Nusantara Mencari Ibu

“Nus, kok aku baca di timeline-nya temen2, nih pada ribut ngomongin soal Ibu? “, tanya Wongso.

“Ya iyalah. Yang mau dicari kan bukan sembarang Ibu, Wongso”, jawab Nusa sekenanya.

“Maksudnya?”, selidik Wongso.

“Dulu kita punya Ibu yang ramah bagi semua. Namanya Gaia. Tapi lalu anak-anaknya mau misah, mau cari Ibu-nya sendiri2. Ada yang milih London buat jadi Ibu. Ada lagi yang milih Moskwa, Washington, Sydney, Beijing, Seoul. Nah, dulu … waktu itu berhubung Ibu kita rambutnya pirang dan keringatnya masih bau bawang putih, namanya Batavia. Sekarang dibaptis jadi Jakarta. Ini kayaknya kita bakal dapet Ibu baru lagi”, jelas Nusa.

“Itu kok emak-emak namanya aneh-aneh. Kok bukan Endang, Markonah, Tumiyem, atau Tiurma gitu?”, tanya Wongso masih penasaran.

“Yo suka-suka kita donk. Termasuk Ibu kita yang sekarang. Denger-denger sih, Ibu kita yang sekarang, Bu Jakarta itu nggak ramah lagi, nggak ngemong lagi. Anaknya yang baik saja, si Ahok, dikurungnya. Entah salah apa dia. Makanya kita mau ganti Ibu ajalah”, timpal Nusa.

“Terus, nanti Ibu kita apa?”, susul Wongso.

Gue sih maunya Ibu RIS aja. Cuman nggak dibolehin sama Eyang Pancasila. Palingan gue ikut sama temen-temen lain aja: Palangkaraya”, ucap Nusa dengan mimik terharu biru, entah mengapa.

“Terus… Nanti Ibu baru kita si Palangkaraya itu ramah nggak?”, cecar Wongso.

“Ya tergantung. Kalau kita anak-anaknya baik, Ibu bakal ramah dan ngemong. Cuman kalau kita nakal berjamaah, ya paling kita digimbali terus dibalbali“, jelas Nusa sambil seruput kopi Khok Thong-nya yang baru saja diseduhnya.

Begitulah Diskusi singkat Nusa dan Bangsa (eh… Wongso) mencari Ibu baru.

Wizards stuck when being told to solve problems in Indonesia

Seperti dimuat di akun Facebook Saya.

Balik Nama

Tulisan ini tidak ada hubungannya dengan Bea Balik Nama (BBN), Ganti Nama atau sejenisnya. Tiba-tiba saja terbersit di pikiran saya bahwa tanpa edukasi yang njelimet dan kritisisme yang ketat, bisa-bisa semakin banyak orang tanpa sadar menjadi korban dari propaganda dan provokasi. Semoga saja tulisan ini sendiri tidak ditengarai sebagai sebuah upaya provokasi.

Di sebuah group Whatsapp, seorang teman post sebuah candaan sebagai intermezzo di tengah diskusi group yang tensinya mulai naik.

BALIK NAMA

Ada ibu mangamu di Samsat, ba urus BPKB mo bale nama.

Ibu : Kita nyanda mau tau pak, pokoknya kita nyanda mau bale nama.
Petugas: : Aduh Ibu, hrs itu soalnya nama yg lama sdh dihapus, jd Ibu harus balik nama.
Ibu : Biar mo mampos mar kita nyanda mau Pak.
Petugas : Knp Ibu tdk mau Balik Nama? Alasannya apa?
Ibu : Kita pe nama Maya Rolot! Coba ngana pikir kalau mau Balik Nama jadi Tolor Ayam. Itu Saya nyanda rela, Pak.

Kita, para member group Whatsapp tersebut pun masing-masing menghargainya dengan sebuah emoticon smile. Oke, fair donk: A joke and a smile.

Akan tetapi, melihat fenomen akhir-akhir ini, rasanya alur pikir yang dikandung humor ini cukup membantu untuk menjelaskan banyak hal. Setidaknya, untuk mengatasi kegalauan dan keprihatinan dari banyak teman.

Joke atau candaan sejatinya memang bukan untuk dianalisis karena akan kehilangan kelucuannya. Tapi, pembaca joke tadi sudah mengapresiasinya dengan tertawa. So, that’s enough for joke. Now, the analysis.

