Nasihat kepada Orang Tua (versi Jawa)

Bila kita tua,

Ketika usia kita diatas sweet duck (60 tahun ke atas), biasanya  kita akan menghadapi dan mengalami banyak kemunduran. Kemunduran-kemunduran yang bisa dikenal dengan sebagai B-12. Bukan vitamin B-12 anti beri-beri, tetapi pil pahit yang bisa manis jika kita legowo menerima dan meng-aku-i.

BOTAK

Rambut kita akan memutih. Perlahan-lahan rontok atas bawah.

BOGANG atau Ompong

Gigi kita akan semakin banyak yang palsu. Kita akan mencari makanan yang lembek.

BINGUNG

Kemampuan otak kita akan mulai menurun. Pikun, bahkan kadang sampai lupa dengan pasangan kita sendiri.

BLERENG

Penglihatan kita mulai kabur. Rabun akan membuat kita menerima bahwa kita tidak lagi bisa melihat dan mengerti sebanyak dan secepat kita muda.

BUDEG

Pendengaran kita jadi terganggu. Kita tidak bisa mendengar teman, suami/isteri bahkan anak sendiri jika mereka berbicara pelan. Jika mereka berbicara kencang dengan maksud supaya kita mendengar, kita akan mendengar nadanya seperti mau berantam. Menyakitkan.

BUNGKUK

Kita akan berjalan atau duduk tidak setegap saat masih jadi komandan, karena pengeroposan tulang.

BAWEL/BISU

Kita akan semakin cerewet dan rewel dalam segala hal. Kita juga akan semakin senang berbicara sendiri. “Bawelnya minta ampun. Itu lagi itu, itu lagi yg diomongin”, kata anak kita yang paling bungsu atau cucu kita di depan telinga kita sendiri.

Sebagian teman kita ada yang semakin pendiam, malas bicara, pelit ketawa, kemauannya susah ditebak.

BAU
Kulit kita akan mulai kendor. Mandi pun kerap jadi tidak bersih, pada bagian tertentu bisa berakibat bau. Anak, istri/suami, cucu kita suka memperhatikan hal ini. Kadang mereka ingin mengeluh, tetapi tidak jadi mereka sampaikan, takut kita tersinggung.

BESER

Kita akan sering buang air kecil, kadang tidak kuat menahan jadinya ngompol. Atau sebaliknya “buntu” tidak bisa kencing karena prostatnya bermasalah.

BEBELEN/Sembelit

Kita akan susah pup (buang air besar). Akibatnya kentut kita akan berbau busuk. Sistem pencernaan kita tidak seoptimal dulu karena otot-otot memang mulai kendor.

BUYUTEN

Kita akan gampang gemetaran, entah kena Parkinson atau karena khwatir tidak jelas, sebab dopamin dalam otak akan semakin berkurang.

BOKEK

Kita akan berkurang penghasilan. Jika pun ada dana pensiun, tidak lagi sebesar dulu. Kadang ini jadi beban pikiran. Kita tidak mau merepotkan anak. Kita mengharap anak-anak mengerti. Kadang mereka tidak menangkap maksud kita, kita diabaikan, akhirnya kita menjadi galau galau/gedek.


Selagi sempat, ayuk kita mempersiapkan diri semaksimal mungkin  melawan B-12 ini hingga kita tidak mampu lagi. Ayuk kita …

Bersepeda-ria

Berwisata-ria

Ber-Facebook atau ber-WA-ria

Ber kumpul-ria

Bernyanyi-ria.

Jangan diam terus. Sebab jika diam terus, khawatir nanti jadi B-13, tambah B-nya satu, bego. Akhirnya, jangan peduli B-12. Seperti cucu kita yang “gahool” itu, kita juga sebaiknya “jangan lupa bahagia”.

Begitulah.

Nasihat kepada Orang Tua (versi Batak)

Bila kita tua,

Kalau anak-anak sudah berkeluarga dan meninggalkan kita, giliran kita untuk kembali memikirkan diri kita sendiri.

Bila kita tua,

Luangkanlah waktu bersama pasangan kita karena salah seorang dari kita akan pergi terlbih dahulu dan yang masih hidup hanya mampu menyimpan dan mengenang kenangan. Pastikan kenangan itu adalah kenangan yang indah, bukan yang buruk.

Bila kita tua,

Akan tiba masanya mau berjalan ke pintu saja susah. Sementara masih mampu, jalan-jalanlah ke beberapa tempat untuk mengingatkan kita tentang kebesaran Sang Pencipta, mengagumi keindahan ciptaan-Nya.

