Notasi Angka “Wellerman” Nathan Evans

Daun Teh

Tidak banyak lagu rakyat (folk song) dengan hiruk-pikuk latar belakang historis setengah mitologis yang konon ceritanya (folk lore) tersebar luas di seluruh penjuru dunia bajak laut berhasil didaur ulang dan masih mendapat atensi publik yang luas. Ada beberapa, tetapi tidak banyak.

Salah satunya ialah lagu “Wellerman” ini. Sebuah lagu dengan lirik yang kaya akan simbol dan tanda yang patut ditafsir dan direnungkan apa maksudnya.

Wellerman ini berkisah tentang apa sih?

Konon, dahulu kala ada sebuah kapal penangkap ikan paus yang diberi nama Billy o’ Tea. Dari nama ini saja sudah muncul sebuah keunikan. Mengapa? Umumnya nama kapal dinamai dengan nama feminin dengan harapan supaya segenap awak kapal yang hampir seluruhnya laki-laki terkompensasi afeksinya terhadap lawan jenis yang tak terjangkau nun jauh di daratan sana. Sementara kapal ini dinamai Billy. Lalu, O’Tea atau “of Tea” ini maksudnya apa sih? Seperti ada bau-bau dan memori kolektif atas praktek penjajahan, bukan?

Jadi begitulah, para awak kapal ini terus berharap supaya Sang “wellerman” segera tiba dan membawakan mereka perlengkapan dan kemewahan yang mereka impikan selama ini. Kemewahan seperti apa sih yang mereka harapkan? Gula, teh dan rum (sejenis minuman keras).

Ha?

Itu saja?

Ya. Itu saja sudah menjadi kemewahan bagi para pelaut yang berada berbulan-bulan di lautan tanpa dibayar dengan upah uang, hanya pakaian pabrikan, tembakau untuk dilinting menjadi rokok dan kata-kata motivasi.

Ha?

Ya, motivasi dari si kapitan yang kongkalikong dengan pemodal a.k.a bacot dan omong kosong khas crazy rich people yang kerap membuat kisah dramatis kesuksesan mereka dengan cerita penderitaan mereka bersusah payah dari nol hingga menjadi zillionaire tetapi lupa menyebutkan bahwa semua itu tak luput dari sumbangsih previlese yang mereka dapat, sebut saja misalnya “orang dalam”

Bisa begitu ya? Ya bisa. Sekarang pun masih banyak orang yang sudi menghamba kepada penguasa yang culas tetapi pintar bersilat kata. Jualan kata (ayat) masih laku keras kok.

Duh  … kok jadi melebar pembahasannya. Oke, kembali ke “Wellerman”

Jadi begitulah awak kapal disemangati dengan refrain bertempo cepat, secepat tangan kasar mereka mendayung kapal sehingga kapal melaju terus. Refrain (chorus) berisi pengharapan bahwa “tonguing‘” (merujuk pada praktek memotong sirip ikan paus dan mengubahnya menjadi minyak yang sangat mahal harganya) akan segera terjadi. Kira-kira, untuk konteks pekerja sekarang, mirip dengan keriuhan dan euforia setiap tanggal 25 atau tanggal gajianlah.

Malangnya, – seperti dikisahkan dalam ayat berikutnya secara akurat – para awak kapal mulai gelisah sebab motivasi dan determinasi sang kapitan bahwa paus buruan akan segera tertangkap tidak kunjung terjadi. Waktu berlalu, sementara tiga kapal lain yang membentuk kuartet kapal penangkap paus sudah kalah, tersesat atau menyerah dan memutuskan pulang tanpa membawa apapun ke daratan. Miriplah dengan motivasi dari pebisnis dan perintis startup yang – juga berjuang setengah mati melawan keraguan diri sendiri – yang setiap hari mem-briefing para karyawannya dengan isi pidato yang intinya mengajak para karyawan supaya bekerja keras sampai titik darah penghabisan, “yakinlah, jika kita tetap berjuang maka Perusahaan kita akan mencapai sukses, produk kita akan laku terjual”, kerap dengan meminjam cerita Steve Jobs dan Woz yang memulai Apple Inc. dengan kisah dramatis yang berawal dari garasi kecil.

