Pilihlah Hidup

Aaa … aaa …. aaa …

Should’ve stayed were the signs I ignored?

Can I help you not to hurt anymore?

We saw brilliance, when the world, was asleep.

There are things that we can have but can’t keep

 

If they say

Who cares if one more light goes out

In a sky of a million stars?

It flickers, flickers

Who cares when someone’s time runs out

If a moment is all we are

We’re quicker, quicker

Who cares if one more light goes out?

Well I do.

 

The reminders pull the floor from your feet

In the kitchen, one more chair than you need oh

And you’re angry, and you should be, it’s not fair

Just ’cause you can’t see it, doesn’t mean it isn’t there

 

If they say,

Who cares if one more light goes out

In a sky of a million stars?

It flickers, flickers

Who cares when someone’s time runs out

If a moment is all we are

We’re quicker, quicker

Who cares if one more light goes out?

Well I do.

 

If they say,

Who cares if one more light goes out

In a sky of a million stars?

It flickers, flickers

Who cares when someone’s time runs out

If a moment is all we are

We’re quicker, quicker

Who cares if one more light goes out?

Well I do.


Lagu ini cukup legendaris bagi banyak orang, termasuk Saya.

Pertama, karena Chester Bennington, si vokalis Linkin Park yang menyanyikan lagu ini, kita ketahui meninggal bunuh diri. Ini sudah lebih dari cukup menjelaskan mengapa lagu ini kemudian menjadi sangat sarat makna dan pesan untuk direnungkan.

Kedua, setelah melihat versi cover dari One Voice Children’s Choir, ada perasaan merinding meski sudah mendengarkannya untuk kesekian kalinya. Versi yang dibuat dalam rangka bulan Suicide Prevention and Awareness (Sikap Mawas dan Pencegahan terhadap Bunuh Diri) ini membuat “One More Light” semakin istimewa. Selain karena ketertarikan dengan melodi lagu yang dengan menakjubkan dinyanyikan oleh paduan suara, anggotanya anak-anak pula, dengan indah duka dan harapan tergambar disini.

Belum lama ini, kita mendengar banyak kejadian artis bahkan orang biasa yang melakukan tindakan bunuh diri. Saya tidak ingin memulai perdebatan tentang asal-muasal, sebab atau situasi yang menyebabkan fenomena suram generasi kita ini. Sebab sangat kompleks dan rentan subjektif jika mencoba menggunakan sudut pandang tunggal.

Saya hanya mau menawarkan supaya kita sesekali memperkaya nalar kita yang sangat rasional-positivistik dengan kandungan cipta yang penuh dengan rasa dan empati. Melalui seni terutama lagu, hal ini lebih tepat dan akurat tersampaikan. Sebagai anasir tertinggi dari peradaban yang tinggi (terlebih bagi warga Nusantara yang kerap menyebut dirinya berbudaya adiluhung), lagu (sebagai bagian dari seni dan budaya) sekali lagi menegaskan dirinya sebagai sarana komunikasi yang paling tepat. Di dalamnya, misteri hidup dan mati – yang tak hentinya membuat kita bingung – disampaikan dengan indah.

Kembali ke cover One Voice Children’s Choir. Seperti ditulis di deskripsi videonya, ternyata lagu ini juga mereka dedikasikan untuk salah satu anggota paduan suara mereka, Megan. Sang konduktor, Masa merasakan kepedihan yang cukup mendalam atas kepergian gadis cilik Megan. Sedih-sesedihsedihnya, sama dengan orangtua, teman dan kerabat Megan.

Ketiga, sekali lagi, seni yang bagus, ialah seni yang menyatukan manusia. Seniman yang baik akan menciptakan karya yang menyatukan manusia. Jika setiap mendengar lagunya kita menjadi teringat akan sosok dan pesan kehidupan yang disampaikannya, itulah seniman yang sudah mencapai pencerahan tertinggi. Buat Saya, “One More Light” adalah salah satu contohnya.

Keempat, seperti pesan lagu ini: Pilihlah hidup.

Choose to live.

Choose to stay.

Coronialis BOEMI Bertanya

Awal Bertemu

Mereka tampak antusias. Terbaca dari respon mereka di layar perangkatku.  Iya, mereka anak-anak didikku yang ganteng dan cantik itu. Kami bertemu lagi di GC (Google Classroom).

