Mengapa Orang Tolol Sering Menjadi Bos (di Indonesia)*

Lagi dan lagi, saya mengalami ini. Kembali saya harus menerima keadaan, bahwa saya dipimpin oleh orang tolol. Orang tolol adalah orang yang bertindak tidak dengan kejernihan, tetapi dengan emosi dan pikiran pendek. Ia cenderung egois, dan tak segan-segan mengorbankan orang lain, selama kepentingannya terpenuhi.

Setelah berbincang dengan beberapa teman, hal ini tak hanya terjadi pada diri saya. Mereka pun pernah, dan bahkan sedang, mengalaminya. Apa yang terjadi? Mengapa, di Indonesia, orang tolol sering menjadi bos?

Mengapa?

Ada lima hal yang bisa dipertimbangkan. Pertama, budaya jilat pantat sudah menjadi budaya umum di Indonesia. Orang naik jabatan, bukan karena kemampuan, tetapi karena pandai menjilat atasan. Hasilnya, banyak orang memegang posisi pemimpin, walaupun tak memiliki kemampuan yang memadai.

Ini terkait dengan sebab kedua, yakni para atasan yang tidak jernih memahami keadaan. Kerap kali, mereka sebelumnya adalah pekerja yang penjilat pantat. Karena berulang, tindakan busuk ini telah menjadi budaya. Pada akhirnya, seluruh sistem akan ambruk, karena diisi dengan orang-orang yang tidak memiliki kemampuan yang diperlukan.

Ketiga, secara keseluruhan, inilah yang disebut sebagai budaya feodalisme. Beberapa orang merasa, bahwa mereka memiliki derajat lebih tinggi. Lalu, mereka menuntut, supaya orang lain menyembah dan melayani mereka. Inilah akar dari budaya menjilat pantat yang dengan mudah ditemukan di banyak organisasi maupun institusi politik di Indonesia.

Keempat, budaya feodal ini tidak turun dari langit. Ini adalah warisan budaya yang tak pernah sungguh ditanggapi secara kritis. Para penjajah, mulai dari Belanda, Inggris, Portugis sampai Jepang, memanfaatkannya untuk memecah belah, dan menindas seluruh nusantara. Ketika masyarakat dipimpin oleh para penjilat pantat dan orang gila hormat, masyarakat itu akan lemah, serta mudah dikuasai.

Kelima, budaya feodal terus bertahan, karena lemahnya sikap kritis di Indonesia. Ini tentunya terkait dengan mutu pendidikan yang tak banyak berkembang sejak jaman penjajahan Belanda. Budaya patuh buta dan menghafal terus dikembangkan, tak peduli siapa presiden atau menteri yang berkuasa. Tampaknya, bangsa kita sengaja diperbodoh dan dipermiskin, sehingga tetap hidup dalam permusuhan satu sama lain, dan siap ditipu oleh bangsa asing.

Kita harus sungguh sadar, bahwa budaya jilat pantat dan feodal ini akan menghancurkan bangsa kita. Kita akan hidup dalam kesenjangan ekonomi yang amat besar antara si kaya dan si miskin. Kita tetap akan saling bermusuhan satu sama lain, karena kerap diadu domba soal agama. Disinilah arti penting sikap kritis.

Perubahan Budaya

Memang, mengubah budaya dan kebiasaan, apalagi yang sudah mengendap di dalam masyarakat, amatlah sulit. Namun, itu sangat bisa terjadi. Banyak contoh yang bisa dideret, mulai dari perubahan budaya di organisasi, perusahaan sampai dengan perubahan budaya sebuah bangsa. Tiga hal kiranya penting menjadi perhatian.

Pertama, sikap kritis jelaslah harus menjadi ujung tombak pendidikan maupun pola asuh masyarakat. Sikap kritis bahkan sudah menjadi salah satu keterampilan utama masyarakat abad 21. Tradisi tentu perlu dihargai, namun harus terus ditanggapi secara kritis. Kebodohan tidak bisa terus menerus bersembunyi di balik nama tradisi dan ajaran agama yang harus dipatuhi secara buta.

Sikap kritis mengajak manusia untuk tak gampang percaya. Ia mengajarkan orang untuk lolos dari tipu muslihat yang kerap kali berbungkus kesucian. Daya nalarnya berkembang. Keputusan-keputusannya pun semakin mendekati akal sehat dan kebijaksanaan.

Dua, ketidakadilan memang menjadi bagian dari hidup sehari-hari. Namun, sikap diam dan tak peduli justru akan memperparah keadaan. Ketika ketidakadilan terjadi, orang harus bersuara lantang. Perubahan sosial hanya bisa terjadi dengan cara ini.

Tiga, seperti terus diingatkan oleh Noam Chomsky, pemikir asal Amerika Serikat, perubahan budaya hanya dapat terjadi melalui gerakan sosial yang konsisten dan teroganisir. Budaya jilat pantat dan feodalisme juga hanya dapat lenyap dengan gerakan sosial yang kuat. Perubahan yang cepat dan mendasar tentu sulit dicapai. Kerap kali, gerakan sosial adalah gerakan lintas generasi, sehingga tindakan sekarang baru bisa dinikmati buahnya di generasi mendatang.

Semoga saya tidak bermimpi di siang bolong. Indonesia memilih orang-orang yang punya integritas dan berkemampuan tinggi untuk memimpin. Setiap bidang kehidupan berkembang pesat, sehingga cita-cita keadilan dan kemakmuran untuk semua mulai terjangkau. Bukankah ini alasan kita semua mendirikan dan mempertahankan Indonesia? Jika tidak, lalu buat apa negara ini ada?


*(Repost dari tulisan Reza A.A Wattimena di Rumah Filsafat)