Bila kita tua,

Jangan menyusahkan diri memikirkan anak-anak secara berlebihan. Mereka akan mampu berusaha sendiri. Memanjakan anak dengan menyediakan apa saja yang mereka minta itu beda tipis dengan ungkapan Batak “holong na mamboan hasesega” (sayang yang merusak).

Bila kita tua,

Luangkan waktu bersama rekan-rekan lama karena peluang untuk bersama mereka akan berkurang dari waktu ke waktu.

Bila kita tua,

Terimalah penyakit apa adanya. Semua sama, kaya atau miskin, akan melalui proses yang sama: lahir, bayi, kanak-kanak, dewasa, tua, sakit dan meninggal. Jika mungkin, seperti Santo Fransiskus, terimalah juga penyakit tua yang kita derita seakan-akan penyakit itu adalah Saudara kita juga, sama seperti Saudara Maut.

Bila kita tua,

Kita akan menyadari bahwa akan lebih baik jika seandainya di masa muda kita menghabiskan waktu lebih banyak dengan kawan yang seperti cermin. Kita gembira dia gembira, kita sedih dia juga ikut bersedih. Jangan mencari kawan yang seperti duit logam, depan lain belakang lain. Seperti ungkapan yang kita kerap dengar dari para sesepuh: Ai dongan mekkel do godang, dongan tangis so ada.

Bila kita tua,

Kita akan menyadari bahwa romantisnya kita sebagai pasangan adalah teladan yang jauh lebih efektif dibandingkan ribuan nasihat yang kita paksakan kepada mereka dengan wajah marah dan raut muka serius. Percayalah, anak-anak lebih suka melihat orangtua bermesraan di depan mereka dibandingkan menonton drama Korea penuh gimmick a la manusia plastik itu.

Bila kita tua,

Anak-anak kita akan tetap menaruh hormat kepada kita. Mereka tidak lupa patik atau uhum yang mengajarkan mereka bahwa “natua-tua i do Debata na Mangolu”, entah mereka pernah mendengar turiturian Debata Idup atau tidak. Jadilah meniru karakter “Debata” seperti yang mereka harapkan.

Presiden Jokowi tentang Universalitas Alquran

 

Presiden Joko Widodo pada Peringatan Nuzulul Qur'an 1438 H di Istana Negara

Kesalehan Sosial

Menarik mendengar pidato yang disampaikan oleh Presiden Joko Widodo pada Peringatan Nuzulul Qur’an 1438 H di Istana Negara, terutama karena beliau (oleh usulan dari si penulis teks pidato, tentu saja) memulai sambutannya dengan berani menyebut “kesalehan sosial”.

Apa itu kesalehan sosial?

Nadirsyah Hosen, Rais Syuriah PCI Nahdlatul Ulama Australia-New Zealand dan Dosen Senior Monash Law School, dalam sebuah tulisan di laman NU mengulas secara singkat dan menarik tentang hal ini. Meminjam otoritas Gus Mus sebagai tokoh senior di NU, Hosen secara jujur mengakui adanya dilema yang dihadapi oleh kebanyakan umat Islam di negeri ini dalam diskresi dan penentuan skala prioritas, antara kesalehan sosial dan kesalehan ritual pada saat bersamaan.

Berikut kutipannya:

Gus Mus tentu tidak bermaksud membenturkan kedua jenis kesalehan ini, karena sesungguhnya Islam mengajarkan keduanya. Bahkan lebih hebat lagi; dalam ritual sesungguhnya juga ada aspek sosial. Misalnya shalat berjamaah, pembayaran zakat, ataupun ibadah puasa, juga merangkum dimensi ritual dan sosial sekaligus. Jadi, jelas bahwa yang terbaik itu adalah kesalehan total, bukan salah satunya atau malah tidak dua-duanya. Kalau tidak menjalankan keduanya, itu namanya kesalahan, bukan kesalehan. Tapi jangan lupa, orang salah pun masih bisa untuk menjadi orang saleh. Dan orang saleh bukan berarti tidak punya kesalahan.

Pada saat yang sama, kita harus akui seringkali terjadi dilema dalam memilih skala prioritas. Mana yang harus kita utamakan antara ibadah atau amalan sosial. Pernah di Bandara seorang kawan mengalami persoalan dengan tiketnya karena perubahan jadual. Saya membantu prosesnya sehingga harus bolak balik dari satu meja ke meja lainnya. Waktu maghrib hampir habis. Kawan yang ketiga, yang dari tadi diam saja melihat kami kerepotan, kemudian marah-marah karena kami belum menunaikan shalat maghrib. Bahkan ia mengancam, “Saya tidak akan mau terbang kalau saya tidak shalat dulu”.

