Wahai Kaum Pengangguran, Nyanyikan Baladamu

Hak Menyanyikan Baladanya Sendiri

Tadi malam saya mendengar lagu “The Boxer” besutan duo Amerika lawas Simon & Garfunkel. Tetiba saja, seperti mendengar bisikan dari angin semilir yang tak berhasil membuat rumput bergoyang, rasanya saya ingin memekikkan “Manifesto Hak Berbalada” ini:

Bahwa sesungguhnya menyanyikan balada itu adalah hak setiap orang, tak terkecuali kaum pengangguran. Oleh sebab itu setiap upaya pelarangan terhadap nyanyian balada baik oleh orang yang sedang bahagia ataupun oleh orang kaya, harus dihentikan, karena tidak sesuai dengan perikesenian dan perikeberperasaan.

Para pembaca harap jangan panik, saya tidak bertapa di Gua Hira atau Taman Zaitun. Saya tidak bertapa. Hanya inhale-exhale a la seorang Yogi yang tak lulus-lulus belajar, kadang beraturan kadang tidak, di kamar saya yang tidak begitu luas, ditemani lampu temaram.

Kemudian, muncullah pertanyaan-pertanyaan ini.

  1. Apakah setiap orang berhak mengekspresikan rasa seninya? Yes. Sepanjang tidak mengusik orang lain.
  2. Lalu, apakah setiap orang berhak mengungkapkan rasa seninya lewat nyanyian? Yes. Sepanjang metrik desibelnya tidak menimbulkan polusi suara. Yang suaranya cempreng boleh meletakkan standar desibel yang lebih rendah. Hahaha.
  3. Lantas, apakah setiap orang berhak mengungkapkan kenyataan hidupnya dalam balada, dan menyanyikannya? A greater yes. Dijamin tidak mengusik orang lain. Karena sesungguhnya setiap orang bersatu dalam kodrat kesedihan yang sama. Berikut penjelasannya.

Setiap Orang Berhak Sedih

Sejak peperangan dikenal oleh peradaban manusia, entah karena sex ataupun kekuasaan, sejak itu pula serangkaian litani kesedihan yang panjang selalu ada di balik setiap gelak tawa dan pekik kejayaan. Selalu ada lantunan ratapan kesedihan di balik setiap penaklukan oleh conquistadores, entah demi alasan agama (many times in this case it redirected us to Gospel), perebutan wilayah (gold), ekspansi kekuasaan (glory) ataupun sekedar show off kekuasaan misoginis oleh seorang pria gallant yang baru saja berhasil merebut seorang wanita idaman nan rupawan bak Princess dari seorang pria lemah nan memble.

Terhadap setiap kekalahan itu, bersama Sheila on 7  yang memilih “Berhenti berharap”, kita boleh menyanyi kecil atau teriak kencang di kamar mandi sambil bernyanyi: “Aku pulang …. Kuterima kekalahanku …”

(Disclaimer: Jika di antara pembaca ada yang jomblo atau baru diputusin kekasih karena Anda tidak punya belis atau sinamot yang cukup, atau gelar akademis Anda tidak cukup mentereng di mata sang calon mertua, penulis tidak bertanggungjawab seandainya terjadi kesedihan dan kegalauan kronis tingkat Olympus).

Singkatnya, sebagai sajak sederhana yang mengisahkan cerita rakyat yang mengharukan, kadang-kadang dinyanyikan, kadang-kadang berupa dialog; balada dan menyanyikan balada adalah hak setiap orang. Sekali lagi, terutama bagi kaum pengangguran.

Bahkan Roh Kudus Pun Bersedih

Satu perikop Alkitab yang parafrase-nya masih saya ingat ketika dididik oleh Romo Alex, SJ yakni Roma Pasal 8, terutama pada bagian ini.

Sebab kita tahu, bahwa sampai sekarang segala makhluk sama-sama mengeluh  dan sama-sama merasa sakit bersalin. Dan bukan hanya mereka saja, tetapi kita yang telah menerima karunia sulung Roh, kita juga mengeluh dalam hati kita sambil menantikan pengangkatan sebagai anak, yaitu pembebasan tubuh kita.

Konon, di ajaran lain juga dikenal dengan istilah tumimbal kahir, sebuah term yang katanya lebih pas untuk menyebut reinkarnasi, yakni proses kelahiran dan kematian berulang kali yang mesti dilalui oleh manusia, dengan serangkaian penderitaan di dalamnya sampai manusia mencapai pencerahan sejati, mencapai dhamma dan menyelesaikan tugasnya setelah kehidupan yang kesekian ratus kalinya, dan berhasil mencapai akhir dalam peziarahan tak kunjung henti itu dalam ketiadaan kehendak dan hawa nafsu di nir-ana (nirwana) masing-masing.

