Ulas Lagu “High School in Jakarta – Niki”

Lirik “High School in Jakarta”

Didn’t you hear Amanda’s movin’ back to Colorado?
It’s 2013 and the end of my life
Freshman’s year’s about to plummet just a little harder
But it didn’t ’cause we kissed on that Halloween night
I bleached half my hair when I saw Zoe on your Vespa
It was orange from three percent peroxide, thanks to you

I needed a good cry, I headed right to Kendra’s
I hated you and I hoped to God that you knew

Now there’s drama (drama), found a club for that
Where I met ya (met ya), had a heart attack
Yadda, yadda, at the end, yeah, we burned
Made a couple U-turns, you were it ’til you weren’t, mm

High school in Jakarta, sorta modern Sparta
Had no chance against the teenage suburban armadas
We were a sonata, thanks to tight-lipped fathers
Yeah, livin’ under that was hard, but I loved you harder
High school in Jakarta, an elaborate saga
I still hate you for makin’ me wish I came out smarter
You love-hate your mother, so do I
Could’ve ended different, then again
We went to high school in Jakarta

Got a group assignment, I’ll be at Val’s place
You don’t text at all and only call when you’re off your face
I’m petty and say, “Call me when you’re not unstable”
I lie and tell you I’ll be getting drunk at Rachel’s
I wasn’t, she doesn’t even drink
But I couldn’t have you sit there and think
That you’re better ’cause you’re older
Are you better now that we’re older?

High school in Jakarta, sorta modern Sparta
Had no chance against the teenage suburban armadas
We were a sonata, thanks to tight-lipped fathers
Yeah, livin’ under that was hard, but I loved you harder
High school in Jakarta, a comedy drama
I still hate you for makin’ me wish I came out smarter
You love-hate your mother, so do I
Could’ve ended different, then again
We went to high school in Jakarta

Natasha’s movin’ to New York (New York)
Probably sometime in August (ah)
And I’m spendin’ the summer in Singapore (ah)
I’m so sad I can’t tell you shit anymore
I made friends with Abby this year (this is how I met your mom) (oh, my God)
We’re movin’ in in March or so
And although you bring me to tears
I’m glad that we gave it a go

High school in Jakarta, American summer
Had no chance against the Marxist girl with marijuana
I was your pinata, she was a star-charter
Glad she gave it to you real hard, but I loved you harder
High school in Jakarta, I won’t, but I wanna
Ask you when you talk about it, do I ever come up?
Say thanks to your mama, now we’re through
Could’ve ended different, then again
We went to high school in Jakarta


APERSEPSI

“Vibe lagunya enak banget pak … 😍”, balas Arin, seorang siswi membalas Snapgramku ini.

Seorang lainnya, sebut saja namanya Sam membalas:

“Ya mungkin klo dri segi fasilitas emang beda, gk cuma di Siantar tpi mayoritas sekolah di Indo gtu smua krn banyakan sekolah negri whereas jarang ada murid international nor godly facilities. Sekolah yg seperti itu mungkin bisa dihitung jari pak, bahkan yg sekolah di Jakarta belum tentu bisa relate dengan suasana sekolah di video itu 😬. Kalo yg aku bilang tdi enak krn chord progressionnya unik aja😂 gk kyk lagu” pop barat pada umumnya yg 1 4 5 6 4 or something like that”

Seorang lain lagi, Dira beralasan mengapa lagu ini untuknya sedap ya karena “vibesnya cocok untuk edit-edit video masa-masa SMA pak karna ‘high school’ wkwkw”.

Dan masih banyak reply lain selain dari mereka yang kusebut secara anonim tadi. Pada intinya, rekan-rekan virtualku itu sepakat: Lagu Niki Zefanya ini enak didengar, sedap ditonton.


