Politisasi Agama dan Identitas di Indonesia: Sudah sampai dimana?

Prolog

Kurang lebih dekade terakhir ini, kita melihat fenomen yang telanjang di hadapan kita masyarakat Indonesia. Kendati kita sedikit malu mengakuinya). Apa itu? Yak, betul: politisasi agama.

Term ini menyinggung tiga tema besar: Tuhan, Agama dan Politik.

Sekedar mengingatkan, jika Anda mengaku bertuhan, bukalah mata Anda pada kenyataan bahwa

sama seperti Anda mengaku memiliki Tuhan dan agama atau kepercayaan (yang menurut Anda paling tepat mewadahi sikap iman Anda dan membantu Anda menjadi semakin manusiawi sekaligus baik secara moral), setiap orang bertuhan lainnya di Indonesia ini juga mengaku memiliki Tuhan dan agama atau kepercayaannya sendiri-sendiri, yang menurut mereka paling tepat mewadahi sikap iman mereka, membantu mereka menjadi semakin manusiawi sekaligus baik secara moral.

Jika Anda memiliki pandangan politik yang menurut Anda paling tepat diterapkan di Indonesia untuk mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh bangsa Indonesia, ingatlah juga bahwa orang lain juga memiliki pandangan politik yang menurut mereka paling tepat diterapkan di Indonesia guna mewujudkan keadilan sosial yang sama.

Realitas keberagaman ini bisa saja terbaca sebagai sikap relativisme ekstrem – jika Anda menggiringnya ke arah itu. Faktanya, ini adalah realitas yang sama-sama kita alami dan hidupi dan bisa kita cerap secara sama. Tentu dengan mengandaikan bahwa kita memiliki pola logika yang sama.

Bahasa politik, filsafat dan iman kita mungkin berbeda sehingga tidak optimal menjadi sarana untuk membangun dialog di antara kita. Semoga kita pun sepakat bahwa dialog apapun yang ingin kita bangun, sebagai manusia Indonesia yang Pancasilais dan masih menginginkan Indonesia ini tetap utuh dan – jika bisa – semakin berkemajuan, kita memiliki tujuan besar (projecta remota) yang sama-sama ingin kita capai: keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.

Tanah air Indonesia artinya tanah dan air (sumber daya alam) Indonesia yang sejak awal adalah hak bangsa Indonesia, kini pun harus diberikan kepada bangsa Indonesia.

Di luar kerangka itu, tak perlu lagi kita merasa harus menjadi warga dari bangsa yang sama. Mainkan mainmu, kumainkan mainku.


Secara kebetulan, ada tiga masalah besar yang dihadapi bangsa Indonesia saat ini, yakni radikalisme, kesenjangan sosial-ekonomi dan kasus korupsi.

Straight at the bullet, dari segi mana politisasi agama turut berkontribusi pada radikalisme, kesenjangan sosial-ekonomi dan kasus korupsi?

Sebelum beranjak lebih jauh, mari kita sejenak melakukan Consideratio Status (Penyadaran Status) a la Ignasian yang terkenal itu.

Jika cermat, dengan Discernment (diskresi) yang tekun, syukur-syukur kita bisa memahami realitas yang terjadi saat ini dengan kacamata yang lebih jernah.

Lebih bersyukur lagi, setelah memiliki pemahaman yang lebih baik, kita tidak akan ragu memberikan kontribusi yang tepat sesuai porsi yang bisa kita lakukan.

Pertama, Anda – sama seperti Saya – hanya a speck in the universe (sebutir debu di jagat raya ini). Dalam konteks bernegara pun, Anda – sama seperti Saya – hanya salah seorang dari 267 juta (1 dari 267.000.000) penduduk Indonesia saat ini (menurut Katadata). Jadi, kita masih akan bangun kembali besok hari, melakukan pekerjaan kita seperti biasa, dan – jika sempat dan ingat – mencoba mengingat kembali, hari ini sumbangsih apa yang bisa aku berikan untuk turut serta mengatasi radikalisme, kesenjangan sosial-ekonomi dan kasus korupsi.

