Keseringan “Caper”, Kamu jadi Tidak Kreatif

Senang Rasanya Diperhatikan

Terima kasih atas perhatianmu. Tidak ada yang menandingi bagaimana rasanya berada ada di sebuah ruangan dengan semua audiens memerhatikanku. Diperhatikan oleh banyak orang, ini sesuatu banget. Sebagai seorang aktor,  aku mengalami dan memahaminya.

Aku tahu rasanya diperhatikan. Aku beruntung mendapat perhatian lebih dari yang seharusnya. Tapi ada perasaan kuat lainnya yang untungnya sering kualami sebagai seorang aktor. Lucunya, ini bertolak belakang karena datangnya bukan dari mendapat perhatian. Tapi dari memberi perhatian. Kok bisa? Begini ceritanya.

Ketika  berakting, aku begitu fokus. Aku  hanya memerhatikan satu hal. Ketika berada di lokasi dan akan mulai syuting dan asisten sutradara bilang, “Rolling!” Lalu aku mendengar “speed“, “marker“, “set“, kemudian sutradara berseru, “Action!” Aku telah mendengarnya berkali-kali. Seperti mantra sihir Pavlovian. “Rolling,” “speed,” “marker,” “set,” dan “action”, (dan akhirnya sebuah karya film tercipta). Sesuatu terjadi padaku, sesuatu yang tak bisa kutahan. Perhatianku menyempit. Dan segalanya di dunia, yang mengganggu atau mencuri perhatianku, semuanya hilang. Hanya ada aku di situ. Aku cinta dengan rasa ini. Bagiku, inilah kreativitas, dan inilah alasan terbesar kenapa aku bersyukur menadi aktor.

Jadi, ada dua perasaan yang sangat kuat. Diperhatikan dan memerhatikan.

Jual Beli Perhatian di Era Media Sosial

Dalam beberapa dekade terakhir, perkembangan baru teknologi baru telah membuat lebih banyak orang merasa istimewa karena mendapat perhatian. Perhatian itu didapat sebagai imbalan atas berbagai ekspresi kreatif, tidak hanya akting. Bisa berupa tulisan, fotografi, menggambar, musik, atau sekedar mengikuti musik yang ada dan berlenggak-lenggok a.k.a menari gila di TikTok. Semuanya. Dari sini, kita belajar satu hal: Saluran distribusi sudah didemokratisasi, dan ini adalah hal yang baik.

Tapi aku merasa ada konsekuensi yang tidak diinginkan bagi siapa pun dengan dorongan kreatif, termasuk aku sendiri, karena aku tidak kebal darinya. Aku merasa kreativitas kita telah menjadi lebih ke usaha untuk mendapatkan sesuatu yang lain, yakni demi mendapatkan atensi atau perhatian. Kita mengemis perhatian.

Karena itulah, aku merasa terdorong untuk membahas ini. Dalam pengalamanku, ternyata semakin aku serius memberi (bukan menerima) perhatian, aku semakin bahagia. Tapi semakin aku larut dalam perasaan ingin diperhatikan, semakin aku tidak bahagia.

Dulu sekali, aku memanfaatkan karir aktingku untuk mendapat perhatian. Saat itu aku berusia delapan tahun. Ada perkemahan musim panas. Aku sudah mengikuti audisi sekitar satu tahun, dan aku beruntung mendapatkan beberapa peran kecil di acara TV dan iklan, jadi aku sering pamer tentang hal itu di perkemahan. Pertama-tama, berhasil. Anak-anak lain memberikan aku perhatian lebih, karena aku pernah tampil di “Family Ties.” Ini fotonya.

Lalu, situasinya berbalik. Aku rasa aku pamer berlebihan. Benar. Mereka mulai mempermainkanku. Aku ingat ada anak perempuan yang aku suka, Rocky. Namanya Rachel, tapi dia dipanggil Rocky. Dia cantik dan bisa bernyanyi. Aku tertarik padanya, dan aku berdiri di sana, membual. Dia berbalik dan memanggil aku tukang pamer. Yang 100% pantas akudapatkan. Tapi rasanya tetap menyakitkan. Dan, sejak musim panas itu, aku merasa ragu untuk mencari perhatian lewat akting.

Kadang, ada yang bertanya, “Jika kau tak suka perhatian, kenapa jadi aktor?” “Karena akting bukan tentang itu, tapi tentang seni.” Mereka pun menjawab, “OK, OK, kawan.” Aku tahu mereka tidak benar-benar memahami apa yang kukatakan.

