Hambatan Komunikasi di Media Sosial

“Kok bisa ya. Teknologi komunikasi semakin maju, kok rasanya semakin kesini semakin susah ngobrol nyambung sama rangorang”?

Begitu salah satu komentar dari teman pada diskusi suatu waktu.

Relate?

Kupikir iya. Teknologi digital seharusnya membuat komunikasi lebih mudah, lebih cepat dan lebih baik. Tetapi mengapa tidak terjadi begitu, malah lebih sering sebaliknya?

Kalau begitu, mesti ada hambatan, baik antara kamu dengan orang terdekatmu, keluarga atau “si doi” (internal) maupun dengan pihak ketiga (eksternal). Hal serupa juga berlaku secara internal antara rekan kerja dan secara eksternal dengan orang-orang yang perlu kamu jangkau dengan pesan organisasi tempatmu berada.

Hambatan inilah yang mengganggu kemampuanmu untuk menyampaikan apa yang kamu maksudkan melalui email, obrolan, teks, papan diskusi, aplikasi, media sosial, situs web, dan saluran online apa pun.

Mari kita lihat apa saja hambatan itu.

#1. Hambatan fisik

Hambatan fisik menghadirkan tantangan yang berbeda untuk komunikasi offline versus online. Teknologi telah membantu mengurangi dan bahkan mengatasi jarak, memungkinkan orang berbagi informasi tanpa perlu bertemu di kehidupan nyata. Tapi, hambatan fisik bukan hanya soal jarak, melainkan juga waktu, tempat dan media.

Waktu menjadi penghalang jika kamu tidak memiliki cukup waktu dalam sehari untuk menanggapi email, memperbarui situs webmu atau membuat konten untuk saluran lain, dan jika kamu berbagi informasi tetapi orang-orang tidak mendengarkan. Misalnya: kamu ingin berbagi konten materi lewat Zoom yang sudah kamu persiapkan presentasinya dengan baik, tetapi sayangnya ketika kamu berbicara orang-orang tidak mendengarkan.

Tempat menjadi penghalang jika kamu mencoba berkomunikasi dengan orang-orang di saluran yang belum mereka gunakan, atau tempat mereka tidak menerima informasi yang kamu coba bagikan. Misalnya: kamu ingin berbagi tautan tulisan yang sudah kamu racik dengan telaten di Tumblr, tetapi ternyata teman-temanmu tidak bisa membuka pesanmu karena situs tersebut sudah tidak bisa diakses secara wajar di Indonesia.

Media adalah penghalang jika alat komunikasi digitalmu gagal berfungsi seperti yang diharapkan, seperti jika algoritme menyembunyikan pesanmu atau jika orang yang perlu kamu hubungi tidak memiliki akses. Misalnya: kamu tertarik menonton sebuah video yang bagus di sebuah halaman Facebook, tetapi sayangnya temanmu di negara lain tidak bisa membukanya karena kebijakan pemilik aplikasi.

#2. Hambatan emosional

Hambatan emosional atau psikologis mungkin merupakan hambatan komunikasi yang paling umum, baik digital maupun komunikasi langsung secara tatap muka.

Sampainya pesanmu bukan hanya soal terkirim atau tidak, tetapi juga soal diterima atau tidak. Orang yang menjadi alamat pesanmu juga harus mau mendengarkan dan percaya, dan membuat keputusan yang baik. Keyakinan, sikap, dan nilai individu yang mereka miliki memiliki pengaruh yang kuat terhadap cara mereka memproses informasi yang kamu bagikan.

Itulah sebabnya orang dapat dengan mudah salah menafsirkan komunikasi digital, yang seringkali tidak mencakup infleksi vokal, nada suara, ekspresi wajah, bahasa tubuh, atau jenis isyarat visual atau audio lainnya yang diandalkan orang untuk memahami makna emosional. Karena manusia adalah makhluk emosional, kamu tidak dapat menghilangkan emosi dari komunikasi. Emosi dapat membantu penyebaran pesan.

Maka, sebelum kamu menekan tombol kirim, publikasikan, posting atau tweet, jeda untuk mengevaluasi motivasi emosional dari apa yang akan kamu komunikasikan.

Periksa keadaan emosimu saat ini, pertimbangkan apakah perasaanmu secara tidak sengaja mengubah pesanmu, dan tinjau kontenmu untuk menemukan sesuatu yang tidak pada tempatnya.

