Q & A: Benarkah Pemerintah (Perlu) menyewa Influencer?

Q: Apa sih itu influencer?

A: Wah, panjang ini. Kita mulai dengan penjelasan akademis dulu ya. Jadi, gini. Masyarakat itu kan ada yang aktif dan pasif. Orang yang aktif entah mencari pengetahuan, aktif sekolah dan aktifitas-aktifitas sosial. Orang dari golongan ini memiliki status sosial dan memiliki pengetahuan yang lebih besar dibandingkan yang pasif. Orang aktif ini biasanya ada si strata yang lebih bagus. Di era sebelum ada media sosial, mereka inilah yang disebut opinion leader, atau pemuka pendapat. Mereka ini adalah tempat orang bertanya. Mereka juga sering memberikan informasi dan nasihat. Akibatnya, orang ini dipercaya dan bisa sangat berpengaruh di lingkungannya hingga di luar lingkungannya juga.

Orang seperti ini sudah ada inheren dalam kehidupan sosial masyarakat kita sejak dulu.

Q: Contohnya?

A: Sebelum era digital lazim dikenal masyarakat yang polimorfik. Pada konteks ini, opinion leader aktif di berbagai hal, dianggap tahu berbagai hal. Dukun, datuk, kyai, ulama dan sejenisnya adalah contoh opinion leader. Tidak hanya di bidang agama, tetapi juga kerap di bidang keilmuan lainnya. Nah, ketika dunia berubah, sekarang terjadi spesialisasi, akhirnya opinion leader ini pun menjadi monomorfik, mengikuti karakter baru masyarakat juga. Maka, kalau ngomong kesehatan, tanya ke dokter, misalnya. Kemudian ketika muncul media digital atau media sosial ini, dimana masyarakat bisa aktif tidak hanya dunia fisik tapi juga dunia maya, maka konsep opinion leader ini naik ke dunia maya atau media social. Ini berkembang menjadi sebuah profesi. Inilah yang disebut sebagai influencer atau opinion leader dunia maya. Kalau saya punya follower 1 juta, maka berarti saya bisa mempengaruhi atau membagikan informasi ke jutaan orang. Berarti kan menjadi sebuah media sudah. Dia menjadi institusi yang dibutuhkan dalam konteks marketing dan opinionisasi.


Q: Perbedaan antara influencer dan intelektual itu apa sih? Posisi sosiologis mereka seperti apa sih?

A: Kalau kamu intelektual kemudian punya akun Youtube, halaman Facebook atau Twitter, sering share pengetahuan membuat orang lain dapat informasi dan pencerahan dari kamu, lama-lama kamu diikuti banyak orang, maka kamu adalah intelektual yang menjadi influencer. Tetapi kalau kamu adalah intelektual yang hanya di kamar atau di kampus, dan hanya di lingkungan terbatas itu, maka belum tentu jadi influencer. Jadi, bedanya: intelektual itu pengaruhnya hanya pada lingkungan akademis, sementara influencer adalah orang yang dengan kelebihan tertentu memberikan pengaruh ke banyak orang. Influencer ini bisa siapa saja, bisa akademisi (yang menempuh Pendidikan di bidang keilmuan tertentu), bisa juga sembarang orang yang memang punya authority untuk berbicara di bidang tertentu tanpa harus memiliki titel pendidikan formal untuk itu.


Q: Sumber pengaruh ini darimana?

A: Ada yang karena kemampuan pengetahuannya. Ada juga karena passion, art atau seni tersendiri yang bisa membuat konten yang menarik.

Q: Kenapa mereka kita sebut influencer, bukan entertainer? Bukankah basicly pengaruhnya datang dari menghibur?

A: Bisa saja. Karena kan entertainer kan tidak selalu ada di media sosial. Kamu menjadi penabuh kendang pada acara dangdutan ketika ada hajatan nikah orang, misalnya, kamu itu entertainer juga disitu. Fungsi sosialnya memang bisa sama. Maka, kekhasan influencer: ia muncul di media sosial.


Q: Seorang disebut influencer karena punya pengaruh ke banyak orang, sehingga output-nya adalah orang banyak mengikutinya. Artinya kalau misalnya Atta Halilinta, pengaruh apa yang diberikan ke orang lain sehinggga orang lain mengikuti?

A: Pertama, influencer di media social itu tidak mesti berarti orang harus mengikuti perilaku influencer. Yang penting orang mengikuti akunnya dulu, jadi follower atau subscriber dulu.