Bersama Rich Brian, rapper asal Indonesia yang tempo hari dipanggil Pak Jokowi, Niki Zefanya memang anomali. Dari Wiki, kita tahu bahwa keduanya di bawah label rekaman yang sama, label dari Amerika yakni 88Rising. Konon Rich Brian yang sudah terlebih dahulu bernaung disana, mengajak Niki bergabung setelah menemukan video Niki meng-cover lagu-lagu Barat terutama dari genre R&B. Belakangan kita tahu bahwa selera musik R&B itu mengalir deras dari ibu Niki.

Ada banyak ulasan menarik tentang Niki, terutama lagu “High School in Jakarta” ini. Silakan kamu Google sendiri.

Satu fakta yang menarik ialah bahwa para fans Niki yang membuat lagu ini trending di Youtube dan platform digital musik lainnya. Ada kesadaran sekaligus kegelisahan yang mereka ungkapkan lewat komentar atau ulasan mereka.

KESADARAN

Masa SMA adalah kawah nostalgia.

Lewat lirik romantis ini, para pendengar seakan terbius. Seakan mereka ikut merasakan atmosfer bersekolah di Pelita Harapan, SMA dimana Nichole Zefanya memang menimba ilmu sebelum kemudian memutuskan mengambil jurusan musik di sebuah kampus di Amerika. Ini saja sudah menjadi alasan yang cukup mengapa banyak anak SMA merasa bisa relate dengan “High School in Jakarta”.  Menariknya, ternyata ini belaku bukan hanya untuk cewek saja, tetapi juga yang cowok (seperti bisa kulihat dari reply mereka kala kami chatting di Instagram).

Relatedness ini semakin kuat karena kita tahu bahwa lirik ini dinyanyikan oleh seorang Niki yang memang mengalami masa remaja tinggal dan duduk di bangku SMA di Indonesia. Video musiknya menggambarkan keseharian Niki yang sama seperti anak SMA pada umumnya. Mengerjakan tugas alias kerkom (kerja kelompok) di rumah teman, hangout alias ‘nongki tipis-tipis’, kenalan dengan teman-teman baru, ikut klub teater, foto buku tahunan, sampai menemukan cinta pertama.

Sah. “High School in Jakarta” pantas kita tambahkan ke dalam list lagu yang berkisah tentang masa SMA. Sebelumnya sudah ada Kita Selamanya – Bondan & Fade 2 Black, Tujuh Belas – Tulus, Remaja – HiVi, Ingatlah Hari Ini – Project Pop, Dulu Kita Masih Remaja – The Panasdalam Band, I Remember – Mocca, Sebuah Kisah Klasik – Sheila On 7, Sampai Jumpa – Endank Soekamti,  Terlalu Manis – Slank, Bebas – Iwa K, hingga yang legend seperti Masih Anak Sekolah – Chrisye.

Ini lirik lagu yang muncul ke pasaran berkat label rekaman yang tentu membantu para penyanyi dan pemusiknya sehingga karya mereka dikenal secara luas. Belum lagi karya dari mereka yang memilih berjuang dari jalur indie.

Bahkan, kalau kamu penasaran adakah karya dari pemula awal yang paling awal sekali (jangankan label rekaman, dihitung sebagai karya indie juga belum), kamu bisa melirik playlist SMA Budi Mulia ini. Ini adalah karya  anak SMA dari sekolah biasa, bukan sekolah musik, yang mencoba mencipta lagu dari pengalaman nyata mereka sendiri dengan kemampuan dan fasilitas musik yang sangat terbatas.

