Kompartementalisasi – Solusi buat Remaja Jompo SMA

“8 les sehari, semuanya ada PR.

Alamak .. Ngeri kali ternyata di SMA ini bah“, begitu curhat seorang siswaku di Snapgram-nya.

Can you feel it?

I can. 

Bahkan setelah hampir 20 tahun meninggalkan bangku SMA, aku masih bisa mengerti mengapa curhat retjeh ini muncul.

Jangan salah paham dulu. Dengan kata “receh”, aku tidak bermaksud menyepelekan beratnya beban mengikuti pembelajaran di sekolah, lengkap dengan kewajiban menenteng buku paket tebal dan buku catatan untuk masing-masing mata pelajaran, ditambah lagi dengan PR setiap hari.

Pertama, siswa yang membuat status itu kukenal. Pada tatap muka di kelas, dia seingatku bukan tipe orang yang kesulitan mengikuti pelajaran. Memang sesekali tampak wajahnya seperti mengantuk. Mungkin karena malam sebelumnya harus mengerjakan banyak PR. Tapi sesekali saja. Secara umum,  dia tidak ketinggalan dan tampak ceria mengikuti proses belajar di kelas.

Jadi, snapgram-nya itu kuanggap sebagaimana mestinya saja: status untuk memeriahkan timeline saja. Lho kok? Lha iya, sebab zaman sekarang jika anak remaja benar-benar ingin curhat, nadanya akan berbeda. Mungkin saja akan berbunyi begini: Please help me. Aku udah cape“. Jadi tidak akan sempat membuat kalimat panjang, tambahan lagi pakai kata “alamak”. Jadi, aku tahu pasti, dia sedang baik-baik saja.

Tetapi, kedua, kata receh juga seperti biasanya: selalu memuat paradoks. Di satu sisi, si pembuat status jika ditanyai seadanya soal apa maksudnya dengan membuat status seperti itu di akun media sosialnya, dia akan berkilah: “Nggak ada apa-apa loh, Pak. Cuman status ajanya itu. Biar nggak apa kali”. Meski kita juga tidak tahu persis apa arti kata “nggak apa kali” disini, kita bisa asumsikan bahwa tidak ada yang serius.

Di sisi lain, jika kita mau sedikit melakukan pengamatan lebih cermat dan pengenalan lebih dalam terhadap status itu, kita akan cepat menemukan fenomen sejenis ternyata juga ada pada siswa lainnya. Jadi, dia tidak sendirian mengeluhkan beratnya beban ini. Cukup valid kalau kita mengambil hipotesa sementara bahwa benar ada sesuatu yang perlu didiskusikan. Bahwa benar, jika diberi kesempatan, mereka akan memilih untuk tidak menjalani 6 hari seminggu dengan banyaknya materi pelajaran dan PR setiap hari seperti ini. Benar, mereka masih bisa menanggung beban ini. Tetapi juga sekaligus benar bahwa ini cukup berat buat mereka.

Terkadang, setengah bercanda, selain bersama para rekan guru kami mempertanyakan “apanya sih yang merdeka dari kurikulum Merdeka ini untuk kita para guru”, beberapa siswa juga sudah mulai ada yang kritis lewat celetukan: “Bukankah belajar itu seharusnya menyenangkan, Pak? Tidak malah memberatkan seperti ini?”


Jika kamu seorang Baby Boomer dan sudah sampai pada bagian ini, kujamin kalian akan berkomentar:

Dasar anak remaja sekarang memang daya juangnya lemah. Dikit-dikit mengeluh. 

Tentu saja, sebagai orang yang sudah lebih tua, yang sudah lebih banyak makan garam beryodium dan tidak beryodium, kalian (eh, kita?) punya seribu argumentasi sehingga sampai pada simpulan berupa komentar diatas. Tentu kita tidak mau juga disalahkan oleh para siswa kita. “Tau apa mereka? Mereka kan siswa kita, kita guru mereka”, begitu kesadaran subliminal kita yang serba patronizing itu hendak menghakimi mereka.