Selanjutnya, tingkatkan empatimu. Bayangkan orang yang ingin kamu ajak berkomunikasi dan pikirkan tentang respons emosional seperti apa yang ingin kamu: apakah ada bagian dari pesanmu yang dapat disalahartikan.

#3. Hambatan identitas

Hambatan identitas yang ada di masyarakat dapat menjadi bagian atau diperkuat oleh upaya komunikasi digital. Hambatan ini dapat mencakup jenis kelamin, ras, etnis, orientasi seksual, kelas, usia, kecacatan, status veteran, atau identitas pribadi, sosial, atau budaya lainnya. Hambatan identitas dapat menyebabkan miskomunikasi dan kesalahpahaman, serta kesalahpahaman tentang orang dan gagasan mereka. Bahkan jika kamu tidak secara sadar membangun penghalang identitas, mereka dapat menyerang pesanmu dan caramu berkomunikasi.

Siapa yang menulis konten onlinemu, siapa yang menjalankan webinarmu, siapa yang kamu kutip dalam artikel, siapa yang kamu tunjukkan dalam foto dan video, yang ceritanya kamu ceritakan, siapa yang mengumpulkan dan menganalisis datamu, di mana kamu berbagi, siapa yang kamu ikuti serta libatkan secara online; semua ini dapat memperkuat atau mengurangi hambatan identitas ini.

Maka, untuk meminimalkan hambatan identitas, ambil langkah-langkah menuju komunikasi digital yang lebih inklusif. Kumpulkan umpan balik tentang bagaimana saluran komunikasi digital, konten, dan pendekatanmu dapat mendorong hambatan identitas. Tinggalkan asumsimu dan dengarkan orang, subkultur, dan komunitas yang pengalamannya berbeda denganmu. Rekrut dan kenali lebih banyak jenis orang sebagai pembuat digital, pembawa pesan, dan pemberi pengaruh. Berusahalah untuk memahami norma, nada, dan saluran yang digunakan berbagai kelompok orang untuk berkomunikasi, dan sesuaikan pendekatan komunikasi digitalmu untuk bertemu dengan mereka di mana mereka berada.

#4. Hambatan semantik

Hambatan semantik adalah tentang perbedaan interpretasi kata dan simbol yang digunakan untuk berkomunikasi. Bisa jadi orang yang berbicara dalam bahasa atau dialek yang berbeda, memiliki kemampuan bahasa yang terbatas, tidak memiliki banyak pengetahuan tentang suatu masalah, atau menggunakan kata dan simbol dengan cara yang berbeda darimu.

Potensi ambiguitas semantik sangat kuat terutama dalam komunikasi digital di mana tagar yang sedang tren, meme yang terbang cepat, dan emoji masing-masing dapat menyampaikan ide yang kompleks dan berkembang, menumbuhkan solidaritas melalui pemahaman bersama, namun mengecualikan orang yang tidak memahami maknanya.

Hal yang sama berlaku untuk jargon, slang, akronim, dan bahasa yang terlalu kompleks, yang penggunaannya cenderung menciptakan penghalang antara mereka yang mengerti dan yang tidak. Komunikasi digital yang efektif tidak dapat terjadi jika pengirim dan penerima tidak memiliki pemahaman yang sama tentang pesan yang dimaksud. Sekalipun orang berbicara dalam bahasa yang sama, konteks, budaya, atau faktor lain seseorang juga dapat mengubah arti kata dan simbol serta menciptakan perbedaan pemahaman.

#5. Hambatan aksesibilitas

Hambatan aksesibilitas sering kali diabaikan dalam upaya menuju komunikasi digital. Komunikasi digital hanya efektif jika orang dengan semua kemampuan dapat mengakses dan memahami informasi.

Organisasi yang melayani masyarakat memiliki kewajiban untuk berkomunikasi secara efektif dengan penyandang disabilitas komunikasi. Foto, grafik, emoji, streaming langsung, webinar, podcast, PDF, video, dan format audio dan visual lainnya sekarang menjadi bagian penting dari cara orang dan organisasi berkomunikasi secara online. Namun, setiap format konten ini dapat mencegah sebagian orang mengakses informasi.

Mengatasi hambatan aksesibilitas komunikasi digital membutuhkan lebih dari sekadar memberi teks video dan menambahkan deskripsi ke gambar, meskipun keduanya penting untuk dilakukan. Informasi harus dapat diakses oleh orang-orang dengan gangguan penglihatan, pendengaran, motorik atau kognitif, atau gangguan lain yang dapat mempengaruhi komunikasi dan pemahaman.