Entah benar ada seorang ibu bernama Maya Rolot, dan dia pergi ke Samsat untuk keperluan administrasi kendaraan bermotornya, pembaca tentu mafhum bahwa inti dari kelucuannya adalah pada frasa [tolor ayam] (baca: telor ayam). Berkat kepolosan si Ibu mengartikan secara denotatif instruksi dari petugas soal Balik Nama berikut Bea Balik Nama, terjadilah kegaringan di mata para pembaca, kebingungan di mata petugas, dan rasa tidak terima bagi si Ibu tadi. Cerita pun direka – supaya semua aspek itu terjadi – dengan kelihaian si pembuat joke yang sengaja menamai si Ibu dalam cerita tadi sebagai Maya Rolot.

Padahal, dalam dunia nyata, realitas yang bisa kita damaikan dengan alur pikir kita (yang mudah-mudahan masih dengan nalar logika yang sehat) adalah jika si cerita berangkat dari nama real pribadi, bukan dari pembalikan huruf nama pribadi tersebut. Jadi, real person first (subject) baru kemudian predicate, bukan sebaliknya.

Seperti biasa, joke menjadi lucu ya karena itu: menawarkan alternatif berfikir dengan cara terbalik. Tentu saja jika diplikasikan ke dunia nyata akan terjadi banyak kekacauan di sana-sini. Whatever, for the sake of a laughter, tidak banyak yang memberi notice terhadap dampak pola pikir terbalik tersebut.

Terbalik gimana sih maksudnya, Om?

Kira-kira begini jalan ceritanya. Jreng … jreng … jreng


Hatta …

Tersebutlah bahwa menurut sekelompok orang – yang mengatasnamakan ajaran tertentu, dan ajaran tertentu itu mengatasnamakan diri sebagai ajaran yang paling benar – seorang figur publik dianggap, dituntut, dicaci dan didesak untuk mundur dari kedudukannya sebagai pemimpin di sebuah lembaga pemerintahan karena sebuah perkataan yang dinilai sebagai penistaan terhadap ajaran mereka.

Entah tau atau tidak, entah tau tapi peduli atau tidak, sejatinya perkataan yang dimaksud itu sudah diedit dan dipelintir pula. Maka, klop-lah. Makin beranilah mereka untuk memperjuangkan anggapan, tuntutan dan desakan mereka. Tentu saja, cacian dan sumpah serapah mengiringi aksi super-duper berani dan ramai itu. Alhasil, bipolaritas pun menjadi dua realitas sosial di kota itu: pasukan kotak-kotak versus pasukan berjubah putih.


 

That’s the end of the story. By the way on the busway You Got A Way and I’m Only One Call Away … (begh …), story tadi bukan tale loh. Ribuan media di Indonesia menyorot sosok fenomenal ini kok. Sungguh terlalu jika pembaca tidak tahu siapa yang saya maksud.

Lantas, apa hubungannya dengan humor tadi?

Pembalikan nama dalam cerita tadi menjadi lucu karena merupakan visualitas versi lucu dari apa yang selama ini banyak terjadi pada setiap aksi massa. Entah itu class action, street firing mass, #twitwar, debat kusir, atau saling pentung.

Memangnya apa yang terjadi? Yang terjadi ialah: Massa membiarkan diri digiring oleh alur pikir dan framing dari informasi yang disesuaikan dengan kehendak si Tuan Besar. Si Tuan Besar ini bisa siapa saja, bisa pribadi, bisa organisasi, bisa agama, bisa fanatisme kelompok, ataupun radikalisme peer group. Ciri utamanya: Si Tuan Besar ini punya kuasa terhadap massa.

Jika massa kritis, maka mereka akan menemukan bahwa urutasn sebenarnya kejadian ialah:

  1. Si Figur Publik tadi berorasi (dalam sebuah kesempatan kunjungan kerja)
  2. Orasinya untuk audiens tertentu (sejauh ini terkonfirmasi bahwa audiens sendiri tidak keberatan dengan isi orasi tersebut)
  3. Isi orasinya menyoal konteks tertentu (bahwa Orang bisa saja menggunakan Otoritas apapun untuk menguatkan efek kekuasannya, termasuk jika harus setiap saat melakukan logical fallacies (kesesatan logika) dalam kata dan tindakan. Entah itu dengan ad auctoritatem, kata-kata dalam Kitab Suci, atau referensi lain yang dianggap akan didengarkan oleh massa). Adapun keperluan orasi itu adalah untuk mengedukasi massa bahwa sejatinya jika tidak menggunakan kesesatan logika tadi, massa akan melihat bahwa kekuasaan tersebut mendatangkan mudarat bagi massa, bukan manfaat. Ketik saja “korupsi di Jakarta” di address bar ketika Anda browse di internet, maka Anda langsung mengerti maksudnya.
  4. Lalu datanglah Sumber Kedua, seorang yang lain mengedit orasi tersebut, mengunggah editannya di sebuah akun media sosial miliknya. Editannya lalu dibaca oleh massa.

