model bahasa yang dapat disebut tanda.”

Apakah benih dan rumah dalam mimpinya punya makna?

Benih. Rumah.

Kepada siapa dia bertanya untuk mengkaji arti benih dan rumah?

Oh iya.

Tentu saja.

Jessy mulai tersenyum. Sepertinya dia sudah mulai memahami arti dari mimpi ini. Bahkan, dia jadinya senang setelah mengetahui bahwa benih dan bunga adalah tanda dari keinginan bawah sadarnya. Asa yang selama ini dia pendam dalam-dalam. Tak pernah diberitahukannya kepada siapapun, bahkan tidak dengan diarinya.

Bukankah selama ini dia mengagumi Ben dalam diam?


Sejak saat itu, Jessy mulai bersemangat menulis naskahnya. Seperti mengalir begitu saja. Sebab ia tahu: ia sedang menulis kisahnya sendiri.

Facebook Comments

Lirik “Bujur Oh Nande” oleh Andel Silalahi

Pengarakngarak toto Nande
segedang gedang dalin e
Ija kin pe kecibalenku
Ioahna nge pertendinku

La ersibar kekelengendu
ngepkep anak buah barandu
Lit pe lepak perbahanenku
la erleka pasupasundu

Ibas tembe surasurangku
erlaiasna kegeluhanku
Enda krina ulih latihndu nande
kerah iluh angkeris panasndu

Melala bujur Nande(ng)-ku
Aku nggo didongdoahkendu
Si dame na ibas pusuhku nande
Tunduh ibas ampundu e

Cawir metua kam Nande
Kam nge ngenca ingan ertade
La erleja anakndu e
Natap cirem tawandu e

Gia rinu ayondu e
Kam simanisna oh Nande

Facebook Comments

Tanda Salib bagi Umat Katolik

LATAR BELAKANG

Tanda salib bagi umat Katolik adalah sekaligus gerakan tubuh dan pernyataan iman. Gerakan sederhana ini menjadi tanda pernyataan iman akan penebusan, Salib dan Trinitas Mahasuci.

Adapun rujukan biblis yang bisa digunakan yakni teks Mat 28:19 “Karena itu pergilah, jadikanlah semua bangsa murid-Ku dan baptislah mereka dalam nama Bapa dan Anak dan Roh Kudus“.

Inilah rumusan kata yang diucapkan ketika membubuhkan tanda salib.

IN nomine Patris, et Filii, et Spiritus Sancti. (Latin)

In the name of the Father, and of the Son, and of the Holy Spirit. (Inggris)

Dalam nama Bapa, dan Putera dan Roh Kudus.

Di bagasan goar ni Ama, dohot Anak, dohot Tondi Porbadia. (Batak Toba)

 

Gereja Katolik mengajarkan bahwa orang yang tekun menggunakan tanda salib mendapatkan indulgensi parsial (sebagian).


Awal Mula Penggunaan

Tanda Salib yang digunakan Umat Katolik saat ini sangat mirip dengan “tanda salib mini” yakni gerakan tangan di dahi, bibir dan di dada seperti ketika hendak mendengarkan pembacaan Injil.

Hingga hari  ini, masih sulit dipastikan kapan persis mulainya gerakan tangan memberkati diri sendiri dengan tanda salib besar dari dahi, dada dan bahu. Catatan sejarah terkait hal ini beragam dan menimbulkan banyak penafsiran, termasuk dari para penulis sejarah Gereja sendiri. Kemungkinan besar hal ini terjadi karena kebiasaan seperti ini dalam periode Gereja Perdana umumnya diajarkan dengan cara dipraktekkan langsung, tidak dituliskan. Umum diterima bahwa penggunaan tanda salib pertama kali terjadi sebagai tanda berkat oleh para imam pada masa kontroversi Arianisme sekitar abad IV dan perlahan diterima oleh umat di berbagai tempat.

