Glorielis dan Profil Pelajar Pancasila

Baik pribadi Glorielis maupun profil Pelajar Pancasila sama-sama menjunjung tinggi sejumlah nilai kehidupan (values of life) yang dianggap penting untuk dimiliki seorang insan didik sehingga bisa menjalankan perannya sebagai subjek pendidikan dalam ” … ikut serta mencerdaskan kehidupan berbangsa dan bernegara” (mengutip tujuan pendidikan dalam konstitusi negara kita).

Apa itu Profil Pelajar Pancasila?

Pelajar Pancasila adalah perwujudan pelajar Indonesia sebagai pelajar sepanjang hayat yang memiliki kompetensi global dan berperilaku sesuai dengan nilai-nilai Pancasila, dengan enam ciri utama: beriman-bertakwa kepada Tuhan YME- dan berakhlak mulia, berkebinekaan global, bergotong royong, mandiri, bernalar kritis, dan kreatif.

Jadi ada enam nilai yang oleh oleh Kemendikbudristek (Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi) disebut sebagai dimensi dalam Modul Ajar Kurikulum Merdeka (KM).

Profil Pelajar Pancasila adalah insan didik yang oleh Kemendikbud dimaksudkan untuk dihasilkan oleh seluruh satuan pendidikan sesuai dengan Visi Pendidikan Indonesia saat ini, yakni mewujudkan Indonesia Maju yang berdaulat, mandiri, dan berkepribadian melalui terciptanya Pelajar Pancasila yang bernalar kritis, kreatif, mandiri, beriman, bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, dan berakhlak mulia, bergotong royong, dan berkebinekaan global“. Visi ini sendiri adalah langkah awal untuk berjalan sesuai Peta Jalan Pendidikan Indonesia 2020-2035 (yang saat ini masih dalam bentuk draf dan masih banyak diperdebatkan), yakni membangun rakyat Indonesia untuk menjadi pembelajar seumur hidup yang unggul, terus berkembang, sejahtera, dan berakhlak mulia dengan nilai-nilai budaya Indonesia dan Pancasila.

(I sense too much of verbalism, right? Hebat sekali redaksi kalimatnya, tetapi jangan-jangan ini hanya verbalisme alias otak-atik kata-kata saja?)

Kurikulum Merdeka sendiri selama 3 tahun terakhir masif  disosialisasikan, dicoba untuk diimplementasikan oleh beberapa sekolah, sekaligus menuai banyak kritik termasuk resistensi dari berbagai pelaku pendidikan. Kritik ini secara umum mengemukakan bahwa tidak ada perbedaan substansial antara KM dengan Kurikulum 2013 dan kurikulum-kurikulum sebelumnya, hanya penamaan lain dengan beberapa varian kecil perbedaan disana-sini. Diakui misalnya bahwa Profil Pelajar Pancasila yang dimaksudkan sebagai kekhasan KM dan menjadi pembeda signifikan dengan kurikulum-kurikulum sebelumnya, dinilai banyak pihak justru tidak berbeda dengan Nilai Budi Pekerti yang terintegrasi dalam mata pelajaran di Kurikulum 2013, mirip dengan penataran Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (P4).

Untuk memahami lebih lengkap tentang Profil Pelajar Pancasila, kamu bisa membaca banyak dokumen di situs kemdikbud.go.id

Apa itu Pribadi Glorielis?

Semua orang yang pernah dan sedang ambil bagian dalam proses pendidikan di seluruh sekolah di bawah naungan Yayasan Budi Mulia Lourdes diharapkan menjadi pribadi-pribadi Glorielis. Pribadi Glorielis adalah orang yang memahami dan mengamalkan nilai-nilai  kebudimuliaan, yakni hikmat yang bersumber dari kisah dan keutamaan yang diwariskan oleh Bapa pendiri Kongregasi Bruder Budi Mulia yaitu Bruder Stephanus Modestus Glorieux. Nilai-nilai itu adalah: Kedisplinan, Kebersamaan, Toleransi, Rajin Belajar, Tanggung Jawab, Kerendahan Hati, Kesederhanaan, Cinta Kasih, Kreatif-Inisiatif-dan Inovatif, Kerja Keras, Keunggulan, Kemandirian, Religius, Hidup Bakti, Ketabahan dan Integritas.

Untuk memahami lebih lengkap tentang pribadi Glorielis, kamu bisa membaca silabus dan dokumen lain terkait Pendidikan Spiritualitas Budi Mulia.


