Penulisan Skenario: Menciptakan Karakter (bagian 2)

Pada ulasan sebelumnya kita sudah belajar tentang betapa kompleksnya perumusan karakter dari seorang tokoh. (Kalau dibilang rumit, memang rumit. Siapa bilang jadi penulis skenario itu gampang?).

Sekedar mengingatkan, ada 3 fase karakter: Sejak lahir, ketika menjalani hidupnya, dan saat film dimulai. Semua fase  ini tentu menghasilkan banyak detail, data dan deskripsi yang sudah ada di kepala kita sebagai penulis. Pertanyaannya, semua ini tujuannya untuk apa? Apa hubungannya dengan si tokoh nanti ketika memainkan lakon/perannya dalam film?

Aspek Karakter

Hubungannya adalah untuk menjembatani premis dengan plot (alur cerita). Jembatan yang dimaksud adalah pemetaan atas empat aspek karakter, yakni kekuatan (strength), kelemahan (weakness), keinginan (wants) dan kebutuhan (needs).

Darimana kita mengetahui keempat aspek ini? Tentu saja dari ketiga fase karakter, terutama di fase ketiga (yaitu karakter saat film dimulai). Caranya: dengan memfokuskan setiap keterangan yang kita dapat dari fase-fase karakter menjadi rumusan yang menggambarkan kepribadian si karakter.

Kata kunci ‘memfokuskan’ disini penting sebab tidak semua keterangan pada fase karakter langsung menentukan aspeknya. Misalnya: Karakter atau tokoh utama pada cerita film yang kita rancang adalah seorang bernama Agnes dengan atribut 1) wanita, 2) berusia 17 tahun, 3) pernah jatuh cinta dengan teman sekelasnya, dan 4) berambut panjang. Keempat atribut ini adalah fase karakter pada saat lahir dan saat menjalani kehidupannya. Atribut 1) sampai 3) barangkali turut menggambarkan kepribadiannya, tetapi tidak dengan atribut 4) yakni “rambut panjang” . Karena itulah kita perlu memfokuskan mana keterangan fase karakter yang akan kita buat sangat mempengaruhi kepribadian si karakter, dan mana yang tidak.

Kita akan coba melakukan analisa pada film Cek Toko Sebelah dengan dua tokoh utamanya adalah Ko Afuk (pemilik toko) dan Erwin (putra kedua Ko Afuk).

 

Strength (Kekuatan)

Kekuatan adalah kualitas baik dari karakter yang disukai penonton. Ini kepribadian karakter yang biasanya dominan lebih cepat nempel di ingatan penonton.

Strength Koh Afuk adalah pemilik toko yang baik hati. Dia perhatian terhadap pegawainya. Dia juga ramah dengan pelanggannya, bahkan sampai sering memberi utangan. Selain itu, dia juga tidak pelit membantu karyawannya yang kesulitan keuangan.

Sementara itu, strength Erwin adalah pintar, karirnya sukses, pekerja keras dan sangat menguasai teknologi.

Dari sini, kita tahu bahwa kualitas baik atau strength ini bisa banyak, bisa juga hanya satu. Kerap kualitas itu sederhana. Yang penting, penonton bisa merasakan dan mengingat kualitas baik apa yang membuat seorang karakter unggul.

 

Weakness (Kelemahan)

Weakness (kelemahan) adalah kebalikan dari strength tadi. Inilah kualitas yang membuat seorang karakter dinilai tidak unggul atau jadi tidak disukai oleh penonton.

Pada Cek Toko Sebelah, kelemahan Ko Afuk adalah pilih kasih terhadap anak-anaknya. Karena ia melihat anaknya si Erwin lebih pintar dan rajin belajar, ia lebih memilih Erwin dibandingkan anak sulungnya Johan yang tidak teratur hidupnya, begajulan, belum jelas karirnya, dan jangan lupa juga pengaruh ketidaksukaan Ko Afuk pada wanita pilihan Johan.

Sama seperti strength, kualitas tidak baik atau yang tidak disukai ini bisa ini bisa banyak, bisa juga hanya satu. Kerap kualitas itu juga ditampilkan sekilas saja. Yang penting, penonton bisa merasakan dan mengingat kelemahan karakter itu.

Sampai disini, mungkin kita belum secara jelas melihat bagaimana aspek karakter menentukan plot. Akan semakin jelas ketika kita membahas dua aspek lagi, yaitu keinginan dan kebutuhan karakter.

 

Wants (keinginan)

Wants adalah aspek karakter yang membantu penulis dan penonton untuk merumuskan plot atau alur cerita film, terutama dalam hal menajamkan konflik (dari sisi penulis) atau menangkap konflik (dari sisi penonton).

