Sosialisme versus Kapitalisme [Richard Wolff vs Gene Epstein]

Kapitalisme itu tidak stabil, tidak setara, sangat tidak demokratis. Pada zaman perbudakan, ketidakadilan itu terjadi antara majikan dan budak; pada zaman feodal antara tuan tanah dan pekerja, pada zaman kapitalis ini antara pengusaha dan buruh. [Richard Wolff]

v – e – r – s – u – s

Saya ingin supaya orang menentukan pilihan mereka tentang bagaimana mereka hidup, profesi yang mereka ingin jalani, dimana mereka ingin bekerja. Kapitalisme menawarkan itu semua. Kepemilikan pribadi, meski tidak cukup, tapi sangat penting bagi terciptanya masyarakat yang bebas dan terbuka. [Gene Epstein]


Diskursus tentang dasar ekonomi mana yang paling baik, apakah sosialisme atau kapitalisme, terus berlanjut.

Dalam praxis hidup sehari-hari, orang memiliki pengalaman ekstensialis bagaimana rasanya tidak punya hak suara menentukan keputusan berapa upah yang layak diterimanya. Di tempat lain, orang merasa terkejut ketika lahan yang selama ini dikelolanya tiba-tiba diambil-alih paksa oleh negara sebab semua tanah, air dan kekayaan alam adalah milik negara sesuai konstitusi.

Pembahasan akademis tidak kalah seru dan panasnya. Ada banyak sekali. Di Indonesia, banyak artikel di IndoProgress dan beberapa website lain yang bisa membantu kita mengikuti sudah sejauhmana diskursus ini berjalan, kendati tidak bisa vulgar dan terang-terangan sebab selalu ada resiko dan trauma disalahpahami terkait TAP MPR yang melarang penyebaran marxisme.

Adalah SOHO Forum Debate, yang disponsori Reason (sebuah lembaga kajian dengan perspektif libertarian) yang pada tahun 2019 mempertemukan dua jagoan: pemikir sosialis Richard Wolff dan pemikir kapitalis Gene Epstein. Saya tidak yakin bisa mengalihbahasakan semua dengan tepat. Maka yang akan kamu baca ini adalah cuplikan intisari seadanya dariku dengan parafrase seperlunya.


SOSIALISME

Sosialisme selalu menarik.

Kamu ingin mendengarnya karena ingin tahu lebih banyak atau karena tidak sabar ingin menentangnya habis-habisan.

Secara khusus, para pemuda di Amerika Serikat menanggung beban berat, bagaikan seekor beruang yang baru keluar dari hibernasi selama 70 tahun sejak 1945. Tahun itu adalah tahun dimana para penganut Marxis-sosioalis-komunis menguasai hampir semua posisi umum dalam masyarakat seperti guru, pekerja, birokrat dan anggota partai buruh. Periode dimana para sosialis sangat mendukung banyak program di negara ini. Saat itu kita mengenal perangko bergambar Paman Sam dengan topi diapit lengannya dan Paman Joe, yang sebenarnya adalah Joseph Stalin.

Setelah itu ada reaksi yang cukup mengerikan bagi kelompok tertentu. Komunitas bisnis dan kelompok sayap kanan di Amerika dikejutkan dengan kenyataan bahwa pada 1930-an pemerintah menaikkan pajak dari para pengusaha dan orang kaya dengan tujuan untuk pertama kalinya dalam sejarah Amerika menerbitkan progam jaminan sosial, kompensasi atas pemutusan kerja dan pensiunan, upah minimum dan penyediaan lapangan kerja yang berhasil menyerap lima belas juta pekerja.

Orang kaya harus membayar dan rakyat Amerika mendapatkan manfaatnya. Ini mengejutkan para pendiri Koch Brothers.

Kemudian koalisi dengan Uni Soviet berakhir. Dengan demikian pada 1945, situasi ini berubah. Saatnya untuk New Deal.

Ini tidak mudah. Para sosialis, komunis dan anggota kelompok buruh yang mewakili jutaan rakyat Amerika, mereka inilah yang membuat prestasi hebat tadi menjadi kenyataan. Merekalah yang membuat Presiden Roosevelt mengundangkannya.