Sialnya, di hati para peserta aksi Anggapan, Tuntutan dan Desakan tadi, alur pikir yang terjadi adalah sebaliknya.

  1. Versi dari Sumber Kedua itulah yang benar.
  2. Maka, jelaslah, si Figur publik tidak suka dengan kelompok ajaran tertentu
  3. Karena itu, si Figur Publik mengeritik ajaran tertentu itu dengan menyitir ayat-ayat kitab suci mereka.
  4. Menyerang ajaran kita berarti menyerang kelompok kita. Maka kita tidak boleh diam. Ayo bergerak.
  5. Maka, setelah menilik primbon, menilik partikkian yang simbolis, terjadilah …

411 …

212 …

313..

(Masih belum ada informasi apakah akan terjadi lagi 414, 515, 616 dan seterusnya.)

 

Terus, keseimpulannya apa?

Seandainya si Ibu tadi bertanya lebih dahulu apa artinya Balik Nama pada administrasi kendaraan bermotor, maka kegaguan dan kegaringan tidak akan terjadi pada cerita joke tadi.

Seandainya massa bertanya terlebih dahulu kepada Figur Publik langsung, bukan berdasarkan Sumber Kedua, maka kericuhan, lempar-lemparan, teriak-terikan dan aksi desak-desakan tidak akan terjadi di sepanjang lintasan jalan-jalan utama Jakarta.

 

Begitulah dulu ya.

 

 

 

There is freedom in jail along Jakarta streets

One friend at Quora ask me an interesting question.

“What can you do in Jakarta besides going to endless cafes, restaurants, movies and mall hopping?”

I think about it a while. Assumptions come to my head that he address this question after doing some research on the mind-blowing facts of Jakarta.

But I don’t want to be involved in misconception. So, I want to make it clear. So, here my answer goes.

Yes, traffic jam in streets of Jakarta is annoying. Public transportation is not yet well-managed. Hence, going to cafes, restaurants, movies and mall are reasonable choices for many of citizens who are willing to find some fresh air and space.

At this point, it looks like we are stuck in jail. Is Jakarta as crowded as in jail where we can not go anywhere? Yes. And because it is like being a prisoner in space, it is like being a free people in terms of thinking.

Body in jail, mind goes everywhere

But if we put that question in a broader sense, simply replacing “Jakarta” with any name of the city all over the world, then the answer will be applicable everywhere. By reviewing where your routine has brought you in; what you can do in Jakarta, you can do it as well in Surabaya, Medan, Bali, Bangkok, Kuala Lumpur, Tokyo or New York (maybe).

Seriously? Yes, I am not kidding. Simply because what you can do is not only as narrow as what you see, but what you can think as well. It is that simple.

While waiting for a ride of public bus provided by Trans Jakarta, you can spent your whole almost-wasting time to almost-quality time by reading books or listening to your music pads.

If you want to try two-wheel, you can book Gojek, an Ojek for every need or pick a GrabBike. You can compare them by clicking on this interesting article.

It is not my business when you are asking me what you can do by your private bike or cars. It is your stuff and it is your business.

You can think everything while enjoying the ride, aren’t you?

While being in a traffic jam no matter what transportation mode that you use, and it seems you can not do anything, you can think everything. You can even train your observer-analytics skill.

Stop complaining, start thinking

Just watch everybody.

Listen to anything that people talk about.

Hear what Jakarta’s people are chattering.

Look how far this city has emerged.

Notice how far this has brought its people into an a very vast variety of citizenship perspectives’ level.

You can think this and that.

And the litany goes on.

For a thinker and observer, Jakarta is really a heaven. Why? Simply because “Hell for senses is heaven for mind”.

If Rene Descartes were a Jakartan, this one is probably his saying to forever-complaining badass.

Protected by Copyscape