Instruksi tertulis yang ditemukan perihal pelaksanaan tanda salib baru muncul pada abad XII.

Paus Innosensius III (1198-1216) memberi petunjuk sebagai berikut:

Tanda salib dibuat dengan tiga jari, karena tanda ini dilakukan sambil menyeru nama Tritunggal. … Beginilah cara melakukannya: dari atas ke bawah, dan dari kanan ke kiri, karena Kristus turun dari surga ke atas bumi, dan dari bangsa Yahudi (kanan) Dia berpindah ke bangsa-bangsa lain (kiri).

Meskipun demikian, orang-orang lain membuat tanda salib dari kiri ke kanan, karena dari sengsara (kiri) kita harus menyeberang menuju kemuliaan (kanan), sama seperti Kristus menyeberang dari kematian menuju kehidupan, dan dari Alam Maut ke Firdaus. [Beberapa imam] membuat tanda salib dengan cara ini agar mereka dan umat dapat melakukannya dengan cara yang sama. Kamu dengan mudah dapat menyelidiki kebenaran hal ini — perhatikan imam yang menghadap umat untuk memberi berkat — bila kita membuat tanda salib ke arah umat, gerakannya adalah dari kiri ke kanan …


PENAFSIRAN

Para penulis Abad Pertengahan mencatat bahwa penggunaan tanda salib ini kaya akan simbolisme yang sesuai dengan isi “Credo” (Symbolum Christianum)

Ketika Kristus datang untuk menebus dunia, Ia turun (berasal) dari Bapa, lahir dari Perawan, dimakamkan dan turun ke dunia orang mati. Dia kemudian bangkit  dari antara orang mati, naik ke surga dimana Dia duduk di sebelah kanan Allah Bapa. Maka, ketika kita membuat tanda salib, kita menggunakan tangan kanan (yang melambangkan Kristus yang duduk di sebelah kanan Bapa. Kita mulai dari dahi, yang melambangkan Bapa, Pencipta dan Sumber atas segalanya. Lalu tangan kanan bergerak turun dan menyentuh bagian bawah dada, yang melambangkan Inkarnasi, sebab Kristus berasal dari Surga turun ke bumi, berasal dari Bapa dan menjadi manusia dalam rahim Perawan Maria melalui kuasa Roh Kudus.

Di Gereja Barat, gerakan ini kemudian dilanjutkan dengan menyentuh bahu kiri lalu bergerak ke bahu kanan. Kiri melambangkan kematian dan kegelapan, sementara kanan melambangkan kebenaran dan terang. Maka gerakan dari bahu kiri ke bahu kanan adalah simbol transisi dari penderitaan menuju kemuliaan, dari kematian menuju kehidupan, dari neraka menuju surga.Sebab Kristus melewati kematian menuju kehidupan dan duduk di sebelah kanan Bapa, demikian juga kita melewati kematian menuju kehidupan dalam Kristus melalui penyucian Roh Kudus.

Di Gereja Timur, gerakan ini kemudian dilanjutkan dengan arah berlawanan dengan kebiasaan di Barat, yakni menyentuh bahu kanan terlebih dahulu lalu bergerak ke bahu kiri.

Sebuah buku teks kateketik Yunani mencoba menerangkan perbedaan kebiasaan Latin (Gereja Barat) dari kebiasaan Yunani (Gereja Timur) dengan mengatakan bahwa sisi kanan melambangkan kekudusan, dan hati (di sisi kiri) melambangkan roh, dengan demikian orang-orang yang menyebut Roh Kudus dalam Bahasa Latin yakni “Spiritus Sancti” (nomina mendahului adjektiva) menyentuh sisi kiri sebelum kanan, sedangkan orang-orang yang menyebut Roh Kudus dalam Bahasa Yunani yakni “τοῦ Ἁγίου Πνεύματος” (adjektiva mendahului nomina) berbuat sebaliknya.