Konon, sampai hari ini Billy o’ Tea is masih berjuang terus hingga mendapatkan tangkapan ikan paus yang mereka impikan. Dan si Wellerman masih terus mengingatkan mereka akan ganjaran yang bakal mereka dapat kalau mereka terus berjuang (making “his regular call” to strengthen the captain and crew.)

Sungguh, lagu ini adalah paduan folk song dan folklore yang ringkas dan padat tentang semangat kerja dan praktek cinta-benci antara pemilik modal dan kelas buruh (Meminjam istilah abang-abang gondrong progresif yang sampai hari ini masih mengkritik penguasa dan tetap setia pada rokok lintingan sebab benci setengah mati dengan konspirasi korporasi rokok dengan pemerintah. Oh iya, mereka juga konon senang minum kopi sebab teh entah bagaimana dianggap masih mengingatkan mereka akan trauma dijajah pada masa lalu. Bisa gitu ya?)

Panjang juga ulasannya ya. Tapi, bisa jadi, ada tafsir dan pendekatan lain. Apapun itu, lagu ini mengundang kita untuk bertanya, berdiskusi, menyanyi dan merayakan kembali kehidupan dan pekerjaan sebagai kegiatan yang khas manusiawi (homo laborans).

Itu sebabnya, kucoba tuliskan partitur angkanya. Supaya kamu yang ingin berlatih menyanyikan atau memainkannya dengan alat musik bisa terbantu. Mudah-mudahan.

Mungkin sesudahnya kamu ingin menjelajah lautan, selain “Nenek Moyangku Seorang Pelaut”, kamu boleh menyanyikan ini juga. Dengan teh dan rum di tangan, bunyi genderang di kiri dan kanan, siap menghadapi ganasnya ombak di lautan. Alamak ..

Secara musikal, yang membuatnya menarik ialah fakta bahwa lagu ini dinyanyikan dengan vokal belaka tanpa instrumen lain apapun kecuali gebukan si artis pada punggung gitar. Istimewa.

Partitur Angka

Lirik lengkapnya:

There once was a ship that put to sea
 The name of the ship was the Billy of Tea
 The winds blew up, her bow dipped down
 Oh blow, my bully boys, blow (huh)

Soon may the Wellerman come
 To bring us sugar and tea and rum
 One day, when the tonguing is done
 We'll take our leave and go

She'd not been two weeks from shore
 When down on her a right whale bore
 The captain called all hands and swore
 He'd take that whale in tow (huh)

Soon may the Wellerman come
 To bring us sugar and tea and rum
 One day, when the tonguing is done
 We'll take our leave and go

Da-da-da-da-da
 Da-da-da-da-da-da-da
 Da-da-da-da-da-da-da-da-da-da-da

Before the boat had hit the water
 The whale's tail came up and caught her
 All hands to the side, harpooned and fought her
 When she dived down low (huh)

Soon may the Wellerman come
 To bring us sugar and tea and rum
 One day, when the tonguing is done
 We'll take our leave and go

No line was cut, no whale was freed
 The captain's mind was not of greed
 And he belonged to the Whaleman's creed
 She took that ship in tow (huh)

Soon may the Wellerman come
 To bring us sugar and tea and rum
 One day, when the tonguing is done
 We'll take our leave and go

Da-da-da-da-da
 Da-da-da-da-da-da-da
 Da-da-da-da-da-da-da-da-da-da-da

For forty days or even more
 The line went slack then tight once more
 All boats were lost, there were only four
 But still that whale did go (huh)

Soon may the Wellerman come
 To bring us sugar and tea and rum
 One day, when the tonguing is done
 We'll take our leave and go

As far as I've heard, the fight's still on
 The line's not cut, and the whale's not gone
 The Wellerman makes his regular call
 To encourage the captain, crew and all (huh)

Soon may the Wellerman come
 To bring us sugar and tea and rum
 One day, when the tonguing is done
 We'll take our leave and go

Soon may the Wellerman come
 To bring us sugar and tea and rum
 One day, when the tonguing is done
 We'll take our leave and go

Nih videonya: Keren!