Q: Tetapi kan dalam landscape media digital sekarang, jumlah follower itu bisa direkayasa? Bagaimana cara memverifikasi atau memvalidasi kemampuan pengetahuan/influence dia?

A: Namanya influencer ini ikan yang dijual adalah kepercayaan/trust. Kalau dia ketauan ternyata subscriber-nya abal-abal, itu akan menghancurkan dirinya sendiri. Rekayasa-rekayasa yang di luar kejujuran akan menghancurkan dirinya sendiri. Fakta sederhana sangat penting diketahui, terutama bagi orang yang mau masuk dan terjun ke dunia baru ini, yakni komunitas kreator konten  di media sosial.


(Terutama ini jelas terlihat di Youtube. Lihatlah kegelisahan seorang Izzy sampai dia membuat kritik tajam terhadap para Youtuber yang hanya perduli AdSense, tapi tak perduli dampak ke masyarakat)

Kalau dia ternyata ketahuan, maka dia akan dihabisi oleh para follower atau kompetitornya. Dibuka borok-boroknya. Hancur sudah. Fakta itu speaks louder than words. Karena jejak digital ada, maka termasuk rekayasa follower ini juga tercatat, sebaiknya jangan dilakukan.


Q: Perbedaan soal influencer sama buzzer itu apa sih?

A: Influencer ini selalu berbasis skill dan pengetahuan. Bisa juga kreatifitas atau penampilan yang menarik. Kadang-kadang mereka ini menempuh pendidikan formal untuk itu. Tetapi kalau buzzer, ini ikan dari kata buzz (mendengung). Intinya hanya untuk menyampaikan informasi yang sama secara terus-menerus, berulang-ulang. Di dunia buzzer, tidak penting identitas. Karena dasarnya adalah kemampuan untuk menebar, menyebar dan memunculkan kebenaran semu. Kita tahu bahwa di media sosial, mereka ini lebih sering menimbulkan kegaduhan. Maka, ketika kamu mengeluarkan sebuah pendapat, lalu kamu diserang ribuan buzzer, bisa saja kamu merasa seakan-akan kamu sudah hancur. Padahal belum tentu yang kamu suarakan itu salah. Media sosial ini sekarang sudah menjadi sebuah medan perang. Perang apa? Perang buzzer, perang proxy, cyber army battle. Perang yang dilatari oleh kepentingan-kepentingan, entah itu kepentingan politik, ekonomi atau motif komersil lainnya.


Q: Buzzer ini ada pengaruhnya nggak sih pada kehidupan sosial?

A: Sayangnya, ada. Karena fenomena buzzing ini bisa menimbulkan kebenaran semu. Jadi sangat bisa berpengaruh pada kehidupan nyata.


Q: Tapi bukankah seharusnya kalau orang sudah lama bermain media sosial, mereka kan seharusnya sudah paham apa yang terjadi?

A: Faktanya: tidak selalu begitu. Kita lihat saja contoh konret, bagaimana hoax bisa mengubah lanskap media sosial di banyak negara, bahkan di negara maju: ada fenomena post-truth di Amerika Serikat, menangnya Brexit, dan lain-lain. Karena itu, ada fakta yang patut disyukuri: Indonesia cukup berhasil dalam melawan fenomena post-truth, hoax dan buzzer tadi.

Q: Indikator keberhasilannya apa?

A: Persisnya tidak bisa disampaikan semua disini. Antara lain, KPU waktu itu diundang negara Barat untuk presentasi dan ditanyai bagaimana caranya kok bisa menang melawan fenomena post-truth.


Q: Buzzer ini akan sangat diuntungkan ketika digital literacy ini sangat rendah di masyarakat, memanfaatkan ketidakmampuan masyarakat untuk mengelola dan mengolah informasi. Begitu ya?

A: Ini hal menarik juga, karena anehnya di negara-negara maju yang penduduknya dianggap lebih cerdas dan banyak membaca, dianggap lebih matang dari segi praktek berdemokarasi dan pendidikannya, tetapi akhirnya ketika identitas mereka diusik dari sisi keagamaan dan ras, kok malah ada kesimpulan entah sadar maupun tidak sadar “oh iya, kami memang tidak suka dengan kelompok-kelompok yang berbeda dengan kami”


Q: Berarti kemampuan buzzer dan media digital dalam memecah-belah masyarakat ini overstated, dilebih-lebihkan? Karena memang faktanya masyarakat kita sudah terbelah.

