Penciptaan yang Nyata Itu Ada di Fiksi

Semesta Mendukung

Semua berawal dari kata-kata.

Entah kau seorang Abrahamik yang percaya bahwa semesta berawal dari Logos dalam kalimat ‘Bereshit bara’ ‘elohim (davar). Dengan logos atau davar, semesta tercipta.

Entah kau seorang penikmat filsafat yang memuja sophia (hikmat). Dengan sophia, akademia lahir dan menjadi cikal bakal segala macam pendidikan, kursus dan pelatihan yang ada di muka bumi ini.

Atau orang “biasayang mengagumi retorika dalam pidato apik yang tersaji dalam sebuah kampain public speaking yang berapi-api. Dengan orasi penuh eloquentia yang motivasional, jutaan manusia sepanjang zaman untuk turun ke jalan dan ribuan aksi yang mengubah sejarah terjadi.

Singkatnya, dengan “kata” kamu meyakini bahwa apapun yang kamu yakini, bakal menjadi ada. Akan tercipta.

Terjadi.

Dan ketika terjadi, supaya kamu tetap terkesan sebagai orang yang rendah hati, kamu menyebutnya “semesta mendukung” (mestakung). Padahal itu sama saja artinya dengan “kamu benar-benar menciptakan sesuatu, yang sebelumnya tidak ada”.

Bukankah itu yang membuatmu menulis resolusi, merumuskan cita-cita, lalu kamu seperti punya energi tiada habisnya untuk membuktikan kepada orang-orang bahwa kamu akan mewujudkannya? Kamu berusaha sekuat tenaga menunjukkan kepada dunia bahwa gagasan dan mimpi di kepalamu yang disebut orang sebagai fiksi, pada akhirnya itulah yang akan menjadi nyata.

“Aku akan jadi pengusaha”, katamu. Lalu kau mati-matian merintis dan mengembangkan usahamu. Tentu kamu akan mencapai titik sukses tertentu karena kamu setia melewati prosesnya. Sebab semesta mendukungmu. Dan kamu tidak lupa, itu terjadi karena sejak awal kamu berani mengatakannya terlebih dahulu sebelum itu terjadi.

“Aku akan menjadi seorang manajer di perusahaan terkenal”, katamu. Lalu kau mati-matian mengembangkan diri dan kemampuanmu, berlayar di lautan politik tempat kerja yang buas dan mengarunginya sampai ke titik labuh yang kau tuju. Tentu kamu akan mencapai titik sukses tertentu sebab kamu setia melewati prosesnya. Sebab semesta mendukungmu. Dan kamu tidak lupa, itu terjadi karena sejak awal kamu berani mengatakannya terlebih dahulu sebelum itu terjadi.

“Aku akan menjadi komposer besar di blantika musik negeri ini”, katamu. Lalu kau mati-matian bertahan di antara godaan untuk banting setir – menjadi artis dadakan yang viral semalam tapi lalu tenggelam bulan depannya – dan pilihan untuk tetap konsisten berkarya meskipun kadang diiringi tangis tatkala menyaksikan lagumu sepi dilirik orang, tenggelam di lautan algoritma internet yang dimenangkan oleh artis cover bermodal buka paha atau sensasi receh absurd yang entah darimana datangnya. Tentu kamu akan mencapai titik sukses tertentu sebab kamu setia melewati prosesnya. Sebab semesta mendukungmu. Dan kamu tidak lupa, itu terjadi karena sejak awal kamu berani mengatakannya terlebih dahulu sebelum itu terjadi.

Hal serupa berlaku, apapun pernyataan atau sabda yang dengan berani kau ucapkan lirih dalam diam sepi di kamar tidurmu atau kau proklamirkan dengan berani di status akun media sosialmu. Sebab hasil tidak akan menghianati proses, katamu. Hasil mendukung orang yang punya cita-cita. Dan sebaik-baiknya cita-cita yang terlaksana, kamu tahu, terlebih dahulu cita-cita itu “hanya” mengambil rupa kata-kata saja.

Begitulah semesta mendukung manusia yang bercita-cita. Begitulah setiap kenyataan terjadi: Ia berawal dari kata-kata.

Semesta menolakmu

Tapi kamu juga tidak lupa bahwa beberapa kali kamu tergoda untuk tidak setia. Tidak konsisten dengan fiksi di kepalamu. Sebab kamu sendiri tidak sekali dua kali saja mulai meragukan kebenaran dari proses penciptaan, bahwa sesuatu memang benar-benar bisa ada padahal awalnya cuma kata-kata. Kamu merasa nyaman dengan pemikiran bahwa kamu memang sebaiknya tidak perlu melawan arus: kamu hanya perlu ikuti apa yang kebanyakan orang lakukan, yakni menjadi pengikut saja. Apa yang dunia ini tawarkan, itu saja kamu nikmati dan jalani. Tak perlu membuat sesuatu yang baru, sesuatu yang belum pernah ada.