#6. Hambatan perhatian

Hambatan perhatian adalah ketika orang melewatkan apa yang kamu katakan karena mereka teralihkan dari fokus penuh pada pesanmu. Saat kamu mencoba berkomunikasi dengan orang-orang saat mereka menggunakan komputer, tablet, ponsel cerdas, atau perangkat lain, kamu sebenarnya sedang bersaing untuk mendapatkan perhatian mereka dengan gangguan online dan dunia nyata.

Orang mudah lelah dengan informasi yang berlebihan, dengan sedikit perhatian tersisa. Mereka juga akan bingung jika kamu memberi mereka terlalu banyak detail atau opsi, atau jika mereka tidak dapat dengan mudah menemukan informasi yang relevan dengan kebutuhan unik mereka. Mereka mungkin ingin memperhatikan pesanmu, tetapi bos mereka berteriak, anak mereka menangis , ayam berkokok di pekarangan rumah atau telepon mereka berdering.

Sulit untuk menembus kebisingan dan mengatasi hambatan perhatian untuk komunikasi online. Saat berkomunikasi secara digital, kamu mungkin tidak tahu apakah audiensmu memperhatikan. Inilah mengapa mengukur dampak komunikasimu sangat penting — dan sangat menantang.

#7. Hambatan kredibilitas

Hambatan kredibilitas mengganggu komunikasi digital saat orang tidak dapat mempercayai pesan, pembawa pesan, atau keduanya. Pada saluran digital, mudah untuk menemukan pesan di luar konteks, menganggap pembawa pesan bias, atau memaksakan arti yang berbeda dari yang dimaksudkan dalam tweet 280 karakter atau email yang ditulis terburu-buru.

Orang dapat memanipulasi kehadiran digital mereka agar tampak seolah-olah mereka adalah otoritas atau pemberi pengaruh, meskipun mereka tidak memiliki kredensial atau pengikut untuk mendukung klaim tersebut. Orang-orang juga masih tertipu oleh gambar-gambar yang diedit dan ditipu oleh orang iseng, sementara audio dan video yang dimanipulasi (alias deepfakes) menjadi masalah serius.

Orang-orang mengandalkan perusahaan teknologi untuk memverifikasi akun, memblokir pengirim spam, memblokir peretas, melindungi privasi, dan mencegah orang lain berpura-pura menjadi orang lain – tetapi belakangan ini perusahaan-perusahaan ini menunjukkan bahwa mereka tidak sanggup melakukan tugas itu.

Orang-orang semakin mempertanyakan apakah informasi yang mereka dapatkan melalui saluran digital dapat dipercaya dan khawatir tentang seberapa aman berpartisipasi dalam percakapan online. Saat orang-orang kehilangan kepercayaan pada kemampuan perusahaan teknologi untuk mengawasi platform mereka dan melindungi penggunanya, kita yang mengandalkan saluran ini untuk berkomunikasi perlu mengembangkan kepercayaan dari audiens kita.

Selamat berkomunikasi!


Disempurnakan dari DotEdu

Bagaimana Seharusnya Orang Kristen Menggunakan Media Sosial?

Paus ternyata memiliki akun Twitter.

Akun @Pontifex sendiri dibuat pada Februari 2012 pada masa kepemimpinan Paus Benediktus XVI dan dilanjutkan oleh penerusnya, yakni Paus sekarang: Paus Fransiskus. Sampai hari ini, 28 Agustus 2022, akun tersebut diikuti oleh sebanyak 19 juta pengguna.

Mengapa seorang pemimpin tertinggi Gereja Katolik menggunakan akun media sosial se”receh” Twitter? Bukankah seharusnya sebagai pemimpin tertinggi organisasi religius terbesar di dunia, seorang Paus akan dikecam banyak orang karena menggunakan Twitter?

Dengan segala macam konsekuensinya, ternyata hal ini sejalan dengan semangat pembaharuan (aggiornamento) Gereja yang sejak konsili Vatikan II antara lain secara tegas menyatakan bahwa: Gereja wajib menggunakan media sosial.

Apa? Orang Katolik atau orang Kristen wajib menggunakan media sosial?

Wajib. Setidaknya itulah yang diajarkan Gereja Katolik dalam Dekrit Konsili Vatikan II tentang Upaya Komunikasi Sosial (“Inter Mirifica”).