 

Meneropong Missing Links Sejarah Batak*

Menjadi Orang Batak Masa Sekarang: Apa artinya?

Menjadi orang Batak pada masa kini, lalu bertemu dengan orang Batak lain dalam beragam jenis dan level pertemuan, berarti larut dalam romantika nostalgia dan kerinduan akan suasana rural-agraris yang stabil di masa lalu. Setidaknya hal itu berlaku bagi mereka yang lahir di tanah Batak (yang menyebut diri sebagai “berasal dari Bona Pasogit“) dan kini menjadi urban migran yang hidup sebagai penduduk diaspora di perkotaan modern.

Di tengah gempuran dan kemudahan di era digital yang penuh dengan kemudahan akses terhadap lalu lintas informasi, ada indikasi kuat bahwa generasi Bona Pasogit ini akan menghadapi ancaman punah dalam dua-tiga generasi dari sekarang.

Jika demikian, warisan nilai-nilai kebatakan apakah yang masih tersisa dan bisa dikembangkan untuk mempertautkan Batak masa lalu dengan ‘generasi digital’ (‘Baby Boomers’ X, ‘Millenials’ Y dan ‘i-Generation’ Z) terkini yang terancam punah dari akarnya? Bagaimana generasi Bona Pasogit bisa mengikuti bangsa-bangsa lain yang maju, mengepakkan sayap (wings) tanpa harus tercerabut dari akarnya (root)?

Filosofi “berakar dan bersayap” hendaknya dipeluk oleh setiap anak muda, yang cinta dengan budayanya, tetapi tidak ketinggalan dengan kemajuan zaman.

Generasi Yang Belum ‘Siuman’

Tahun 1824 adalah tonggak awal pengetahuan kita mengenai Batak di masa lalu. Di sekitar tahun itu dibuat Traktat London sebagai perjanjian transaksi penyerahan kekuasaan wilayah Tapanuli (sebutan tanah Batak di masa itu) dari Belanda kepada koloni Inggris, yang diwakili oleh Stamford Raffles selaku Gubernur Jenderal.

Seluruh tanah Batak di masa itu dan sebelumnya adalah terra incognitadunia yang belum terjamah kemajuan Barat. Bagi kacamata Barat berikut teropong dokumentasi yang menggunakan perspektif itu, masyarakat yang menghuni wilayah itu masih benar-benar splendid isolation.

Menggunakan teropong sekarang, orang-orang Batak yang merasakan urgensi ketersambungan root dengan wings,  bangkit dari status masyarakat yang masih pingsan dan belum siuman adalah konsekuensi logis. Strategi taktis yang harus ditempuh pertama-tama yakni mesti secara sadar mengakui bahwa pada waktu itu tidak ada seorang pun Batak yang sadar bahwa sukunya telah ‘diperdagangkan’ oleh orang-orang yang belum dikenalnya, yakni bangsa Belanda dan Inggris. Baik Belanda maupun lnggeris juga tidak tahu manusia-manusia yang bagaimana menghuni daerah-daerah cakupan traktat itu.” (Dr. A. B. Sinaga, 2007).

Notasi tahun sejak 1824 dan sesudah itu, kini kita ketahui sebagai awal catatan tertulis situasi ‘kesejarahan’ tanah Batak yang kita warisi saat ini. Diantaranya, telah jadi referensi ‘babon’ bagi kita bahwa Burton dan Ward, misionaris Inggris menetap di Silindung pada 1824 dan berhasil menerjemahkan sebagian Kitab Suci ke dalam bahasa Batak. Upaya ini kemudian dilanjutkan oleh Munson dan Lyman (dari Boston, USA).

Tetapi dalam perjalanan ke pedalaman, mereka terbunuh di Sisangkak, Lobupining, 28 Juli 1834. Lalu di tahun 1851, H.N. Van der Tuuk, ahli bahasa (filolog) tiba di Sibolga dan pindah ke Barus pada tahun 1852. Dia berhasil menerjemahkan Alkitab ke dalam bahasa Batak.