Bukankah itu yang membuatmu merobek kertas bertuliskan rumusan resolusi yang kau buat dengan penuh percaya diri? Bukankah kau sendiri pernah menertawakan betapa bodohnya pilihan yang kau ambil sebab cita-citamu terdengar naif? Kamu pernah berada di fase dimana kamu akhirnya mengalah pada apa kata dunia: bahwa gagasan dan mimpi di kepalamu itu memang benaran mimpi belaka, dan sampai kapanpun kau tidak akan pernah mewujudkannya.

“Aku tidak mungkin menjadi pengusaha”, katamu. Kau sudah mencoba segala macam cara untuk mengembangkan usahamu, tetapi bisnismu seperti jalan di tempat. Kamu merasa gagal dan mulai meyakini bahwa mungkin memang kamu tidak ditakdirkan menjadi pengusaha. Sebab semesta menolakmu, itu katamu. Dan kamu lupa, betapa bersemangatnya dulu kamu mengatakan kepada dirimu sendiri bahwa kamu akan menjadi pengusaha.

“Aku tidak akan mungkin menjadi manajer di perusahaan ini”, katamu. Kau merasa sudah memperbanyak latihan dan meningkatkan kemampuanmu, tetapi seperti tidak ada perkembangan yang berarti. Kamu mengeluh karena politik di tempat kerjamu sangat buas sekali, dan kau seperti korban yang dicabik-cabik. Pagimu menjadi terasa berat sekali sebab pergi ke tempat kerja seperti berangkat ke medan perang yang tak akan mungkin kau menangkan. Kamu merasa gagal dan mulai meyakini bahwa mungkin memang kamu tidak ditakdirkan menjadi manajer. Kamu mulai belajar menerima kenyataan bahwa menjadi bawahan terus-menerus memang sudah menjadi takdirmu. Sebab semesta menolakmu, itu katamu. Dan kamu lupa, betapa berapi-apinya dulu kamu mengatakan kepada dirimu sendiri bahwa kamu akan menjadi manajer bahkan direktur di tempat kerja yang kau banggakan itu.

“Aku tidak akan pernah menjadi komposer yang diperhitungkan di negeri ini”, katamu. Kamu lalu memilih untuk mengakali industri musik saat ini sebab kamu tergiur dengan postingan pamer uang dari artis dadakan yang barusan viral. Kamu ingin mengikuti jejaknya. Kamu tidak peduli apakah kamu akan tenggelam bulan depannya – sebab saat ini jelas kamu membutuhkan uang untuk membiayai hidupmu yang bahkan tidak ada kemewahan sedikitpun itu. Kamu meyakini bahwa saat ini bukan lagi saat yang tepat untuk menjadi pencipta lagu. Ini adalah era kemenangan penyanyi cover. Cukup dengan sedikit utak-atik SEO dan jargon marketing buzzwords sejenisnya, kamu bisa mendapatkan penghasilan berlipat-lipat dari puluhan lagu yang sudah kau ciptakan dengan mengorbankan waktu tidurmu sebab harus begadang berhari-hari bahkan berminggu-minggu. Kamu pun tak ragu untuk menitipkan konten hasil cover-mu ke situs judi dan halaman penjual obat pembesar payudara. Kamu mulai percaya bahwa mimpi menjadi pencipta lagu memang cita-cita yang kekanak-kanakan. Sebab semesta menolakmu, itu katamu. Kamu mulai lupa betapa bersemangatnya kamu ketika menyelesaikan lagu pertamamu yang dengan bangga kau tunjukkan ke keluarga, teman-teman dan kenalanmu.

Saat-saat dimana semesta menolakmu, kamu menjadi yakin bahwa memiliki cita-cita itu cukuplah untuk anak kecil saja. Ketika dewasa, memelihara cita-cita seperti itu akan membuatmu jadi bahan tertawaan saja.

Semesta tersenyum padamu

Ini pasti kedengaran fiksi, kata orang-orang disekitarmu. Sempat kau ikut mengamininya.

Tetapi kau mulai penasaran. Sebab jika kau hanya mengikuti apa yang orang lalui, lalu apa gunanya rasa percaya dirimu itu? Apa gunanya kelebihan dan bakatmu yang sejak dini sudah kau sadari ada padamu itu? Penasaran inilah yang membuatmu tetap memperjuangkan fiksi itu. Toh, kalau gagal, kamu tidak menyesal lagi. Jika waktumu sudah habis nanti, kamu tidak akan menyalahkan siapapun hanya karena kamu sendiri tidak berani memulai passion yang kau yakini dan kau nikmati setengah mati ini. Tentu kamu ingin sekali ini berhasil. Tetapi kalaupun gagal, toh tidak ada ruginya. Setidaknya kamu sudah mencoba. Dan … voila .. ternyata kamu berhasil. Kamu melihat semesta tersenyum padamu.

