“8 les sehari, semuanya ada PR.
Alamak .. Ngeri kali ternyata di SMA ini bah“, begitu curhat seorang siswaku di Snapgram-nya.
Can you feel it?
I can.
Bahkan setelah hampir 20 tahun meninggalkan bangku SMA, aku masih bisa mengerti mengapa curhat retjeh ini muncul.
Jangan salah paham dulu. Dengan kata “receh”, aku tidak bermaksud menyepelekan beratnya beban mengikuti pembelajaran di sekolah, lengkap dengan kewajiban menenteng buku paket tebal dan buku catatan untuk masing-masing mata pelajaran, ditambah lagi dengan PR setiap hari.
Pertama, siswa yang membuat status itu kukenal. Pada tatap muka di kelas, dia seingatku bukan tipe orang yang kesulitan mengikuti pelajaran. Memang sesekali tampak wajahnya seperti mengantuk. Mungkin karena malam sebelumnya harus mengerjakan banyak PR. Tapi sesekali saja. Secara umum, dia tidak ketinggalan dan tampak ceria mengikuti proses belajar di kelas.
Jadi, snapgram-nya itu kuanggap sebagaimana mestinya saja: status untuk memeriahkan timeline saja. Lho kok? Lha iya, sebab zaman sekarang jika anak remaja benar-benar ingin curhat, nadanya akan berbeda. Mungkin saja akan berbunyi begini: “Please help me. Aku udah cape“. Jadi tidak akan sempat membuat kalimat panjang, tambahan lagi pakai kata “alamak”. Jadi, aku tahu pasti, dia sedang baik-baik saja.
Tetapi, kedua, kata receh juga seperti biasanya: selalu memuat paradoks. Di satu sisi, si pembuat status jika ditanyai seadanya soal apa maksudnya dengan membuat status seperti itu di akun media sosialnya, dia akan berkilah: “Nggak ada apa-apa loh, Pak. Cuman status ajanya itu. Biar nggak apa kali”. Meski kita juga tidak tahu persis apa arti kata “nggak apa kali” disini, kita bisa asumsikan bahwa tidak ada yang serius.
Di sisi lain, jika kita mau sedikit melakukan pengamatan lebih cermat dan pengenalan lebih dalam terhadap status itu, kita akan cepat menemukan fenomen sejenis ternyata juga ada pada siswa lainnya. Jadi, dia tidak sendirian mengeluhkan beratnya beban ini. Cukup valid kalau kita mengambil hipotesa sementara bahwa benar ada sesuatu yang perlu didiskusikan. Bahwa benar, jika diberi kesempatan, mereka akan memilih untuk tidak menjalani 6 hari seminggu dengan banyaknya materi pelajaran dan PR setiap hari seperti ini. Benar, mereka masih bisa menanggung beban ini. Tetapi juga sekaligus benar bahwa ini cukup berat buat mereka.
Terkadang, setengah bercanda, selain bersama para rekan guru kami mempertanyakan “apanya sih yang merdeka dari kurikulum Merdeka ini untuk kita para guru”, beberapa siswa juga sudah mulai ada yang kritis lewat celetukan: “Bukankah belajar itu seharusnya menyenangkan, Pak? Tidak malah memberatkan seperti ini?”
Jika kamu seorang Baby Boomer dan sudah sampai pada bagian ini, kujamin kalian akan berkomentar:
Dasar anak remaja sekarang memang daya juangnya lemah. Dikit-dikit mengeluh.
Tentu saja, sebagai orang yang sudah lebih tua, yang sudah lebih banyak makan garam beryodium dan tidak beryodium, kalian (eh, kita?) punya seribu argumentasi sehingga sampai pada simpulan berupa komentar diatas. Tentu kita tidak mau juga disalahkan oleh para siswa kita. “Tau apa mereka? Mereka kan siswa kita, kita guru mereka”, begitu kesadaran subliminal kita yang serba patronizing itu hendak menghakimi mereka.
Tapi tenang dulu. Tanpa perlu kita berkomentar demikian, mereka sudah duluan. Mereka sudah mampu mengungkapkan betapa absurdnya diri mereka dan situasi mereka. Buktinya mereka percaya diri saja mengidentifikasi diri sebagai “remaja jompo”.