Pada tahun 1862 di Parausorat, tibalah Pdt. I.L. Nommensen, misionaris muda yang menjadi “Apostel di Tanah Batak”. Dan kemudian pada 7 Nopember 1863, dia sampai di daerah berlumpur aliran sungai Sigeaon, Tarutung, pada usia 30 tahun. Di tempat ini ia berikrar “Tuhan, inilah tempat yang kuimpikan. Biarlah saya mempersembahkan hidupku buat mereka.”

Sejarah Ditulis oleh Kaum Pemenang

Semua catatan yang ditulis pada masa sekitar Traktat London dan sesudahnya bisa dikatakan sebagai catatan mazhab the big man history, yakni sejarah di sekitar orang besar atau di sekitar kekuasaan dan istana tentang Sumatera Utara dan khusus tanah Batak. Diantaranya, perang Paderi (1835), perang Sisingamangaraja (1890 – dan seterusnya), perlawanan rakyat Sunggal di Sumatera Timur, dan sebagainya. Hal yang tidak asing sebetulnya, jika kita melihat fenomen sejenis di berbagai tempat di belahan dunia lain bahwa sejarah yang kita terima saat ini adalah sejarah yang ditulis oleh kaum pemenang.

Tidak kurang dari seorang Malcolm X yang melihat ini sebagai ketimpangan sejarah yang mesti dibereskan oleh semua pihak dan menjadi tugas global.

The big man history seperti di atas itulah yang kita warisi kini dan kita kerap kita jadikan referensi pengetahuan tentang ‘kesejarahan tertulis’ Batak dan Sumut hingga saat ini.

Beberapa pertanyaan besar muncul:

Mengapa catatan sejarah sosial orang-orang biasa (history of the ordinary people) tentang Batak tidak berkembang luas?

Apa yang terjadi pada tahun-tahun sekitar mulai dikenal sistem pertanian dengan irigasi? (Perlu dicatat bahwa inilah tonggak awal peradaban yang memutus rantai ribuan tahun budaya meramu di wilayah splendid isolation.

Bagaimana situasi masyarakat pada periode antara sistem barter sebelum masyarakat Batak dan Sumut mengenal jasa pertukaran dalam bermata-pencaharian dengan situasi pertanian dan perkebunan ((sosio-eko-geografis)?

Bagaimana sejarah sosial di sekitar pembentukan usaha perkebunan tembakau, karet, dan kelapa sawit di daerah pantai timur?

Apa yang membuat begitu aman dan mudahnya segala usaha korporasi itu dan usaha perminyakan di sekitar Pangkalan Brandan di era 1800-an setelah bangkrutnya VOC?

Situasi sosio-ekogeografi apa yang terjadi di sekitar berlakunya Agrarische Wet 1870 pada masa para pejabat kolonial mulai masuk kampung-kampung mengukur setiap jengkal tanah warga?

Seberapa parah siksaan dan derita ringkih nenek moyang kita, di saat mereka ‘kerja paksa’ membuka hutan untuk membangun infra stuktur-keras sarana jalan dan persawahan, di kota dan pedesaan yang kita nikmati saat ini?

Penelitian ilmiah apa dan untuk tujuan apa yang dilakukan oleh sederet ilmuwan Belanda/Eropa di Sumut dan Batak setelah era 1850-an, seperti Junghunn, van Vollen Hoven dengan murid-muridnya, van Bemmelen, dan seterusnya? Apa kontribusi riset mereka terhadap masyarakat yang menjadi objek penelitiannya?

Sederet sejarah sosio-ekogeografi itu masih gelap bagi generasi terkini karena belum diungkap secara umum. Jika tidak segera sembuh dari status ‘pingsan–nya, generasi Batak modern akan ‘dipaksa’ mewarisi sejarah para pahlawan, the big  man history, yang tetap membawa serta muatan permusuhan abadi antara pemenang dan pecundang.

Awal dari siuman adalah ketika orang Batak bersatu, menggunakan segala pengetahuan dan dilandasi dengan keluhuran niat, lalu ‘menguliti’ warisan dokumentasi menggunakan pisau bedah Occam hingga lapisan-lapisan paling tipisnya sehingga kelihatan transparan.

