Lirik Lagu Batak Semakin Jelek, Kok Banyak yang Suka?

Prolog

Sudah setahun berselang setelah Jarar Siahaan menulis di portal Laklak bahwa lagu Batak semakin tidak bermutu. Kepada pembaca, ia meneruskan sentilan Manahan Situmorang terhadap lagu Batak kekinian yang picisan dan asal-asalan syairnya. Bagi Jarar, generasi muda perlu mendengar lagu-lagu Batak tempo dulu yang bermutu tinggi dan mengandung ajaran budi pekerti.

Disebutnya, Manahan mengkritik lagu Batak zaman sekarang yang menulis lirik secara serampangan. Ia menyayangkan banyaknya tembang Batak yang ditulis asal jadi dengan campuran kata-kata berbahasa Indonesia, bahkan ada lirik lagu Batak yang bersifat tidak mendidik.

Ise mandokhon ahu selingkuh. Bukan bahasa Batak itu selingkuh, tapi mangalangkup. Kecewa, kecewa ahu, Ito. Kecewa? Seharusnya tarhirim“.

Manahan membandingkan lagu-lagu Batak yang terlah berusia empat puluhan tahun atau lebih, karangan tujuh maestro komposer Batak, yaitu Tilhang Gultom, Nahum Situmorang, Firman Marpaung, Ismail Hutajulu, Sidik Sitompul, Dakka Hutagalung, dan Tagor Tampubolon.

Lagu adalah puisi, maka pertahankan supaya tetap sastrawi.

Ketika mengajar di kelas, tak bosan Saya cerewet ke siswa ketika membahas lagu dan pengaruhnya bagi kebudayaan bahwa “lagu adalah puisi yang dinyanyikan“. Karena itu, harus susastra. Artinya harus sastra yang baik. Sastra yang baik itu seperti apa? Selain indah, harus pula menuntun orang pada kebaikan etika dan moral.

Sebuah lagu bisa terdengar merdu, liriknya puitis tetapi bukan lagu yang baik jika tidak memenuhi kriteria tadi, misalnya lagu “Mardua Dalan” dari Jen Manurung (sudah pernah saya ulas juga di blog ini).

Belum lagi jika membahas lagu sejenis “Orang Ketiga” atau “Te Hallet”. Lagu macam apa itu?

 

Kita kembali ke Manahan.

Tak cukup dengan menyebut nama, Manahan mengajak pendengar untuk mencermati langsung nilai susastra (sastra yang baik) dalam lagu-lagu hasil karya tujuh maestro tadi. Misalnya, lagu “Nahinali bakkudu“, senandung nan pilu tentang orangtua menangisi putranya yang tidak menikah hingga berkalang tanah, yang ditulis Nahum situmorang.

Nahinali bakkudu da sian bona ni bagot
behama ho doli songon boniaga so dapot
boniaga so dapot lakku dope nasaonan
behama ho doli tarloppo ho parsombaonan

atik parsombaonan dapot dope na pinele
behama ho doli songon burukburuk ni rere
matema ho amang doli
mate di paralangalangan da amang
mate di paraulaulan

Kemudian kita tahu bahwa Nahum memang tidak menikah hingga akhir hayatnya. Entah ada kaitannya dengan kisah hidup penulis langsung, tapi bagi yang mengerti bahasa Batak tentu akan terkagum dengan larik sastrawi yang menggunakan metafor klasik tersebut beserta makna filosofis yang diusungnya.

Tidak terbilang “panglatu“, akronim dari “Panglima Lajang Tua”, label peyoratif yang masih lazim kita dengar disematkan untuk pria Batak yang memutuskan tidak menikah hingga lanjut usia. Mereka pasti menangis mendengar lagu ini, meratapi nasib mereka sendiri, sebab di tengah konstruksi masyarakat Batak yang masih menganggap berketurunan sebagai sebuah keharusan, membujang hingga akhir hayat adalah aib yang mesti dihindarkan. Narasi seperti ini tentu sangat relevan dan membumi bagi kelompok panglatu tadi.

Pada sebuah cerpen berbahasa Batak, bagian dari antologi “Situmoing” narasi dengan tendens kritik tersirat ini juga dituturkan dengan apik oleh Saut Poltak Tampubolon. (Silahkan klik tautan ke Facebook ini untuk ngobrol langsung dengan Saut tentang buku yang dimaksud)

Ada lagu-lagu lainnya yang bisa kita periksa satu-satu dari kumpulan karya para komposer ternama di atas. Sebut saja misalnya “Sinanggar Tullo”, “Anakkonhi do Hamoraon di Au”, “Sitogol”, “Lisoi”, “Nasonang do Hita Nadua:, “Anju Ahu”, “Ndang Turpukta Hamoraon”, dan “Poda“.

