Ricardo Semler: Mengelola tanpa Mengatur-atur

Ricardo – Belajar Berhenti

Setiap Senin dan Kamis, Ricardo belajar cara untuk mati. Dia menyebutnya hari perhentian. Sang istri, Fernanda, tidak suka dengan istilah itu, tapi banyak garis keluarganya yang meninggal karena kanker melanoma, termasuk orangtua dan kakeknya juga.

Ricardo mulai berfikir, suatu hari dia akan duduk di hadapan seorang dokter yang melihat hasil pemeriksaan atas dirinya dan berkata: “Ricardo, situasinya mulai buruk. Kemungkinan kamu hanya akan bertahan enam bulan, paling lama satu tahun lagi”

Kalau kamu berada dalam situasi serupa, apa yang akan kamu lakukan? Mungkin kamu akan berkata, “Aku ingin menghabiskan lebih banyak waktu bersama anak-anak. Aku akan bepergian ke beberapa tempat, mendaki gunung. Pokoknya aku mau melakukan hal yang dulu ingin kulakukan tapi tak pernah kesampaian karena tak punya waktu”

Apapun itu, ini akan menjadi kenangan suka-duka. Sulit melakukannya. Barangkali kamu akan menghabiskan banyak waktu dengan menangis.

Ricardo memutuskan melakukan sesuatu yang lain.

Jadi, setiap Senin dan Kamis tadi, Ricardo benar-benar menggunakan hari perhentian tadi. Apa yang dilakukannya? Dia akan melakukan apapun seakan-akan dia telah mendapat kabar buruk tadi.

Idleness

Kebanyakan kita menganggap bahwa lawan kata dari “bekerja” adalah “waktu luang”. Sering kita berkata: “aku terlalu lelah bekerja sekian lama ini, aku butuh waktu luang”. Masalahnya, waktu luang pun ternyata adalah hari yang sangat sibuk. Kita berolahraga, bertemu dengan teman, nongkrong, pergi makan atau nonton bioskop. Waktu luang menjadi hari yang penuh dengan orang, orang dan orang lagi.

Lawan kata dari bekerja adalah tak berbuat apa-apa (idleness). Tapi, masalah muncul lagi. Kebanyakan kita tidak tahu mau ngapain dengan idleness.

Jika kita lakukan kilas balik atas perjalanan hidup selama ini secara umum, kita akan menyadari bahwa ketika kita punya banyak uang, waktu sedikit. Ketika akhirnya punya waktu, kita tak punya uang lagi atau kesehatan tidak memungkinkan lagi.

Manajemen di SEMCO Partners

Hal inilah yang menjadi pertimbangan Ricardo dan rekan kerjanya sebagai sebuah perusahaan selama tiga puluh tahun terakhir ini. Sebagai gambaran, perusahaan yang dikelolanya cukup kompleks dengan ribuan karyawan, aset ratusan juta dolar untuk merancang berbagai sistem bahan bakar roket, 4000-an ATM di seluruh Brazil dan melakukan pendampingan pajak untuk ribuan perusahaan.

Apa yang mereka lakukan?

Pelan-pelan mereka membebaskan para karyawannya dari berbagai aturan yang mirip asrama. Aturan seperti dimana harus menandai diri ketika hadir, begini cara berpakaian, ini etiket yang harus dilakukan dalam rapat, ini yang boleh dan tidak boleh dikatakan. Lalu melihat seperti apa hasilnya.

Mereka sudah mulai melakukan hal ini 30 tahun yang lalu. Termasuk ketika berurusan dengan sebuah isu pensiun. Merujuk ke soal grafik hidup tadi, daripada menunggu akhirnya baru kesampaian mendaki gunung pada usia 82 tahun, bagaimana kalau si karyawan melakukannya minggu depan? Bagaimana mereka melakukannya.

Program pun dibuat. Mereka akan memberikan si karyawan libur setiap hari Rabu dengan potongan 10% dari gajinya. Hal yang sama berlaku untuk karyawan yang selama ini hendak mengasah kemampuan bermain biola tapi tak sempat karena harus bekerja sepanjang minggu. Mereka pun jadinya bisa melakukannya  setiap hari Rabu.

Menarik menyimak apa yang Ricardo dan rekan-rekannya temukan selanjutnya.

Para karyawan yang tertarik dengan program ini berusia rata-rata 29 tahun.

Mereka mulai mengevaluasi kembali beberapa hal, termasuk menanyakan ulang alasan awal mengapa pihak manajemen ingin mengetahui jam berapa karyawan hadir di kantor, jam berapa pulang dan lain-lain.

