Bagaimana penulis berburu vote di forum diskusi

(Dialog imajiner antara dua orang kompasianer sembari ngopi di angkringan di pinggiran kali. Sebut saja namanya Broery dan Afgan. Kesamaan nama dan peristiwa kebetulan belaka).

Broery: Tulisan kamu yang terbaru tentang asap itu bagus banget. Gua suka. Selamat ya, Gan.

Afgan: Sama-sama, Bro.

Broery: Bermanfaat dan aktual. (Angkat topi)

Afgan: Ah, lebay lo, Bro. Emang tulisan mana yang Bro baca?

Broery: Itu loh yang kamu posting di Kompasiana. Great job, dude.

Afgan: Oh iya, Bro. Tapi sejujurnya gua kesel juga. Pas lihat statistik di dashboard dan nilainya hanya secuil, bro. Bukan apa sih. Gua nggak obsesif dengan metrics kayak Google Analytics, hanya heran saja.

Broery: Tidak apa-apa, gan.. Elus dada saja.

Afgan: Gimana gua nggak geram, Bro? Postingan tidak penting dari kompasianer lain justru mendapat nilai yang jauh lebih tinggi dan nangkring berlama-lama menjadi artikel terpopuler. Kayak tulisan tentang aktor mana yang mencolek pantat aktris yang mana, atau berapa banyak orang yang nungging rame-rame dimana. Darimana jalannya, coba?

Broery: Hmmm … sudah biasa, Gan.

Afgan: (Terdiam sebentar, menyesap kopi yang mulai dingin)

Broery: Kamu geram karena aku bilang “sudah biasa”, Gan?

Afgan: Iya, Bro. Kok malah kamu jawabnya “sudah biasa”?

Broery: Nih gw jelasin ya, Gan. Gw juga terinspirasi dari tulisan dari mas Darmawan.

*******

Situasi online marketing (internet marketing) bagi para profesional sering digabung dengan istilah digital marketing. Digital marketing pada dasarnya mencakup pemasaran (periklanan) di TV, seluler, radio, termasuk juga internet. Jadi internet marketing atau online marketing merupakan cabang dari digital marketing. Yang ingin saya bahas disini hanya online marketing-nya, yang sebenarnya juga banyak diterapin oleh para pencari vote di forum-forum besar seperti Kompasiana ini, bro. Selain berbagi gagasan, kita juga khan disini menjual gagasan. Pembaca yang tertarik akan membeli, tentu saja pembayarannya bukan dengan uang (meskipun itu juga bisa terjadi). Apresiasi yang kita dapat yakni komentar, yang kemudian menjadi thread diskusi, dan semangat berbagi gagasan pun dipupuk berkat artikel yang kita tulis.

Di dunia online marketing, salah satu channel yang paling populer yaitu SEO (Search Engine Optimization). Dalam konteks delivery gagasan-gagasan di Kompasiana ini, postingan paling populer itu juga bisa dilihat sebagai hasil dari suatu ‘SEO’. Banyaknya jumlah sundulan, direkomendasikan, dan dikomentari oleh kompasianer lain menjadi metrics tingkat kepopuleran suatu artikel.

Nah, SEO dibagi menjadi 2 berdasarkan teknik-teknik yang digunakan.

Pertama, White Hat SEO: teknik SEO yang “bersih”, sesuai dengan aturan yang diterapkan oleh mesin pencari, dan tidak merugikan orang lain. Kita bisa menyamakannya dengan teknik-teknik penulisan dan pembobotan artikel yang tidak sekedar menyampah, tetapi benar-benar mencerahkan dan memberi insight baru, baik terhadap isu yang sudah dimuat di Kompas.com ataupun pengalaman dan pengamatan langsung si penulis dari atas kejadian nyata sehari-hari. Dalam parameter ini, content dan delivery idea yang paling baik dan menarik, mestinya menjadi postingan terpopuler dalam ranking artikel-artikel Kompasiana. Kompasianer yang menggunakan teknik ini bisa kita sebut sebagai kompasianer “bertopi putih”.

Kedua, Black Hat SEO: bertentangan 180 derajat dengan dengan White Hat SEO. Biasanya isinya terkait dengan spamming. Seperti jalan pintas, tapi bukan jalan pintas yang sopan. Kita bisa menyamakannya dengan trik dan strategi di belakang panggung yang berusaha memberi kesan bahwa sebuah artikel benar-benar berbobot di mata para pembaca yang lain. Licik? Bisa kita sebut begitu. Tapi, kita tidak akan pernah mengidentifikasi kelicikannya jika kita tidak ngeh dengan apa saja yang mereka lakukan di belakang panggung seperti yang saya maksud.

Skenario umumnya ialah seorang kompasianer akan mengajak kompasianer lainnya (yang sepaham dengannya, dan bisa diajak tentunya) untuk sesering mungkin memberi komentar dan penilaian atas artikel yang dibuatnya. Mereka terikat dengan semacam kontrak untuk saling mengomentari tulisan manapun dari anggota rekrutannya. Terlepas dari apakah artikelnya berbobot atau tidak. Kita sebut saja ini para kompasianer “bertopi hitam”.

Inilah yang kerap mengherankan bagi pembaca yang cermat. Bagaimana tidak, artikel sampah yang tidak memberi insight apa-apa selain memenuhi storage yang hostingnya disewa oleh Kompasiana, malah mendapat nilai dan komentar paling banyak. Mungkin terlalu dini menyebutnya sebagai artikel sampah. Tapi, jika semakin lama dibiarkan, maka jumlah tulisan semacam ini akan semakin menggunung dan mengurangi intensi dari forum diskusi sebagaimana menjadi intensi dari Kompasiana.

Akibat dari fenomena menulis demi sensasi ini bisa sangat fatal. Teknik Black Hat membawa resiko yang besar karena lambat laun forum akan penuh dengan artikel-artikel yang mutunya semakin menurun. Bagi para pembaca yang tidak aktif menulis di Kompasiana pun, teknik ini merugikan, baik pembaca yang cermat maupun bagi para pemula. Ketika artikel-artikel yang tidak berkualitas mendapatkan posisi tinggi di peringkat penilaian, maka pembaca yang cermat akan semakin kecewa dengan kualitas forum. Sementara itu, para pemula akan mendapatkan informasi yang tidak berkualitas

Ini ibarat sampah plastik yang kita buang di jalanan habis makan gorengan. Jika sejuta saja penduduk Jakarta melakukan hal yang sama, ini bisa menambah pusing pak Ahok yang sedang berjuang memikirkan pengelolaan sampah demi Jakarta yang lebih baik. Untunglah masih ada satu dua orang yang habis makan gorengan, membuang plastiknya di tempat sampah terdekat.

Barangkali ini sepintas terlihat sepele. Tapi jika jumlah sampah yang dibuang si topi hitam semakin banyak, maka mereka yang bertopi putih pun akan ikut-ikutan. Bukan tidak mungkin kelak forum yang kita cintai ini akan menjadi forum sampah juga.

***
Afgan: Hmm …. Ternyata begitu ya, Bro. Baru gw ngerti sekarang.

Broery: Kira-kira begitu loh, Gan. Hehehe …

Afgan: Ya udah, gua cabut dulu Bro. Jadi semangat lagi nih pengen nulis. Bodo amatlah dengan metrics begituan. Btw, gw yang traktir gorengannya ya, lo yang buang plastiknya.

Broery: Okey. Hahaha, bisa aja lo, gan.