Mengapa “Berkesenian” menjadi Predikat Ejekan?

Percobaan Pertama: Membunuh Filsafat

Beberapa ribu tahun lalu di negeri Yunani, seorang lelaki parlente mendekati seorang temannya yang berpenampilan polos bersahaja.

Lelaki parlente itu, belakangan kita kenal sebagai Calicles, berkata kepada temannya:

Berhentilah berfilsafat, kawan. Kembalilah ke dunia nyata. Tuntutlah ilmu di  sekolah bisnis.

Quit philosophizing.

Get real.

Go to business school.

Belakangan kita tahu, temannya yang bersahaja itu bernama Socrates.

Untunglah, Socrates tidak mengikuti anjuran temannya itu. Seandainya Socrates mengikuti anjuran Calicles dalam “Giorgias Dialogue” itu, filsafat tidak akan menjadi sebesar sekarang. Plato tidak akan mempunyai guru. Aristoteles, juga tentu saja.

Tidak akan ada para murid peripatetik (para filsuf pejalan kaki) yang membahas segala macam hal sembari berjalan-jalan bersama sang guru. Tidak akan ada Akademia, yang menjadi cikal bakal semua sekolah modern yang ada sekarang ini. Semua orang akan berfokus pada satu hal saja: memenuhi kebutuhan perut, mencari shekel, drachma, dolar atau rupiah.

Untunglah. Ternyata kebutuhan manusia tidak hanya soal urusan perut, tetapi juga soal pikiran. Selain asupan gizi, manusia ternyata butuh nutrisi intelektual dan seni. (Iya. Filsafat bukan hanya induk dari sains tetapi juga seni).

Meskipun demikian, upaya percobaan untuk membunuh filsafat itu masih berlangsung hingga sekarang. Tak sedikit teman yang mengolok-olok ketika seseorang memposting keresahannya di media sosial dalam sudut pandang filosofis.

Alah, bacot. Na mangula on ma bah ni puhuthon“, kata mereka seolah merendah padahal nyatanya mereka ingin menderogasi pentingnya filsafat.

“Untuk apa membahas dan mengulas realitas sosial. Pakai bedahlah, pake ulaslah, filosofi-filosofian segala. Tak ada gunanya kau habiskan waktu dengan membaca dan berdiskusi filsafat Barat itu. Mending ternak lele sajalah”


Percobaan kedua: Membunuh seni?

Zaman sekarang, jika kita jeli, saban hari kita mendengar “Giorgias Dialogue” versi modern dalam konteks kesenian.

“Ngapain sih capek-capek buat tulisan? Yang baca sedikit. Uangnya pun tak jelas.”

“Ngapain sih terus buat lagu? Berdiskusi, begadang, membuat lirik, ulik nada, edit, mixing, mastering, release. Unggah di Youtube, belum dapat adsense, eh keburu kehabisan uang. Sekedar beli rokok dan kopi pun harus berfikir keras. Buat apa? Tuh lihat. Mending buat konten give-away kayak si Boim.”

“Atau lebih ekstrem, ada pesawat jatuh, jadikan konten. Nggak usah mikir empati dengan keluarga korban. Laku keras.”

Mungkin tak persis isi redaksinya seperti ini, tapi muatan maknanya sama.

Begitulah. Sekarang berkesenian seolah predikat ejekan.

Secara jenius, Tilhang Gultom menyisipkan sindirian ini pula dalam lagunya “Tudia Nama Au Lao”

Dia sebut:
Na hansit ma hape di au nadangol on. Alani pogos na tarlobi. Gabe marende nama au. Gabe marende nama. Tu kesenian nama au lao. Tu kesenian nama au lao” (Perih sekali hidup ini, bagiku yang sengsara ini. Karena kemiskinan yang teramat sangat. Aku pun bernyanyi. Ke kesenian-lah aku lari.)

Impresi publik sezamannya yang mau dikritik Tilhang Gultom kiranya cukup jelas: Mereka yang berkesenian atau bernyanyi-nyanyi  kelasnya ya orang kecil. Proletar. Kalau mau kaya dan sukses (gabe jala mamora), pilihlah jalur lain. Entah menjadi petani, pegawai atau pengusaha. Pokoknya, jangan menjadi seniman.

Setujukah kita?

Beberapa dekade lalu, ‘kesadaran’ sejenis juga yang membuat banyak orangtua Batak terlihat tidak konsisten. Ketika si anak masih kecil, akan diajari bernyanyi, main gitar, atau didaftarkan les musik. Tapi begitu selesai SMA, si anak akan diarahkan untuk ambil jurusan yang jelas menjanjikan fulus. Entah sebagai pengacara. Entah sebagai pengusaha atau petugas bea cukai.