Tapi tenang dulu. Tanpa perlu kita berkomentar demikian, mereka sudah duluan. Mereka sudah mampu mengungkapkan betapa absurdnya diri mereka dan situasi mereka. Buktinya mereka percaya diri saja mengidentifikasi diri sebagai “remaja jompo”.

Frasa dengan contradictio in terminis itu kupikir cukup jelas maksudnya. Identifikasi diri ini bisa ditanggapi sebagai humor (jika kamu bisa menikmati sebuah meme, kupikir kalian tahu maksudku). Untuk kultur “teenage thingy” mereka, ini identitas yang mempersatukan mereka sekaligus menjembatani jurang atau social gap – antara murid dari keluarga kaya versus murid dari keluarga menengah ke bawah, antara murid “ambis” versus murid “santuy” dan antara murid paralel vs murid yang megap-megap ketika rapat kenaikan kelas berlangsung. Dengan menyebut diri sebagai “remaja jompo”, mereka bersatu. Mungkin mirip dengan kaum buruh yang (bermimpi) bersatu di bawah manifesto Karl Marx . (Ups …)

Tetapi bisa juga dimaknai sebagai keluhan serius bahkan seperti mengejek diri sendiri. Bagaimana tidak? Masih remaja, tetapi sudah gampang lelah. Belajar sedikit, maunya libur seminggu. Kerja sedikit, maunya healing sebulan.

Tergantung kalian, mau memaknainya dari sisi mana.

Yang jelas, mereka masih mengagumi kita yang sudah sampai pada tahap ini, bisa menjadi tenaga pendidik untuk mereka. Semoga juga menjadi  guru untuk mereka dalam arti seutuhnya. Intinya, mereka ingin seperti kita. Menjadi dewasa. Menjadi orang yang punya pekerjaan dan penghasilan. Orang yang tidak lagi menjadi beban keluarga.

Mereka serius ingin menjalani masa SMA mereka dengan belajar semaksimal mungkin sesuai dengan impian (goals) mereka.

Mereka bahkan sudah menuliskan dengan jelas materi motivasional pengantar sesuai instruksi yang kuberikan kepada mereka kala MPLS. Bahwa jika ingin menjalani masa SMA dengan baik dan nikmat, sejak awal mereka sudah harus bisa menuliskan goals yang mereka ingin capai, dan sebaiknya mereka menulisnya dalam format S-M-A-R-T.

S = specific

M = measurable

A = attainable/achievable

R = Relevant

T = Timebound.

Jadi, misalnya, ada siswa yang pada minggu pertama di bangku SMA, bisa menuliskan bahwa 3 tahun berikutnya dia melihat dirinya sebagai mahasiswa kedokteran di salah satu universitas top tier di Indonesia. Target atau cita-cita ini sudah memenuhi kriteria specific.

Cara mengukurnya (measurable) juga mudah. Ya, dilihat dari apakah nanti mereka lulus atau tidak di kampus impian mereka itu.

Achievable? Yes. Sudah banyak kakak kelas mereka yang membuktikan bahwa ini bisa dicapai. Jika pendahulu mereka bisa, mereka juga optimis bisa melanjutkan tekad serupa.

Relevant? Tentu saja. Mereka tahu bahwa apa yang mereka jalani sekarang relevan dengan harga yang harus dibayar sampai mereka bisa dengan bangga berswafoto ria di Instagram dengan jaket kampus impian tadi.

Time-bound? Jelas. 3 tahun dari sekarang, target itu harus tercapai. No matter what, at any price, they would do it.


Lalu, darimana datangnya frasa humor sekaligus ejeken terhadap diri sendiri tadi?

Sudahlah remaja jompo, anak SMA pula. Combo. Paket lengkap.

Aku melihatnya secara positif.