Kusebut mereka Coronialis Boemi.

  • “Coronialis” sebagai istilah keren dari “angkatan Corona”, sebuah julukan (sebagian menganggapnya ejekan, sebagian lagi pujian) yang menandakan bahwa di zaman ini, ketika generasi lain baru lahir dan generasi lainnya sudah mendekati uzur, angkatan mereka adalah calon generasi produktif berikutnya (“kelas pekerja” jika kamu lebih akrab dengan yang berbau kiri alias Marxis) yang saat ini sedang digodok secara unik karena pandemi akibat virus Corona. Unik karena berbeda dengan generasi lainnya yang dididik dengan tatap muka seperti biasa di sekolah, mereka dan kami para guru mereka harus mengalami proses didik dan ajar “dalam jaringan: (daring) internet. Entah sampai kapan pandemi ini berakhir, semoga para ilmuwan peneliti dan industri farmasi segera berhasil mencarikan solusi.
  • Boemi adalah akronim populer untuk Budi Mulia, sekolah dimana kami terdaftar sebagai pendidik dan murid.

Memangnya mereka seantusias apa?

Jadi gini, awalnya aku menganimasi mereka dengan sebuah postingan penugasan di forum. Animasi sendiri berasal dari bahasa latin yaitu “anima” yang berarti jiwa, hidup, semangat. Isinya kurang lebih seperti ini:

Tak butuh waktu lama, dokumen tersebut penuh dengan berbagai pertanyaan. Lho, kok aneh, bukankah guru yang seharusnya memberi pertanyaan dan meminta Siswa menjawab?

Benar. Memang lebih sering demikian. Tapi tak ada salahnya, berguru kepada Si Guru Besar kita, “Oppu i” Socrates.

Memangnya, apa kata beliau?

Socrates

Memahami pertanyaan itu sama dengan mengetahui setengah jawabannya. Masuk akal juga sih. (Ya pastilah, wong si Filsuf Besar yang ngomong begitu, si Essential Thinker itu loh) Banyak orang yang keblinger menanggapi sesuatu, karena tidak memahami esensi dari permasalahan yang dibahas. Orang yang mengerti umumnya bisa memberi pertanyaan yang tepat. Dan orang hanya bisa memberi pertanyaan yang tepat jika ia memahami apa yang dia tanyakan.

Hitung-hitung, latihan membuat pertanyaan adalah latihan berfikir kritis. Bukankah berfikir kritis adalah paduan dari pola HOTS (High Order Thinking Skill), jargon yang sedang populer sekaligus dicintai dan dibenci oleh anak sekolahan?(Disukai karena baik untuk mengasah pola pikir siswa untuk menghadapi test-test penting berikutnya, entah di sekolah atau ketika nanti hendak melanjut ke universitas. Dibenci karena, ya, sesuai namanya memang membutuhkan penalaran tingkat tinggi.)

Ciaelaaah... Okeh,, sekarang kita serius.

Ketika anak didik diberi materi berupa file presentasi, entah Word, PDF, PPT atau penugasan langusng dari buku paket atau bentuk lain, umumnya sebagai pemateri kita kan hanya berasumsi saja bahwa mereka akan membaca dan akan memahami materi yang diberikan. Bagaimana kita memastikan bahwa mereka membaca? Jika mereka sudah membaca, bagaimana memastikan mereka memahami apa yang mereka baca? Untukku, membuat pertanyaan berdasarkan bahan yang baru dibaca adalah salah satu cara terbaik.

Itulah hal-ikhwal munculnya tulisan kompilasi pertanyaan tentang modifikasi Seni Rupa 2 Dimensi ini. Oh iya, bagi para murid SMA, para rekan guru Seni Budaya, dan siapapun yang hendak membaca tulisan ini sampai habis dan menemukan setitik manfaat darinya, sebagai early warning, sesuai namanya “kompilasi”, tulisan ini akan cukup panjang. Baiknya ada kopi di sampingmu jika kamu suka ngopi, atau ngemil yang tidak membuat gendut (ada ya?). Pokoknya, usahakan membaca dalam situasi “pewe” (PW alias posisi uwenak” a.k.a situasi nyaman tanpa terjebak di zona nyaman).