Lalu Twitter muncul.

Akupun ketagihan seperti yang lainnya, yang membuat aku jadi seorang munafik. Karena saat itu, aku sepenuhnya memakai akting untuk mendapat perhatian. Apakah aku mendapatkan banyak follower (pengikut) karena cuitanku yang cemerlang? Jujur, aku sempat merasa begitu. Mereka suka bukan hanya aku ada di ‘Batman’, mereka suka yang aku katakan, aku mahir berkata-kata. Benarkah begitu?

Tak lama, hal ini mulai memengaruhi proses kreativitasku. Sampai sekarang masih. Aku usahakan tidak. Tapi yang terjadi, saat aku duduk membaca naskah, alih-alih berpikir, “bagaimana aku mengidentifikasi karakter ini”?, atau “bbagaimana penonton bisa merasa terhubung dengan ceritanya”?, aku malah berpikir, “apa kata orang tentang film ini di Twitter? Jawaban apa yang bagus dan sarkastik supaya dapat banyak retweet, tapi tak kelewatan?” Orang lebih suka dicerca daripada diacuhkan.  Ini adalah hal-hal yang aku pikirkan ketika ketika aku seharusnya mendalami naskah, sesuatu yang semestinya dikerjakan oleh seorang aktor. Well, itulah yang terjadi.

Aku tidak mengatakan bahwa teknologi adalah musuh kreativitas. Bukan begitu. Teknologi hanyalah alat. Ia punya potensi mengembangkan kreativitas manusia yang tak ada sebelumnya. Aku bahkan memulai sebuah komunitas online bernama Hit Record. Disitu orang-orang dari seluruh dunia berkolaborasi dalam proyek kreatif. Jadi, media sosial, ponsel atau teknologi apa pun bermasalah.

Itupun, kalau kita mau sekali lagi membahas bahaya kreativitas yang menjadi alat mengemis perhatian, tentu kita harus bicara tentang pola bisnis perusahaan media sosial yang digerakkan oleh perhatian (atensi).

Para Pengemis Perhatian di Instagram

Ini mungkin familiar bagi sebagian orang, tapi pertanyaannya relevan, “Bagaimana platform media sosial seperti Instagram menghasilkan uang? Mereka bukan penyedia bisnis berbagi foto. Layanan itu gratis. Lalu apa? Mereka menjual atensi. Mereka menjual atensi para (user) pengguna ke pemasang iklan. Ada banyak perbincangan sekarang tentang seberapa besar atensi yang diberikan ke media sosial semacam Instagram, tapi pertanyaannya: “Bagaimana Instagram mendapatkan begitu banyak atensi? Kita yang mendapatkannya untuk mereka. Iya, Instagram memakai atau “memperkerjakan” kita untuk itu.

Ketika seseorang mengunggah di Instagram, mereka mendapat sejumlah atensi dari pengikutnya, entah mereka hanya punya sedikit atau jutaan pengikut. Semakin banyak atensi yang didapat, makin besar atensi yang Instagram jual. Jadi Instagram berkepentingan agar kamu mendapat atensi sebesar mungkin. Mereka melatihmu supaya menginginkan atensi itu, mendambakannya, dan merasa frustasi saat tak cukup mendapatkannya. Instagram membuat para penggunanya ketagihan atensi. Kita semua bergurau, “Ya Tuhan, aku kecanduan ponsel,” tapi ini adalah kecanduan yang nyata.

Mengemis Perhatian Semata akan Membuatmu Tidak Kreatif

Kecanduan mendapat atensi sama saja dengan kecanduan hal lain. Rasanya tak pernah cukup. Kamu memulai dan berpikir, “Jika saja aku punya 1.000 pengikut, pasti rasanya luar biasa.” Tapi kemudian kamu akan berpikir, “Begitu aku dapat 10.000 pengikut,” “Begitu aku dapat 100 — Begitu aku dapat sejuta pengikut, baru rasanya luar biasa.” Aku punya 4,2 juta pengikut di Twitter — tak pernah aku merasa luar biasa.

Aku tak akan beri tahu jumlah followerku di Instagram karena aku malu akan betapa rendah angkanya, karena aku bergabung di Instagram setelah “Batman” dirilis. Aku melirik akun aktor lain. Angka mereka lebih tinggi dariku, dan ini membuatku merasa rendah.