Apa yang bisa kita simpulkan dari fenomena ini? Satu hal yang jelas: Masa SMA adalah masa yang penuh kenangan (nostalgia). Meski, sayangnya, kesadaran akan indahnya nostalgia SMA ini baru menjadi jelas bagi orang-orang justru setelah mereka meninggalkannya. Sama seperti semua hal lainnya, menyitir penggalan lagu “Yellow Taxi”-nya Counting Crows, kita baru bisa menghargai sesuatu setelah ia berlalu, setelah ia pergi: Don’t it always seem to go, that you don’t know what you got till it’s gone

Mengetahui ini, mungkin kamu yang anak SMA akan berpikir: “Kalau begitu, mumpung aku masih di SMA, aku nikmati saja semua proses dan dinamika emosi yang terjadi disini?” Yes. Tentu saja. Lakukanlah. Nikmatilah. Tak ada yang melarangmu mengalami apa saja yang ditawarkan masa SMA. Jika Niki bisa melalui pengalaman romantis – kombinasi antara jatuh cinta dan patah hati ini – kamu juga punya hak yang sama.

Bentuk dan jenisnya mungkin berbeda. Niki sekolah di sebuah SMA di bilangan Jakarta dengan fasilitas yang mentereng untuk ukuran SMA di Indonesia pada umumnya lengkap dengan interaksi dalam bahasa Inggris dan wajah bule – yang entah mengapa masih kita iyakan superioritasnya – yang membuatnya kelihatan istimewa. Kamu sekolah di sekolah negeri atau swasta biasa dengan prestasi biasa saja, dengan fasilitas seadanya, tanpa teman sekelas berwajah expatriat; malah wajah oriental melulu yang kamu temui. Jika Niki berhak dan sudah mengalami ini semua, kamu juga punya hak atas romansa dan nostalgia yang sama.

[Aku sendiri tidak pernah mengalaminya. Sebab sejak SMA hingga Perguruan Tinggi, melulu tinggal di asrama yang dihuni oleh laki-laki semua. Tak ada romansa alias cinta-cintaan remaja disana. "Mengcyedih ya, Pak" katamu. Ya nggak apa-apa. Setiap orang ada jalannya sendiri-sendiri. Gampang saja aku memberikan argumentasi seperti itu.]

KEGELISAHAN

Kesadaran akan indahnya masa remaja di SMA disertai juga dengan sekian banyak kegelisahan di dalamnya. Seperti halnya semua romantisme, tentu saja emosi yang terjadi selalu diisi dengan kontradiksi atau bahkan paradoks. Itu yang membuat pengalaman masa SMA istimewa dan layak dikenang.

Seperti yang kamu alami, ternyata hubungan Niki dengan mantan pacarnya juga seperti roller coaster, yang dipenuhi drama anak SMA. Perkara cemburu, enggak dikabarin, lalu berakhir patah hati karena ditinggalkan, semuanya ada.

Niki bahkan menggambarkan kekalutan dan turun-naik emosinya seperti berada di medan perang zaman Sparta. High School in Jakarta, sorta (sort of) modern Sparta. Ada kemenangan yang membahana, kepuasan yang luar biasa dan kegembiraan yang membuncah. Tetapi ada juga serangkaian kekalahan yang menyedihkan, perasaan insecure yang menyiksa dan kesedihan yang terkadang membuat masa SMA serasa kelabu untuk sementara waktu.

Menariknya, musik yang mengemas cerita galau Niki justru tidak membuat kita tenggelam dalam kesedihannya. Ia justru memperingati patah hati tersebut dengan melodi up beat R&B. Seakan semua kisah itu adalah momen yang patut dirayakan. Ini satu hal lain lagi yang membuat “High School in Jakarta” menjadi istimewa. Mengapa? Sebab seperti fungsi musik pada idealnya, lagu adalah selebrasi terhadap kehidupan. Bernyanyi berarti merayakan kehidupan, tidak melulu menangisinya. Life is a party, celebrate it.

Niki menulis liriknya mengalir seperti percakapan. Mirip dengan kamu yang rajin menulis diari di Watpadd dengan akun anonim, Niki meng-update keseharian di sekolahnya. Semua liriknya langsung ditujukan ke mantan pacarnya, mirip dengan kamu yang tak bosan-bosannya mengirimi pesan anonim di akun MenFess sekolah.

 


Benarkah “High School in Jakarta” memang untukmu?

