Pascakawin

Sebuah Kritik Seni terhadap Puisi “Tragedi Winka dan Sihka”

Kesan pertama

Saat pertama kali membaca puisi yang berjudul “Tragedi Winka dan Sihka” karangan Sutardji Calzoum Bachri, saya yang pada saat itu masih duduk di bangku kelas 1 SMP sangat kebingungan. Bagaimana tidak, puisi tersebut hanya berupa kata dan suku kata yang disusun dengan pola zigzag. Padahal, pada saat itu saya memahami puisi hanya sebagai rangkaian kata-kata yang indah dan menarik.

Saat itu, bagi saya puisi “Tragedi Winka dan Sihka” ini terlalu abstrak sehingga saya bahkan tidak dapat menentukan apa tema yang diangkat di dalamnya. Barulah setelah saya duduk di bangku SMA saya menyadari bahwa puisi ini memiliki makna yang mendalam terutama dari segi bentuknya.

Siapa Sutardji?

Penulis dari puisi ini, Sutardji Calzoum Bachri, merupakan salah satu sastrawan paling terkenal di Indonesia yang berasal dari angkatan 70-an. Ia dikenal sebagai sastrawan yang inovatif karena ia berhasil menciptakan karya-karya brilian hasil eksperimennya dengan kata-kata tanpa memberikan perhatian yang berarti terhadap aturan tata bahasa yang lazim. Puisinya yang berjudul “Tragedi Winka dan Sihka” merupakan salah satu karyanya yang paling terkenal di kalangan masyarakat bahkan sampai saat ini. Penyebab utama kepopuleran puisi ini adalah keunikannya karena tersusun hanya atas 2 kata dasar saja yaitu “kawin” dan kasih” yang dipenggal-penggal, dibalikkan, bahkan ditulis dengan pola zigzag.

Analisis Formal

Di dalam puisi ini, dalam hal pemilihan kata atau diksi, Sutardji tidak menuliskan buah pikirannya dengan menggunakan kata-kata kiasan atau kata-kata indah, namun ia justru membolak-balikkan kata sehingga tersirat makna tersendiri sesuai keinginannya untuk “membebaskan kata”. Hal ini tampak dalam pembalikan kata “kawin” menjadi “winka” dan “kasih” menjadi “sihka”. Selain itu, ia juga melakukan pemenggalan kata yaitu memenggal kata “kawin” menjadi “ka” dan “win” serta kata “kasih” menjadi “ka” dan “sih”.

Selain itu, tipografi atau tampak fisik puisi ini dari segi tata baris juga sangatlah unik. Kata-kata yang terbentuk dari kata dasar “kawin” dan “kasih” tersebut disusun oleh Sutardji dengan zig zag, yaitu semakin lama bergeser ke kanan, kemudian semakin lama semakin ke kiri, dan seterusnya. Hal ini merupakan poin plus dari puisi “Tragedi Winka dan Sihka” karena pada umumnya puisi hanya berbentuk baris-baris yang disusun menjadi beberapa bait.

Sebenarnya, sedikit sulit untuk dapat mengerti hal yang hendak disampaikan oleh Sutardji di dalam puisi ini. Namun demikian, apabila dicermati penggunaan kata baris demi baris dan tipografinya, pembaca akan dapat mengetahui bahwa puisi ini mengisahkan tentang kehidupan setelah menikah. Penulisan kata-kata sengaja dibuat tidak lurus melainkan zigzag karena sang penulis ingin menyampaikan kepada pembaca bahwa kehidupan setelah menikah memiliki banyak lika-liku dan suka duka.

Pemenggalan dan pembalikan kata yang dilakukan Sutardji juga bukan tanpa makna. Pada baris ke -6 dalam puisi ini, kata “kawin” dipenggal menjadi “ka”, kemudian menjadi “win”, kemudian menjadi “ka” lagi, dan seterusnya. Hal ini dapat diartikan bahwa perkawinan itu semakin lama nilainya semakin kecil dan tidak berarti lagi bagi si suami maupun si istri.

Selanjutnya, pembalikan kata dari “kawin” menjadi kata “winka” yang dimulai dari baris ke-15 menggambarkan bahwa terjadi situasi yang berkebalikan dari makna perkawinan yang semestinya. Jika perkawinan merupakan suatu kebahagiaan, maka winka adalah perkawinan yang berantakan. Dengan kata lain, “winka” dalam puisi ini dapat juga diartikan sebagai kerenggangan hubungan perkawinan yang ditandai dengan berbagai konflik dan percekcokan. Sementara itu, pembalikan kata “kasih” menjadi kata “sihka” dilakukan untuk menunjukkan bahwa kasih dalam perkawinan itu telah berbalik menjadi kebencian.

Pada baris ke-21, kata “kasih” berjalan mundur sehingga kasih tinggal sebelah saja, yaitu “sih”. Dalam hal ini, penulis seperti hendak menyampaikan kepada pembaca bahwa kasih itu semakin lama sudah semakin kecil, sehingga berujung kepada kesia-siaan.

Di akhir puisi ini, dikatakan bahwa perkawinan itu sudah menjadi kaku. Artinya, si suami dan si istri akhirnya berpisah. Huruf k pada kata “Ku” di baris terakhir ditulis dengan huruf kapital yang artinya si suami dan si istri akhirnya kembali kepada Tuhan.

Interpretasi dan Evaluasi

Apabila dibandingkan dengan puisi-puisi lain yang diterbitkan pada tahun 70-an dan 80-an, puisi “Tragedi Winka dan Sihka” ini merupakan sebuah inovasi brilian yang mendobrak aturan-aturan konvensional dalam penulisan puisi. Sebelumnya, puisi-puisi yang beredar di Indonesia masih sangat terikat dalam aturan-aturan, terutama aturan baris dan bait serta aturan rima. Misalnya saja, puisi Hartoyo Andangjaya dengan judul “Rakyat” yang juga diterbitkan pada tahun 70-an. Puisi berjudul “Rakyat” ditulis dalam bentuk baris dan bait seperti puisi-puisi pada umumnya dan masih memperhatikan rima dari puisi tersebut. Namun demikian, puisi tersebut memiliki kelebihan, yaitu puisinya lebih mudah dipahami oleh pembaca dan tidak perlu dianalisis secara mendalam untuk memahami pesan apa yang hendak disampaikan oleh penulis. Kelebihan inilah yang sekaligus dapat dijadikan sebagai kelemahan dari puisi “Tragedi Winka dan Sihka” sebab puisi karangan Sutardji ini lebih sulit untuk dipahami oleh masyarakat.

Namun demikian, kelahiran puisi “Tragedi Winka dan Sihka” ini menunjukkan bahwa para sastrawan Indonesia boleh saja mengekspresikan buah pikiran mereka dengan cara-cara baru yang kreatif tanpa harus terikat dengan aturan-aturan tata bahasa dalam penulisan puisi.


(Disempurnakan dari tulisan Nikita Grace Panggabean, siswi XII IPS-1 SMA Budi Mulia Pematangsiantar, T.A. 2019-2020)