 


Sumber:

  1. Preces Latinae
  2. Wikipedia: Tanda Salib
  3. Sermon LXXXI dari Santo Augustinus
Facebook Comments

Penulisan Skenario: Metode 8 Sequence – Sekuens 7 dan 8

Kini sampailah kita pada Act III dari metode 8 Sequence.  Jika dalam struktur klasik (kerangka dramatik Yunani Kuno) Act III ini memuat akhir cerita berupa kemenangan atau kekalahan; dalam metode 8 sequence bagian ini berisi resolusi salah (sekuens 7) dan resolusi benar (sekuens 8)


Sekuens 7 – New Tension & Twist

Inilah bagian ketegangan yang lengkap tetapi tetap sederhana, singkat tetapi sekaligus memuat pemaparan yang penting. Lebih sederhana dan lebih cepat alur ceritanya, berisi adegan singkat dan tidak lagi ada bangunan cerita yang benar-benar baru, melainkan ketegangan baru (new tension) akibat mulainya fase kebangkitan (revival) atas segala jatuh-bangunnya karakter utama mulai dari sekuens 1-6.

Sekuens 7 kerap dianggap sebagai tahap yang paling sulit sekaligus penting karena tuntutan ini. Pada tahap ini, karakter utama harus bangkit untuk memperbaiki kesalahan atau kegagalannya. Biasanya, adegan revival ini dipicu dari 3 hal yakni:

1) kebetulan,

2) datang dari orang lain, atau

3) menuai “petunjuk” (clue) yang sudah ditabur sejak awal.

Contohnya, dalam film petualangan, karakter bisa mengetahui letak harta karun dari 1) insiden tidak sengaja menggali tanah tau-tau ketemu, 2) diberi tahu orang lain “harta karunnya ada disana”, atau 3) mengikuti petunjuk sejak awal hingga akhirnya menemukan harta karun.

Sebaik-baiknya kisah, tetaplah ingat untuk menyelaraskan logika dan perasaan. Maka, sebaiknya jangan pernah menyatukan ketiga pemicu revival tadi dalam satu naskah karena akan menjadi “too good to be true”. Sama seperti kebanyakan pengalaman orang dalam kehidupan mereka, sumber ide untuk penyelesaian masalah itu tidak banyak, datangnya satu saja. Jika kebanyakan, akan menjadi tidak masuk akal. Sebab, pembaca atau penonton akan bereaksi: “kalau sedari awal karakter utama sudah memiliki solusi sebanyak ini atas permasalahan yang dihadapinya, mengapa tidak dari awal saja cerita ini selesai?

Ingat, sekuens 7 belumlah akhir cerita. Itu sebabnya, sekuens 7 sering juga disebut resolusi salah. Pada tahap ini, karakter utama akan menemukan pilihan. Ia akan memilih secara sadar antara dua kemungkinan. Cerita belum selesai juga.


Sekuens 8 – Resolution

Inilah resolusi sebenarnya. Disini, semua mesti jelas. Jika para petualang itu mengambil jalan kiri, maka semuanya baik-baik saja; tetapi jika mereka mengambil jalan kanan, maka dunia yang kita kenali ini akan berakhir alias kiamat. Ketegasan yang sama harus kita tunjukkan: apakah pria karakter utama akan berhasil mendapatkan gadis pujaannya, apakah berhasil menjinakkan bom, atau apakah dia berhasil selamat dari perahu yang bocor dan mulai tenggelam di tengah lautan yang dipenuhi ikan hiu?

Pembeda antara sekuens 7 dan sekuens 8 ialah:  pada sekuens 8, karakter utama kita sudah tidak bisa melakukan usaha penyelesaian. Ia hanya menjalani hasil dari penyelesaian konflik yang ada di sekuens 7. Jadi, sekuens 7 ini adalah efek dari revival. Kalau kita masih memasukkan usaha karakter menyelesaikan masalah, itu berarti naskah yang kita tulis masih berada di sekuens 7, belum sampai pada akhir cerita.