Mana warisan yang sesungguhnya dari nenek moyang Batak yang pantas kita lestarikan? Mana warisan pengetahuan yang kita bantu sebarkan dengan kebanggaan semu karena disebut sebagai orang yang tahu sejarah Batak, padahal itu hanya warisan yang ditulis dengan penuh ketimpangan metodologis untuk ‘kepentingan orang lain’?

 

Seperti halnya Malcolm X membantu merekatkan warga kulit Hitam Amerika dengan mendekatkan mereka kembali pada tradisi asli nenek moyang Afrika mereka, upaya bersama orang Batak untuk memahami nilai asli tradisi nenek moyang Batak-nya adalah dengan mendekatkan kembali orang Batak pada pengenalan akan nenek moyangnya, yang tentu saja sebagian besar tidak tercatat dalam dokumentasi mazhab the big man history. Setelah itu, barulah wacana pelestarian warisan nenek moyang sebagai turunan mereka mendapat makna dan energinya.


Sosio-geografi yang Folklore-sentris

Bagaimana gambaran sosio-geografis tanah Batak pada era sebelum Agrarishe Wet 1870?

Boleh dikatakan bahwa segala narasi kisah tentang asal-usul orang Batak pertama sampai dengan kisah marga-marga dst., adalah tutur lisan berantai oleh moyang kita yang tidak/belum berbudaya baca-tulis. Kebenaran fakta kisah itu bukan reportase berita, seperti laporan wartawan media saat ini. Juga pasti, itu bukan hasil kajian penelitian ilmiah. Paling maksimal semua narasi kisah itu dalam Ilmu Budaya ataupun Sastra disebut Folklore, yang berarti sebagai “cerita rakyat yang berisi ajaran moral yang baik menurut tradisi atau adat-istiadat masyarakat bersangkutan.”

Mengapa demikian? Sebab jika dirunut dari hasil temuan arkeologis yang dipadu kajian epigragfis dan ilmu sejarah sebagai referensi dasar, maka secara hipotetis diperhitungkan keberadaan orang Batak asal adalah di sekitar tahun 1300. Si Raja Batak sendiri, yang diyakini sebagai manusia Batak pertama diperkirakan baru muncul pada tahun 1260.

Era masa itu adalah pasca mega tsunami yang menenggelamkan peradaban kota internasional emporium Barus pada tahun 1200. Hancurnya peradaban di Barus kuno itu, menurut referensi Barat, dikatakan karena serangan pasukan Gargasi. Referensi ini menjadi ramuan gabungan antara folklore dan catatan perjalanan. Dan sesudah itu, tiada peninggalan apa pun yang bisa dirunut tentang peradaban tanah Batak.

Hermeneutika: Mulai Menggunakan Teropong

Hanya orang yang tertidurlah yang bisa bangun. Tentu saja, harus ada orang lain, yang siuman duluan, membangunkannya.

Detil kisah fakta peristiwa dengan gambaran situasi konteks sosio-geografis era abad ke-13 sampai dengan tahun 1800-an di dalam narasi “sejarah Batak” yang beredar saat ini, sungguh sangat mudah sekali dipatahkan logikanya dari segi rasional ilmiah era modern, jika narasi itu bukan Folklore. Untuk itu, mutlak harus dilakukan tafsir teks terhadap konteks situasi (hermeneutik).

Generasi Batak terkini dengan bangga menyebut diri sebagai manusia rasional dan modern. Mereka menuntut ilmu di sekolah, bahkan sampai di perguruan tinggi dengan capaian akademis tertinggi. Platform komunikasi digital yang menjadi menu harian juga menumbuhkan keniscyaan baru bahwa manusia digital ini bukan lagi generasi yang dengan mudahnya dicekoki folklore apalagi doktrin yang tidak mendapat validasi dari hukum-hukum positif.