Maka, tanpa berpanjang-panjang lagi, sebab pengantar ini pun sudah cukup panjang, pembaca sekalian, inilah:

  1. Kompilasi pertanyaan siswa Saya terhadap topik Modifikasi Seni Rupa Dua Dimensi (klik tautan ini).
  2. Kompilasi pertanyaan siswa Saya terhadap topik Imajinasi pada Seni Rupa Dua Dimensi (klik tautan ini) Continue reading Coronialis BOEMI Bertanya

Sunyi yang Berbunyi: COVID-19, Segeralah Berlalu!!!

Sound of Silence

”The Sound of Silence”dinyanyikan oleh duo legendaris Amerika, Simon dan Garfunkel. Lagu inilah yang mengantarkan mereka ke tangga kepopuleran mereka. Seperti ditulis ‘Wikipedia, The Sound of Silence (SOS) ditulis pada bulan Februari 1964 oleh Paul Simon, dan diproduseri oleh Tom Wilson dan Teo Macero. Saking populernya, SOS dinyanyikan dalam banyak versi yang berbeda.

Pentatonix
Gerard Lenorman

(Dengan judul yang sama dalam bahasa Prancis ‘Chanson d’innocence’)

Michael Castalado

(Tua Immagine dalam albumnya ‘Aceto’, yang diparafrase sebagai sebuah tribute untuk sosok Marlyn Monroe)

Tak ketinggalan pula suara menggelegar versi rock-metal dari si botak Disturbed, David Draiman.

… dan banyak versi lainnya.

Mengapa Sound of Silence?

Lagu ini dibawakan dengan kunci dasar D Minor, dilengkapi dengan progresi akor sederhana yang khas untuk versi harmoni dua nada karena dimaksudkan untuk dinyanyikan secara duet (Simon dan Garfunkel). Dilihat dari komposisi liriknya, lagu ini terdiri dari 5 versi yang di gambungkan menjadi satu. Sehingga pola lagu tersebut terkesan berulang dengan tempo, dan nada yang sama di setiap versinya. Dibandingkan dengan lagu populer mereka lainnya, yaitu ” Bridge Over Troubled Water”, SOS hanya menduduki posisi kedua karena awalnya hanya diiringi dengan gitar akustik sehingga banyak orang terkesan jenuh dengan pembawaan lagu dengan musikalitas sederhana.

Di kemudian hari, ternyata musik yang sederhana  tetapi berisi mendapat tempat yang semakin besar di hati dan teliga banyak penikmat nada.

Dari antara hanya sedikit lagu legendaris lainnya, SOS berhasil mendapat tempat di hati para penikmat balada antargenerasi. Mulai dari opa-opa yang nongkrong di kafe sembari menenangkan diri untuk tidak larut dalam trauma post-power syndromme akibat pensiun hingga seorang Natan Gilbert Sinaga, murid SMA yang memilih lagu ini sebagai objek kajian ketika Saya tugasi menuliskan sebuah kritik seni.

Mengapa demikian. Coba kita simak liriknya.


Hello darkness, my old friend
I’ve come to talk with you again
Because a vision softly creeping
Left its seeds while I was sleeping
And the vision that was planted in my brain
Still remains
Within the sound of silence

In restless dreams I walked alone
Narrow streets of cobblestone
‘Neath the halo of a street lamp
I turned my collar to the cold and damp
When my eyes were stabbed by the flash of a neon light
That split the night
And touched the sound of silence

And in the naked light I saw
Ten thousand people, maybe more
People talking without speaking
People hearing without listening
People writing songs that voices never share
And no one dared
Disturb the sound of silence

“Fools, ” said I, “You do not know
Silence, like a cancer, grows
Hear my words that I might teach you
Take my arms that I might reach you”
But my words, like silent raindrops fell
And echoed in the wells, of silence

And the people bowed and prayed
To the neon god they made
And the sign flashed out its warning
In the words that it was forming
And the sign said, “The words of the prophets are written on the subway walls
And tenement halls”
And whispered in the sounds of silence


Kecemasan Abad Ini

Beberapa penulis menuturkan bahwa lagu ini ditulis untuk mengenang kejadian yang menimpa warga AS dan dunia pascapembunuhan John F. Kennedy pada tahun 1963. Lihatlah makna yang tersirat pada bagian ini:

Hello darkness, my old friend. I’ve come to talk with you again

Kata-kata yang sungguh melambangkan kesepian yang gelap.