Bagaimana kita yakin bahwa ini adalah akhir dari seluruh cerita yang kita susun? Ingatlah kembali “wants” (keinginan) dan “needs” (kebutuhan), yakni aspek karakter yang sejak awal kita sudah tetapkan ketika merumuskan premis. Akhir cerita berarti  kedua aspek ini sudah tercapai. (Tentu saja, kita selalu punya kesempatan untuk mencipta twist pada sekuens ini untuk membuat penonton tetap terkejut). Pada bagian inilah pembaca atau penonton bisa menyimpulkan bahwa cerita yang kita tulis berakhir dengan kemenangan karakter utama (happy ending) atau Tujuan/Goals mengalahkan Obstacle/Hambatan; atau berakhir dengan kekalahan karakter utama (sad ending) atau Obstacle/Hambatan yang mengalahkan Tujuan/Goals.

Facebook Comments

Mengapa Doa Bapa Kami versi Katolik dan Protestan Berbeda?

Konon, ketika ngobrol dengan para murid-Nya, Yesus berkata, “Karena itu berdoalah demikian: Bapa kami yang di sorga, dikuduskanlah nama-Mu, datanglah Kerajaan-Mu, jadilah kehendak-Mu di bumi seperti di sorga. Berikanlah kami pada hari ini makanan kami yang secukupnya dan ampunilah kami akan kesalahan kami, seperti kami juga mengampuni orang yang bersalah  kepada kami; dan janganlah membawa kami ke dalam pencobaan, tetapi lepaskanlah kami dari pada yang jahat” (Mat 6:9-13). Versi yang mirip kita temukan pada Luk 11:2-4.

Kedua versi ini tidak memuat kalimat penutup yang kita temukan pada versi Protestan, “Karena Engkaulah yang empunya Kerajaan dan kuasa dan kemuliaan sampai selama-lamanya. Amin.”


Kalimat “Karena Engkaulah yang empunya … ” secara teknis adalah doxologi. Istilah doksologi berasal dari bahasa Yunani yakni dari kata δόξα [dόxa] yang berarti kemuliaan. Sebagai bagian penutup dari Doa Ekaristi atau sering disebut dengan Doa Syukur Agung, rumusan doksologi bermaksud untuk mewartakan kemuliaan Tuhan. Kata doksologi yang dalam bahasa Latin doxologia atau gloria dapat juga diterjemahkan dengan kemuliaan, penghormatan, pujian atau keluhuran. Di Bibel, kita menemukan praktek menutup doa dengan ayat singkat mirip madah yang isinya meninggikan kemuliaan Tuhan.

Orang Yahudi sering menggunakan doxologi ini untuk menutup doa mereka pada masa sekitar hidup Yesus. Contoh serupa kita temukan pada doa Daud di 1 Tawarikh 29:10-13 pada Perjanjian Lama.

Lalu Daud memuji TUHAN di depan mata segenap jemaah itu. Berkatalah Daud: “Terpujilah Engkau, ya TUHAN, Allahnya bapa kami Israel, dari selama-lamanya sampai selama-lamanya.
Ya TUHAN, punya-Mulah kebesaran dan kejayaan, kehormatan, kemasyhuran dan keagungan, ya, segala-galanya yang ada di langit dan di bumi! Ya TUHAN, punya-Mulah kerajaan dan Engkau yang tertinggi itu melebihi segala-galanya sebagai kepala.
Sebab kekayaan dan kemuliaan berasal dari pada-Mu dan Engkaulah yang berkuasa atas segala-galanya; dalam tangan-Mulah kekuatan dan kejayaan; dalam tangan-Mulah kuasa membesarkan dan mengokohkan segala-galanya.
Sekarang, ya Allah kami, kami bersyukur kepada-Mu dan memuji nama-Mu yang agung itu.