Tapi bukan toxic positivity, yakni godaan untuk overproud yang sering membuat orang jatuh karena terlalu percaya diri. Misalnya sudah sadar diri bahwa lemah dalam bidang sains, tetapi memaksakan diri untuk mengambil jurusan sains murni di kampus nomor satu; padahal ada banyak jurusan lain yang lebih tepat.

Apa positifnya? Sebab mereka sudah bisa memvisualisasikan diri berkat metode SMART goals tadi, mereka pun akhirnya menyadari konsekuensinya: seberat apapun proses belajar yang mereka sebut beban tadi, toh mereka bersedia menjalani prosesnya dan mengikuti setiap tuntutannya. Mereka sadar bahwa tidak ada kata excuse untuk tidak hadir di sekolah lalu pura-pura membuat surat sakit palsu sebab selain itu ilegal, toh tidak banyak berguna sebab besoknya dia akan harus mengikuti ulangan susulan atau pelajaran susulan untuk materi pelajaran yang tertinggal ketika ia tidak hadir. Mereka mengerti bahwa semua proses ini adalah sebuah keniscayaan yang mesti dijalani jika mereka ingin SMART goals itu tercapai nanti.

Mereka sadar itu. Itu yang membuat mereka mencari cara bagaimana supaya sebagai remaja jompo yang gampang lelah, mereka tetap punya energi untuk mengikuti setiap materi pelajaran yang berbeda. Sebagai anak SMA yang mudah galau, overthinking dan mudah insecure melihat pencapaian kakak kelas mereka yang telah terlebih dahulu sampai di kampus yang juga mereka impikan, mereka ingin supaya setiap angka rapor di akun SIABUD atau rapor besar mereka tidak ada yang di bawah standar kelulusan.


KOMPARTEMENTALISASI

Maka, inilah tawaran solusi dariku, untuk kalian wahai remaja jompo SMA: cobalah kompartementalisasi.

Kompartementalisasi (Inggris ‘compartmentalization’) berarti pembagian, penggolongan, atau pengkategorian. Inilah salah satu mekanisme pertahanan diri yang paling umum terhadap berbagai beban, tugas, keraguan dan (mungkin juga) ketakutan.

Gunakan ini untuk mengatasi kondisi kekacauan kognitif yang membuatmu bersusah payah mengerti semua mata pelajaran dan mendapatkan angka rapor yang memuaskan. Untuk mengatasi gangguan mental dan kecemasan yang kadang membuatmu bertanya: “sudah sampai dini hari mengerjakan tugas dan PR, benarkah nanti aku bisa lulus di perguruan tinggi yang kudambakan itu?”

Bagaimana melakukan kompartementalisasi ini?

Pertama-tama, mulai dengan consideratio status (penyadaran diri atas situasi yang kamu alami saat ini). Sadari bahwa saat ini kamu sudah berusaha menjalankan kewajibanmu sebagai pelajar meskipun kamu tahu bahwa kamu punya seribu alasan untuk tidak melakukannya.

Sadari bahwa sebagai siswa yang pernah mengalami kegagalan di bidang akademik tertentu, satu-satunya cara untuk bangkit dari kegagalan itu adalah dengan kembali mempelajari materi pelajaran yang membuatmu gagal sebelumnya.

Sadari bahwa kamu harus mengerjakan semua tugas sekolah persis ketika berada di sekolah agar bisa kembali pulang ke rumah, asrama atau tempatmu ngekost tanpa membawa beban tambahan. Sebab kamu tahu sudah ada PR yang menanti, bukan?

Oke. Sudah. Terus selanjutnya bagaimana?

  1. Pikirkan hal-hal apa saja yang penting dan harus diselesaikan – apakah menghafal rumus kimia Susunan Berkala Unsur-unsur, Tugas Refleksi Agama, atau Rumus Dasar Algoritma Matematika?
  2. Bayangkan bahwa hal-hal itu berwujud ruangan-ruangan yang di dalamnya terdapat 5 soal yang tertulis di papan tulis dan harus bisa kita jawab.
  3. Untuk setiap ruangan, kamu hanya punya waktu 1 jam pelajaran (persis sesuai jadwal atau roster yang sudah disediakan pihak Sekolah untukmu) guna menyelesaikan soal-soal itu. Ketika waktu habis, kamu harus segera keluar dari ruangan pertama dan pindah ke ruangan selanjutnya.
  4. Kamu pantang melanggar batas waktu yang sudah ditentukan.