Frasa dengan contradictio in terminis itu kupikir cukup jelas maksudnya. Identifikasi diri ini bisa ditanggapi sebagai humor (jika kamu bisa menikmati sebuah meme, kupikir kalian tahu maksudku). Untuk kultur “teenage thingy” mereka, ini identitas yang mempersatukan mereka sekaligus menjembatani jurang atau social gap – antara murid dari keluarga kaya versus murid dari keluarga menengah ke bawah, antara murid “ambis” versus murid “santuy” dan antara murid paralel vs murid yang megap-megap ketika rapat kenaikan kelas berlangsung. Dengan menyebut diri sebagai “remaja jompo”, mereka bersatu. Mungkin mirip dengan kaum buruh yang (bermimpi) bersatu di bawah manifesto Karl Marx . (Ups …)
Tetapi bisa juga dimaknai sebagai keluhan serius bahkan seperti mengejek diri sendiri. Bagaimana tidak? Masih remaja, tetapi sudah gampang lelah. Belajar sedikit, maunya libur seminggu. Kerja sedikit, maunya healing sebulan.
Tergantung kalian, mau memaknainya dari sisi mana.
Yang jelas, mereka masih mengagumi kita yang sudah sampai pada tahap ini, bisa menjadi tenaga pendidik untuk mereka. Semoga juga menjadi guru untuk mereka dalam arti seutuhnya. Intinya, mereka ingin seperti kita. Menjadi dewasa. Menjadi orang yang punya pekerjaan dan penghasilan. Orang yang tidak lagi menjadi beban keluarga.
Mereka serius ingin menjalani masa SMA mereka dengan belajar semaksimal mungkin sesuai dengan impian (goals) mereka.
Mereka bahkan sudah menuliskan dengan jelas materi motivasional pengantar sesuai instruksi yang kuberikan kepada mereka kala MPLS. Bahwa jika ingin menjalani masa SMA dengan baik dan nikmat, sejak awal mereka sudah harus bisa menuliskan goals yang mereka ingin capai, dan sebaiknya mereka menulisnya dalam format S-M-A-R-T.
S = specific
M = measurable
A = attainable/achievable
R = Relevant
T = Timebound.
Jadi, misalnya, ada siswa yang pada minggu pertama di bangku SMA, bisa menuliskan bahwa 3 tahun berikutnya dia melihat dirinya sebagai mahasiswa kedokteran di salah satu universitas top tier di Indonesia. Target atau cita-cita ini sudah memenuhi kriteria specific.
Cara mengukurnya (measurable) juga mudah. Ya, dilihat dari apakah nanti mereka lulus atau tidak di kampus impian mereka itu.
Achievable? Yes. Sudah banyak kakak kelas mereka yang membuktikan bahwa ini bisa dicapai. Jika pendahulu mereka bisa, mereka juga optimis bisa melanjutkan tekad serupa.
Relevant? Tentu saja. Mereka tahu bahwa apa yang mereka jalani sekarang relevan dengan harga yang harus dibayar sampai mereka bisa dengan bangga berswafoto ria di Instagram dengan jaket kampus impian tadi.
Time-bound? Jelas. 3 tahun dari sekarang, target itu harus tercapai. No matter what, at any price, they would do it.
Lalu, darimana datangnya frasa humor sekaligus ejeken terhadap diri sendiri tadi?
Sudahlah remaja jompo, anak SMA pula. Combo. Paket lengkap.
Aku melihatnya secara positif.
Tapi bukan toxic positivity, yakni godaan untuk overproud yang sering membuat orang jatuh karena terlalu percaya diri. Misalnya sudah sadar diri bahwa lemah dalam bidang sains, tetapi memaksakan diri untuk mengambil jurusan sains murni di kampus nomor satu; padahal ada banyak jurusan lain yang lebih tepat.