Dalam Cek Toko Sebelah, konflik terjadi karena keinginan Ko Afuk berbeda dengan keinginan Erwin. Ko Afuk ingin mewariskan tokonya kepada Erwin karena melihat sifat Erwin yang baik, percaya diri, pintar dan kuliah di luar negeri. Tetapi Erwin ingin mempertahankan pekerjaannya sebagai direktur di sebuah perusahaan MNC (multinational company) yang bergaji besar, banyak remunisi dan fasilitas lainnya. Erwin masih ingin mengejar karirnya ke jenjang yang lebih tinggi. Seperti yang bisa kita tebak, konflik terjadi. Konflik timbul karena keinginan kedua tokoh utama ini tidak bersambung.

Pada tahap ini, sebagai penulis skenario juga kita harus memfokuskan lagi. Sebab setiap tokoh/karakter bisa saja memiliki beberapa keinginan. Tetapi yang kita fokuskan adalah keinginan-keinginan mana dari tokoh-tokoh utama yang menggerakkan jalannya cerita.  (Pada saat proses penulisan skenario sedang berjalan, kerap penulis lupa dengan prinsip ‘memfokuskan’ ini karena lupa mencatatnya dan menuangkannya ke dalam kerangka cerita/sinopsis/outline).

 

Needs (Kebutuhan)

Kebutuhan ini sifatnya lebih filosofis. Ini bagian paling rumit. Perumusan terhadap needs inilah yang biasanya akan membedakan mana screenwriter/penulis naskah yang sudah berpengalaman dan mana yang baru pemula.

Kebutuhan yang dimaksud disini adalah kebutuhan yang sangat mendalam pada diri seorang karakter, terutama karakter/tokoh utama.

Dari skala hierarki kebutuhan (hierarchy of needs) yang ditulis oleh filsuf Abraham Maslow, ada 5 perangkat kebutuhan dasar manusia, yakni sebagai berikut.

  1.  Phsycological need (kebutuhan psikis)
  2.  Safety needs (kebutuhan akan rasa aman)
  3. Love needs (kebutuhan akan cinta)
  4. Esteem needs  (kebutuhan akan pengakuan/penghargaan)
  5. Self-actualization needs (kebutuhan akan pengaktualisasian diri)

Mengapa aspek kebutuhan ini lebih sulit dirumuskan karena memang tidak terlihat jika hanya sekilas oleh penonton. Jika alur cerita film kita ibaratkan sebagai pohon, maka wants-nya adalah daun dan cabang (penonton secara umum bisa melihat). Sementara needs-nya adalah akar pohon (yang tidak bisa dilihat oleh penonton, kecuali penonton menggali lebih lanjut atau menganalisis film tersebut secara serius setelah menontonnya). Analogi atau perumpaan ini sangat tepat sebab tanpa akar, jangankan berakar dan bercabang, sebatang pohon tidak bisa hidup. Tanpa need yang dirumuskan dengan jelas oleh penulis naskah, jangankan menjadi menarik, film tidak akan memiliki alur cerita yang jelas (sehingga membingungkan penonton).

Masih menggunakan contoh Cek Toko Sebelah, Ernest Prakasa, sang sutradara dan penulis cerita menyampaikan bahwa needs Ko Afuk (tokoh utama) adalah ingin memiliki sebuah legacy. Ia ingin mewariskan sesuatu yang berarti dan bisa dikenang terus oleh anaknya dan cucu-cucunya kelak.

Film Cek Toko Sebelah menjadi menarik karena ternyata di akhir cerita, keinginan Ko Afuk ingin mewariskan toko kepada Erwin tidak terjadi. Bahkan, tokonya tidak ada lagi. Sudah berganti menjadi studio foto, yang dikelola oleh John dan pacarnya. Kendati keinginan Ko Afuk tidak terjadi, tetapi jalan cerita film masih masuk akal dan konsisten. Mengapa? Karena masih sesuai dengan needs Ko Afuk, yakni ingin mewariskan apa yang ia miliki kepada anak-anak dan cucu-cucunya kelak. Wants tidak tercapai tetapi needs Ko Afuk tetap tercapai. Maka, kita bisa simpulkan bahwa Cek Toko Sebelah akhirnya berakhir bahagia (happy ending).

Penonton akhirnya sampai ke pada akhir cerita. Kemungkinan besar, itu pula yang paling diingat penonton dibandingkan semua atribut pada fase karakter (ada 3 fase) dan aspek karakter (ada 4 aspek). Akan tetapi, bagi penulis, adalah tugasnya untuk memetakan dan mematangkan fase karakter dan aspek karakter, karena hanya dengan cara itulah ia bisa menyajikan cerita dari awal sampai akhir kepada penonton.