Agar cara ini berhasil, kamu perlu berhenti mencari-cari alasan ketika  tidak bisa menyelesaikan semua soal dengan baik. Kamu tahu bahwa kamu mampu mengerjakannya. Tinggal soal apakah kamu mau menggunakan kemampuanm hingga level ‘maksimal’ dan menerapkan disiplin pada dirimu sendiri.


Tetapi, tentu saja, aku tidak ingin menjadi motivator yang menyebarkan toxic positivity untukmu. Maka harus kukatakan sejak dini: Tidak Ada yang Menjamin Kompartementalisasi bisa Berhasil 100%.

Tidak semua siswa bisa sukses dengan cara ini.

Setidaknya, metode ini bisa membuat hidupmu lebih teratur. Sehingga sukses belajarmu bukan cuma angan-angan. Tapi, tidak ada jaminan bahwa cara ini akan berhasil 100%. Sebab yang menentukan kesuksesanmu adalah dirimu sendiri.

Kompartementalisasi adalah solusi jangka pendek yang sudah pasti gagal ketika kamu tidak melakukannya dengan sepenuh hati. Contohnya saja:  seorang siswa yang gagal pada mata pelajaran Matematika pada semester sebelumnya mungkin akan kembali merasakan traumanya pada Matematika pada semester berikutnya.

Sama halnya ketika kamu sedang berada di kelas Kimia, bisa saja kamu justru tidak fokus karena memikirkan kegagalan Matematika-mu atau malah memikirkan mengapa si doi yang kamu incar malah mengirimkan menfess ke siswa lain, bukan kamu.

Begitulah, seorang siswa mungkin akan kesulitan memilah-milah mana yang harus dilakukan duluan, mana yang belakangan. Tidak rela menutup pintu ruangan pertama sekalipun waktu 1 jam sudah habis dan tugas di ruangan kedua telah menunggu.

Maka, teknik kompartementalisasi sangat bisa gagal karena secara emosional kamu sering menjadi terlalu terikat dengan salah satu tugas yang kamu anggap dianggap lebih penting dari tugas lainnya. Dampaknya, tugas lain yang sudah menunggu akan diabaikan. Di akhir hari, barulah kamu akan kaget saat melihat betapa sedikitnya pekerjaan yang sudah kamu selesaikan. Ini kunci gagalnya.

Lalu, kunci suksesnya apa?

Kunci sukses kompartementalisasi adalah fokus. F-O-K-U-S. Kegagalan dan kesuksesan metode ini amat tergantung pada seberapa konsistennya kamu dalam menjaga fokus. Sadarilah bahwa kamu punya tenggat waktu untuk masing-masing tugas yang harus ditaati. Kamu tidak bisa mengesampingkan tugas lain hanya untuk sebuah tugas yang kamu rasa paling penting.

Fokuskan konsentrasi dan kemampuanmu untuk melaksanakan hanya satu tugas dalam satu waktu. Taatilah aturan dan ruang imajiner yang sudah kamu ciptakan sendiri. Jangan ragu untuk membuang dan melupakan hal-hal yang memang tidak layak untuk dipikirkan.

Kamu masih khawatir bahwa doi akan berpaling darimu? Tidak apa-apa. Tetapi ingat, rasa khawatirmu tidak akan membuatnya kembali padamu. Dan sangat mungkin bahwa dia akan makin yakin meninggalkanmu jika dia melihatmu gagal lagi, menyerah lagi, dan murung lagi.