Apa positifnya? Sebab mereka sudah bisa memvisualisasikan diri berkat metode SMART goals tadi, mereka pun akhirnya menyadari konsekuensinya: seberat apapun proses belajar yang mereka sebut beban tadi, toh mereka bersedia menjalani prosesnya dan mengikuti setiap tuntutannya. Mereka sadar bahwa tidak ada kata excuse untuk tidak hadir di sekolah lalu pura-pura membuat surat sakit palsu sebab selain itu ilegal, toh tidak banyak berguna sebab besoknya dia akan harus mengikuti ulangan susulan atau pelajaran susulan untuk materi pelajaran yang tertinggal ketika ia tidak hadir. Mereka mengerti bahwa semua proses ini adalah sebuah keniscayaan yang mesti dijalani jika mereka ingin SMART goals itu tercapai nanti.
Mereka sadar itu. Itu yang membuat mereka mencari cara bagaimana supaya sebagai remaja jompo yang gampang lelah, mereka tetap punya energi untuk mengikuti setiap materi pelajaran yang berbeda. Sebagai anak SMA yang mudah galau, overthinking dan mudah insecure melihat pencapaian kakak kelas mereka yang telah terlebih dahulu sampai di kampus yang juga mereka impikan, mereka ingin supaya setiap angka rapor di akun SIABUD atau rapor besar mereka tidak ada yang di bawah standar kelulusan.
KOMPARTEMENTALISASI
Maka, inilah tawaran solusi dariku, untuk kalian wahai remaja jompo SMA: cobalah kompartementalisasi.
Kompartementalisasi (Inggris ‘compartmentalization’) berarti pembagian, penggolongan, atau pengkategorian. Inilah salah satu mekanisme pertahanan diri yang paling umum terhadap berbagai beban, tugas, keraguan dan (mungkin juga) ketakutan.
Gunakan ini untuk mengatasi kondisi kekacauan kognitif yang membuatmu bersusah payah mengerti semua mata pelajaran dan mendapatkan angka rapor yang memuaskan. Untuk mengatasi gangguan mental dan kecemasan yang kadang membuatmu bertanya: “sudah sampai dini hari mengerjakan tugas dan PR, benarkah nanti aku bisa lulus di perguruan tinggi yang kudambakan itu?”
Pertama-tama, mulai dengan consideratio status (penyadaran diri atas situasi yang kamu alami saat ini). Sadari bahwa saat ini kamu sudah berusaha menjalankan kewajibanmu sebagai pelajar meskipun kamu tahu bahwa kamu punya seribu alasan untuk tidak melakukannya.
Sadari bahwa sebagai siswa yang pernah mengalami kegagalan di bidang akademik tertentu, satu-satunya cara untuk bangkit dari kegagalan itu adalah dengan kembali mempelajari materi pelajaran yang membuatmu gagal sebelumnya.
Sadari bahwa kamu harus mengerjakan semua tugas sekolah persis ketika berada di sekolah agar bisa kembali pulang ke rumah, asrama atau tempatmu ngekost tanpa membawa beban tambahan. Sebab kamu tahu sudah ada PR yang menanti, bukan?
Oke. Sudah. Terus selanjutnya bagaimana?
- Pikirkan hal-hal apa saja yang penting dan harus diselesaikan – apakah menghafal rumus kimia Susunan Berkala Unsur-unsur, Tugas Refleksi Agama, atau Rumus Dasar Algoritma Matematika?
- Bayangkan bahwa hal-hal itu berwujud ruangan-ruangan yang di dalamnya terdapat 5 soal yang tertulis di papan tulis dan harus bisa kita jawab.
- Untuk setiap ruangan, kamu hanya punya waktu 1 jam pelajaran (persis sesuai jadwal atau roster yang sudah disediakan pihak Sekolah untukmu) guna menyelesaikan soal-soal itu. Ketika waktu habis, kamu harus segera keluar dari ruangan pertama dan pindah ke ruangan selanjutnya.
- Kamu pantang melanggar batas waktu yang sudah ditentukan.
Agar cara ini berhasil, kamu perlu berhenti mencari-cari alasan ketika tidak bisa menyelesaikan semua soal dengan baik. Kamu tahu bahwa kamu mampu mengerjakannya. Tinggal soal apakah kamu mau menggunakan kemampuanm hingga level ‘maksimal’ dan menerapkan disiplin pada dirimu sendiri.
Tetapi, tentu saja, aku tidak ingin menjadi motivator yang menyebarkan toxic positivity untukmu. Maka harus kukatakan sejak dini: Tidak Ada yang Menjamin Kompartementalisasi bisa Berhasil 100%.