Maka, tenang saja, Anda tidak harus meninggalkan semua itu, pergi ke hutan belantara, menjadi bagian dari laskar gerakan revolusioner, bertahun-tahun menghimpun amunisi dan menyusun strategi lalu pada saatnya akan keluar dan memperbaiki tatanan bernegara dan berbangsa Indonesia ini seperti Thanos yang hendak meluluh-lantakkan dunia ini dengan tujuan membangun tatanan dunia baru (atau dalam konteks Anda, hendak membangun tatanan Indonesia yang baru).

Tidak, Ferguso.

Hal seperti itu belum akan terjadi. Bukan begitu skenarionya.

Selagi Anda masih bisa menyaksikan setiap timeline media sosial Anda berisi bencana alam dan bencana akibat tangan manusia, tapi lalu santai melanjutkan kembali chatting dan pamer-pamer foto Anda hari ini sembari tidak lupa meminta like, follow, subscribe dan comment dari teman media sosial Anda seolah tidak terjadi apa-apa, percayalah: Anda tidak akan pernah menjadi pemimpin dari sebuah gerakan revolusi. Pun, revolusi paling berdarah adalah revolusi yang dimulai dari diri sendiri.

Kedua, oke, memangnya kenyataan apa yang perlu diubah?

Ini yang terjadi. Ini yang perlu diubah:

Sebagian masyarakat masih bisa melaksanakan ibadat dengan tenteram tanpa gangguan signifikan dari pihak lain. Jika ini yang Anda alami, Anda patut bersyukur karena UUD 1945 Pasal 29 masih memberi manfaat untuk Anda. You do enjoy your life. Ya, memang , tetap saja ada banyak masalah (untuk urusan perut dan lain-lain, ya urus sendiri, kan sudah besar. :–)

Setidaknya, untuk kegiatan beribadah (berdoa, berkumpul, membaca, bernyanyi, bakti sosial)  Anda bisa dan boleh melaksanakan atau tidak melaksanakannya, tergantung pilihan Anda.


Sebagian lagi gelisah.

Galau melihat semakin maraknya gangguan terhadap kegiatan beragama. Jika Anda adalah bagian dari kelompok ini, Anda mungkin bertanya-tanya:

“Sebenarnya, Saya ini termasuk warga negara Indonesia bukan sih? Kok rasanya Saya tak menikmati perlindungan dari negara sesuai pasal 29? Tidak mungkin kan semua guru PPKN Saya sewaktu di sekolah berbohong? Guru di sekolah dulu bilang bahwa UUD 1945 dan Pancasila itu melindungi seluruh bangsa Indonesia secara ideologis dan konstitusional. Eh, tapi kok? Berdoa, dinyinyirin. Berkumpul untuk melakukan ibadat bersama, tak boleh karena izin dari pemerintah setempat belum keluar. Bakti sosial dianggap pencitraan dan modus rebutan umat. Oalah. Ini gimana sih sebenarnya? Atau, lebih baik aku pura-pura tutup mata saja. Eh, tapi nggak bisa.”

Begitu seterusnya. Besok begitu, besoknya juga begitu.

Situasi ini baru akan berakhir bagi Anda kalau:

1) Indonesia punya tatanan baru yang benar-benar mewujudkan keadilan sosial bagai seluruh bangsa, seperti Jin Aladin keluar dati tabungnya, yang Anda dan Saya tahu persis bahwa ini mustahil;

atau

2) Anda semakin muak, sampai pada tahap ekstrim, lalu Anda tidak tahan lagi, lalu Anda urus paspor untuk pindah kewarganegaraan. Syukur-syukur Anda memiliki apa yang perlu untuk mengeksekusi keputusan itu, atau Anda bisa meyakinkan negara tujuan Anda untuk menjadi asylum bahwa Anda sudah sebegitu menderita hidup sebagai warganegara Indonesia.