Sebagai penulis, kita harus menempatkan diri berbeda dengan perspektif yang dimiliki penonton. Penonton menangkap atribut sebuah karakter, penulis yang merumuskan dan menyediakannya. Penonton mengetahui kekuatan, kelemahan, keinginan dan kebutuhan si tokoh utama; penulislah yang bertugas merumuskan dan menyediakan konsepnya secara utuh, jelas dan playable (dapat dilakonkan, dapat dimainkan).

Unsur terakhir dari konsep naskah skenario ini sangat penting. Inilah yang membedakan karya tulisan berupa naskah skenario film sangat berbeda dengan sebuah novel/cerpen atau kisah fiksi lainnya. Pergantian dialog sangat teratur pada novel/cerpen, sementara pada skenario film sering terjadi interseksi (saling memotong) pembicaraan, sebab begitulah biasanya sebuah percakapan yang alami dan natural terjadi. Pada ajang apresiasi kepada penulis skenario pun ada dua kriteria, yakni naskah skenario terbaik dan naskah skenario hasil adaptasi terbaik (sudah Saya ulas pula di blog ini).

Penulisan Skenario: Premis

Apa itu Premis?

Kalau kita melirik kamus, “premis” adalah

sebuah proposisi (kalimat pernyataan yang bernilai benar atau salah) yang berfungsi sebagai alasan dalam sebuah konstruksi argumen

Dalam konteks filmografi atau ilmu seni peran, definisi premis sedikit berbeda. Kita akan lihat dalam tulisan ini.

Semua diawali dengan premis.

“Semua” itu memangnya apa saja sih? Ya semua tahapan pembuatan film.

Mulai dari:

1) development,

2) praproduksi,

3) produksi,

4) pascaproduksi

hingga

5) distribusi.

 

Nah, penulisan skenario ada di tahap awal (poin 1). Pada tahap ini semua SDM pembuatan film harus bahu-membahu untuk merumuskan pengembangan ide, menentukan jenis cerita, genre dan format, serta tak kalah pentingnya: penulisan skenario.

Ide untuk pembuatan film bisa datang darimana saja. Bisa dari novel, kisah nyata, atau narasi yang ditawarkan oleh investor film.

Pada tahap inilah dikenal istilah triangle system, yaitu: produser, sutradara dan penulis naskah.


Setelah mendapatkan ide mereka akan bekerjasama untuk membuat premis, sinopsis, treatment kemudian skenario. Selanjutnya produser dan sutradara menyiapkan treatment untuk menyampaikannya kepada investor. Jika berhasil, film ini akan menerima dana untuk proses produksi.

Jika belum berhasil, si triangle ini harus bekerja keras lagi untuk memperbaiki semuanya, sampai investor yakin dengan ide yang disampaikan, lalu setuju mendanai. Sebab, sama seperti di industri manapun, ide secerdas apapun tak akan terjadi tanpa dana, bukan?


Oke. Sebelum melebar dan memanjang kemana-mana, kita kembali ke penulisan skenario, di topik P-R-E-M-I-S.

Sekali lagi, dalam konteks penulisan skenario: Apa itu premis?

Ide dasar.

Film yang sedang dirancang ini, ceritanya tentang apa?

Dengan teknik empati, seorang penulis skenario harus menempatkan diri sebagai penonton: Mengapa Saya sebagai penonton harus menonton film ini?

Karena itulah, premis harus matang dulu di awal. Matang bukan berarti harus lengkap dan serba detail lho ya. Jadi tidak mungkin ujuk-ujuk kita mulai dengan sinopsis, karakter dan sebagainya.

Dari mana sebuah premis berasal?

Proses kreatif masing-masing orang berbeda. Sumber ide berbeda.

Ernest, dilatarbelakangi oleh jam terbang yang tinggi antara lain harus menulis naskah untuk standup comedy-nya, biasanya mendapatkan inspirasi dari keresahan atau kejujuran.

Mengapa harus sesuatu yang meresahkan atau jujur?

Karena ketika kita menceritakan sesuatu yang dekat dengan kita, kita mendapatkan sesuatu yang unik.

Ia berkisah, misalnya ketika mengerjakan film Cek Toko Sebelah.

Fakta: sampai hari ini, ibu Ernest masih memiliki toko tersebut.

Keresahan Ernest secara jujur diungkapkannya, yakni: dia tidak ingin mewarisi toko tersebut. Dia sudah lebih nyaman dengan kerja kantoran, tetapi juga tidak ingin kecewa dengan keinginan orangtua yang ingin supaya usaha warisan keluarga tersebut tidak hilang.