Pada masa Gereja Perdana, orang-orang Kristen di bagian Kekaisaran Romawi Timur menambahkan doksologi “Karena Engkaulah yang empunya …” pada perikop Injil dari doa Bapa Kami ketika mereka mengucapkan doa itu pada perayaan Misa. Bukti adanya praktek semacam ini dapat kita temukan pada Didakhe (Ajaran dari Keduabelas Rasul), sebuah manuskrip dari abad pertama yang berisi panduan moral, pujian dan doktrin Gereja. Juga ketika menyalin kitab-kitab, para penulis berbahasa Yunani kerap menambahkan doxologi pada naskah asli ‘Bapa Kami’.

Demikianlah hingga kebanyakan teks Kitab Suci dewasa ini tidak memasukkan bagian doxologi itu, tetapi meletakkannya sebagai catatan kaki; atau memasukkannya tetapi dalam tanda kurung. Bibel “Vulgata”, Bibel Douay-Rheims, Bibel edisi The Confraternity serta edisi The New American tidak pernah memasukkan doxologi ini. Di Vulgata, misalnya, ditulis:

PATER NOSTER, qui es in caelis,
Sanctificetur nomen tuum.
Adveniat regnum tuum.
Fiat voluntas tua,
sicut in caelo et in terra.

Panem nostrum cotidianum da nobis hodie,
et dimitte nobis debita nostra
sicut et nos dimittimus debitoribus nostris.
Et ne nos inducas in tentationem,
sed libera nos a malo.


Di Kekaisaran Romawi Barat dan pada ritus Latin kita melihat pentingnya doa Bapa Kami saat perayaan Misa.

Santo Hieronimus (wafat pada 420) menyatakan kesaksian atas penggunaan doa Bapa Kami dalam perayaan Misa, dan Santo Gregorius Agung (wafat pada 604) menetapkan doa Bapak Kami diresitir setelah Doa Ekaristi, sebelum Pemecahan Roti.  Pada tulisannya Komentar terhadap Sakramen-sakramen, Santo Ambrosius (wafat pada 397) merenungkan makna “roti setiap hari” dalam konteks Ekaristi Suci. Dengan nada yang sama, Santo Agustinus (wafat pada 430) menyatakan bahwa doa Bapa Kami menghubungkan Ekaristi Suci dan pengampunan dosa. Dalam banyak kesempatan, Gereja menempatkan doa yang sempurna ini, doa yang diajarkan oleh Tuhan, sebagai doa persiapan diri untuk Komuni Suci. Akan tetapi, dari antara contoh-contoh ini, tidak ada yang menggunakan doxologi.

Menariknya, terjemahan Bahasa Inggris dari doa Bapa Kami yang kita gunakan dewasa ini merupakan versi yang diamanatkan oleh Raja Henry VIII (ketika masih berada dalam persekutuan dengan Gereja Katolik), yang didasarkan pada Bibel Tyndale (1525). Akan tetapi, selama pemerintahan Ratu Elizabeth I dan menguatnya kecenderungan Gereja Inggris untuk menghindari kesamaan dengan Gereja Katolik, terjemahan Inggris kemudian menambahkan doxologi, dan inilah yang menjadi standar untuk umat Protestan yang berbahasa Inggris.


Prekonklusi:

Tradisi adalah proses komunikasi dan penerusan iman dari satu generasi ke generasi berikutnya. Demikianlah Gereja Katolik dan Gereja Protestan memiliki keunikan dalam memahami doa Bapa Kami dan menggunakannya dalam ibadat bersama maupun pribadi. Patut diingat bahwa doxologi – yang menjadi pembeda utama itu – bukan sesuatu yang buruk, malah merupakan khazanah iman Gereja yang memang sejak awal menyerap dan menyesuaikan diri dengan kebiasaan Gereja Barat dan Gereja Timur; bahkan dengan tradisi jemaat perdana yang sebelum menjadi pengikut Kristus, sudah terbiasa dengan pujian seperti yang dilantunkan Daud pada perikop 1 Tawarikh 29 di atas.

Facebook Comments