Tulisan singkat ini tidak hendak mempertunjukkan pertarungan kumulatif nilai-nilai yang “sangat hebat” hingga bisa kedengaran bombastis ini pada pribadi Glorielis dan yang (ingin dicapai) oleh Profil Pelajar Pancasila. Karena jika hanya redaksi kuantitatif yang ingin kutunjukkan, mudah saja menuliskan skor layaknya pertandingan sepakbola:

[Pribadi Glorielis] 16 – 6 [Profil Pelajar Pancasila]

Alih-alih, Saya hendak berfokus pada bagaimana kita mengkomunikasikan nilai tersebut sehingga benar diamalkan oleh insan didik Budi Mulia secara khusus, dan oleh insan didik Indonesia secara umum. Kurang lebih, diskusi ini bisa kita mulai dengan pertanyaan pemantik, semisal: apa pentingnya nilai-nilai itu diajarkan?

Alasannya, jika kita perhatikan dengan cermat, keenam nilai Profil Pelajar Pancasila dan keenambelas nilai Pribadi Glorielis ini sebenarnya kurang lebih memaksudkan hal yang sama, yakni menjadikan manusia yang sedang menempuh pendidikan menjadi semakin manusia. Sesuai dengan visi pendidikan yang berlaku dimana-mana, yakni memanusiakan manusia.

Kita bisa juga menyitir argumen Seneca terhadap Lucillius ketika mereka terlibat perdebatan soal moralitas pada tahun 65 Masehi: sebenarnya, sekolah itu untuk apa sih? Seneca mengatakan “non scholae, sed vitae discimus” (we learn not  for school, but for life); sementara Lucillius mengatakan persis sebaliknya: “non vitae, sed scholae discimus” untuk mempertahankan argumen realistisnya soal pendikan yang seharusnya lebih praktikal dan bahwa literasi keilmuan sebenarnya terlalu dilebih-lebihkan.

Kupikir, kita semua sepakat memihak Seneca ketimbang Lucillius dalam hal ini.

Tetapi, jika benar demikian, maka kita boleh mengekstrapolasi kesepakatan kita terhadap Seneca dengan pertanyaan-pertanyaan kritis yang lebih membumi dan mengujinya pada konteks zaman ini, yakni konteks pendidikan formal di Indonesia sekarang. Pertanyaan itu misalnya:

  • Dengan seabrek mata pelajaran pada kurikulum, tugas kokurikuler, program intrakurikuler dan ekstrakurikuler, mulai dari TK, SD, SMP, SMA/K hingga Perguruan Tinggi, manusia seperti apa kita maksud ingin kita bentuk, yang kita sebut sebagai “manusia terdidik”?
  • Dalam konteks pendidikan sebagai industri, semakin jamak kita temui orang yang lulus Perguruan Tinggi bekerja tidak sesuai dengan jurusannya atau malah menganggur, tidak bekerja. Bukankah ini mengindikasikan ada ketidaksambungan antara apa yang kita anggap perlu diajarkan di kurikulum sekolah (supply) dan apa yang ternyata dibutuhkan masyarakat/pasar (demand)?
  • Entah sebagai alumnus Glorielis atau alumnus Pelajar Pancasila, benarkah keenambelas nilai atau keenam nilai yang kerap diglorifikasi tadi membantu insan didik untuk menjadi cerdas dan pada gilirannya memberi kontribusi pada masyarakat (society) menyitir Seneca? Atau malah sebenarnya kita tak memerlukan alokasi waktu secara khusus untuk mengajarkan dan membuat proyek untuk nilai-nilai itu, yang penting ajarkan saja kecakapan praktikal sesuai permintaan pasar menyitir Lucillius?
  • Masyarakat sekarang hidup di tengah paradoks kemajuan (ekstrimnya: sebagian orang sudah coba menjajal pola hidup Metaverse, Big Data, Artificial Intelligence; sementara bagi sebagian orang lagi, kebutuhan pokok seperti akses penerangan listrik saja belum ada). Absurditas menyertainya pula, sehingga idealisme pendidikan ternodai begitu saja sebab harus kompromi dengan realitas yang terjadi. Bukankah jamak kita dengar: Untuk sukses, tak penting jurusannya hebat atau orangnya cerdas, tetapi apakah punya “orang dalam”, koneksi dan warisan orangtua?