Dekrit ini sendiri adalah salah satu dari 16 dokumen yang dihasilkan oleh Konsili Ekumenis terbesar yang pernah ada tersebut. Terbesar karena sebanyak 2.908 pria (yang disebut para bapa Konsili) tercatat memiliki hak suara dalam konsili tersebut. Ekumenis karena sebanyak 17 gereja-gereja Ortodoks dan denominasi Protestan juga mengirimkan pengamat-pengamat mereka.

Bersama dokumen lainnya, Inter Mirifica secara jelas menghembuskan napas pembaharuan Gereja dalam berbagai bidang. Paus Paulus sejak awal sudah menggaungkan semangat itu pada Amanat Pembukaan 29 September 1963 yang menekankan kembali sifat Pastoral Konsili, dan menetapkan empat tujuan Konsili, yakni:

  1. untuk lebih mendefinisikan sifat dasar gereja dan tugas pelayanan para uskup;
  2. untuk memperbaharui gereja;
  3. untuk mengembalikan kesatuan di antara kaum Kristiani, termasuk meminta maaf akan kontribusi Gereja Katolik pada masa lampau terhadap perpecahan itu; serta
  4. untuk memulai dialog dengan dunia modern.

Kita kembali ke Inter Mirifica.

Pada artikel 3 tertulis:

Gereja Katolik didirikan oleh Kristus Tuhan demi keselamatan semua orang; maka merasa terdorong oleh kewajiban untuk mewartakan Injil. Karena itulah Gereja memandang sebagai kewajibannya, untuk juga dengan memanfaatkan media komunikasi sosial menyiarkan Warta Keselamatan, dan mengajarkannya, bagaimana manusia dapat memakai media itu dengan tepat.

Dalam bahasa sederhana, artikel ini memuat sekaligus dua kewajiban yang dimaksud:

  1. Kewajiban menggunakan media komunikasi sosial untuk mewartakan keselamatan
  2. Kewajiban untuk mengajar bagaimana menggunakan media komunikasi sosial dengan tepat.

Jika demikian, wajibkah semua orang Katolik atau orang Kristen memiliki HP dan menginstal aplikasi media sosial? Jika iya, sekarang ada ribuan aplikasi media sosial dan masih akan bertumbuh, yang mana yang harus diinstal dan digunakan, yang mana yang tidak perlu? Apakah ini berarti bahwa semua orang Kristen wajib memiliki akun Facebook, Instagram, Tiktok, Twitter dan sejenisnya?

Pertanyaan ini mungkin terdengar konyol dan receh bagi orang yang memahami atau setidaknya pernah membaca dekrit konsili tersebut.

Maka, pada kesempatan ini aku ingin mengajak kamu memahami apa pentingnya dokumen resmi Vatikan ini dalam bahasa sesederhana mungkin. Sehingga pertanyaan “receh” seperti ini atau pertanyaan serius lainnya yang kamu punya bisa terjawab.

Media Komunikasi Sosial bukan Sekedar Media Sosial

Gereja menggunakan istilah “Komunikasi Sosial”. Terlepas dari pemakaiannya yang kurang umum dibandingkan media massa atau media sosial, “Komunikasi Sosial” lebih tepat.

Mengapa? Karena seluruh komunikasi bersifat sosial;  namun belum tentu semua komunikasi itu bisa disebarluaskan kepada “massa”. Komunikasi antara dua pribadi yang sedang curhat, misalnya,  sudah dapat disebut sebagai komunikasi sosial. Padahal, sangat sering isi curhat itu tidak pantas disebarluaskan ke semua orang (publik/massa).

Meskipun sekarang kedua istilah ini dianggap sama, tetapi jika kita meletakkan keduanya pada makna aslinya, kita akan lebih memahami kewajiban orang Kristen menggunakan media sosial tadi.

Tanggung jawab dan tujuan positif dari Komunikasi Sosial tidak hanya ditanggung oleh seorang individu namun seluruh Gereja melalui berbagai tingkatan otoritasnya. Mengikuti kebijakan Dewan Kepausan ini, lingkup Gereja yang lebih spesifik (mulai dari tingkat keuskupan sebagai Gereja partikulir, paroki hingga lingkungan atau komunitas basis Gerejani) seharusnya gencar memperkenalkan pula kewajiban menggunakan MKS ini untuk berbagai misi Gereja.

Hari Komunikasi Sosial

Kewajiban menggunakan media komunikasi sosial (MKS) begitu penting hingga kemudian dua tahun setelah Konsili Vatikan II, Paus Paulus VI meresmikan Hari Komunikasi Sosial Sedunia untuk memberikan pesan tahunan Gereja kepada Gereja Katolik universal dan kepada seluruh dunia.