Indikasi yang dulunya samar, kini semakin jelas: “ini mesti ada urusan politik deh”. Benar nggak ya?

Anda berada pada posisi yang mana?

Kalau ini politik, menggunakan dikotomi sederhana, kita bisa melihat kaitannya dengan perseteruan antara mayoritas dan minoritas di Indonesia.

Secara kasat mata, umat Islam di Indonesia merupakan mayoritas. Sementara umat beragama lain dianggap minoritas. Dalam berbagai ranah, termasuk pada hukum misalnya, menjadi bagian mayoritas kerap dipandang dan dialami sebagai sebuah keistimewaan. Kecenderungan manusia mengikuti Hukum Inersia, tentu saja tidak ingin hak-hak istimewa semacam ini hilang. Maka, bersama dengan pemerintahan yang koruptif, dukungan dari mayoritas pun memungkinkan situasi yang sama tetap terjadi dari dekade ke dekade.

Sedangkan minoritas sering sekali dipandang diskriminatif. Untuk mencegah terjadinya diskriminasi tersebut, maka dimunculkanlah afirmasi bahwa kita semua NKRI, dan karenanya memiliki hak dan kewajiban yang sama sebagai warga negara. Secara teoretis hal ini pelan-pelan semakin tersosialisasi.

Prakteknya? Cek sendiri lingkungan sekitarmu.

Dengan perbedaan disana-sini, bipolaritas ini juga hadir sebagai kaum kanan dan kiri (seperti di Amerika Serikat, kendati konteks Indonesia dan AS memiliki perbedaan).

Politik – yang secara kodrati sebenarnya bertujuan luhur untuk menata warga negara untuk memajukan peradabaannya sebagian dari masyarakat, dinodai oleh baik kaum mayoritas maupun kaum minoritas. Secara politis, apa kesalahan yang dilakukan keduanya?

Pelan-pelan kita dibawa pada sebuah realitas baru: Selain menikmati berbagai manfaat, menjadi bagian dari mayoritas ternyata ada pahitnya juga. Ini ada hubungan dengan deliberasi moral semenjak Nusantara berganti nama menjadi Indonesia dan diproklamirkan sebagai bangsa yang baru, negara yang mendapat pengakuan sebagai negara berdaulat (soveregin country) oleh dunia internasional.

Samar-samar kita mulai melihat bahwa saat ini ada konsensus bahwa klaim superioritas religius atau rasial ternyata menempatkan Anda berada persis di luar diskursus politis. Maksudnya apa?

Lihatlah yang terjadi. Dialog-dialog yang dilakukan akhirnya berujung pada konflik.

  • Dialog politis antar partai dan kelompok: ricuh di ILC (Indonesian Lawyers Club).
  • Dialog sosial antarkomunitas: ricuh di media sosial (tak kurang dari lagu Sayur Kol yang viral menjadi bahan perdebatan antara komunitas pecinta anjing dan penyuka daging anjing sebagai makanan, belum lagi kaum agamawan masuk dan meributinya dengan fatwa haram dan halal).
  • Dialog antarumat beragama: apalagi. Lihatlah bagaimana forum-forum lintas agama, termasuk yang didirikan pemerintah seperti Forum Komunikasi Umat Beragama seolah tak berdaya memberikan solusi bagi emak-emak yang menangis menjerit-jerit karena tenda yang dia gunakan untuk beribadah dengan umat yang lain pun harus dirobohkan, pendetanya diinterogasi dan ibadahnya dihentikan oleh aparat keamanan setempat. Oh, jangan lupa, fenomen seperti ini saban hari terjadi di berbagai tempat di negeri yang dulu dikenal sebagai Nusantara ini.
  • Belum lagi diskrimanasi soal administrasi kependudukan dan hak-hak politis bagi sekian juta umat penganut kepercayaan, yang entah dasar filosofi dan logika dari mana, sampai hari ini tetap dibedakan dengan umat beragama, seakan-akan ada hirarki organisasi yang menyebut bahwa aliran kepercayaan lebih rendah dibandingkan 6 (enam) saja agama resmi di Indonesia.