Pertanyaan-pertanyaan semacam ini kupikir mengajak kita untuk masuk ke refleksi ulang apa sebenarnya tujuan pendidikan di Budi Mulia secara khusus dan tujuan pendidikan Indonesia secara umum.

Jika memang pendidikan kita mau kita dasarkan pada gagasan-gagasan filosofis Ki Hajar Dewantara yang lebih mengedepankan transformasi nilai (value), sudah benar langkah Budi Mulia yang merasa perlu merumuskan nilai-nilai kebudimuliaan atau Kemendikbud merasa perlu memuat Proyek Penguatan Profil Pelajar Pancasila dalam Kurikulum Merdeka yang diusungnya. Intinya, persoalan akhlak, karakter, budi pekerti dan terma lain yang sejenis masih perlu diajarkan, dan sekolah harus mengalokasikan waktu dan sumber daya yang cukup untuk itu, sama seperti alokasi untuk mata-pelajaran lainnya.

Masalah konkret muncul: bagaimana kita mengukur implementasi nilai-nilai itu?

Bagaimana mengukur pengaruh karakter profil pelajar Pancasila itu pada anak didik? Bagaimana kita tahu bahwa lulusan Budi Mulia yang dicap “berhasil” atau “sukses” itu memang karena dia mengamalkan nilai-nilai kebudimuliaan; sebaliknya yang “gagal” itu karena dia tidak mengamalkan nilai-nilai kebudimuliaan?

Atau kalau mau lebih filosofis lagi, kita bisa mundur ke belakang dengan pertanyaan lebih mendasar: apa ukuran sukses? Lulusan sekolah yang kita sebut sukses itu sebenarnya apa?

Jangan-jangan sebaiknya kita mengalah saja dan mengikuti tren pendidikan berorientasi pada kecerdasan dan kreatifitas yang sejauh ini sudah terbukti sesuai keinginan pasar. Kita terima saja determinasi filosofi pendidikan Barat yang kerap kita anggap lebih mengedepankan transformasi pengetahuan (knowledge) tetapi nyatanya tanggap dan tangguh terhadap permintaan dunia dewasa ini.


UJILAH NILAI

Kini kita sampai pada permenungan yang lebih mendalam lagi. Upaya penanaman nilai-nilai (values) ini sejak Ki Hadjar Dewantara dengan Taman Siswa-nya, Orde Baru dengan P4-nya, Kurikulum 2013 dengan Penanaman Budi Pekerti-nya, Yayasan Budi Mulia dengan Nilai Kebudimuliaan-nya, hingga Kurikulum Merdeka dengan proyek Pelajar Pancasila-nya semua mendaku sebagai sistem yang kelak akan menghasilkan manusia cerdas dan terdidik.

Tetapi, benarkah generasi terdidik hasil lulusan dari program penanaman nilai dengan nama yang hebat itu menjadikan Indonesia semakin berkemajuan?

Jangan-jangan kita terlalu lama berkutat dengan verbalisme nilai, sampai lupa bahwa masyarakat kita saat ini (hic et nunc) membutuhkan orang-orang cerdas dari sekolah untuk memberi kontribusi pengetahuan mereka.

Apa sebaiknya kita tinggalkan saja Seneca, kita ikuti nasehat Lucillius saja?

Jika ternyata kebutuhan akan pasokan ikan lele jelas di depan mata, ajarkan saja anak bisa baca tulis seadanya lalu didik untuk memelihara ikan lele sedari kecil, tak usah pusingkan anak dengan mengharuskannya menghafal rumus Fisika, Kimia, Matematika atau ikut bimbel supaya lulus UTBK? Sebab jika pun lulus dan tamat dari perguruan tinggi pilihannya toh dia akan kembali menganggur. Dia akan menghabiskan waktunya menonton video Youtube dengan kata kunci “bagaimana cara memelihara ikan lele”? 

Loh? Tapi kan anak harus kita ajarkan untuk beriman-bertakwa kepada Tuhan YME- dan berakhlak mulia, berkebinekaan global, bergotong royong, mandiri, bernalar kritis, dan kreatif. Anak harus kita ajarkan untuk displin, berbakti, belajar keras, toleran, mandiri, religius, memiliki cinta kasih, tabah, kreatif, inovatif dan berintegritas?

Memangnya, menurutmu, seorang pengusaha lele tidak bisa memiliki semua nilai itu tanpa harus belajar di sekolah?