Maka film bercerita tentang perjalanan dan perjuangan para karakter sehingga di akhir cerita penonton memahami pesan yang hendak disampaikan Ernest, sebagai produser, sutradara sekaligus penulis naskah filmnya.

Tugas Mulia seorang Penulis Skenario

 

Keresahan juga menjadi sumber inspirasi Ernest ketika menggarap film Susah Sinyal.

 

Meskipun kejadian di film Susah Sinyal berbeda dengan kehidupan nyata Ernest sebagai seorang penulis skenario, tetapi Ernest berbagi keresahan yang sama.

Ia melihat dan mengalami sendiri bagaimana orangtua modern kerap tidak punya cukup banyak waktu untuk anak-anaknya. Ini menjadi keresahannya juga. Ia relate dengan kisah di Susah Sinyal.

Dalam konteks yang lebih luas, sebagai instrumen penyampai pesan kemanusiaan (humanity) yang sering lebih mengena, produser film dan naskah film secara moral harus menjunjung misi untuk membangkitkan kegembiraan dan harapan (gaudium et spes) atas segala keresahan, kekecewaan, kesedihan, permasalahan yang dihadapi manusia.

Maka, seorang penulis skenario mengemban tugas mulia. Ia harus berbagi kegembiraan dan harapan sejak dalam pikiran.

Konsekuensi logisnya: untuk bisa sampai ke sana, penulis naskah harus terlebih dahulu merumuskan secara jujur keresahan yang dimaksud. Barulah nanti cerita di naskah maupun ketika sudah menjadi adegan di film nanti akan relatable dengan penonton. “Relatable” maksudnya penonton bisa ikut merasakan apa yang dialami si karakter.

Pada titik ini, mungkin akan muncul kekhawatiran di benakmu sebagai penulis: “Apa jaminannya bahwa yang relatable untukku juga relatable untuk orang lain (penonton)?”

Tidak ada jaminan.

Tapi, jika kamu sensitif (dalam artian peka) terhadap nilai-nilai hidup (life values) dan terus melatihnya sehingga semakin tajam, maka sangat mungkin apa yang menjadi keresahanmu adalah keresahan banyak orang juga.

Ingat apa yang dikatakan si bapak bijak, Mahatma Gandhi:

“Kenyataan yang terbuka untukku, pasti juga terbuka untuk orang lain” 

Saya beri tahu satu rahasia. Meski ini bukan hal baru. Media berita yang menjunjung tinggi misi jurnalisme juga sadar ini. Mana-mana peristiwa yang dipikir perlu disorot supaya menjadi keprihatinan bersama atau keresahan publik, media bertugas menyorotnya sampai tuntas.

  • Kalau kamu berfikir bahwa hanya kamu yang resah dengan masa depanmu, kamu salah. Ada jutaan anak seusia kamu yang juga berbagi keresahan yang sama. Jadi, topik atau premis tentang cita-cita di masa depan akan relatable buatmu dan buat jutaan orang lain.
  • Kalau kamu berfikir bahwa hanya kamu yang resah dengan intoleransi dan dikotomi mayoritas-minoritas di Indonesia, kamu salah. Ada jutaan orang Indonesia juga merasakan keresahan yang sama. Jadi, topik atau premis tentang intoleransi dan diskriminasi akan relatable buatmu dan buat jutaan orang lain.
  • (begitu juga dengan keresahan/keprihatinan lainnya: parenting atau pola asuh yang tidak sehat, bully, perpecahan, ketergantungan pada gadget, berkurangnya interaksi nyata antarmanusia, semakin sulitnya bertemu orang yang benar-benar jujur, dan lain sebagainya).

Kupikir cukup ya. Tidak perlu ragu soal relatibility ini. Tapi tentu saja, cara dan proses yang kamu lakukan untuk mengemas premis ini menjadi screenwriting (skenario film) akan menentukan apakah pesan yang ingin kamu suarakan sampai kepada penonton atau tidak.

Jika penonton sampai menangis, tertawa terpingkal-pingkal atau merasa termotivasi menonton sebuah film, maka tujuannya sebagai karya seni tercapai. Jangan lupa, seni bertujuan untuk membangkitkan emosi manusia. Sebagai bagian penting pada tahap awal, penulis skenario pun ikut bertanggung jawab untuk itu.

Cara Terbaik Mendapatkan Premis

Apakah teknik yang dipakai Ernest adalah cara terbaik buat kamu?

Belum tentu.