Tetapi lalu mereka harus kalah. Dikalahkan. Mereka yang sudah militan sejak 1930-an untuk penyatuan Amerika Serikat, sesuatu yang belum pernah kita lihat sebelumnya dan tidak lagi sesudahnya sebab para komunis dan sosialis harus berubah haluan. Mereka harus menerima nasib dikeluarkan dari serikat buruh dengan mengendari Taft 47. Tidak hanya itu, mereka juga dihilangkan dari kesadaran rakyat Amerika yang diteror untuk tidak tertarik dengan apapun yang berbau Marxisme, komunisme dan sosialisme.

Sebagai profesor ekonomi, Richard Wolff mengalami sendiri bagaimana paham Marxisme sama sekali tak pernah disentuh. Karena tidak ada lagi yang memahaminya, atau karena terlalu takut untuk mengajarkannya.

Padahal, Richard kuliah di Harvard, Stanford dan Yale. Bagaimana pula dengan kampus di tempat lain, sebut saja di belahan Eastern Kentucky misalnya.

Apakah karena Marxisme memang tidak ada isinya, sia-sia dipelajari? Tentu saja tidak. Hanya karena ketakutan. Ketakutan selama 75 tahun. Maka, di ranah intelektual saja, sangat sulit untuk membicarakan sosialisme.

Baiklah. Kita mulai.

Meski penganut sosialis tidak setuju dalam banyak hal, sejak awal begitu, faktanya sosialisme adalah produk dari kapitalisme. Tidak ada sosialisme sebelum kapitalisme. Kapitalime dalam sejarah revolusi Perancis dan Amerika menawarkan janji manis bahwa ketika rakyat meninggalkan feodalisme, maka mereka akan menikmati kebebasan, kesetaraan, persaudaraan (liberty, equality, fraternity), demokrasi dan kemakmuran. Sosialisme muncul sebagai gerakan yang segera melihat bahwa semua janji kapitalisme itu tak pernah ditepati.

Sosialisme adalah gagasan bahwa kita bisa lebih baik daripada kapitalisme. Seperti kegelisahan para budak yang tidak tahan lagi dengan perbudakan, para buruh harian atas feodalisme, dan para pekerja terhadap kesewenangan majikan atau pengusaha.

Secara ringkas, para sosialis setuju dengan tiga kegagalan utama kapitalisme.

Pertama, kapitalisme tidak stabil.

Setiap 4 hingga 7 tahun ada resesi ekonomi di setiap negara kapitalis. Bukan karena faktor alam atau perang, tetapi karena sistemnya memang demikian, yang kita sebut sebagai siklus bisnis. Ketika resesi menghantam, jutaan orang kehilangan pekerjaan, usaha-usaha tutup dan kebangkrutan dimana-mana. Kalau kamu punya teman sekamar yang perilakunya tidak stabil, gampang marah atau mengamuk tidak jelas, tentulah kamu berpikir untuk pindah meninggalkannya sejak awal.

Screenshot from Wikipedia

 

Kedua, kapitalisme tidak setara.

Perusahan Oxfam di Inggris melacak soal ini. Data terakhir yang mereka dapatkan: 80 hingga 90 orang kaya di dunia memiliki kekayaan lebih banyak dibandingkan dua pertiga penduduk dunia. Bahkan jika kekayaan mereka dibagikan ke seratus orang, mereka tetap menjadi orang terkaya di dunia.  Sementara masalah kurangnya pendidikan, ketersediaan sarana air bersih, kekurangan pangan masih menjadi jelas di depan mata. Inilah prestasi kapitalisme.

Ketiga, kapitalisme sangat tidak demokratis.

Proses politik terpampang dan menjadi santapan media setiap hari. Yang luput dari perhatian kita adalah kurangnya demokrasi. Dulu kita menghindari adanya raja dan ratu. Kita memutuskan bahwa kita tidak butuh satu orang duduk di tahta kekuasaan dan memerintahkan kita untuk melakukan ini atau untuk tidak boleh melakukan itu. Kita tidak mau disebut hamba. Kita berpikir bahwa kita bisa melakukannya dengan sistem politik yang berbeda. Kita bisa memilih secara berkala dan bersama-sama kita bisa menghasilkan keputusan kolektif, sebuah hak yang dulu ada di tangan para raja dan ratu.

