Mengenalmu Itu Tak Mungkin

Kamu dan Namamu

Sebelumnya, sejauh kutahu: Kamu itu ada dua.

Satu, kamu. Dua, siapa sebenarnya kamu.

Oh iya. “Dea namaku”, katamu waktu itu. Kutahu, lengkapnya: Idea.

Kamu yang Kukenal

Maka, semua berubah sejak saat itu.  Kau kupakai dimanapun dan kapanpun aku mau. Untukku.

Baju yang kupakai ya baju yang pernah kamu lihat. Celana yang kukenakan ya celana yang pernah kamu setrika. Bahkan, tubuh ini ya tubuh yang kamu pernah sentuh. Bahkan, pikiranku ya pikiran yang pernah kupertukarkan denganmu.

Untuk mengenalmu, kupikir cukup. Tak perlu membaca tulisanmu, tak perlu bertanya pada dua manusia yang membesarkanmu – yang kau sebut “Papa” dan “Mama”, tak perlu sibuk mencari informasi dari teman-temanmu, bahkan kamu tak perlu bercerita apapun padaku. Kupikir, aku sudah mengenalmu.

Tapi, sungguh, kamu itu siapa sebenarnya?  Ketika aku tak ada, kamu itu siapa?

Terpaksa kutanya tiga teman tempatku bertukar cerita: Berkeley, Leibnitz dan Russel. Dari mereka aku tak mendapat apa-apa. Malah bertiga kompak mencecarku dan jadinya malah penasaran denganmu. Tak sanggup meladeni ribuan pertanyaan yang mereka ajukan. Padahal, semuanya: tentangmu.

Aku jadi sadar. Aku tak bisa kembali lagi ke masa sebelum bertemu denganmu. Hasrat untuk mengenalmu menjadi semakin besar. Apa boleh buat. Sudah terlanjur.

Kamu yang Kugambar

Oh iya, aku pernah mencoba menggambarkanmu. Kulit putih, tinggih 165 centimeter, rambut lebat sebahu. Perempuan, tentu saja. Eh, bentar, perempuan itu apa?

Suaramu renyah di telinga. Ketika kamu berbicara, aku bisa mendengarmu jelas sekali meski coffee shop tempat kita bertemu memutar Highway to Hell-nya AC DC kencang sekali. Ketika mukamu memerah saat tanganmu tak sengaja menyentuh bahuku, aku ingat bagaimana rasanya.

Fixed, kupikir cukup. Aku sudah tahu siapa kamu.

Tanpa perlu menulis dan membacanya kembali, aku kenal warna kulitmu. Aku tahu lekuk tubuhmu. Bahkan, letak tahi lalat dan bekas luka itupun aku sudah hapal. Oh iya, pipimu yang lembut itu. Mengapa selembut itu, sementara watakmu sekeras batu?

Aku tak ragu lagi. Tak mungkin lagi aku tertipu atau bingung membedakanmu dari perempuan lain. Dengan Naama, Mestama, Lilith, Eva. Apalagi dengan Ribka yang kalau tertawa itu seisi ruang menoleh menatap curiga.

Tapi, benarkah kamu hanya itu? Bagaimana dengan sisi dirimu yang belum kau tampakkan padaku?

Waduh. Aku terdiam sejenak. Sekilas ragu menghampiri, sekelebat seperti cahaya kilat ophanim yang menyertai Uriel ketika mengunjungi nabi tua. Ada suara menggelegar di kepalaku: “Hey, kamu belum mengenal Dea. Dea ada. Itu saja yang kamu tahu”

Aku jadi curiga. Bagaimana kalau perempuan setinggi 165 centimeter, rambut lebat sebahu, pipi lembut dan ciri lain yang kamu punya ternyata ada pada Naama, Mestama, Lilith, atau malah juga ada pada Ribka.

Ternyata, kamu lebih dari apa yang bisa kugambar.

Sebentar, samakah kamu yang dulu kukenal dengan kamu yang kugambar saat ini?

Aku lirik kembali baju yang pernah kamu lihat, celana yang pernah kamu setrika, tubuhku ini ya tubuh yang kamu pernah sentuh, bahkan kucoba mengingat cerita yang pernah kubagi denganmu. Sama saja.

Tapi mengapa kamu jadi terasa berbeda?

Dea yang kukenal dan kugambar, itukah semua dirimu?

Kamu menurut Orang Lain

Keraguan ini cukup menyiksa kini.

Pertanyaan “Siapa Dea?” semakin sering menghampiriku. Kamu, tentu saja ada. Baru kemarin aku menyentuh tanganmu ketika kamu menghadiahkanku sebuah sapaan “Selamat Pagi” yang hangat. Bahkan, semalam baru saja kita berbincang di Voice Call Whatsapp hampir berjam-jam lamanya.

Tapi kini kamu mulai abstrak bagiku.

Aku tak mau begini. Tentu aku tak rela kehilanganmu.

Maka kucari pada orang-orang tentang siapa Dea bagi mereka. Kutanyai universe perihal dirimu.

Kamu yang kuingat

Banyak data yang kutimbun. Hasil pencarianku. Tentu, seperti sebelumnya: semua tentangmu.

Percaya pada ingatanku, kusimpan semuanya disana. Supaya setiap kali aku membutuhkanmu, aku tahu harus mencari dimana.

Seperti layar besar, ingatanku memutar semua adegan tentangmu. Matamu. Pipimu. Lekuk tubuhmu. Loud speaker khayal menggemakan suaramu, lengkap dengan timbre dan frekuensi yang kuyakin itu pasti suaramu.

