Mengapa Doa Bapa Kami versi Katolik dan Protestan Berbeda?

Konon, ketika ngobrol dengan para murid-Nya, Yesus berkata, “Karena itu berdoalah demikian: Bapa kami yang di sorga, dikuduskanlah nama-Mu, datanglah Kerajaan-Mu, jadilah kehendak-Mu di bumi seperti di sorga. Berikanlah kami pada hari ini makanan kami yang secukupnya dan ampunilah kami akan kesalahan kami, seperti kami juga mengampuni orang yang bersalah  kepada kami; dan janganlah membawa kami ke dalam pencobaan, tetapi lepaskanlah kami dari pada yang jahat” (Mat 6:9-13). Versi yang mirip kita temukan pada Luk 11:2-4.

Kedua versi ini tidak memuat kalimat penutup yang kita temukan pada versi Protestan, “Karena Engkaulah yang empunya Kerajaan dan kuasa dan kemuliaan sampai selama-lamanya. Amin.”


Kalimat “Karena Engkaulah yang empunya … ” secara teknis adalah doxologi. Istilah doksologi berasal dari bahasa Yunani yakni dari kata δόξα [dόxa] yang berarti kemuliaan. Sebagai bagian penutup dari Doa Ekaristi atau sering disebut dengan Doa Syukur Agung, rumusan doksologi bermaksud untuk mewartakan kemuliaan Tuhan. Kata doksologi yang dalam bahasa Latin doxologia atau gloria dapat juga diterjemahkan dengan kemuliaan, penghormatan, pujian atau keluhuran. Di Bibel, kita menemukan praktek menutup doa dengan ayat singkat mirip madah yang isinya meninggikan kemuliaan Tuhan.

Orang Yahudi sering menggunakan doxologi ini untuk menutup doa mereka pada masa sekitar hidup Yesus. Contoh serupa kita temukan pada doa Daud di 1 Tawarikh 29:10-13 pada Perjanjian Lama.

Lalu Daud memuji TUHAN di depan mata segenap jemaah itu. Berkatalah Daud: “Terpujilah Engkau, ya TUHAN, Allahnya bapa kami Israel, dari selama-lamanya sampai selama-lamanya.
Ya TUHAN, punya-Mulah kebesaran dan kejayaan, kehormatan, kemasyhuran dan keagungan, ya, segala-galanya yang ada di langit dan di bumi! Ya TUHAN, punya-Mulah kerajaan dan Engkau yang tertinggi itu melebihi segala-galanya sebagai kepala.
Sebab kekayaan dan kemuliaan berasal dari pada-Mu dan Engkaulah yang berkuasa atas segala-galanya; dalam tangan-Mulah kekuatan dan kejayaan; dalam tangan-Mulah kuasa membesarkan dan mengokohkan segala-galanya.
Sekarang, ya Allah kami, kami bersyukur kepada-Mu dan memuji nama-Mu yang agung itu.

Pada masa Gereja Perdana, orang-orang Kristen di bagian Kekaisaran Romawi Timur menambahkan doksologi “Karena Engkaulah yang empunya …” pada perikop Injil dari doa Bapa Kami ketika mereka mengucapkan doa itu pada perayaan Misa. Bukti adanya praktek semacam ini dapat kita temukan pada Didakhe (Ajaran dari Keduabelas Rasul), sebuah manuskrip dari abad pertama yang berisi panduan moral, pujian dan doktrin Gereja. Juga ketika menyalin kitab-kitab, para penulis berbahasa Yunani kerap menambahkan doxologi pada naskah asli ‘Bapa Kami’.

Demikianlah hingga kebanyakan teks Kitab Suci dewasa ini tidak memasukkan bagian doxologi itu, tetapi meletakkannya sebagai catatan kaki; atau memasukkannya tetapi dalam tanda kurung. Bibel “Vulgata”, Bibel Douay-Rheims, Bibel edisi The Confraternity serta edisi The New American tidak pernah memasukkan doxologi ini. Di Vulgata, misalnya, ditulis:

PATER NOSTER, qui es in caelis,
Sanctificetur nomen tuum.
Adveniat regnum tuum.
Fiat voluntas tua,
sicut in caelo et in terra.

Panem nostrum cotidianum da nobis hodie,
et dimitte nobis debita nostra
sicut et nos dimittimus debitoribus nostris.
Et ne nos inducas in tentationem,
sed libera nos a malo.


Di Kekaisaran Romawi Barat dan pada ritus Latin kita melihat pentingnya doa Bapa Kami saat perayaan Misa.

Santo Hieronimus (wafat pada 420) menyatakan kesaksian atas penggunaan doa Bapa Kami dalam perayaan Misa, dan Santo Gregorius Agung (wafat pada 604) menetapkan doa Bapak Kami diresitir setelah Doa Ekaristi, sebelum Pemecahan Roti.  Pada tulisannya Komentar terhadap Sakramen-sakramen, Santo Ambrosius (wafat pada 397) merenungkan makna “roti setiap hari” dalam konteks Ekaristi Suci. Dengan nada yang sama, Santo Agustinus (wafat pada 430) menyatakan bahwa doa Bapa Kami menghubungkan Ekaristi Suci dan pengampunan dosa. Dalam banyak kesempatan, Gereja menempatkan doa yang sempurna ini, doa yang diajarkan oleh Tuhan, sebagai doa persiapan diri untuk Komuni Suci. Akan tetapi, dari antara contoh-contoh ini, tidak ada yang menggunakan doxologi.

Menariknya, terjemahan Bahasa Inggris dari doa Bapa Kami yang kita gunakan dewasa ini merupakan versi yang diamanatkan oleh Raja Henry VIII (ketika masih berada dalam persekutuan dengan Gereja Katolik), yang didasarkan pada Bibel Tyndale (1525). Akan tetapi, selama pemerintahan Ratu Elizabeth I dan menguatnya kecenderungan Gereja Inggris untuk menghindari kesamaan dengan Gereja Katolik, terjemahan Inggris kemudian menambahkan doxologi, dan inilah yang menjadi standar untuk umat Protestan yang berbahasa Inggris.


Prekonklusi:

Tradisi adalah proses komunikasi dan penerusan iman dari satu generasi ke generasi berikutnya. Demikianlah Gereja Katolik dan Gereja Protestan memiliki keunikan dalam memahami doa Bapa Kami dan menggunakannya dalam ibadat bersama maupun pribadi. Patut diingat bahwa doxologi – yang menjadi pembeda utama itu – bukan sesuatu yang buruk, malah merupakan khazanah iman Gereja yang memang sejak awal menyerap dan menyesuaikan diri dengan kebiasaan Gereja Barat dan Gereja Timur; bahkan dengan tradisi jemaat perdana yang sebelum menjadi pengikut Kristus, sudah terbiasa dengan pujian seperti yang dilantunkan Daud pada perikop 1 Tawarikh 29 di atas.