Jumlah pengikut membuat siapa saja merasa buruk akan dirinya sendiri. Perasaan kekurangan itu yang memicumu untuk mengunggah dan mengunggah lagi agar bisa mendapat lebih banyak atensi, dan itu yang mereka jual, itu cara mereka menghasilkan uang. Jadi, tidak ada jumlah atensi yang kamu dapat, di mana kamu akan merasa sudah berhasil, lalu berkata “ini sudah cukup”. Tentu saja, ada banyak aktor yang lebih terkenal daripada saya, punya pengikut lebih banyak, tapi mereka akan mengatakan hal yang sama. Jika kreativitasmu dipicu oleh hasrat untuk mendapatkan atensi, maka kau tak akan pernah merasa terpenuhi secara kreatif.

Tapi aku punya kabar baik untukmu.

Ada perasaan kuat lainnya, yang masih berkaitan dengan atensimu selain membiarkannya dikendalikan dan dijual oleh perusahaan atau pemilik modal Media Sosial yang kamu gandrungi itu. Inilah perasaan yang aku bicarakan tadi, kenapa aku mencintai akting: karena akubisa fokus pada satu hal. Ternyata, ada ilmu juga di baliknya. Psikolog dan ahli saraf — mempelajari fenomena yang mereka sebut “flow“, yaitu sesuatu yang terjadi dalam otak manusia ketika seseorang hanya berfokus pada satu hal, seperti sesuatu yang kreatif, dan tidak terganggu oleh hal lain. Ada yang bilang, semakin sering kamu melakukannya, kamu akan semakin bahagia. Ini tak selalu mudah, bahkan sulit. Memerhatikan seperti ini butuh latihan. Masing-masing orang punya cara sendiri.

Satu hal yang bisa aku bagikan, yang membantuku untuk fokus dan benar-benar memerhatikan adalah ini: Aku berusaha tidak melihat pelaku kreatif lainnya sebagai saingan. Aku mencoba mencari kolaborator. Misalnya aku berakting di sebuah adegan, jika aku melihat aktor lain sebagai saingan dan berpikir, “Mereka akan lebih diperhatikan daripada saya, orang-orang akan membicarakan performa mereka daripada saya” – Aku sudah kehilangan fokus. Dan aku mungkin akan payah di adegan itu. Tapi ketika aku melihat aktor lain sebagai kolaborator, maka akan jadi mudah untuk fokus, karena aku hanya memerhatikan mereka. Aku tak berpikir apa yang aku lakukan. Hanya bereaksi ke mereka, mereka bereaksi ke aku, dan dengan demikian kami menjadi sebuah tim.

Jangan berpikir hanya aktor yang bisa bekerja sama seperti ini. Ini terjadi pada berbagai situasi kreatif. Baik profesional, atau sekedar senang-senang, seperti yang dilakukan oleh pengguna TikTok misalnya. Kita bisa membuat kraya bersama orang-orang yang belum pernah kita temui. Bagiku, inilah keindahan internet. Jika kita bisa berhenti bersaing demi atensi, maka internet akan jadi tempat yang hebat untuk mencari kolaborator. Dan ketika aku berkolaborasi dengan orang lain, baik di lokasi syuting, online, di mana pun, akan jadi lebih mudah bagi aku untuk mencari ‘flow’ itu, karena kita semua hanya memerhatikan satu hal yang kita ciptakan bersama. Kita, aku dan kamu, merasa sebagai bagian dari sesuatu yang lebih besar, dan kita saling melindungi satu sama lain dari hal-hal yang bisa mencuri perhatian kami.

Tentu, tak selalu berhasil. Kadang, aku masih kecanduan hasrat mendapatkan atensi. Tetap ada bagian yang seperti itu. Tapi jujur, aku juga bisa bilang keseluruhan proses kreatif menulis dan membawakan topik ini telah menjadi kesempatan besar bagiku untuk fokus dan memberi atensi pada sesuatu yang sangat berarti bagi saya. Jadi, terlepas dari seberapa besar atensi yang kudapatkan sebagai hasilnya, aku bahagia sudah melakukannya. Aku berterima kasih pada kamu yang sudah memberikan kesempatan. Jadi, terima kasih. Itu saja.

Sekarang, giliranmu memberi perhatian pada orang lain.

Terima kasih.


Tulisan ini adalah interpretasi pribadi Saya terhadap sesi bicara Joseph Gordonn Levitt di TedTalk.