Saya tenangkan dia, bahwa sehabis check in nanti kita masih bisa shalat di dekat gate, akan tetapi kalau urusan check in kawan kita ini terhambat maka kita terpaksa meninggalkan dia di negeri asing ini dengan segala kerumitannya. Lagi pula, sebagai musafir kita diberi rukhsah untuk menjamak shalat maghrib dan isya’ nantinya. Kita pun masih bisa shalat di atas pesawat. Kawan tersebut tidak mau terima: baginya urusan dengan Allah lebih utama ketimbang membantu urusan tiket kawan yang lain. Saya harus membantu satu kawan soal tiketnya dan pada saat yang bersamaan saya harus adu dalil dengan kawan yang satu lagi. Tiba-tiba di depan saya dilema antara kesalehan ritual dan kesalehan sosial menjadi nyata.

Syekh Yusuf al-Qaradhawi mencoba menjelaskan dilema ini dalam bukunya Fiqh al-Awlawiyat. Beliau berpendapat kewajiban yang berkaitan dengan hak orang ramai atau umat harus lebih diutamakan daripada kewajiban yang berkaitan dengan hak individu. Beliau juga menekankan untuk prioritas terhadap amalan yang langgeng (istiqamah) daripada amalan yang banyak tapi terputus-putus. Lebih jauh beliau berpendapat:

Fardhu ain yang berkaitan dengan hak Allah semata-mata mungkin dapat diberi toleransi, dan berbeda dengan fardhu ain yang berkaitan dengan hak hamba-hamba-Nya. Ada seorang ulama yang berkata, “Sesungguhnya hak Allah dibangun di atas toleransi sedangkan hak hamba-hamba-Nya dibangun di atas aturan yang sangat ketat.” Oleh sebab itu, ibadah haji misalnya, yang hukumnya wajib, dan membayar utang yang hukumnya juga wajib; maka yang harus didahulukan ialah kewajiban membayar utang.” Ini artinya, untuk ulama kita ini, dalam kondisi tertentu kita harus mendahulukan kesalehan sosial daripada kesalehan ritual.

Kita juga dianjurkan untuk mendahulukan amalan yang mendesak daripada amalan yang lebih longar waktunya. Misalnya, antara menghilangkan najis di masjid yang bisa mengganggu jamaah yang belakangan hadir, dengan melakukan shalat pada awal waktunya. Atau antara menolong orang yang mengalami kecelakaan dengan pergi mengerjakan shalat Jum’at. Pilihlah menghilangkan najis dan menolong orang yang kecelakaan dengan membawanya ke Rumah Sakit. Sebagai petugas kelurahan, mana yang kita utamakan: shalat di awal waktu atau melayani rakyat yang mengurus KTP terlebih dahulu?

Diskresi semacam ini pula yang dituntut dari seorang Kristen seperti disindir dengan sangat keras oleh penulis Injil Lukas (Lukas 10: 25-37). Nilai universal serupa, jika kita dalami pada ajaran agama lain, entah itu agama yang diakui resmi di Indonesia ataupun ratusan aliran kepercayaan (yang entah mengapa hingga saat ini belum mendapatkan perlakuan setara engan agama-agama resmi), bahwa secara umum, di lubuk hati paling dalam dari manusia rasional dan humanis (versi Imanuel Kant), manusia sebenarnya tahu bahwa berbuat baik kepada sesama adalah sejajar dengan ketaatan ritual. Bahkan dalam banyak kasus, sepanjang tidak menodai akidah dan esensi iman dari umat beragama, ritual dan segala tetek-bengeknya mesti ditempatkan di bawah hukum universal itu.

Projecta remota (tujuan akhir) dari kristalisasi nilai semacam ini sangat sesuai dengan tujuan hidup bernegara berdasarkan Pancasila, yakni mencipatakan kebaikan umum (bonum commune). Seperti umat Islam yang mengabaikan kenajisan dan mementingkan untuk membawa orang yang sakit ke pusat layanan kesehatan terdekat; orang Samaria yang baik hati dan rela menolong orang yang sedang terbaring kesakitan di tengah jalan meski ia sadar bahwa tetap saja kaum ahli agama Yahudi menganggapnya sebagai orang kafir; atau siapapun yang mementingkan kasih kepada sesama dan ciptaan melebihi ketaatan ritual agama yang buta. Nilai ini sejatinya universal, terutama bagi mereka yang masih memiliki hati nurani yang baik dan terus menjaganya.