Setidaknya, metode ini bisa membuat hidupmu lebih teratur. Sehingga sukses belajarmu bukan cuma angan-angan. Tapi, tidak ada jaminan bahwa cara ini akan berhasil 100%. Sebab yang menentukan kesuksesanmu adalah dirimu sendiri.
Kompartementalisasi adalah solusi jangka pendek yang sudah pasti gagal ketika kamu tidak melakukannya dengan sepenuh hati. Contohnya saja: seorang siswa yang gagal pada mata pelajaran Matematika pada semester sebelumnya mungkin akan kembali merasakan traumanya pada Matematika pada semester berikutnya.
Sama halnya ketika kamu sedang berada di kelas Kimia, bisa saja kamu justru tidak fokus karena memikirkan kegagalan Matematika-mu atau malah memikirkan mengapa si doi yang kamu incar malah mengirimkan menfess ke siswa lain, bukan kamu.
Begitulah, seorang siswa mungkin akan kesulitan memilah-milah mana yang harus dilakukan duluan, mana yang belakangan. Tidak rela menutup pintu ruangan pertama sekalipun waktu 1 jam sudah habis dan tugas di ruangan kedua telah menunggu.
Maka, teknik kompartementalisasi sangat bisa gagal karena secara emosional kamu sering menjadi terlalu terikat dengan salah satu tugas yang kamu anggap dianggap lebih penting dari tugas lainnya. Dampaknya, tugas lain yang sudah menunggu akan diabaikan. Di akhir hari, barulah kamu akan kaget saat melihat betapa sedikitnya pekerjaan yang sudah kamu selesaikan. Ini kunci gagalnya.
Lalu, kunci suksesnya apa?
Kunci sukses kompartementalisasi adalah fokus. F-O-K-U-S. Kegagalan dan kesuksesan metode ini amat tergantung pada seberapa konsistennya kamu dalam menjaga fokus. Sadarilah bahwa kamu punya tenggat waktu untuk masing-masing tugas yang harus ditaati. Kamu tidak bisa mengesampingkan tugas lain hanya untuk sebuah tugas yang kamu rasa paling penting.
Fokuskan konsentrasi dan kemampuanmu untuk melaksanakan hanya satu tugas dalam satu waktu. Taatilah aturan dan ruang imajiner yang sudah kamu ciptakan sendiri. Jangan ragu untuk membuang dan melupakan hal-hal yang memang tidak layak untuk dipikirkan.
Kamu masih khawatir bahwa doi akan berpaling darimu? Tidak apa-apa. Tetapi ingat, rasa khawatirmu tidak akan membuatnya kembali padamu. Dan sangat mungkin bahwa dia akan makin yakin meninggalkanmu jika dia melihatmu gagal lagi, menyerah lagi, dan murung lagi.
Maka, ingatlah kembali kompartementalisasi. Mana yang harus dikerjakan lebih dulu? Tugas mana yang harus ditempatkan di prioritas selanjutnya? Taatilah aturan tersebut. Kerjakan tugasmu satu-persatu sesuai jangka waktu yang kamu sepakati sendiri. Plus, hindari juga distraksi lain seperti godaan scrolling Tiktok secara serabutan atau begadang demi push rank di game Mobile Legend kesayanganmu. Kamu bisa melakukannya nanti. Kalau tugasmu sudah selesai.
Jika kamu bisa melakukan komparementalisasi dengan konsisten, hidupmu akan lebih terorganisir. Tidak ada lagi tumpang tindih kewajiban yang membuat hari-harimu kacau. Hidupmu jadi lebih seimbang.
Perjuangan untuk menciptakan hidup yang lebih seimbang memang tidak selesai dalam satu malam. Ini adalah proses tanpa akhir. Selama kamu bisa memilah, membuat prioritas, dan konsisten pada aturan yang kamu buat sendiri, kamu sudah melakukan kompartementalisasi.
Kompartementalisasi menjadi milikmu. Menjadi bagian darimu. Pelan-pelan kamu akan melihat apa yang diberikannya untukmu. Hidupmu akan berkembang: entah akan lebih baik, atau lebih bermakna.