Maka, ingatlah kembali kompartementalisasi. Mana yang harus dikerjakan lebih dulu? Tugas mana yang harus ditempatkan di prioritas selanjutnya? Taatilah aturan tersebut. Kerjakan tugasmu satu-persatu sesuai jangka waktu yang kamu sepakati sendiri. Plus, hindari juga distraksi lain seperti godaan scrolling Tiktok secara serabutan atau begadang demi push rank di game Mobile Legend kesayanganmu. Kamu bisa melakukannya nanti. Kalau tugasmu sudah selesai.

Jika kamu bisa melakukan komparementalisasi dengan konsisten, hidupmu akan lebih terorganisir. Tidak ada lagi tumpang tindih kewajiban yang membuat hari-harimu kacau. Hidupmu jadi lebih seimbang.

Perjuangan untuk menciptakan hidup yang lebih seimbang memang tidak selesai dalam satu malam. Ini adalah proses tanpa akhir. Selama kamu bisa memilah, membuat prioritas, dan konsisten pada aturan yang kamu buat sendiri, kamu sudah melakukan kompartementalisasi.

Kompartementalisasi menjadi milikmu. Menjadi bagian darimu. Pelan-pelan kamu akan melihat apa yang diberikannya untukmu. Hidupmu akan berkembang: entah akan lebih baik, atau lebih bermakna.

Coronialis BOEMI Bertanya

Awal Bertemu

Mereka tampak antusias. Terbaca dari respon mereka di layar perangkatku.  Iya, mereka anak-anak didikku yang ganteng dan cantik itu. Kami bertemu lagi di GC (Google Classroom).

Kusebut mereka Coronialis Boemi.

  • “Coronialis” sebagai istilah keren dari “angkatan Corona”, sebuah julukan (sebagian menganggapnya ejekan, sebagian lagi pujian) yang menandakan bahwa di zaman ini, ketika generasi lain baru lahir dan generasi lainnya sudah mendekati uzur, angkatan mereka adalah calon generasi produktif berikutnya (“kelas pekerja” jika kamu lebih akrab dengan yang berbau kiri alias Marxis) yang saat ini sedang digodok secara unik karena pandemi akibat virus Corona. Unik karena berbeda dengan generasi lainnya yang dididik dengan tatap muka seperti biasa di sekolah, mereka dan kami para guru mereka harus mengalami proses didik dan ajar “dalam jaringan: (daring) internet. Entah sampai kapan pandemi ini berakhir, semoga para ilmuwan peneliti dan industri farmasi segera berhasil mencarikan solusi.
  • Boemi adalah akronim populer untuk Budi Mulia, sekolah dimana kami terdaftar sebagai pendidik dan murid.

Memangnya mereka seantusias apa?

Jadi gini, awalnya aku menganimasi mereka dengan sebuah postingan penugasan di forum. Animasi sendiri berasal dari bahasa latin yaitu “anima” yang berarti jiwa, hidup, semangat. Isinya kurang lebih seperti ini:

Tak butuh waktu lama, dokumen tersebut penuh dengan berbagai pertanyaan. Lho, kok aneh, bukankah guru yang seharusnya memberi pertanyaan dan meminta Siswa menjawab?

Benar. Memang lebih sering demikian. Tapi tak ada salahnya, berguru kepada Si Guru Besar kita, “Oppu i” Socrates.

Memangnya, apa kata beliau?

Socrates

Memahami pertanyaan itu sama dengan mengetahui setengah jawabannya. Masuk akal juga sih. (Ya pastilah, wong si Filsuf Besar yang ngomong begitu, si Essential Thinker itu loh) Banyak orang yang keblinger menanggapi sesuatu, karena tidak memahami esensi dari permasalahan yang dibahas. Orang yang mengerti umumnya bisa memberi pertanyaan yang tepat. Dan orang hanya bisa memberi pertanyaan yang tepat jika ia memahami apa yang dia tanyakan.