Aku berharap, semoga gudang ingatanku tetap aman. Jangan sampai pencuri datang dan mengacak-acaknya. Aku tak ingin datang kembali kesana dan menemukanmu menjadi orang yang berbeda. Sudah susah-payah aku mengenalmu. Aku tak mau kalau harus memulai semuanya dari awal lagi.

Kubulatkan tekad. Akan kukunci gudang ingatan ini dan kubuang kuncinya ke laut kenyataan yang luasnya tak bertepi, supaya tidak seorangpun bisa menemukannya kembali.

Sesaat sebelum aku menutup semua ruangan di gudang ingatan, kupastikan bahwa semua kotak ingatan sudah bertulis namamu. Tiba-tiba, kilat itu datang lagi. Kilat ragu yang kini tidak lagi  disertai petir menggelegar dan bara ophanim, tapi sendu menusuk bak paduan suara cherubim:

“Itu Dea yang kamu kenal dari masa lalu. Dea versi sejarah lampau. Kamu yakin tidak ingin menyisakan ruang bagi Dea di masa sekarang? Bagaimana kalau Dea berubah di masa depan?”

Ragu yang gelap pekat sehitam Tartarus menggodaku. Kuurungkan mengunci gudang ingatan itu.

Aku tersadar, pencarianku tentangmu belum selesai. Sebenarnya, baru saja dimulai.

Kamu yang Kuamati

Kubiarkan gudang ingatan terbuka lebar. Biarkan saja.

Jika ada pencuri yang penasaran hendak melihat-lihat isinya, biarkan saja. Aku punya kuncinya. Aku tak punya alasan untuk khawatir. Toh gudang itu gudangku. Semua kotak harta karunku jelas kutulis dengan label namamu. Dea-ku.

Tak ingin kehilangan jejakmu, kuputuskan sejak saat ini aku akan mengamatimu. Lekat. Dekat.

Tiba-tiba ada yang aneh. Ketika mengamatimu, aku seperti menonton orang lain yang mengawasimu. Laki-laki yang pandangannya tertuju padamu tanpa berkedip sedetikpun. Kutanya semesta, siapa lelaki itu? Cherubim yang sejak tadi duduk disampingku berkata: Lelaki itu ya kamu. Sialan.

Tetapi cahaya yang dibawa malaikat itu sangat terang. Aku jadi bisa melihat dengan jelas. Aku melihat diriku yang sedang menatapmu. Aku melihat diriku yang sedang minum kopi bersamamu. Aku melihat diriku mengajakmu berjalan kaki di pesisir pantai yang kita kunjungi bulan pertama kita resmi jadian itu. Aku bahkan melihat diriku yang menikmati tubuhmu dengan gairah menggebu ketika aku menginginkanmu itu. Aku melihat semua yang kulakukan denganmu.

Selain dirimu, aku akhirnya melihat hal lain. Aku kini melihat senyum di wajahku. Kenikmatan di sekujur ragaku ketika memelukmu. Rasa sakit dan penderitaanku. Malam-malam kesepianku ketika kamu jauh dariku. Aku kini melihat dua orang: aku dan kamu.

Masihkah kamu Dea yang sama, jika kuberitahu semua ini?

Apakah kamu masih Dea yang sama ketika aku tersenyum dan ketika aku meringis kesakitan?

Kutanya diriku, tak ada jawab. Kuingat tadi cherubim yang duduk di sampingku. Mengapa tak kutanya saja pada malaikat yang mahatahu itu? Sayang sekali, kutoleh ke samping, ternyata dia sudah berambus pergi mengangkasa. Sepertimu, meninggalkanku.

Oh iya. Mengapa tak kutanya pada Azazel, kucing kesayangan kita berdua itu?

Pusss, pusss. Dimana kucing manja yang suka berak sembarangan itu. Ini dia. Sembunyi di balik gudang ingatan. Kupikir orang akan menganggapku gila sebab mencoba mengajak seekor kucing berbicara.

“Azazel, menurutmu gimana? Siapa Dea kesayangan kita itu?”

Azazel hanya mengibaskan ekornya. Wajahnya tampak merengut, membuatnya imut bercampur seram dengan kumis panjang dan kukunya yang keluar seperti hendak mencakarku. Kuanggap itu jawaban. Jawaban yang persis sama dengan anggapan orang. Seperti binatang lainnya, Azazel kucing kesayangan kami pun tidak pernah sadar sampai memikirkan sosok Dea seserius diriku. Dasar binatang.

Untuk sesaat, kupikir cukuplah kukerahkan daya upaya untuk mengenalmu, wahai Dea-ku.

Meski yang kudapat hanya Dea yang kukenal, Dea yang kugambar, Dea yang kuamati, Dea yang kuingat, dan kata orang tentangmu. Semua ini kesepakatanku tentang Dea. Aku yang menyepakatinya dengan orang lain yang mengenalmu. Sebab mereka pun punya konsep tentang siapa Dea.

Jujur saja, ini tak sungguh memberiku kepastian, yang manakah dirimu.


Oh iya. Sudah larut malam. Besok kita akan bertemu.

Mengapa tak kutanya saja dirimu:

“Dea, kamu itu siapa?”

 


Ini adalah parafrase bebasku terhadap tulisan Bertrand Russel ketika ia berbicara tentang idealisme dalam "The Problems of Philosophy"