Tema Hari Komunikasi Sosial tahun 2022 ini adalah:

DENGARKANLAH


Kita kembali sebentar ke dokumen yang menjadi rujukan kewajiban menggunakan media komunikasi sosial ini, yakni Dekrit Inter Mirifica.

Inter Mirifica” dalam bahasa Indonesia berarti “diantara penemuan yang menakjubkan”. Penemuan mana yang dimaksud? Artikel 1 secara jelas menjawabnya, yakni:  Penemuan media komunikasi sosial: media cetak, sinema, radion, televisi dan sebagainya – yang mampu mencapai dan menggerakkan bukan hanya orang-orang perorangan, melainkan juga massa, bahkan seluruh umat manusia.

Saat dekrit ini ditulis dan dipromulgasikan (diundangkan) pada 4 Desember 1963 internet belum lahir. Namun, berdasarkan hakikat yang sama dengan media komunikasi yang sudah sebelumnya, internet dan berbagai media sosial di dalamnya adalah juga bagian dari media komunikasi sosial. Maka, patutlah kita mencari apa petunjuk yang diberikan Inter Mirifica perihal bagaimana seharusnya orang Katolik, orang Kristen dan seluruh manusia menggunakan media sosial.

Satu hal sudah jelas tadi, yakni: Gereja wajib menggunakan media sosial sebagai sarana pewartaan keselamatan. Mari kita telisik hal-hal lain tentang media sosial yang bisa digali dari Inter Mirifica.

 

Sejujurnya, sebagai awam, sangat pantas kita mengharapkan bahwa para Bapa Konsili merumuskan lebih banyak pandangan tentang masa depan. Sebab sebagai otoritas yang diakui Gereja Katolik, mereka terutama wajib untuk terus melatih diri “membaca tanda-tanda zaman”.

Sudah bukan saatnya lagi untuk mengabaikan peran media dalam kehidupan kita di dunia ini. Dalam sudut pandang itu, kita dapat menganggap bahwa Inter Mirifica adalah pembuka jalan bagi tahapan selanjutnya perihal bagaimana seharusnya orang – aku dan kamu – menjalani, mengalami dan menjelajah lebih mendalam realitas dunia media.

Moralitas dalam Media Sosial

Media sosial harus digunakan secara bermoral. Semua yang menonton, membaca atau mendengarkan media haruslah memiliki standar moral dan menaatinya. Begitu pula dengan semua pihak yang memproduksi, mendistribusikan dan membuat regulasi atas konten media. Semua keputusan terkait media haruslah didasarkan pada prinsip-prinsip moral, sebab segala media komunikasi dapat memengaruhi umat manusia secara positif maupun negatif.

Tujuan tertinggi dalam bermedia ialah untuk mengungkapkan kebenaran.

“Kebenaran ada banyak, kebenaran yang mana?”, mungkin muncul pertanyaanmu. Kamu tidak salah. Sebab tentu saja kita tidak bisa menutup mata terhadap pengalaman sehari-sehari dibombardir dengan pengaruh dari kombinasi paham dan situasi yang sangat membingungkan dewasa ini, yakni paham relativisme dan situasi dunia postmodernisme dengan tawaran absurditasnya.

Dalam sudut pandang Kristen, kebenaran yang dimaksud tentu saja adalah kebenaran dalam arti kabar baik keselamatan. Keselamatan dari apapun yang menjauhkan manusia dari hakikatnya sebagai co-creator (citra Allah): kemiskinan, penindasan, pembungkaman, dan keterasingan diri.

Media bertugas mempersatukan orang-orang dan mendampingi mereka dalam perjalanan meningkatkan kualitas hidup masyarakat.

Tujuan akhir dari media seharusnya tidak diukur dari pencapaian laba atau keuntungan finansial. Adanya saling percaya (trust) diantara pihak-pihak yang terlibat pada sebuah media tertentu (produsen, regulator, distributor dan pengguna) justru esensial untuk sehingga usaha media itu bisa berjalan terus secara bekelanjutan (viable).

Begitu sesuatu dikomunikasikan menjadi konten media (medium), konten itu membawa serta substansi pesan bahwa kita memiliki potensi untuk meningkatkan kualitas diri kita. Kurang lebih dapat kita gambarkan sebagai berikut:

POTENTIA – MEDIUM – ACTUS

Semakin kita tercerahkan sebagai bagian dari seluruh semesta ini, kita semakin mampu untuk memberi respon yang pas dan pantas.