Baiklah, sebelum saya lebih lanjut ditengarai sebagai sinkretis, jika Anda berminat untuk mengetahui hermeneutika yang lebih kredibel, ada baiknya Anda bertanya ke para ahli (baca: Siboto Surat, Kaum Farisi, dan sejenisnya) atau mengunjungi website hermenutika semacam Biblehub.com.

Balada Pengangguran: The “Boxer”

Ada ribuan ulasan dan analisis terhadap lagu Boxer yang dinyanyikan Simon dan Garfunkel ini bisa kita temukan, baik di internet maupun dari sumber-sumber lisan. Bagi yang pernah mendengarnya, Anda pun mungkin punya analisis sendiri, entah Anda suka dengan lagunya atau tidak; entah Anda punya latar belakang musik yang mumpuni atau sekedar penikmat kelas teri yang bahkan tidak mau membeli video atau audio-nya lewat aplikasi berbayar, hanya mau jika itu dari situs gratis, persis seperti Saya. Konon lagu ini ditujukan sebagai tribute untuk Bob Dylan, yang memang pernah menjadi petinjua amatir sebelum beralih menjadi musikus.

“The Boxer” adalah sebuah lagu metafor. Meskipun telah mengalami serangkaian kekalahan, kemunduran, hinaan, cemoohan bahkan direndahkan serendah-rendahnya, si penulis lagu memilih untuk tetap bertahan ((“carries the reminder of every glove that laid him down or cut him til he cried out”) dan meneruskan cita-cita dan impiannya (“the fighter still remains”).

Di tempat lain, seorang pria berputeri tiga dan berputra satu yang tinggal di daerah Sawangan – Depok,  mem-parafrase-kan dinamika roda hidupnya dan memilih bertahan dengan mottonya: I have died once. I fear no more defeat. Hey, life, try me!

Semboyan hidup yang agak kontras dengan keluhan manja Mario Ballotelli, si striker badung kesebelasan AC Milan dan timnas Italia: “Why Always Me?”

Kembali ke Sang Petinju

Konon si pria merasakan gemuruh kesedihan di dadanya yang sesak setiap kali ia mengingat masa lalunya sebagai pria yang meninggalkan kampung halaman “left his home“), keluarga dan sanak-saudara “and family” ketika dia sejatinya masih seorang bocah ingusan “when he was no more than a boy” yang masih ingin bereksperimen seberapa ampuhnya dia tease and flirt gadis-gadis kampung, mana saja yang masih mau digandengnya hanya dengan rayuan gombal kata-kata.

Lucunya, hidup memang kerap sebengis itu, ketika di kemudian hari dia alami sendiri di perantauan bahwa ternyata kata-kata dan janji manis tidak lebih mengenyangkan perutnya dibanding buah semangka yang membantunya bertahan hidup di fase awal perantauannya, kala ia bahkan tidak tahu bus Metromini yang menuju ke mana (doing so under some vague pretense that life on his own would be better than wherever he came from a pocketful of mumbles, such are promises).

Sang (calon) petinju itu mengalami dan merenungkan sekelebat kisah hidupnya yang diisi oleh kesepian, rindu pulang ke kampung halaman, dan pengucilan oleh warga ibukota (“where the New York City winters aren’t bleeding me, leading me, to going home”).  Ia yang begitu polos dan jujur, dituntut untuk mengakui kenyataan hidupnya yang ambiqu, saat dia mesti menghabiskan rezeki pertamanya yang tidak seberapa itu dengan melanggar normal moral yang tak pernah ia bayangkan akan ia langgar, jika mengingat pengalamannya di kampung bahkan sekedar bermain kartu domino atau poker pun ia diusir oleh ayahnya dari rumah. Maka, pergilah dia, “just a come on from the whores on 7th Avenue. I do declare there were times when I was so lonesome, I took some comfort there“. Kegelisahan dan keputusasaannya menjadi gambaran atas jutaan umat manusia lainnya yang mengalami skenario dan pilihan hidup yang sama.

Kenyataan hidup, terutama di perantauan, yang diisi oleh serangkaian tantangan dan emosi yang campur-baur, semakin jelas baginya ketika dia, si anak kecil berkulit hitam dari Selatan itu, mencoba menyusuri jalanan di kota New York yang gemerlap untuk mencari pekerjaan, tetapi tidak menemukan satupun yang mau mempekerjakannya, meski hanya dengan upah minimum.

