Lusi dan followers berbagi hikmah dari COVID-19

Lusi, seorang Freethinker Indonesia, yang mengatakan bahwa Indonesia sedang kehilangan identitasnya, diganti dengan kultur barbar Timur Tengah, punya akun Twitter. Di situ Lusi menyebut bahwa pelajaran yang bisa dia petik dari COVID-19 ini ialah:

Banyak orang pintar, tapi tidak banyak orang yang peduli

 

Tak lama,muncul berbagai respon lain dari para follower-nya.

(Demi prinsip anonimitas, hanya respon saja yang akan dimuat dengan pengubahsuaian bahasa. Masing-masing akun responder sengaja tidak dipublikasi).

Berikut berbagai respon yang receh dan serius yang pantas diperhatikan.

Pertama, tentang media massa yang salah mengutip dari nasarumber, lalu berita yang dimuat akhirnya menimbulkan kisruh.Kedua,

Masih klise: banyak yang mencatut penderitaan sesama, beli beras untuk disumbangkan sebanyak 50 ton, minta ditulis kuitansinya 100 ton.

Berikutnya …

  • Sesungguhnya ibadah bisa dilakukan dimana saja, tanpa harus pamer dan selfie di tempat ibadah.
  • A: Alam sedang bersih-bersih maka biarkan. B: Awas tersapu
  • Pentingnya nabung, dan sedikit cicilan
  • Ngurus Indonesia yang terdiri dari beribu pulau itu rumit alias rundut.
  • Pentingnya jaminan penghasilan dasar (sekurangnya penghasilan darurat)
  • Bahwa menjadi berkecukupan adalah kunci
  • A: Pentingnya kembali ke alam. B: Emangnya selama ini di akherat, Mas? A: Lagi merasa di alam kubur
  • Tetangge ane bilang ini ujian dari Allah supaya manusia ingat penciptanya. Begitu, Kakak. Ternyata, Covid-19 ini bukan ujian dari Allah. (Memang bukan. Itu virus. Bukan ujian. Soal tetanggamu, memangnya selama ini dia tidak mengingat penciptanya? Kayaknya malah overdosis mikirin penciptanya. Sesekali mikirin teori relativitas, gitu)
  • Perlunya banyak duit. Kalau disuruh #StayAtHome gak bingung mau makan apa, bagaimana bayar ini itu, dan bisa santuy.
  • Sebenarnya masyarakat itu nggak penting-penting banget kalau nggak pas tahun politik.
  • Potret garong menunjukkan perangai original.
  • Priyayi di negara kita benar benar percaya bahwa bukan saja kebal hukum, tapi mereka juga kebal virus
  • Rasa peduli timbul karena adanya empati. Bisa kita perhatikan, biasanya orang-orang yang berkoar-koar dan bergaya suci (sebatas di mulut) namun tidak mempunyai empati. Bila kita buka mata, akan kita temukan orang-orang itu di sekitar kita. Contoh: Pemuka agama yang kaya-raya hasil jual ayat namun kikir, senyap tak terdengar kiprahnya dalam meringankan beban masyarakat sekitarnya.
  • Bisa lihat mana yang teman sebenarnya
  • Semakin banyak yang nggak takut mati
  • Belajar nerima bahwa masih banyak (banget) pejabat daerah yang egois.
  • Kita belajar bahwa komunikasi yang tidak baik tak akan bisa menyelesaikan masalah dengan masalah
  • Ada orang yang memikirkan orang banyak. Ada yang sangat-sangat egois
  • Setidaknya jadi banyak yang hafal doa qunut
  • Dunia ini tidak adil. Jadi, biasakan dirimu.
  • Banyak orang peduli, tapi lebih banyak lagi yang nggak peduli.
  • Orang bego tuh nggak takut mati
  • Orang pintar banyak tapi orang yang bego jauh lebih banyak!

Kalau menurut kamu, gimana?