Sangat menarik.

Kita memang mengalami demokratisasi di bidang politik. Tetapi ini tidak terjadi di bidang ekonomi. Itu sebabnya hingga hari ini kita memiliki “raja-raja kecil”: pemilik usaha, manajer, barisan direksi (board of directors) dan otoritas tunggal lainnya yang membuat keputusan kunci perihal apa yang harus kita produksi, bagaimana memproduksinya, dimana diproduksi dan mau dikemanakan keuntungan dari usaha itu.

Kita tidak memiliki demokrasi di tempat kerja. Benar ada komitmen demokrasi di unit masyarakat sejauh terlihat dalam kegiatan pemilihan umum di tempat dimana kita tinggal, tetapi tidak dengan tempat kerja kita. Padahal, sebagai orang dewasa, di tempat kerjalah kita menghabiskan sebagian besar hidup kita.

Maka para sosialis berkata: “Ya Tuhan, kita bisa lebih baik dari ini, dari kapitalisme ini”. Inilah yang mereka inginkan. Pada poin inilah mereka setuju. Tetapi kemudian muncul perdebatan perihal bagaimana melaksanakan sistem yang berbeda dari kapitalisme itu.

Sangat baik kalau kita belajar dari eksperimen yang terjadi ketika Partai Komunis Perancis menang pada 1870 atau pada abad ke-20 di Rusia, Cina, Kuba dan lainnya. Memetik pelajaran mana yang berhasil dan mana yang gagal, mana yang seharusnya diteruskan dan mana yang sebaiknya ditinggalkan.

Maka sosialisme baru harus kembali berfokus pada gagasan dasar sosialisme. Bukan soal pencapaian negara dalam hal pertumbuhan ekonomi. (Ini memang benar tetapi juga sekaligus membiarkan kekuasaan terlalu besar di tangan segelintir orang).

Fokusnya adalah bagaimana merancang dan melakukan sesuatu di tempat kerja, yang belum pernah dilakukan oleh sistem kapitalis, yakni untuk mendemokratisasi dunia kerja.

Sebuah sistem yang memungkinkan para pekerja di sebuah unit usaha untuk berpartisipasi dalam proses pengambilan keputusan mau memproduksi apa, bagaimana cara membuatnya, teknologi apa yang harus digunakan dengan memperhatikan kesehatan dan keselamatan pekerja, dan mau dikemanakan keuntungan yang dihasilkan.

Jika ini terjadi, maka kita tidak lagi memberikan miliaran dolar kepada sekelompok kecil orang saja sementara sebagian besar lagi harus meminjam dengan bunga untuk membiayai biaya sekolah anak-anaknya, berobat ketika sakit atau untuk memiliki tempat tinggal yang layak.


KAPITALISME

Siapapun yang hendak mempromosikan sosialisme sebenarnya menanggung beban pembuktian yang sangat berat.

Mengapa?

Sebab kenyataannya: sosialisme tidak pernah eksis. Sosialisme yang diduga pernah terjadi di negara Rusia, Cina dan Kuba ternyata akhirnya merenggut jutaan nyawa manusia sebab opresi dan campur tangan negara harus hadir untuk menegakkannya. Tentu, ini bukan situasi yang diidealkan oleh sosialis.

Menyorot secara khusus gagasan demokratisasi di tempat kerja seperti yang diusung Richard Wolff, tentu saja ini gagasan bagus yang harus didukung.  Gagasan yang membuat pekerja sekaligus menjadi pengusaha selama mereka secara bebas memilih rancangan seperti itu.

Masalahnya, tidak ada sistem yang melindungi hak kepemilikan yang bisa memberi petunjuk bagaimana praktek demokratisasi ekonomi seperti yang diidealkan sosialis itu bisa dilaksanakan.