Atau,

In restless dreams I walked alone. Narrow streets of Cobblestone

Simon dan Garfunkel benar-benar serius menggambarkan kehidupan masyarakat disana yang sangat rumit dan sulit setelah presiden mereka dibunuh secara misterius, menyusul berbagai revolusi tradisi dan fenomen post-modernisme yang membingungkan banyak orang.

Pandemi Covid-19: SAAT YANG TEPAT UNTUK KEMBALI MENYANYIKAN Sound Of Silence

Kebanyakan lagu yang ditulis Paul Simon sangat personal. Akan tetapi dia berhasil membuatnya sedemikian rupa sehingga tidak terkesan mengasihani diri sendiri. Misalnya, The Boxer ditulis ketika dia benar-benar mengalami sulitnya mencari nafkah di dunia musik, membuat liriknya relevan bagi siapapun yang sedang kesulitan mencari pekerjaan yang layak bagi dirinya dan keluarganya. Kaum pengangguran, misalnya.

Di SOS, Simon menggambarkan kemarahannya terhadap perasaan terasing akibat fenomena dunia post-modern (posmo). Pembunuhan atas Kennedy adalah salah satu pemicunya. Simon melihat situasi keterasingan ini sebagai hasil dari ketidakmampuan manusia untuk berkomunikasi secara efektif satu sama lain. Ditambah lagi dengan sikap menerima begitu saja pendapat atau opini yang disajikan oleh media massa. Semua ini bermuara para prinsip mencari kesenangan sendiri, atau lingkaran kecil sendiri, tanpa perduli pada banyak orang.

SOS mengutip ayat biblis ini:

And in the naked light I saw ten thousand people maybe more.

Ini adalah gambaran tentang ketidakmampuan dan ketidakmauan kita untuk berkomunikasi secara sungguh-sungguh, satu sama lain.

Lanjutnya:

People talking without speaking. People hearing without listening. People writing songs that voices never shared.

(Orang ngomong tetapi tak ada pesan yang disampaikan.

Orang mendengar tetapi tidak menyimak.

Banyak lagu ditulis, tapi tak menyuarakan aspirasi apapun).

Lagu ini seakan berteriak kencang di telinga orang-orang – yang melihat situasi tidak manusiawi ini – tapi tak mau melakukan apapun. Semacam mentalitas “don’t rock the boat”:

No one dared disturb the sound of silence.

Seakan memandang semua kejadian di depan mata bak seorang pengamat, si penyanyi memang melihat apa yang sedang terjadi tapi tak berdaya untuk menyuarakan kegelisahannya. Orang tak mendengarkannya sebab ia hanya bunyi dari kesunyian:

“Fools!”, said I. “Do you not know silence like a cancer grows? Hear my words. So I might teach you. Take my arms. So might reach you.” But my words like silent raindrops fell.

Tanpa mengesampingkan banyak penyebab dari semua malapetaka yang menimpa kita dewasa ini, meniru Paul Simon, Garfunkel dan Ebiet G. Ade, saatnya mengakui bahwa memang benar kita banyak kesalahan. Kesalahan yang mesti kita perbaiki. Situasi sulit sekarang ini, secara khusus akibat pandemi COVID-19 yang telah merenggut nyawa banyak manusia di berbagai belahan dunia, adalah saat yang tepat untuk berdiam diri, merenungkan dalam hening. Demikian sehingga suara dari kesunyian terdengar, kita pun semakin mawas dan jeli terhadap tanda-tanda zaman.

And the people bowed and prayed to the neon god they made.

Sang Narator Besar (pada lagu ini, dan balada-balada lainnya yang sudah dan akan terus ditulis orang) tampaknya ingin mengingatkan kita bahwa jika tetap membiarkan semua kesalahan ini (baca: kebobrokan individu dan sistem, sikap koruptif, individualisme ekstrim, menjual ayat dan mayat demi kuasa, masa bodoh dengan nasib orang lain), maka kita sedang berjalan menuju kehancuran.


Semoga pandemi COVID-19 ini segera berlalu.