Bukankah itu antara lain sebab “Opera Tilhang” (Opera Serindo) kehilangan generasi penerus sepeninggal Zulkaedah Harahap? Tak ada orangtua yang mengajarkan dan mendukung anaknya menekuni keterampilan multiseni dalam Opera Batak itu (bernyanyi, berdrama, berlawak).

Aku sendiri mengalami ini ketika kecil. Di ladang, kalau aku mencoba memukul-mukul kayu meniru “pargossi“, akan ditegur orangtua. Dalam diskusi kemudian setelah mereka rasa aku bisa berfikir, mereka jelaskan:

“Nak. Zaman sekarang, bermusik tidak memberi penghasilan. Jangan kau tiru tulangmu si anu. Margossi ibana, mangadangi sian pesta tu pesta, alai so hea dilean hepeng tu nantulangmi. Holan na mabuk ma ibana tiap borngin. Dungi marbadai ma begeon ni hombar jabu. Jangan kau ikuti yang begitu ya”, kata mereka.

(Aku tak menyalahkan mereka. Itulah impresi umum tentang berkesenian saat itu, jadi mereka pun ikut di dalamnya. Lagipula, tak didukung menjadi penabuh gendang, aku kemudian memilih jurusan “tak jelas”, yakni jurusan filsafat. Skor 1-1. Hehehe).

Di era postmodernisme sekarang yang bahkan banyak orang masih belum tahu mengarah kemana dan harus mendefinisikan seperti apa, sekelompok orang juga mulai jengah dengan filsafat. Mereka mempertentangkan sains dengan filsafat, seakan bisa memisahkan seorang anak dengan ibu kandung yang melahirkannya.

Mereka bosan dengan tuntutan kaidah berkesenian, seakan musik dan lagu melulu hanya soal profit dan ketenaran seorang artis, dan tidak ada kaitannya dengan upaya kurasi nilai ideologi dan budaya arif. Maka, tak heran, lahirlah banyak lagu yang tidak memiliki “jiwa”, hanya otak-atik gathuk tangganada dan analisa teknikal musik. Berkesan, tapi tidak mengandung pesan.

Atau, meminjam lawakan intelektual di tongkrongan kami:

“Godang siingoton. Alai dang adong sitiruon”

Pada situasi begini, wajarlah para seniman dengan ideologi dan kesetiaan pada tugas kesenimanan, akan tenggelam di pasar industri. Antara lain, karena mereka tak sudi “menjual” diri, tak mau repot dengan algoritma Google dan Youtube, tak mau pula menyebar spam disana-sini untuk meraup angka view.

Untuk mereka, pendengar yang baik akan mencari musik yang baik. Beberapa digital marketer mungkin akan menyebut mereka naif, tapi mereka masih bertahan. Entah sampai kapan.

Luxury is in Simplicity

Apa godaan terbesar ketika berbicara? Berbicara dengan istilah yang rumit. Jika perlu dengan meminjam kata dari bahasa asing. Ekstremnya, sebisa mungkin sampai pendengar takjub karena bingung apa yang disampaikannya. Tujuannya untuk menciptakan sense of authority. Ibarat mau pamer ke penonton talkshow: “Ini loh. Kalian mesti tau, untuk topik ini, gue yang paling ahli dibanding lawan bicara gue ini”. Apakah pendengar memahami atau setidaknya bisa mengikuti alur pembicaraan, itu persoalan lain.

Apa godaan terbesar ketika menulis? Mirip dengan berbicara tadi. Menggunakan banyak kutipan terpercaya dari sumber yang sebisa mungkin susah diakses oleh pembaca. Tujuannya sama, sense of authority. Jika perlu ditambahi dengan istilah yang tak lazim. Ibarat mau pamer ke pembaca berita: “Ini loh. Kalian mesti tau, untuk tema ini, gue yang paling ahli dibanding penulis lain”. Apakah pembaca memahami atau setidaknya bisa mengikuti alur pikiran penulis, itu persoalan lain.

Apa godaan terbesar ketika berkesenian? Eh, sebentar. Kata “berkesenian” ini tampaknya biasa. Tapi kok susah mengartikannya ya. Gini. Berkesenian berarti mengikuti kaidah membuat karya seni, memahami tujuan dan dampaknya bagi penikmat karya, termasuk dirinya sendiri yang ikut terlahir kembali bersama terbitnya sang karya. Njelimet ya.

Apa godaan terbesar ketika hendak mencipta lagu? Mengakomodasi semua teori musik yang pernah dipelajari. Sebisa mungkin memuat banyak liukan interval akor, progresi, modulasi. Jika perlu, gabungkan semua jenis tangganada yang pernah dikenal manusia, termasuk yang mengabaikan nada dasar seperti yang dilakukan komposer zaman Romantik Pierrot Lunaire dengan komposisi atonalnya. Kalau masih bisa, tumpahkan semua elemen sinestesia dan bablas dalam mengartikan licentia poetica saat mencipta liriknya. Apakah pendengar bisa menikmati alunan nadanya? Itu soal lain. Apakah begitu mendengarnya seorang penikmat lagu langsung bisa merasakan motif lagu tersebut? Ora urus.