Mereka tahu bahwa hingga kini, bahkan teori kreasionis a la Kitab Suci bukan lagi tandingan, setidaknya tidak lagi mumpuni menandingi serangan klaim ilmiah dari teori Big Bang atau String Theory. Maka, jika suatu waktu mereka membolak-balik turiturian yang menceritakan bagaimana Boru Deak Parujar membentuk adonan dari tanah liat dan menciptakan portibi, mereka sudah menikmatinya sebagai myth.

Kini, dari berbagai referensi ilmiah di era modern rasional, telah mudah ditelusuri oleh generasi Batak modern terkini untuk mengetahuinya. Ternyata, setelah ratusan tahun era VOC yang kemudian bangkrut pada 31 Des 1799, lalu menyusul masa pemerintahan kolonial Belanda di tahun 1800. Barulah di tahun 1824, orang-orang Eropa/Belanda mencatat, seluruh daerah tanah Batak sebagai wilayah yang tertutup isolasi rapat karena keadaan alam rimba belantara dengan beragam hewan buas dan ganasnya jurang lembah curam pegunungan yang tertutup rapat. Antar masyarakat kampung (huta) yang satu dengan yang lain, tertutup gundukan tanah tinggi dan pepohonan merapat, sehingga antar mereka tidak berkembang relasi sosio-ekonomis, bahkan selalu saling curiga sebagai musuh.

Imajinasi kita pelaku modern saat ini harus diputar-ulang keluar dari gambar situasi sosio-geografis tanah Batak pasca-kemerdekaan RI, agar kita bisa merasakan rangkaian afeksi peristiwa di dalam narasi itu. Budaya era zaman di dalam kisah ‘narasi sejarah’ atau folklore Batak, hampir pasti masih meramu dengan sistem barter dalam bermatapencaharian. Mereka belum mengenal pola pertanian dengan irigasi dan jasa relasi sosio-ekonomis. Juga pasti, belum ada sarana jalan penghubung yang lancar antar kampung, karena semua infrastruktur keras itu baru mulai dibangun setelah tahun 1800-an di masa pemerintah kolonial, puluhan tahun setelah runtuhnya VOC. Situasi zaman itu hampir pasti, mirip dengan suku-suku primitif Amazon di Amerika Latin atau suku primitif lainnya dalam acara TV National Geographic dan Discovery Channel, Meet the Natives, yang di era global masa kini telah menjadi tontonan hiburan.

Meet The Natives

Narasi kisah ‘sejarah orang Batak’ hampir pasti berupa “petualangan sarat bahaya” di masa sebelum pemerintahan kolonial Hindia Belanda (1800an). Berarti, semua narasi itu ada di masa sebelum kolonial yang pasti juga tanpa ada pengaruh VOC dan suku luar ke wilayah tanah Batak, yang terisolasi hutan lebat alam pegunungan yang dingin menusuk tulang di pagi, sore, dan malam hari. Dalam situasi sosio-geografi itulah, nenek moyang Batak sehari-hari bertualang menembus belantara raya bertabur ancaman bahaya alam dan hewan buas dari satu huta ke huta yang lain, dari lembah yang satu ke lembah yang lain di seputar danau Toba.

Bagaimana mereka menyebar ke berbagai daerah ke luar dari wilayah sekitar danau Toba? Hampir pasti situasi historisnya di zaman itu, sudah masuk era penjajahan dan penindasan yang ringkih dengan kerja paksa oleh pemerintahan kolonial, untuk membangun jalan raya dan merambah hutan menjadi daerah persawahan, perladangan, perkebunan, dan perkampungan (huta) yang kita nikmati di zaman ini. Tetapi lagi-lagi, semua detil fakta peristiwa di dalam narasi migrasi suku dan sub-suku (tribes) itu, tidak bisa dibuktikan sebagai laporan wartawan atau penelitian ilmiah, melainkan benar-benar sebagai folklore, cerita rakyat yang mengandung moral kultural, nilai tradisi unik, karakter kepribadian dan kekeluargaan khas, untuk diwariskan kepada semua turunannya di masa kini dan masa depan.


(*Diubah seperlunya dari kiriman Nikolas Simanjuntak, aktivis ICMICA (Intellectual Movements on Interreligious and Inter-Cultural Affairs) dan Staf Ahli DPR RI sejak 2002)