Sejak saat itu kamu selalu senang bertemu dengan orang yang punya khayalan tinggi. Kamu tahan berbincang berjam-jam dengan orang yang punya mimpi. Bukan sembarang mimpi, tetapi mimpi yang besar. Tak lupa kau juga mengajaknya untuk membicarakan semua ketakutan yang mungkin muncul dalam proses mewujudkan mimpi itu, tetapi pada akhirnya kau berhasil meyakinkannya bahwa apapun resikonya, orang itu harus berani bertindak. Harus berani memulai sesuatu. Seperti berbicara kepada diri sendiri, kamu meyakinkannya bahwa mencoba tak pernah ada ruginya. Rugi terbesar adalah jika orang itu ingin sekali mewujudkan cita-citanya, tetapi karena ketakutan dan alasan lain tak pernah memulainya hingga usianya menua, lalu menyesal sebab tidak ada kesempatan lagi. Seperti yang sudah kau nikmati, kamu juga ingin sekali orang itu merasakan semesta ikut tersenyum padanya.

Kamu menjadi mulai percaya diri kembali. Kamu tidak lagi takut dengan pilihan dan jalan hidup yang aneh dibandingkan yang ditempuh kebanyakan orang. toh kau sudah membuktikan bahwa mimpi dan cita-cita yang awalnya mereka sebut fiksi tapi kau yakini setengah mati, ternyata tercapai juga. Untuk apa merasa minder.

Kamu sudah kenyang dengan tipuan kegagalan. Sebab kamu sudah mengalami langsung bahwa kegagalanmu di masa lalu – yang sempat menggodamu untuk berhenti – ternyata tidak berdaya apapun dihadapan keyakinanmu yang setinggi gunung. Kamu sudah sampai di puncaknya. Ketika mentari bersinar, orang yang berdiri di puncak gununglah yang akan pertama kali melihatnya. Ketika semesta tersenyum, orang yang berdiri di puncak mimpi merekalah yang akan pertama kali melihatnya. Dan diantara segelintir mereka itu: kamu salah satunya. Itulah sebabnya ketika kamu mengalami gagal, dan orang lain mulai mengajakmu untuk meninggalkan mimpi itu, dengan enteng kamu berkata: “Ya kalau gagal, gak apa-apa. Setidaknya aku sudah mencoba”.

Kamu tidak lagi mengikuti jejak orangtuamu yang ketika bercerita usai makan malam bersama, selalu mendongengkan kisah sedih.

Ayah yang selalu mengulangi cerita penyesalan yang itu-itu saja. “Sebenarnya dulu Bapakmu ini pengen menjadi pengusaha. Tetapi apa daya, Bapak tidak pernah punya kesempatan merintis usaha apapun, sebab kalian keburu lahir. Aku dan Ibumu tak punya pilihan lain selain setia menjadi pekerja di kebun perusahaan ini hingga pensiun”

Atau Ibu yang sejak dulu ingin sekali merasakan nikmatnya bekerja dan menyisihkan pendapatan untuk bertualang ke Bali dan pantai Phuket, “tetapi setelah menikah dan melahirkan kalian, Ibu pasrah saja tidak akan pernah bepergian kesana”.

Tidak ada yang menakutkan dari cerita itu. Menyedihkan, iya. Keseringan menunda, akhirnya nggak pernah lagi berbuat.

Bagaimana bisa orangtua berkata “semua ini kami lakukan untuk membahagiakan kalian anak-anakku” padahal mereka sendiri tidak bahagia? Bukankah ketika kita menyemprotkan parfum ke orang lain, kita harus terlebih dahulu mencium wanginya?

Tentu saja kamu tidak membenci kedua orangtuamu. Hanya saja, kamu tidak ingin mengikuti jejak mereka.

Semesta marah padamu: terlalu lama kau kembali padanya. Tugasmu sudah selesai.

Saat ini semua sudah kau capai. Tidak ada lagi penyesalan. Semua kegagalan sudah kau lalui. Tentu saja, sebab kau keras kepala dengan mimpimu, kau sudah menikmati pula upahnya: keberhasilan-keberhasilanmu.

Tetapi, saat sendiri, entah mengapa masih ada ketakutan di lubuk hatimu.

Suatu saat nanti semesta sudah merasa bosan bermain-main denganmu. Semesta akan marah padamu dan berkata: Kau disini terlalu lama. Tugasmu sudah selesai. Saatnya kembali pulang.

Entah kenapa, masih ada ketakutan itu.

Lalu kau berandai-andai setengah berharap: mungkinkah nanti ada kehidupan setelah ini, untukku mengalami lagi semuanya ini?