Sunyi yang Berbunyi: COVID-19, Segeralah Berlalu!!!

Sound of Silence

”The Sound of Silence”dinyanyikan oleh duo legendaris Amerika, Simon dan Garfunkel. Lagu inilah yang mengantarkan mereka ke tangga kepopuleran mereka. Seperti ditulis ‘Wikipedia, The Sound of Silence (SOS) ditulis pada bulan Februari 1964 oleh Paul Simon, dan diproduseri oleh Tom Wilson dan Teo Macero. Saking populernya, SOS dinyanyikan dalam banyak versi yang berbeda.

Pentatonix
Gerard Lenorman

(Dengan judul yang sama dalam bahasa Prancis ‘Chanson d’innocence’)

Michael Castalado

(Tua Immagine dalam albumnya ‘Aceto’, yang diparafrase sebagai sebuah tribute untuk sosok Marlyn Monroe)

Tak ketinggalan pula suara menggelegar versi rock-metal dari si botak Disturbed, David Draiman.

… dan banyak versi lainnya.

Mengapa Sound of Silence?

Lagu ini dibawakan dengan kunci dasar D Minor, dilengkapi dengan progresi akor sederhana yang khas untuk versi harmoni dua nada karena dimaksudkan untuk dinyanyikan secara duet (Simon dan Garfunkel). Dilihat dari komposisi liriknya, lagu ini terdiri dari 5 versi yang di gambungkan menjadi satu. Sehingga pola lagu tersebut terkesan berulang dengan tempo, dan nada yang sama di setiap versinya. Dibandingkan dengan lagu populer mereka lainnya, yaitu ” Bridge Over Troubled Water”, SOS hanya menduduki posisi kedua karena awalnya hanya diiringi dengan gitar akustik sehingga banyak orang terkesan jenuh dengan pembawaan lagu dengan musikalitas sederhana.

Di kemudian hari, ternyata musik yang sederhana  tetapi berisi mendapat tempat yang semakin besar di hati dan teliga banyak penikmat nada.

Dari antara hanya sedikit lagu legendaris lainnya, SOS berhasil mendapat tempat di hati para penikmat balada antargenerasi. Mulai dari opa-opa yang nongkrong di kafe sembari menenangkan diri untuk tidak larut dalam trauma post-power syndromme akibat pensiun hingga seorang Natan Gilbert Sinaga, murid SMA yang memilih lagu ini sebagai objek kajian ketika Saya tugasi menuliskan sebuah kritik seni.

Mengapa demikian. Coba kita simak liriknya.


Hello darkness, my old friend
I’ve come to talk with you again
Because a vision softly creeping
Left its seeds while I was sleeping
And the vision that was planted in my brain
Still remains
Within the sound of silence

In restless dreams I walked alone
Narrow streets of cobblestone
‘Neath the halo of a street lamp
I turned my collar to the cold and damp
When my eyes were stabbed by the flash of a neon light
That split the night
And touched the sound of silence

And in the naked light I saw
Ten thousand people, maybe more
People talking without speaking
People hearing without listening
People writing songs that voices never share
And no one dared
Disturb the sound of silence

“Fools, ” said I, “You do not know
Silence, like a cancer, grows
Hear my words that I might teach you
Take my arms that I might reach you”
But my words, like silent raindrops fell
And echoed in the wells, of silence

And the people bowed and prayed
To the neon god they made
And the sign flashed out its warning
In the words that it was forming
And the sign said, “The words of the prophets are written on the subway walls
And tenement halls”
And whispered in the sounds of silence


Kecemasan Abad Ini

Beberapa penulis menuturkan bahwa lagu ini ditulis untuk mengenang kejadian yang menimpa warga AS dan dunia pascapembunuhan John F. Kennedy pada tahun 1963. Lihatlah makna yang tersirat pada bagian ini:

Hello darkness, my old friend. I’ve come to talk with you again

Kata-kata yang sungguh melambangkan kesepian yang gelap.