Mari kita uji sekali lagi relatability dari lirik lagu Niki ini. Related atau tidak?Berangkat dari pengalaman nyata pribadi dan kebanyakan teman, aku coba parafrase tulisan Aurelia Gracia di Magdalene

Dari lirik pertamanya, Niki langsung memberikan jawabannya. Buatku – dan sepertinya kebanyakan teman di dunia nyata atau di dunia virtual Twitter dan Instagram – jawabannya, jelas tidak. Tidak relate sama sekali.

“Didn’t you hear Amanda’s moving back to Colorado?” kata Niki, membuka lagunya.

Aku – mungkin juga kamu, sama-sama bersekolah di Siantar. Bahkan sekalipun bersekolah di Jakarta seperti Niki (yang sebenarnya sekolah di Karawaci, Tangerang) – kita tidak punya teman yang “pulang kampung” atau pindah ke Amerika Serikat. Anak-anak sekolah Swasta di Siantar, apalagi dari sekolah negeri pasti mengerti maksudku. Kita itu kalau pulang kampung tidak ke Colorado, tapi ke Balige, Rantauprapat, Dolok Sanggul atau bahkan Dolok Batu Nanggar Serbelawan dan Marihat Ulu Tanah Jawa. Hahaha …

Dengan kurikulum yang silih berganti mulai dari kurikulum Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) 2006 hingga Kurikulum Merdeka yang sekarang diuji coba, kita melihat model pembelajaran yang masih berpusat pada guru dan satu arah, tidak maksimal melibatkan murid berdiskusi. Lingkungannya juga didominasi orang-orang kelas menengah, yang berangkat dan pulang sekolah masih naik transportasi umum. Satu dua saja yang diantar jemput dengan kendaraan pribadi. Sudah jelas, bahasa Indonesia jadi bahasa pengantar dan digunakan untuk ngobrol bareng teman-teman. Bukan Bahasa Inggris.

Sementara Niki, bersekolah di Sekolah Pelita Harapan (SPH) yang menggunakan kurikulum International Baccalaureate (IB) dan Kurikulum Internasional Cambridge. Selain menggunakan bahasa Inggris untuk bahasa pengantar, kurikulum itu mempersiapkan siswa supaya bisa bersaing secara global. Maka tidak heran kalau sebagian besar siswa melanjutkan pendidikan ke kampus-kampus di luar negeri, memanfaatkan sistem transfer kredit—untuk mempercepat masa studi.

Jika ada yang pindah, kemungkinan mentok-mentok pindahnya ya ke sekolah swasta atau negeri unggulan. Mereka ingin akses ke perguruan tinggi negeri lebih mudah, karena (katanya) kuota yang dibuka lebih besar lewat jalur Seleksi Nasional masuk Perguruan Tinggi (SNMPTN). Bukan seperti dua teman Niki yang pindah ke New York dan Colorado.

Jangankan pindah ke Amerika Serikat, ya, liburan ke sana aja mungkin bisa bikin heboh satu kelas. Soalnya pasti mendadak dicap anak orang kaya.

Kemudian, soal nongkrong di rumah teman setelah menyelesaikan kerja kelompok, menunjukkan perbedaan cara bergaul antara kita dan Niki. Penyanyi kelahiran Jakarta itu bisa ngeles ke pacarnya, “I lie and tell you I’ll be getting drunk at Rachel’s.” Mungkin di kalangannya, minum alkohol yang harganya mahal sudah menjadi sesuatu yang umum dilakukan saat kopdar (kopi darat). Berbeda dengan kita yang membeli roti Ganda seribu dan boba di angkringan samping sekolah atau yang dekat kosan.


Bagi kita yang tidak merasa terwakili oleh lagu ini karena alasan-alasan tadi, rasanya akan lebih cocok menyebut lagu ini sebagai “(International) High School in Jakarta”.

Kalau begitu, salahkah Niki?

Tidak.