Roda hidupnya mulai diputar ketika dia melihat cermin dirinya sendiri lewat seorang petinju yang berkali-kali kena kalah dan kena pukulan bertubi-tubi, darah berceceran tak terhitung hingga sudah berapa kali, yang tergoda untuk meninggalkan pekerjaannya itu dan pulang saja ke kampung halaman, tetapi karena rasa malu pulang dengan tangan hampa, dia memilih untuk tetap bertahan. Again, the fighter still remains. Seolah tak gentar dengan pahitnya kenyataan hidup, ia memilih untuk meneruskan peziarahan hidupnya. Kegetiran hidup dilihatnya bukan sebagai cacat bekas luka, tetapi sebuah luka yang masih menganga dengan darah bercucuran. Sejatinya dia ingin menyerah saja. Dia ingin berhenti, tetapi kata menyerah tidak ada dalam dalam kamusnya. Mental pecundang tidak hidup di aliran darahnya. Bahkan, tidak ada pilihan untuk menyerah. Di usia senjanya kelak, ia menemukan inner peace layaknya si Po yang berdamai dengan kenyataan “dibuang” oleh orangtuanya sendiri di Kungfu Panda, bahwa:

Tak perduli seberapa keras Anda mencoba, Anda akan tetap dipukuli dan dihantam bertubi-tubi itu oleh sang hidup, bahkan menyerah tidak tersedia sebagai pilihan. Seiring dengan dentak drum yang mengiringi setiap pertandingan tinju, setiap kali Anda harus bertahan menerima pukulan itu. Anda bahkan mesti bernyanyi “Lai La La”

Simon dan Garfunkel juga Bersedih

Tema umum yang ditawarkan oleh Simon & Garfunkel dalam lagu-lagu baladanya adalah bagaimana menemukan kekuatan untuk tetap bertahan terutama pada saat Anda berada pada titik terendah hidup Anda, ketika seisi dunia tampaknya memusuhi Anda. Tema sejenis terasa dalam hits mereka lainnya, misalnya “I am a Rock” dan “Bridge Over Troubled Water”.

The Boxer” muncul di album studio kelima mereka Bridge over Troubled Water (1970). Diproduksi secara kolaborasi antara duo Simon & Garfunkel dan Roy Halee, lagu ini menjadi lead single album yang dirilis pada 21 Maret 1969. Penulisnya, Paul Simon, adalah seorang musikus (gitaris dan vokalis) beraliran folk rock ballad yang banyak menimba inspirasi lagunya dari kisah hidup personal seorang tokoh, dan banyak juga terinsipirasi dari kisah-kisah di Alkitab.

“The Boxer” sendiri merupakan follow-up dari single sukses mereka sebelumnya, “Mrs. Robinson“, yang meraih peringkat ketujuh di Billboard Hot 100 dan dipanggungkan secara internasional di berbagai belahan dunia. Mengikuti single pendahulunya, “The Boxer” nangkring di jajaran lagu Top 10 di sembilan negara, tertinggi di Netherlands, Austria, South Africa, dan Canada. Rolling Stone sendiri mencatatkan “The Boxer” masuk dalam daftar the 500 Greatest Songs of All Time, di nomor ranked the song No. 106.

Saat konser pada 3 Juni 2016 di Berkeley, California, Paul Simon berhenti di pertengahan lagu, dan mengumumkan ke penonton:  “I’m sorry to tell you this in this way, but Muhammad Ali passed away.” Lalu ia melanjutkan lagu itu dan mengakhirinya dengan lirik: “In the clearing stands a boxer and a fighter by his trade…”

Sejatinya, “The Boxer” ditulis dalam versi yang tak semuanya muncul di versi album Bridge over Troubled Water. Lirik yang tak muncul itu ialah sebagai berikut.

Now the years are rolling by me 
They are rockin’ evenly.
I am older than I once was,
And younger than I’ll be.
That’s not unusual;
No, it isn’t strange:
After changes upon changes
We are more or less the same;
After changes we are more or less the same.

 

Prekonlusi

Sang Petinju (The Boxer) bukan hanya Simon Paul. Pada dasarnya, kita semua adalah seperti Sang Petinju. Kita lelah dengan semua pertempuran, pertandingan dan perkelahian hidup ini. Dan, sementara kita memilih untuk tetap bertahan, tidak berarti bahwa kita sudah mencapai kemenangan, baik dalam arti moral, maupun dalam arti lain.

Suara merdu dari duo ini masih berhasil membuat suasana sendu hingga hari ini. Setidaknya, bagi saya. Mungkin, juga bagi teman-teman lain yang pernah atau masih menjadi pengangguran.

 Pertanyaan berikutnya: Apakah setiap orang berhak bahagia dan menari Cha-cha atau berlenggok Lenso?

Kita tunggu tulisan berikutnya.


 

Disadur dari berbagai sumber