Alhasil, tidak ada pendengar yang tertarik dengan omongannya. Podcast atau konten Youtube edisi berikutnya akan sepi view. Tidak ada pembaca yang akan kembali melirik tulisannya apalagi berniat membeli bukunya. Tidak ada pendengar yang akan setia menunggu lagu berikutnya dari si pencipta lagu.

Lalu ketiga jenis seniman tadi pun heran. Kecewa karena menurut mereka, konsumen kurang mengapresiasi karya yang sudah dengan susah-payak mereka ciptakan. Ibarat pedagang: lapaknya rame saat grand opening, tetapi hari-hari berikutnya tak satupun pembeli datang.

Apa yang salah?


Suhunan Situmorang, seorang pengacar dan penulis lepas yang rutin mengisi dinding Facebook-nya dengan opini ringan namun mengena, pernah menulis begini (saya kutip seperlunya):

Sadarilah.

Mari tulis kisah dan pengalaman sehari-hari, juga alam sekitar, tradisi masyarakat, atau ketika tinggal di desa. Situasi kotamu kini pun menarik ditulis, termasuk perubahan-perubahan dalam pelbagai hal.

Kehidupan di medsos tak melulu bicara topik dan isu yang keras, sayangi otak dan jiwa yang juga butuh senyum dan tawa lepas. Ceritakanlah kenangan atau pengalaman yang membekas, atau harap yang tak terbatas. Cita dan impian perlu dirancang, setidaknya untuk menambah semangat melakoni kehidupan–kendati kemudian tak sama dengan realitas. Alangkah lelah membicarakan hal-hal yang tak terjangkau diri, sementara ada banyak kewajiban yang butuh enerji.

Kisahkanlah desa atau kotamu, atau pengalaman lucu. Tulislah dengan semangat berbagi cerita, niscaya pembaca menemukan yang berharga, kendati tak diucapkan secara terbuka. Tulislah cerita dan puisi, potretlah panorama dan suasana di suatu kampung atau sudut kota. Tampilkan dengan narasi bertutur. Alangkah menarik bagi yang berpikiran luas.

Berceritalah, memotretlah, atau bagikan resep-resep masakan, cara menanam dan merawat tanaman, atau tips supaya awet muda.

Bernyanyilah bagi yang suka, bercandalah untuk membuat pembaca tertawa.


Fiksimini tentang tiga pekerja seni diatas ditambah tulisan singkat Suhunan tadi mengajak kita untuk kembali ke prinsip dasar komunikasi, yakni: Apa yang sampai ke penikmat (baca: pembaca, pendengar) itulah yang penting.

Bukan soal seberapa banyak terminologi yang dimiliki seorang pembicara, tetapi apakah pendengar memahami apa yang dibicarakan. Bukan soal seberapa rumit penjelasan yang disampaikan penulis, tetapi apakah pembaca mengerti gagasannya. Bukan soal seberapa tinggi ilmu dan musikalitas si pencipta lagu, tetapi apakah lagu tersebut benar-benar mengena di telinga penikmatnya. Itulah yang penting.

Kunci untuk membuat sebuah karya mengena dengan penikmatnya adalah sentuhan emosional atau afeksi. Meminjam lirik lagu Ari Lasso, “sentuhlah dia tepat di hatinya“, sentuhlah penikmat karyamu dengan sesuatu yang bisa mereka rasakan. Sesuatu yang dekat dengan kehidupan, mimpi dan kesedihan mereka. Bahasa kerennya: sesuatu yang relevan dan relatable.

Jika pembaca membaca tulisanmu lalu menggumam dalam hati, “ini kok persis kayak yang aku alami ya”, itulah sukses. Jika seorang netizen mengunjungi lagu yang baru kau rilis di kanal Youtube-mu lalu memberi komentar “Sedih banget lagunya, Min, kayak kisahku”, itulah sukses.

Tampaknya inilah yang perlahan semakin disadari teman Saya, seorang pemusik dari Sumatera Utara yang merantau ke Jogja. Rimanda Sinaga namanya. Baru-baru ini kami ngobrol.  Di akhir percakapan kami yang berjam-jam itu, dia bilang: Lagu yang bagus itu lagu yang sederhana. Sebuah lagu yang begitu didengar, para penyanyi trio di lapo tuak bisa serta-merta mengambil gitar dan menyanyikan suara 1, 2 dan 3. Sebuah lagu yang begitu selesai didengar di HP, orang bisa membuat versi Karaoke-nya sambil mengguyur tubuh atau berkumur-kumur di kamar mandi.

