Penyebab Kegagalan Komunikasi Pemerintah tentang COVID-19

COVID-19: Apa yang Membuat Kegagalan Komunikasi Pemerintah?

Pembubaran kerumunan warga oleh aparat terjadi di sejumlah wilayah di Indonesia. Di tengah semakin mengganasnya penularan virus corona, sebagian masyarakat ternyata masih belum disiplin dalam menerapkan pembatasan sosial atau social distancing.

Mengapa seruan pemerintah tidak dipatuhi? Apa yang melatari kegagalan komunikasi pemerintah?

Ilmu Komunikasi mengenal istilah noise atau gangguan. Unsur noise sangat menentukan berhasil-tidaknya sebuah komunikasi. Noise dalam komunikasi bisa berupa gangguan fisik, gangguan teknis, gangguan semantik, dan gangguan psikologis (West dan Turner, 2008:12). Memang ada jenis noise lain seperti gangguan kultural, namun untuk mengulasnya dengan baik dibutuhkan kajian tersendiri.

Pertama, gangguan fisik yang disebabkan kondisi biologis. Misalnya saja kelompok disabilitas tuli yang memiliki metode komunikasi khusus. Komunikasi dari otoritas kepada mereka mengalami gangguan kalau informasi tentang corona di TV tidak menyertakan Bahasa Isyarat. Begitu pula dengan disabilitas netra yang tidak dapat menerima informasi melalui media cetak atau media luar ruang seperti pamflet atau infografis corona.

Kedua, gangguan teknis, yang bisa terjadi jika ada komponen teknis yang menghambat penyaluran informasi. Contoh: tidak semua masyarakat Indonesia memiliki jaringan internet atau kuota data yang memungkinkan untuk mendapatkan perkembangan informasi sebaran kasus corona melalui situs resmi pemerintah. Hal ini dapat berdampak pada kesadaran dan kewaspadaan masyarakat terhadap ancaman virus corona.

Ketiga, adalah gangguan semantik yang disebabkan oleh adanya kendala kebahasaan dalam mengirim dan menerima informasi. Telah banyak narasumber ahli berkomentar di TV dan berbagai media lainnya dalam menjelaskan virus corona. Namun, tidak jarang mereka menggunakan bahasa yang sulit untuk dipahami oleh orang awam. Di antara istilah yang cukup populer misalnya adalah lockdown, social distancing, hand sanitizer, mortality rate, ODP, dan PDP.

Demikian juga dengan frase “penutupan tempat ibadah” yang terkesan adanya larangan untuk beribadah. Padahal, maksud pemerintah adalah mengimbau masyarakat untuk menghindari kerumunan, termasuk kerumunan jamaah saat ibadah di masjid. Komunikasi pemerintah seharusnya lebih menekankan pada anjuran untuk beribadah di rumah ketimbang “penutupan tempat ibadah”.

Bagaimanapun, persoalan komunikasi adalah tentang bagaimana sebuah pesan sampai dan dimengerti oleh kelompok sasaran. Tiap kelompok memiliki karakteristik dan kompetensi bahasa yang beragam. Ibu-ibu di pasar berbeda dengan remaja yang nongkrong di kafe atau kelompok bermain anak-anak.

Dalam konteks itu, gagasan two-step flow of communication dari Paul Lazarsfeld perlu dipahami, khususnya oleh pihak otoritas seperti pemerintah. Gagasan ini mengasumsikan bahwa orang kebanyakan pandangannya banyak dipengaruhi oleh opinion leaders, di mana para opinion leaders ini juga dipengaruhi pandangannya oleh media massa. Singkatnya, opinion leaders berperan menjembatani pesan dari media ke masyarakat luas.

Dengan memahami ini, pemerintah bisa meminta bantuan kepada pihak-pihak tertentu untuk mengadaptasi istilah-istilah sulit. Diksi “social distancing”, misalnya, oleh guru terhadap muridnya dapat diganti dengan kalimat “kita jaga jarak dari orang lain supaya kita aman dari virus jahat corona”; atau “penutupan tempat ibadah” yang oleh ustaz ke jamaahnya dapat diperbaiki dengan “penundaan jumat berjamaah untuk menjaga keselamatan jiwa umat”.

Kemudian, yang keempat, adalah gangguan yang berdimensi psikologis. Untuk memahami ini, kita perlu untuk memahami konsep “frame of reference” dari Wilbur Schramm (1971). Frame of reference merupakan keseluruhan pengalaman, nilai-nilai, harapan, status sosial ekonomi, hingga preferensi politik individu. Semakin luas jurang perbedaan frame of reference antara komunikator dengan komunikan, maka akan semakin besar pula gangguan komunikasi.

Terlepas dari normativitas alasan ekonomi, fenomena ketidakpatuhan masyarakat terhadap imbauan pembatasan sosial juga dapat disebabkan adanya political prejudice (prasangka politis) dari masyarakat terhadap pemerintah dan media. Hal ini dilatarbelakangi oleh adanya memori historis publik terhadap citra pemerintah. Publik akan mengingat jejak inkonsistensi kebijakan yang pernah dijanjikan oleh pemerintah.

Sebagai contoh misalnya adalah pengumuman Presiden Joko Widodo tentang relaksasi kredit bagi kreditur ojek daring dan pelaku UMKM yang sampai hari ini belum terealisasi sepenuhnya. Demikian juga dengan adanya ketidakcocokan data pasien COVID-19 antara yang dimiliki oleh Pemprov DKI Jakarta dan Sumatera Barat dengan data yang dimiliki oleh pemerintah pusat.

Implikasinya, sebagian publik memiliki kekecewaan atau ketidakpercayaan terhadap institusi pemerintah. Inkonsistensi seperti ini akan memicu kegagalan komunikasi antara pemerintah dan rakyatnya, sebagaimana yang digambarkan oleh J. Michael Sproule:

“Ketika orang ditipu, mereka tidak mempercayai sumber yang telah menipunya. Jika mayoritas dari sumber informasi yang ada di masyarakat bertindak tanpa mempertimbangkan kejujuran dalam berkomunikasi, maka semua komunikasi menjadi lemah” (1980:282).

Apalagi Fiske (1987:126) dalam bukunya Television Culture menjelaskan bahwa konsumen media memiliki agensi untuk membentuk makna sesuai keinginan mereka sendiri. Misalnya, kampanye “Darurat Corona” dan “social distancing” dapat dimaknai oleh kalangan tertentu sebagai bagian dari teater politik penguasa untuk mempertahankan pengaruhnya.

Lantas pelajaran apa yang harus dipetik dari fenomena komunikasi di atas?

Pertama, komunikasi adalah subsistem dari sistem politik atau negara. Ibarat manusia, negara adalah tubuh dan komunikasi adalah darahnya. Sehatnya sebuah kehidupan bernegara sangat bergantung pada kualitas dan kuantitas peredaran darah pada setiap organnya.

Kedua, dalam situasi darurat bencana, baik itu alam maupun non-alam, seharusnya setiap jenjang otoritas hendaknya memiliki strategi dan perencanaan komunikasi yang komprehensif dan terkoordinasi. Tentu kebijakan komunikasi harus pula mempertimbangkan aspek keterbukaan informasi publik. Negara harus memastikan tidak ada warganya yang harus menanggung risiko maut akibat kebuntuan komunikasi.


Artikel ini memakai lisensi Creative Commons Atribution-Noncommercial. Pertama kali dimuat di laman remotivi.or.id, ditulis kembali dengan pengubahan seperlunya.