Maka, tujuan akhir dari komunikasi bukanlah semata untuk menghibur atau menjajal tawaran stimulasi emosional.

Justru, tujuan sosial dari komunikasi adalah untuk mengembangkan persaudaraan dan persatuan. Itulah sebabnya mengapa penyalahgunaan bentuk-bentuk komunikasi menjauhkan orang dari sesama. Miskomunikasi menyebabkan konfik dalam masyarakat. Dimana masyarakat terpecah-belah, iblis (kejahatan) meraja. Disharmoni dalam kemanusiaan adalah pintu lebar bagi masuknya berbagai agenda kejahatan.

Kebebasan untuk mendapatkan akses terhadap informasi membuat orang berkembang dan maju. Opini personal dan publik yang berguna hanya muncul dalam masyarakat yang melek informasi (well-informed).

Jika informasi yang dihasilkan justru salah atau bias, maka opini yang berkembang di masyarakat juga tidak menunjukkan realitas yang sebenarnya terjadi. Inilah yang membuat masyarakat gagal merespon secara pas dan pantas, dan malah membenarkan hal yang salah dan tidak adil. Jika sudah begini, maka kemanusiaan yang berkemajuan sedang mengalami jalan buntu.

Memang tidak ada jaminan bahwa komunikasi kita alami dalam bentuk yang sempurna, bahkan ketika segala macam cara dan kemampuan kita rasa sudah kita kerahkan. Ketidaksempurnaan ini menjadi cermin kemanusiaan kita. Tetapi ada tanggung jawab moral di pundak pihak media bahwa ketika mereka melakukan kesalahan, mereka harus mengesampingkan citra diri dan biaya yang harus dikeluarkan demi mengoreksi komunikasi. Singkatnya: jika melakukan kesalahan, akui dan perbaiki.

Sebagai contoh, isu yang menggandung kekerasan, penggambaran tubuh manusia secara seksual, dan merendahkan martabat manusia kerap dikemas tanpa mempertimbangkan bagaimana seharusnya konten ini di disebarluaskan dengan dalih untuk memastikan bahwa setiap detil kebenarannya tersampaikan. Ini adalah prinsip yang jelas bertentangan dengan prinsip moral atau “index” suara hati bahwa mengumbar kekejaman dunia secara sembarangan itu tidak baik. Akan tetapi, di sisi lain, membuat masyarakat tidak awas terhadap realitas yang kejam atau mempromosikan berbagai bentuk korupsi juga tidak baik.

Solusi atas dilema moral seperti ini dapat kita cari dengan bertolak dari kesadaran bahwa manusia dapat mengalami kemajuan secara intelektual jika ada beragam cara dan bentuk edukasi; dan orang-orang memiliki akses terhadapnya.

 

Tema Hari Komunikasi Sedunia ke-56 (2022)

Melanjutkan tradisi untuk merayakan Hari Komunikasi Sedunia, Paus Fransiskus telah mengumumkan tema Hari Komunikasi Sedunia ke-56 pada tahun ini, 2022. Fransiskus memilih tema dalam satu kata saja, yakni “Dengarkan!”

Dalam pengumuman tersebut, Tahta Suci mengatakan,

Paus Fransiskus meminta dunia untuk mendengarkan lagi.

Setelah Pesan 2021, yang berfokus pada pergi dan melihat, dalam pesan barunya untuk Hari Komunikasi Sedunia 2022 Paus Fransiskus meminta dunia komunikasi untuk belajar mendengarkan lagi.

Pandemi telah memengaruhi dan melukai semua orang. Semua orang perlu didengar dan dihibur. Mendengarkan juga merupakan dasar untuk informasi yang baik. Pencarian kebenaran dimulai dengan mendengarkan. Demikian pula kesaksian melalui sarana komunikasi sosial.

Setiap dialog, setiap hubungan dimulai dengan mendengarkan. Untuk alasan ini, untuk tumbuh, bahkan secara profesional, sebagai komunikator, kita perlu belajar kembali untuk banyak mendengarkan.

Yesus sendiri meminta kita untuk memerhatikan bagaimana kita mendengarkan (lih. Luk 8:18). Untuk dapat benar-benar mendengarkan membutuhkan keberanian, dan hati yang bebas dan terbuka, tanpa prasangka.

Saat ini ketika seluruh Gereja diundang untuk mendengarkan untuk belajar menjadi Gereja sinode. Kita semua diundang untuk menemukan kembali  arti tindakan mendengarkan sebagai hal yang penting untuk komunikasi yang baik.