Atau,

In restless dreams I walked alone. Narrow streets of Cobblestone

Simon dan Garfunkel benar-benar serius menggambarkan kehidupan masyarakat disana yang sangat rumit dan sulit setelah presiden mereka dibunuh secara misterius, menyusul berbagai revolusi tradisi dan fenomen post-modernisme yang membingungkan banyak orang.

Pandemi Covid-19: SAAT YANG TEPAT UNTUK KEMBALI MENYANYIKAN Sound Of Silence

Kebanyakan lagu yang ditulis Paul Simon sangat personal. Akan tetapi dia berhasil membuatnya sedemikian rupa sehingga tidak terkesan mengasihani diri sendiri. Misalnya, The Boxer ditulis ketika dia benar-benar mengalami sulitnya mencari nafkah di dunia musik, membuat liriknya relevan bagi siapapun yang sedang kesulitan mencari pekerjaan yang layak bagi dirinya dan keluarganya. Kaum pengangguran, misalnya.

Di SOS, Simon menggambarkan kemarahannya terhadap perasaan terasing akibat fenomena dunia post-modern (posmo). Pembunuhan atas Kennedy adalah salah satu pemicunya. Simon melihat situasi keterasingan ini sebagai hasil dari ketidakmampuan manusia untuk berkomunikasi secara efektif satu sama lain. Ditambah lagi dengan sikap menerima begitu saja pendapat atau opini yang disajikan oleh media massa. Semua ini bermuara para prinsip mencari kesenangan sendiri, atau lingkaran kecil sendiri, tanpa perduli pada banyak orang.

SOS mengutip ayat biblis ini:

And in the naked light I saw ten thousand people maybe more.

Ini adalah gambaran tentang ketidakmampuan dan ketidakmauan kita untuk berkomunikasi secara sungguh-sungguh, satu sama lain.

Lanjutnya:

People talking without speaking. People hearing without listening. People writing songs that voices never shared.

(Orang ngomong tetapi tak ada pesan yang disampaikan.

Orang mendengar tetapi tidak menyimak.

Banyak lagu ditulis, tapi tak menyuarakan aspirasi apapun).

Lagu ini seakan berteriak kencang di telinga orang-orang – yang melihat situasi tidak manusiawi ini – tapi tak mau melakukan apapun. Semacam mentalitas “don’t rock the boat”:

No one dared disturb the sound of silence.

Seakan memandang semua kejadian di depan mata bak seorang pengamat, si penyanyi memang melihat apa yang sedang terjadi tapi tak berdaya untuk menyuarakan kegelisahannya. Orang tak mendengarkannya sebab ia hanya bunyi dari kesunyian:

“Fools!”, said I. “Do you not know silence like a cancer grows? Hear my words. So I might teach you. Take my arms. So might reach you.” But my words like silent raindrops fell.

Tanpa mengesampingkan banyak penyebab dari semua malapetaka yang menimpa kita dewasa ini, meniru Paul Simon, Garfunkel dan Ebiet G. Ade, saatnya mengakui bahwa memang benar kita banyak kesalahan. Kesalahan yang mesti kita perbaiki. Situasi sulit sekarang ini, secara khusus akibat pandemi COVID-19 yang telah merenggut nyawa banyak manusia di berbagai belahan dunia, adalah saat yang tepat untuk berdiam diri, merenungkan dalam hening. Demikian sehingga suara dari kesunyian terdengar, kita pun semakin mawas dan jeli terhadap tanda-tanda zaman.

And the people bowed and prayed to the neon god they made.

Sang Narator Besar (pada lagu ini, dan balada-balada lainnya yang sudah dan akan terus ditulis orang) tampaknya ingin mengingatkan kita bahwa jika tetap membiarkan semua kesalahan ini (baca: kebobrokan individu dan sistem, sikap koruptif, individualisme ekstrim, menjual ayat dan mayat demi kuasa, masa bodoh dengan nasib orang lain), maka kita sedang berjalan menuju kehancuran.


Semoga pandemi COVID-19 ini segera berlalu.