Hitung-hitung, latihan membuat pertanyaan adalah latihan berfikir kritis. Bukankah berfikir kritis adalah paduan dari pola HOTS (High Order Thinking Skill), jargon yang sedang populer sekaligus dicintai dan dibenci oleh anak sekolahan?(Disukai karena baik untuk mengasah pola pikir siswa untuk menghadapi test-test penting berikutnya, entah di sekolah atau ketika nanti hendak melanjut ke universitas. Dibenci karena, ya, sesuai namanya memang membutuhkan penalaran tingkat tinggi.)

Ciaelaaah... Okeh,, sekarang kita serius.

Ketika anak didik diberi materi berupa file presentasi, entah Word, PDF, PPT atau penugasan langusng dari buku paket atau bentuk lain, umumnya sebagai pemateri kita kan hanya berasumsi saja bahwa mereka akan membaca dan akan memahami materi yang diberikan. Bagaimana kita memastikan bahwa mereka membaca? Jika mereka sudah membaca, bagaimana memastikan mereka memahami apa yang mereka baca? Untukku, membuat pertanyaan berdasarkan bahan yang baru dibaca adalah salah satu cara terbaik.

Itulah hal-ikhwal munculnya tulisan kompilasi pertanyaan tentang modifikasi Seni Rupa 2 Dimensi ini. Oh iya, bagi para murid SMA, para rekan guru Seni Budaya, dan siapapun yang hendak membaca tulisan ini sampai habis dan menemukan setitik manfaat darinya, sebagai early warning, sesuai namanya “kompilasi”, tulisan ini akan cukup panjang. Baiknya ada kopi di sampingmu jika kamu suka ngopi, atau ngemil yang tidak membuat gendut (ada ya?). Pokoknya, usahakan membaca dalam situasi “pewe” (PW alias posisi uwenak” a.k.a situasi nyaman tanpa terjebak di zona nyaman).

Maka, tanpa berpanjang-panjang lagi, sebab pengantar ini pun sudah cukup panjang, pembaca sekalian, inilah:

  1. Kompilasi pertanyaan siswa Saya terhadap topik Modifikasi Seni Rupa Dua Dimensi (klik tautan ini).
  2. Kompilasi pertanyaan siswa Saya terhadap topik Imajinasi pada Seni Rupa Dua Dimensi (klik tautan ini) Continue reading Coronialis BOEMI Bertanya

Menjadi Dewasa

Penyanyi yang bersuara emas James Arthur telah mempublikasikan lagu ini pada November 2017 dengan berjudul “Naked”. Lagu yang ditulisnya bersama Johan Carlsson, Savan Kotecha dan Max Martin ini bercerita tentang kedewasaan seseorang dalam menjalani suatu hubungan.

Naked

Hey, you there
Can we take it to the next level, baby, do you dare?
Don’t be scared
‘Cause if you can say the words, I don’t know why I should care
‘Cause here I am, I’m givin’ all I can
But all you ever do is mess it up
Yeah, I’m right here, I’m tryin’ to make it clear
That getting half of you just ain’t enough
I’m not going to wait until you’re done
Pretending you don’t need anyone
I’m standing here naked (naked, naked)
I’m standing here naked (naked, naked)
I’m not gonna try ’til you decide
You’re ready to swallow all your pride
I’m standing here naked (naked, naked)
I’m standing here naked (naked, naked)
Hey, get out
I’ve got nothin’ left to give for you give me nothin’ now
Read my mouth
If you ever want me back, then your walls need breakin’ down
‘Cause here I am, I’m givin’ all I can
But all you ever do is mess it up (all you ever do is mess it up)
Yeah, I’m right here, I’m tryin’ to make it clear
getting half of you just ain’t enough
I’m not going to wait until you’re done
Pretending you don’t need anyone
I’m standing here naked (naked, naked)
I’m standing here naked (naked, naked)
I’m not gonna try ’til you decide
You’re ready to swallow all your pride
I’m standing here naked (naked, naked)
I’m standing here naked (naked, naked)
I wanna give you everything
I wanna give you everything
I wanna give you everything
I wanna give you everything
I’m not going to wait until you’re done
‘Cause you pretended you don’t need anyone
‘Cause you see that I’m naked (naked, naked)
Oh, you see that I’m naked (naked, naked)
I’m not going to try ’til you decide
You’re ready to swallow all your pride
I’m standing here naked (naked, naked)
I’m standing here naked (I’m standing) (naked, naked)
I’m standing
I’m standing here