A: Memang itu yang terjadi. Masyakat ini memang beragam. Riset Oxford mengatakan bahwa sebagian besar negara (at least tercatat 70 negara) ini ada buzzer. Buzzer ini ya untuk perang tadi. Ada yang dipakai oleh pemerintah, partai politik, perusahaan, politikus.


Q: Kalau Prof Henry sendiri risetnya bagaimana?

A: Data ICW yang menyebut 90 M itu untuk influencer, terutama 10 M dari Kemkominfo, itu banyak sekali salahnya. Karena kalau di Kemkominfo, dana itu digunakan bukan untuk membayar influencer, tetapi untuk pelatihan digital literacy di seluruh Indonesia untuk meniptakan anak-anak yang menguasai teknologi: bisa bikin konten, bisa bikin video, vlog dan lain-lain. Nah, memang yang melatih itu adalah para volunteer, yang memang adalah sudah influencer selama ini. Namun, mereka tidak diberi uang miliaran seperti diberitakan. Contohnya: ada aturan di adminsitrasi pemerintahan, seorang pembicara itu dibayar tidak lebih dari 3 juta dalam satu sesi bicara. Tetapi, lagi-lagi karena ini di media sosial, tempat berperang, maka orang yang datang dengan tafsir liar pun bisa menguasai panggung wacana publik.


Q: Jadi, persisnya kalau yang dari Kemkominfo itu, program yang disebut menyewa influencer ini bagaimana sih?

Memang ada. Yossie itu ketua relawan Cyber Kreasi. Tetapi sekali lagi, ini yayasan yang berisi relawan untuk melakukan digital literacy. Maka kalau mereka disebut menerima uang besar hingga miliaran, itu tidak benar. Kasihan dia. Dia jadinya bisa dapat nama jelek karena tafsir sembarangan dari pihak tertentu.


Q: Tetapi Prof, ini tetap tidak sepenuhnya memuaskan pertanyaan “Mengapa institusi negara atau pemerintah mau menghire influencer“?

A: Ini realita. Di era disrupsi ini, media utama konvensional kan mengalami penurunan fungsi. Artinya kalau tujuannya untuk menyebarkan informasi, pemerintah sadar dan mengakui memang perlu untuk menggunakan influencer, tetapi dengan catatan: hanya untuk keperluan yang sifatnya bukan menyangkut public policy. Jadi, program influencer ini ya urusannya untuk yang cocok dengan bidang influencer-nya juga. Misalnya untuk program-program pariwisata atau travel, bagaimana supaya orang jadinya semakin mengenal Mandalika, Labuan Bajo dan lain-lain. Influencer itu biasanya dimaksudkan untuk yang seperti itu.


Q: Sebagai seorang sosiolog, ada kesan bahwa semakin sering pemerintah menggunakan influencer ini mengindikasikan bahwa semakin berkurangnya public trust kepada pemerintah sehingga pemerintah merasa perlu untuk meng-outsource influencer swasta.

A: Kami yang di Kemkominfo itu ya kayak Humas. Humas itu manager, kerjanya ya me-manage, mengatur. Maka, bukan lalu pemerintah atau PNS yang bekerja di Kemkominfo jadi harus pegang mikrofon dan langsung ngomong bikin podcast atau bikin konten video. Pemerintah itu hanya me-manage strategi komunikasi. Dalam strategi itu bebas saja menggunakan talent-talent yang ada, termasuk ya influencer-influencer tadi, orang-orang dengan pengaruh yang datang dari sektor swasta itu.

Perihal public trust. Ini kan ada cara mengukurnya. Ada cara ilmiahnya, yaitu dengan polling. Lihatlah bagaimana hasil polling, seberapa besar kepercayaan rakyat terhadap pemerintahan sekarang.


Q: Tetapi bukankah patut diduga kalau ternyata lembaga polling itu pemiliknya berafiliasi dengan pemerintah atau mereka yang berada di lingkaran kekuasaan, hasil polling bisa diatur juga?

A: Wah, inilah uniknya netizen Indonesia. Apa-apa dipandang dari sudut politis. Tak semua itu bermuatan politik.

 

 

Kamu sendiri bagaimana? Setuju/tidak kalau pemerintah menggunakan jasa influencer?


Ini adalah transkripsi bebas Saya atas interview Zulfikar Amri dengan Prof Henry Subiakto (Guru Besar Komunikasi Universitas Airlangga sekaligus Staf Ahli Menkominfo Bidang Hukum) dengan penambahan dan penekanan dari Saya di beberapa tempat.