KESALAHAN SILENT MAJORITY

Kesalahan klasik kaum mayoritas yakni: gagal mengawasi kecenderungan koruptif para penguasa, entah karena kebutaan dan sifat cuek yang disengaja. Dengan beberapa eksepsi, literasi politik (terutama menjelang pemilihan calon legislatif,  eksekutif dan perwakilan daerah) terjadi dengan aroma politik identitas yang sama.

Kebutaan dan sifat cuek ini yang diidap oleh Silent Majority inilah yang tiap hari dinyinyirin oleh kaum kiri.

Kerap secara dalam ironi. Tak jarang dalam parodi.

Tidak kurang dari Meme Sosialis Indonesia mempertunjukkannya dalam halaman Facebook,

Dalam satu atau dua kesempatan, seperti Saya, kemungkinan Anda juga merasa relate dengan keprihatinan terhadap diamnya silent majority ini. “Mereka kan yang paling banyak massa-nya, kalau mereka mau, mestinya mereka yang lebih efektif dan bisa memperbaiki tatanan kehidupan berbangsa dan bernegara ini”, begitu alam bawah sadar kita menyuarakan keprihatinan politis yang menurut kita paling murni dan tulus.

Jadi, ada garis keras, dimana identitas religius sebagai penanda superioritas, lalu ada garis lemah, yang juga tak luput dari kesalahan. Singkatnya, ketika memainkan politik identitas, mayoritas kanan melakukan kesalahan yang sama dengan minoritas kiri, vice versa.

Secara umum, kita meletakkan lanskap politis antara kanan dan kiri. Tetapi jangan lupa, ada sumbu (axis) lain, yakni kaum kolektivis versus individualis. Menggunakan irisan yang sejajar pada bipolaritas bangsa Indonesia, maka lahirlah kaum kolektivis kanan dan kaum kolektivis kiri. Sejauh kaum kiri dan kaum kanan ini mengusung konsep kolektivis, maka mereka salah. Kesalahan mereka terlihat jelas pada klaim superioritas religius tetapi juga sekaligus nasionalis.

“Aku NKRI, NKRI harga mati, tapi hak-hak istimewa yang kuterima sekarang sebagai bagian dari mayoritas, aku tak perduli apakah juga diterima oleh saudara sebangsaku yang minoritas”

Kira-kira, adakah angin pembaharuan yang sepoi-sepoi hendak mendinginkan panasnya politik negeri ini?

Entahlah.

KEBISINGAN MEDIA PERS

Ada banyak kebisingan yang diciptakan oleh pers.

Seakan-akan ada satu dua tokoh yang muncul dan membuktikan bahwa politik identitas di Indonesia akan segera berakhir, bahwa apapun agama dan etnis Anda, Anda berhak dan bisa terpilih menjadi Presiden, Gubernur, Walikota, Bupati, dan ketua RT.

Seakan-akan benar bahwa prinsip meritokrasi sudah dihidupi oleh bangsa ini.

Tapi lalu kita melihat. Ia hanya bersinar sebentar, lalu padam kembali oleh isu lain.

Isu-isu yang itu-itu saja dan membosankan.

Epilog Prematur

Jadi, sampai dimana politisasi agama dan identitas di Indonesia? Masih ada. Bahkan banyak orang semakin abai dan cuek.

Kalau demikian, sudah sejauhmana kedewasaan berpolitik kita dalam konteks sebangsa?

Masih dalam proses “indonesianisasi yang belum selesai”, mengutip Ben Anderson.

Masih di situ-situ saja.

Stagnan.