Niki memang ingin mengungkapkan pengalaman personalnya. Yang menjadi permasalahan adalah jika karena kesenjangan dan perbedaan pengalaman antara Niki dengan kita, kita menjadi merasa inferior.

Jika Niki bertemu dengan Ben – karakter mantan pacarnya yang diperankan Peter Sudarso, saat keduanya berpapasan di lorong sekolah yang dilengkapi dengan loker untuk tiap siswa, persis tipikal film romantic comedy ala Hollywood; kita juga bisa mengingat pengalaman berpapasan dengan crush pertama kita di lorong kantin sehabis menyantap mi gomak atau bakwan goreng dan sebotol teh manis kemasan.

Jika Niki dan Ben kemudian secara resmi berkenalan di klub teater dan mulai berkencan; kita juga bisa mengingat pengalaman berkenalan dengan crush pertama kala MPLS alias ospek di bawah pohon roda atau ketika  badan kita basah penuh keringat sehabis kegiatan ekstrakurikuler voli dan sepakbola.

Tetapi tentu saja semua argumentasi ini tidak hendak memadamkan anganmu untuk bisa mengalami masa SMA seperti di video musik Niki yang sudah mirip film ini.

Lagipula, sangat mungkin bahwa Niki juga mengalami hal-hal lain yang detailnya tidak diceritakan dalam drama singkat dan padat nan romantis ini. Sama seperti kamu, selain hak untuk mengalami romantis anak SMA, Niki juga punya kewajiban untuk mengikuti setiap proses pembelajaran.

Maka, sah-sah saja jika kamu – dan aku – menikmati lagu Niki “High School in Jakarta” ini tanpa harus lupa daratan: kita adalah siswa di sebuah SMA di Siantar. Atau di tempat lain di Indonesia dengan karakteristik yang serupa.

Bukan mustahil pula, gambaran akan sekolah yang menjadi lokasi syuting Niki yang kamu sebut sebagai “high school dream” kamu ini kelak terwujud di sekolahmu.

Tetapi tentu saja, supaya itu bisa terjadi, ada harga yang harus dibayar. Pertama dan yang paling penting adalah kemauan dari seluruh stakeholder yang terlibat: pemerintah – kurikulum – pemilik sekolah – lingkungan belajar – pola pikir orangtua – dan kamu sendiri sebagai siswa. (Ups, jadi melebar kemana-mana.)

Lanjut lagi.

Cerita patah hati Niki di “High School in Jakarta” ternyata adalah rangkaian utuh dengan dua video musik sebelumnya – Before dan Ocean and Engines – yang ditutup dengan tragis sekaligus manis. Masih dalam fase patah hati, banyak memori mengingatkan Niki dengan sosok Ben. Ia melepaskan Ben, sambil mempertanyakan mengapa mereka kini asing terhadap satu sama lain.

Ini mirip sekali dengan pengalamanmu. Dengan berbekal patah hati, kamu hanya nimbrung sesekali di group WhatsApp alumni sebab tidak ingin terjebak dalam lingkaran emosi pahit yang sama dengan si doi yang kemungkinan juga berada di group chatting yang sama. Kamu juga berusaha melepaskannya, meski sesekali mempertanyakan mengapa semua kini terasa berbeda. Sesudahnya, kamu melanjutkan cita-citamu, dia dengan cita-citanya. Dan semua memori itu menjadi kisah – yang bisa sangat indah jika kamu memutuskan untuk melihatnya dari sudut pandang itu.

Maka, tidak ada alasan untuk menjadi minder atau inferior. “Ah, itu kan Niki. SMA PH yang keren. Sementara aku SMA biasa yang tidak ada terkenal-terkenalnya”

Inspirasi untuk tidak inferior – meski kamu tidak mengalami SMA persis yang dialami Niki – sebenarnya justru bisa kita timba dari motif tersembunyi yang Niki coba sampaikan dalam video musiknya.