SEMAKIN MATANG MENJADI PENYANYI

Lagu “Naked” hadir dengan vokal yang tajam, instrumental yang menggoda, melodi menghanyutkan dan emosi yang kuat. Inspirasi dari musik Gospel dan dengan nada-nada yang terkesan “mahal” berhasil memperlihatkan sisi Arthur yang semakin matang sebagai penyanyi.

Tidak hanya terasa lebih dewasa, di dalam ‘Naked’ Arthur juga terdengar semakin piawai dalam memainkan vokalnya. Ia tahu kapan perlu untuk lembut dan kapan saatnya untuk bertenaga, sehingga lagu sangat mudah memberi kesan bagus pada para pendengarnya. Pesan yang disampaikan cukup jelas: Setiap pasangan harus membuang ego masing-masing untuk keberhasilan hubungan mereka. Dan membuang ego berawal dari pengakuan akan kesalahan:

‘Cause here I am, I’m givin’ all I can, But all you ever do is mess it up
……….I wanna give you everything.

NAKED OF TRUTH

Kebingungan muncul ketika mendengar kata ‘naked’ di dalam lirik lagu ini. Sebagian orang meyakini bahwa ‘naked’ yang dimaksud adalah telanjang secara harafiah. Namun ‘naked’ yang dimaksud adalah ‘naked of truth’ yang berarti yang sebenarnya tanpa menutupi satu hal pun. Arthur memberikan pesan bahwa di dalam hubungan tak ada hal yang perlu ditutupi.

BALADA POP-SOUL EMOSIONAL

Setelah karirnya sempat berhenti sejenak setelah merilis album debut, “James Arthur”, di tahun 2013, ia kembali melesat berkat album kedua, sekaligus “comeback” yang berjudul “Back from the Edge” (2016) yang mengantarkan hit single ‘Say You Won’t Let Go’.

Arthur siap untuk kembali menyusul sukses album dan single tersebut melalui album ketiganya. Setidaknya jika menilik sebuah single yang baru saja dilepasnya, ‘Naked’, sepertinya Arthur tidak ingin melepas momentum yang tengah diraihnya begitu saja, sehingga meluncurkan single ‘Naked’ ini.
Tapi ia punya alasan mengapa percaya diri meluncurkan ‘Naked’. Meski agak mengingatkan ‘Say You Won’t Let Go’ sebuah balada pop-soul emosional.

Apapun itu, setiap lagunya memiliki makna tersendiri.


Penulis: Kevin Ben Loda, siswa XII IPA SMA Budi Mulia Pematangsiantar T.P. 2019-2020

Sakura yang Rontok 5 Centimeter tiap Detik

Byōsoku 5 Centimeter (Byōsoku Go Senchimētoru, 5 Centimeters Per Second, 5cm/s, atau “Lima Sentimeter per Detik”) merupakan sebuah film anime Jepang tahun 2007 oleh Makoto Shinkai. Dirilis oleh studio CoMix Wave Films, anime dari genre Slice of Life ini tamat ditayangkan pada tanggal 22 Januari 2007. Byosoku adalah sekuel ketiga. Selengkapnya Ōkashō (桜花抄), Cosmonaut (コスモナウト), dan Byōsoku 5 Senchimētoru (秒速5センチメートル) dengan total waktu tayang keseluruhannya adalah satu jam. Sebagaimana film-filmnya yang sebelumnya, soundtrack film ini digubah oleh Tenmon.

DVD Byōsoku 5 Centimeter dikeluarkan pada tanggal 19 Juli 2007. Novel 5 Centimeters Per Second yang merupakan pengembangan cerita dari versi filmnya juga dibuat Versi manganya yang berbetuk serial diterbitkan oleh Afternoon mulai bulan Juli 2010, diilustrasikan oleh Seike Yukiko.