Karena setiap orang memiliki metode dan proses berkesenian yang berbeda-beda. Latar belakang dan lingkungan masing-masing orang itu khas.

Sebagai anak SMA, kamu punya keresahan yang sangat mungkin berbeda dengan Ernest yang sudah terbilang sukses sebagai seniman di industri perfilman.

Ernest tidak (lagi) bergelut dengan apa yang kamu alami sekarang. Saat ini mungkin kamu sedang berada pada salah satu posisi keresahan ini

  • Sehabis SMA aku ingin melanjutkan kuliah. Orangtuaku bakal setuju nggak ya sama jurusan pilihanku nanti?
  • Sehabis SMA aku maunya langsung bekerja. Tapi, di situasi sulit seperti sekarang, lulusan SMA bisa apa ya untuk mencari kerja yang layak?
  • Di kelasku, aku sulit mendapat teman yang benar-benar sahabat. Aku harus bagaimana?
  • Perasaan, dulu perasaan tubuhku baik-baik saja. Kok sekarang aku merasa aneh. Apakah pubertas memang seaneh ini?
  • Eh, si itu, kok apa-apa disukai cowok. Memangnya aku kurang menarik apa sih?
  • (dan sederet keresahan lainnya).

Ini menunjukkan bahwa faktor usia, lokasi, kondisi sosial-ekonomi, etnisitas dan seterusnya turut menentukan proses kreatif yang cocok untukmu sebagai penulis pemula.

Oke.

Jadi, fix ya. Setiap penulis memiliki alur proses kreatifnya sendiri.

Meskipun demikian, ada prinsip yang tak bisa ditawar dalam industri perilman ini. Semuanya bergerak cepat dan efektif. Jika kamu tak cepat dan efektif, kamu tidak akan dilirik, naskahmu tidak akan pernah digunakan untuk adegan.

Prinsip apa itu?

Ini:

“Jika kamu tak bisa menjelaskan sesuatu dengan sederhana, maka kamu tak cukup mengerti”.

Pepatah ini berlaku dalam penulisan skenario. Jadi, silahkan camkan baik-baik pepatah tersebut sebelum kamu memulai proses kreatifmu. Kamu harus bisa menjelaskan ceritamu dalam satu kalimat.

Pernahkah kamu mendengar istilah elevator pitch?

Ini adalah istilah yang menjelaskan sebuah perandaian dimana kamu bertemu seorang produser ternama di sebuah lift dan tiba-tiba ia menanyakan apa yang sedang kamu kerjakan. Penjelasan panjang dan bertele-tele tidak akan membuatnya tertarik, sementara beberapa detik kemudian, ia sudah tiba di kantornya, meninggalkan kamu yang masih belepotan menjelaskan. Jelaskan dengan singkat, lugas, dan tepat.


Apa saja yang terkandung dalam premis?

Lebih lengkap, premis adalah pernyataan cerita dan masalah yang menggerakan cerita.

Dalam sebuah premis terkandung:

(1) karakter & atributnya,

(2) aksi/tindakan,

(3) situasi/tujuan.

Biasanya, ketika menulis premis, nama karakter belum disebut, melainkan menjelaskan atributnya.

Berikut contoh-contoh premis beberapa film Pixar yang terkenal (film Pixar selalu menjadi contoh yang baik, karena premisnya sederhana dan mudah diidentifikasi):

 

1. "Finding Nemo": Seekor ikan badut menantang marabahaya di samudera lepas untuk mencari anak semata wayangnya yang diculik oleh seorang penyelam tak dikenal.

2. "Toy Story": Sebuah boneka koboi kesayangan pemiliknya merasa terancam & cemburu dengan kedatangan mainan Astonot baru.

 

Sekarang apa premis ceritamu? Coba jabarkan dan identifikasi ceritamu ke dalam satu kalimat. Sisihkan dulu detail-detail, karena kita belum sampai pada tahap itu. Lihatlah big picture-nya, identifikasi strukturnya, dan jangan lekas melaju ke tahap berikutnya sebelum premis ceritamu solid.

Coba diskusikan premis ceritamu dengan teman-teman sekelasmu. Bahas bersama kemungkinan-kemungkinan lain. Tampung semuanya dan jangan kesampingkan pendapat teman-temanmu. Pada tahap ini, kamu memang harus terbuka dengan segala kemungkinan. Begitu kamu yakin dengan premis ceritamu, lanjutkan ke tahap berikutnya.

Ingat: Dalam satu kalimat premis, ketiga unsurnya (Karakter/atribut, aksi/tindakan, serta situasi/tujuan) harus ada.

 

Coba, mana premismu?


Disadur seperlunya dari Kelas.Com dan Studio Antelope