Apa tidak ada cara lain untuk mengganti rutinitas ini dengan semacam kontrak untuk membeli sesuatu dari para karyawan, barangkali berupa kerjaan? Untuk apa sebenarnya gedung kantor pusat yang megah dibangun? Apakah hanya supaya terlihat solid, besar, gagah? Dan begitupun, para karyawan harus melewati dua jam macet setiap harinya?

Satu persatu pertanyaan diajukan.

Pertama, bagaimana caranya mendapat karyawan?

Caranya ialah dengan menjelaskan kepada pelamar– ketika merekrut: “Jadi gini, ketika kamu melamar ke perusahaan ini, dua atau tiga kali interview tidak akan cukup untuk membuatmu mengikatkan diri ke kami seperti layaknya kamu memilih pengantin untuk menikah dan mengikatkan diri padanya. Bukan begitu caranya. Jadi, datanglah untuk interview dan mari kita lihat seperti apa intuisi yang muncul pada dirimu setelahnya. Bukan malah mengandalkan item pada formulir lamaran bahwa kamu orang yang tepat untuk posisi yang kamu lamar. Lalu, datanglah lagi. Habiskanlah setengah hari, atau satu hari untuk berbicara dengan siapapun yang kamu ingin ajak berbicara. Pastikan bahwa kami benar-benar pengantin yang kamu lamar, bukan omong-kosong yang kamu lihat di papan reklame.”

Perlahan manajemen memasuki proses dimana mereka tidak ingin seorangpun menjadi leader di perusahaan jika mereka belum diwawancarai dan disetujui oleh calon bawahannya. Setiap enam bulan, setiap karyawan dievaluasi secara anonim, sebagai leader.  Jadi, kalau mereka misalnya tidak mencapai nilai 70 atau 80, posisi mereka akan berganti.

Selanjutnya, mengapa karyawan tidak bisa menentukan sendiri gaji yang akan mereka terima? Untuk itu, mereka harus tahu 3 (tiga) hal pokok tentang penggajian:

  • Berapa pemasukan yang karyawan hasilkan bagi perusahaan
  • Berapa pemasukan yang disumbangkan karyawan di perusahaan lain di bisnis sejenis
  • Berapa total pemasukan yang dihasilkan perusahaan

Jadi, manajemen membagikan ketiga informasi ini. Di kantin, ada komputer yang bisa digunakan setiap karyawan untuk mengetahui informasi perihal pengeluaran, pemasukan, keuntungan yang dihasilkan, keuntungan yang perusahan hasilkan, margin, dan lain-lain. Hal ini sudah berlangsung selama 25 tahun.

Nah, begitu informasi ini sampai ke karyawan, pihak manajemen tidak perlu melihat laporan pengeluaran karyawan, berapa hari libur yang diambil, atau di unit mana yang bersangkutan bekerja. Begitulah situasinya. Dengan 14 unit kantor, 5000 (lima ribu) karyawan, perusahaan hanya punya 2 orang di bagian HRD. Bahkan, tetap cukup meski salah satunya sudah pensiun. Jadi, tinggal satu orang.

Era Kebijaksanaan

Maka, pertanyaan yang pantas diajukan adalah: bagaimana caranya perduli terhadap manusia? Inti dari perusahaan adalah orang, tenaga kerjanya. Tak ada departemen yang bisa terus mengurusi dan menjaga para karyawan. Sebenarnya, inilah yang dipikirkan Ricardo selama Hari Perhentian-nya: bagaimana caranya membuat kebijaksanaan (wisdom), bukan sekedar kebijakan (policy).

Kita telah melalui zaman revolusi, revolusi industri, era informasi, era pengetahuan, tetapi belum sampai ke era kebijaksanaan. Contoh sederhana: sebuah keputusan cerdas yang tidak salah:

Tugasmu sebagai karyawan adalah menjual item X sebanyak 57 unit per minggu. Jadi, kalau kau sudah menjualnya pada hari Rabu, sesudahnya pergilah berlibur ke pantai. Jangan bikin masalah buat perusahaan, buat bagian manufaktur, buat unit developer aplikasi, karena kemudian manajemen harus membeli perusahaan baru, membeli perusahaan kompetitor, dan lain-lain karena kamu menjual terlalu banyak, lebih banyak dari yang ditargetkan. Jadi, pergilah mandi di pantai. Hari Senin, kembali lagi untuk bekerja.

Proses yang dilalui ialah pencarian kebijaksanaan. Selama proses berlangsung, manajemen memberitahukan apapun yang pantas diketahui karyawan.


Kira-kira itu yang bisa Saya tangkap dari penjelasan Ricardo Semler, CEO SEMCO Partners di TED Talk.