Film ini bercerita tentang kisah kehidupan Takaki Tōno dan Akari Shinohara dari masa kecil hingga dewasa. Takaki Tōno dengan segera bersahabat dengan Akari Shinohara saat mereka berdua baru saja pindah pada Sekolah Dasar yang sama. Setelah tamat mereka sempat berpisah namun Takaki pindah kesekolah Akari. Mereka semakin dekat dan berencana mengungkapkan perasaan mereka. Tetapi tidak pernah kesampaian, hingga akhirnya mereka terpisah dan menjalani kehidupan masing-masing.

Makoto Shinkai telah mengatakan bahwa, tidak seperti film-filmnya sebelum ini, Byōsoku 5 Centimeter tidak mempunyai elemen fiksi ilmiah maupun fantasi seperti karya sebelumnya yaitu Hoshi no Koe (Voice of the Distance Star atau “Suara Bintang nan Jauh”) dan Kumo no Mukō, Yakusoku no Basho (Beyond the clouds, the promised place, The Place Promised in Our Early Days atau “Menembus Awan, Tempat yang Dijanjikan”) di dalam penceritaannya. Sebaliknya, film ini mencoba untuk mengisahkan dunia sebenarnya dari perspektif yang berbeda. Film Makoto ini memberi sebuah pandangan yang lebih realistik akan halangan yang dihadapi manusia, waktu, ruang, dan cinta. Film ini diterjemahkan sebagai “5 Sentimeter per Detik”, berdasarkan kecepatan kelopak bunga sakura yang rontok, dimana kelopak bunga merupakan representasi metaforikal manusia, mengenai kehidupan dan bagaimana manusia yang memulai kehidupan bersama akan berangsur-angsur berpisah dalam kehidupan mereka sendiri-sendiri.

Tiap-tiap bagian memberikan sketsa kecil yang menyenangkan, tetapi secara menyeluruh mereka menggambarkan gambaran lebih besar mengenai perkembangan hidup dan cinta. Ending-nya, yang berbeda dari kebanyakan karya Shinkai sebelumnya, menjadi kontroversial dan membuat beberapa penggemar menjadi tidak puas, karena terbuka untuk berbagai interpretasi. Sebagian merasa bahwa film tersebut berakhir tanpa memberikan penyelesaian apapun. Sebenarnya, jika mereka melihat kembali beberapa perkataan Takaki di Episode 2, saat bagian tersebut berakhir, dan bagaimana segalanya bergabung menjadi satu, akan menjadi jelas bahwa penyelesaian masalah bukanlah inti dari cerita. Bila Hoshi no Koe berusaha untuk mengelola hubungan sementara The Place Kumo no Mukō, Yakusoku no Basho meneguhkan kembali suatu hubungan, Byōsoku 5 Centimeter menceritakan bagaimana bergerak dari koneksi masa lalu, tentang menemukan jalan untuk menjadi bahagia di masa sekarang daripada hanya bersedih atas apa yang hilang selama ini. Dengan pengertian itu Byōsoku 5 Centimeter menjadi karya Shinkai yang paing dewasa dan komplikatif hingga sekarang.

Banyak juga penggemar Film Anime karya Makoto Shinkai yang tidak terima dengan Ending film Byōsoku 5 Centimeter karena pada akhirnya, Takaki dan Akari tidak bersama (menikah atau pacaran). Akari sudah memiliki tunangan yang bernama Taichi. Mereka sempat berpapasan di rel kereta api seperti masa kecil mereka. Namun, alih-alih menunggu kereta apinya lewat, Takaki lebih memilih untuk berpaling dan melangkah maju.

Sumber: Wikipedia, My Anime List, Fandom


Disempurnakan dari tulisan Joy Cristabel Sinaga, siswa XII IPA SMA Budi Mulia Pematangsiantar T.A. 2019-2020