That’s it. Luxury is in simplicity. Kemewahan yang sebenarnya terletak pada kesederhanaan.

Oh iya. Ada lagunya yang menurutku cukup bagus. Latarnya sangat personal karena diangkat dari kisah pribadinya sendiri, yakni momen ketika ditinggal oleh ayah tercinta. Beberapa orang merasa relevant dan relate pula dengan lagu itu. Bahkan ada yang menyanyikannya di acara keluarga. Barangkali lirik hasil kolaborasi Rimanda Sinaga dan Subandri Simbolon menyentuh mereka.

Sedikit catatan kritis: Dalam taksonomi ende Batak Toba, liriknya masuk ke kategori ende andung (lagu ratapan). Jika hendak diletakkan sejajar dengan andung Batak lainnya, lagu ini butuh penyederhanaan di bagian tertentu, dan polesan di bagian lain.

Judul lagu itu “Posma Roham Dainang”. Ini lirik dan video Youtube-nya. Cekidot.


POS MA ROHAM DAINANG

Tingki parro ni bot ni ari

Hundul Dainang, huhut malungun

Mancai borat do di rohana

Dung borhat Damang

tu haroburan i

 

Uli pe sinondang ni bulan

Mambahen roha, sonang humaliang

Alai Dainang sai mardok ni roha

Boha bahenon pasonang roha na i

 

Reff:

Posma roham ale Inong na burju

Nungnga tung sonang sohariburan i

Damang di siamun ni Tuhan i

Sai tagogoi ma lao martangiang

Bereng ma hami angka gellengmon

Na sai tontong manghaholongi ho

Unang be sai tartundu malungun

Naro do angka ari na uli i

 

Nama para kru yang terlibat tercantum di video.

Konon, selain aku, banyak pula yang masih masih menunggu karyanya yang berikutnya setelah dia mengalami pencerahan (enlightenment) ini.

Lirik “Dekke Jahir”

Di naro simatuakku
mandulo boru nai.
Diboan do deke jahir na sai.
Mekkel suping ma attong da.
inang ni dakdanak i.
Mida dekke binoan ni inantai.

Ai di na ro, simatuakku
lao mandulo borunai.
Ai diboan do dekke jahir
diboan do dekke jahir nasai.

Ai dohot do dongan sahuta
jala longang mida i.
Mida dekke binoan ni inanta i.
Ai rohakku pe tarhirim
jala longang mida i.
Dekke jahir binoan ni inanta i.

Ai di na ro, simatuakku
lao mandulo borunai.
Ai diboan do dekke jahir
diboan do dekke jahir nasai.

 


Unpopular fact:

Di banyak media dan sumber berita, disebut bahwa lagu Batak Dekke Jahir (Dengke Jahir) adalah lagu lawas ciptaan Yan Sinambela, salah satu personil group komponis Guru Nahum Situmorang. 

Misalnya, di salah satu kanal Youtube dengan tangkapan layar ini.

Tapi, coba dengarkan lagu Cotton Field ini.

Sama nada dan motif lagunya? Ya. Karena memang lagu yang sama.

Maka, kalaupun dinyanyikan ulang dengan bahasa berbeda, sangat arif jika tidak ada klaim bahwa Dekke Jahir adalah ciptaan Yan Sinambela. Menulis lirik baru atas lagu yang sudah ada? Barangkali iya. Dalam hal itu, unsur “mencipta” dilakukan Yan Sinambela. Padahal, sebuah lagu itu mencakup musik dan lirik. Tak hanya lirik. Kembali ke awal lagi: Tidak benar lagu tersebut ciptaan Yan Sinambela.

Saya tak lantas menyebut ini tindakan plagiarisme atau pembajakan sebab tidak punya cukup informasi apakah Yan Sinambela sudah meminta izin dan mendapat izin dari Creedence Clearwater Revival, pemilik asli lagu tersebut, atau pewarisnya.

Lagu itu sudah sangat lawas sehingga tak perlu izin untuk remake atau menculik nada dan motifnya tanpa mention penulis asli lagu? Tunggu dulu. Hak cipta dan royalti berlaku 70 tahun.

Jika benar pembajakan, ini menyedihkan. Sebab pembajakan itu menghilangkan motivasi dan kreatifitas pencipta. Padahal, motivasi dan kreatifitas adalah dua aset paling berharga yang dimiliki seorang seniman. Selain waktu, tentu saja.

Menghilangkan dua aset berharga itu berarti nyata-nyata menodai “proses berkesenian”, menyitir kata seorang seniman dari Jogja, Rimanda Sinaga.