Generasi Bona Pasogit versus Generasi Tiktok

Ulasan tentang Nahinali Bangkudu ini adalah buih kecil dari bukti lautan kerinduan para penikmat lagu Batak klasik. Mereka punya telinga musik yang sensitif. Mereka punya selera seni yang unik dan nalar yang tidak tega kalau musikalitas Batak tergilas begitu saja oleh kerasnya invasi selera pragmatis nan instan a la TikToker yang menggerogoti generasi muda.

Saat ini jumlah penikmat seni jenis ini mungkin belum banyak. Oleh pengguna Tiktok radikal, kelompok penikmat ini bisa jadi balas diejek dengan sebutan “jadul”, ketinggalan zaman, atau “kaku banget sih lo kayak kanebo kering“. Tidak masalah. Itu bukti demokrasi hadir di antara penikmat musik dan seni secara umum.

Meski tidak arif melabeli, tapi Saya mengusulkan untuk menyebut kelompok penikmat seni jenis ini dengan nama “generasi bona pasogit“. Nama ini kupikir cocok untuk mereka yang masih percaya bahwa ada nilai-nilai habatahon yang luhur itu masih ada, dan karenanya mesti tetap dipelihara. Siapa yang mesti menjaga? Ya, mereka yang tinggal dan hidup sebagai orang Batak, seperti gambaran ideal kita tentang bona pasogit.

Lho? Mengapa tidak gunakan saja pengelompokan berdasarkan umur: Generasi X (baby boomer), Y (milenial) dan Z (digital)? Tidak. Sebab, kulihat sendiri realitas yang terjadi. Ada old soul yang bisa kutemukan pada remaja belasan tahun. Sebaliknya ada pula orang yang sudah menjelang lanjut usia tapi masih doyan dengan lagu cover remix asal-asalan, yang penting ada terlihat tali pusar pedangdut bahenolnya. Ada juga generasi paruh baya yang demen goyang TikTok tak jelas (jangan salah, ada juga konten TikTok yang jelas dan mendidik, ini pengecualian ya).

Jelang Epilog

Tentu saja, hal ini tidak berlaku untuk keseluruhan lagu Batak yang tercipta zaman sekarang. Ini kesan umum semata, meski bukan juga generalisasi tergesa-gesa. Patut pula kita mengapresiasi para penulis lagu zaman sekarang yang hebat. Sebut saja Tongam Sirait, Willy Hutasoit (yang konon juga belajar bahkan meminjam lirik Tongam Sirait pada lagu yang melambungkan namanya), Alex Hutajulu dan nama-nama lain yang belum teridentifikasi saat ini. Nama-nama lain ini biarlah kita beri ruang lebar, sebab kita menunggu konsistensi mereka dalam proses berkesinian ini pula.

Oh iya. Selain Manahan Situmorang yang gelisah, Jarar yang menulis kegelisahannya, baru-baru ini kutemukan pula ulasan bernas oleh Panjotik Silaen.

Di konten videonya, Panjotik mencoba selangkah lebih maju. Alih-alih berkutat pada kegelisahan, ia mulai memberi edukasi tentang mengapa sebuah lagu bagus karena nilai filosofis yang terkandung di dalamnya. Dengan sederhana, ia membedah lagu “Holan Au Do Mangantusi Ho”

Satu hal positif tertangkap disini:

Generasi bona pasogit tidak bisa lagi berdiam diri sembari cemberut dan merengut kesal melihat generasi yang lebih muda lebih menyukai lagu picisan dan lirik asal-asalan. Mereka harus melakukan sesuatu.

Ada banyak faktor mengapa penurunan selera musik itu terjadi, selain dari pengaruh palsu “traffic” dan “Ad Sense” yang seolah menjadi tolok ukur sebuah lagu bagus atau tidak. Faktor utamanya ialah karena mereka tidak mengerti bahasanya.

What? Orang Batak tidak mengerti bahasa Batak? Tidak perlu heran. Itu realitas yang terjadi sekarang, disini.

Jika demikian, bagaimana mengatasinya? Kepada orang yang tidak tahu, beritahulah.

Ajarkanlah supaya mereka mengerti. Kalian yang mengaku punya selera musik bagus, ajarkanlah. Ulaslah mengapa lirik lagu Nahum itu pantas didengarkan. Tulislah bagaimana Dakka Hutagalung atau Tagor Tampubolon berusaha mempertahankan keindahan lagu Batak sembari bertahan di tengah kejamnya persaingan di industri musik nasional. Teruslah berbicara dengan anakmu perihal mengapa kamu tidak suka bergoyang TikTok, tapi masih setia mendengarkan lagu-lagu opera Tilhang Gultom. Tentu, tidak pula serta-merta melarang mereka ber-TikTok karena bisa jadi mereka akan langsung antipati.

Seperti layaknya proses pendidikan nilai pesan harus disampaikan dengan lembut, mengajarkan kearifan nilai dalam lagu Batak juga harus dengan halus pula.

Nanti, beberapa tahun kemudian, kita lihat hasilnya.


Habang binsakbinsak,
tu pandegean ni horbo
Unang hamu manginsak,
ai i dope na huboto