Selengkapnya kukutip tulisan Aurelia Gracia:

Dalam musik video, Niki memilih aktor Peter Sudarso yang memerankan karakter cinta pertamanya. Selain mencerminkan orang Indonesia—mungkin juga mantan pacar Niki berkewarganegaraan yang sama, kehadiran Peter lebih dari sekedar pengingat bahwa ada aktor Tanah Air yang berkecimpung di industri perfilman Hollywood. Kehadirannya sekaligus menunjukkan, bahwa aktor laki-laki Asia mampu menjadi pemeran utama. Sudah jadi rahasia umum ya, kalau laki-laki Asia memiliki stereotipnya tersendiri dalam film-film Hollywood. Biasanya mereka cuma pelengkap, sifatnya kemayu, kurang jantan, kurang menarik, dan tidak memenuhi standar maskulinitas kulit putih di Amerika Serikat. Stereotip yang lahir dari sikap rasisme.

Stereotip itu berawal pada pertengahan 1800-an, ketika imigran laki-laki dari Cina dipaksa melakukan pekerjaan domestik. Pemaksaan itu merupakan pembalasan atas efisiensi jasa mereka, karena dilarang melakukan pekerjaan pertambangan dan konstruksi. Stereotip-stereotip tersebut makin diperkuat representasi laki-laki Asia dalam film-film kanon Hollywood. Misalnya Mr. Yunioshi (Mickey Rooney) dalam Breakfast at Tiffany’s (1961), Fu Manchu (Warner Oland) dalam The Mysterious Dr. Fu Manchu (1929), dan Charlie Chan (Warner Oland) di serial Charlie Chan (1931-1937). Mereka memerankan ketiga karakter tersebut dengan aksen khas orang Asia, dan perilaku konyol yang berlebihan. Bahkan, aktor Sessue Hayakawa yang dipandang menarik perempuan kulit putih, tidak dapat melakukan adegan interaksi fisik dengan lawan mainnya. Adegan Hayakawa mencium seorang kulit putih yang adalah lawan mainnya, malah diblokir. Ia tidak dapat mengandalkan fisik untuk menjual daya tarik maskulinnya, sebelum lembaga sensor di Amerika Serikat melarang representasi pasangan dan seks antar ras. Hal tersebut semakin memperburuk citra laki-laki Asia yang tampaknya layak dijadikan hiburan, asal muasal diskriminasi yang sampai saat ini kerap terjadi.

Namun, karakter Ben yang diperankan Peter dalam musik video High School in Jakarta justru mendobrak stereotip tersebut—yang belakangan ini juga mulai dihapuskan. Ia memiliki peran signifikan, dengan menghidupkan karakter seorang siswa SMA yang bergabung dengan klub teater, sekaligus menjadi cinta pertama Niki.

Begitu pula dengan peran Peter dalam sejumlah film dan serial televisi. Di antaranya Power Rangers Ninja Steel (2017-2018), Justice for Vincent (2019), The Paper Tigers (2020), dan Supergirl (2015-2021), membuktikan laki-laki Asia mampu bersanding dengan aktor lainnya di perfilman Hollywood. Terutama laki-laki Asia dari Jakarta.


Tetapi jika laki-laki Asia dari Jakarta bisa, sangat mungkin laki-laki Asia dari Dolok Sanggul, Parapat, Palipi apalagi Siantar juga bisa.

Akhirnya, paparan agak panjang mengulas “High School in Jakarta” ini semoga membawa kita pada kesadaran baru: Setiap anak SMA punya hak yang sama untuk mengalami high school yang bermakna.

Maka, jika Niki mampu memikat banyak penggemar dengan bernyanyi “High school in Jakarta, sorta modern Sparta, had no chance again the teenage of suburban armadas …” dan seterusnya, kamu juga bisa bernyanyi dengan kebanggaan yang sama menggunakan nada yang sama dalam parafrase lirik ini:

“SMA Siantar, Melanton Siregar, nggak bisa nandingan bangor anak Tanah Jawa ….” dan seterusnya.