Kesalehan Ritual

Hosen melanjutkan kegalauannya secara jujur, menyingkap realitas banyaknya umat Islam yang masih belum terbiasa melatih diri untuk berdiskresi secara benar ketika berhadapan pada penentuan skala prioritas yang dilematis antara kesalehan sosial dan kesalehan ritual.

Mana yang harus kita prioritaskan di saat keterbatasan air dalam sebuah perjalanan: menggunakan air untuk memuaskan rasa haus atau untuk berwudhu’. Wudhu’ itu ada penggantinya, yaitu tayammum. Tapi memuaskan haus tidak bisa diganti dengan batu atau debu. Begitu juga kewajiban berpuasa masih bisa di-qadha atau dibayar dengan fidyah dalam kondisi secara medis dokter melarang kita untuk berpuasa. “Fatwa” dokter harus kita utamakan dalam situasi ini. Ini artinya shihatul abdan muqaddamun ‘ala shihatil adyan. Sehatnya badan diutamakan daripada sehatnya agama.

Dalam bahasa Abdul Muthalib, kakek Rasulullah, di depan pasukan Abrahah yang mengambil kambing dan untanya serta hendak menyerang Ka’bah: “Kembalikan ternakku, karena akulah pemiliknya. Sementara soal Ka’bah, Allah pemiliknya dan Dia yang akan menjaganya!” Sepintas terkesan hewan ternak didahulukan daripada menjaga Ka’bah; atau dalam kasus tiket di atas seolah urusan shalat ditunda gara-gara urusan pesawat; atau keterangan medis diutamakan daripada kewajiban berpuasa. Inilah fiqh prioritas!

Syekh Yusuf al-Qaradhawi juga menganjurkan untuk prioritas pada amalan hati ketimbang amalan fisik. Beliau menulis:

“…Kami sangat heran terhadap konsentrasi yang diberikan oleh sebagian pemeluk agama, khususnya para dai yang menganjurkan amalan dan adab sopan santun yang berkaitan dengan perkara-perkara lahiriah lebih banyak daripada perkara-perkara batiniah; yang memperhatikan bentuk luar lebih banyak daripada intinya; misalnya memendekkan pakaian, memotong kumis dan memanjangkan jenggot, bentuk hijab wanita, hitungan anak tangga mimbar, cara meletakkan kedua tangan atau kaki ketika shalat, dan perkara-perkara lain yang berkaitan dengan bentuk luar lebih banyak daripada yang berkaitan dengan inti dan ruhnya. Perkara-perkara ini, bagaimanapun, tidak begitu diberi prioritas dalam agama ini.”

Dengan tegas beliau menyatakan:

“Saya sendiri memperhatikan – dengan amat menyayangkan –  bahwa banyak sekali orang-orang yang menekankan kepada bentuk lahiriah ini dan hal-hal yang serupa dengannya – Saya tidak berkata mereka semuanya – mereka begitu mementingkan hal tersebut dan melupakan hal-hal lain yang jauh lebih penting dan lebih dahsyat pengaruhnya. Seperti berbuat baik kepada kedua orangtua, silaturahim, menyampaikan amanat, memelihara hak orang lain, bekerja yang baik, dan memberikan hak kepada orang yang harus memilikinya, kasih-sayang terhadap makhluk Allah, apalagi terhadap yang lemah, menjauhi hal-hal yang jelas diharamkan, dan lain-lain sebagaimana dijelaskan oleh Allah SWT kepada orang-orang yang beriman di dalam kitab-Nya, di awal surah al-Anfal, awal surah al-Mu’minun, akhir surah al-Furqan, dan lain-lain.”

Kesalehan ritual itu ternyata bertingkat-tingkat. Kesalehan sosial juga berlapis-lapis. Dan kita dianjurkan dapat memilah mana yang kita harus prioritaskan sesuai dengan kondisi dan kemampuan kita menjalankannya.

Bersandar pada tuntutan universalitas Alquran, Presiden Jokowi menyampaikan pesan serupa dengan artikulasi yang lebih kuat. Kata Jokowi:

Kita akan termasuk golongan pendusta agama jika kita membentak anak yatim,

Kita akan termasuk golongan pendusta agama jika kita tidak perduli dengan saudara-saudara kita fakir miskin,

Kita akan termasuk golongan pendusta agama jika kita berbuat kerusakan di muka bumi ini.

Jokowi Mulai dari Lingkungannya Sendiri

Usai menyampaikan pesan yang begitu mendalam kepada segenap umat Islam di Indonesia ini, Jokowi kembali melakukan hal yang sama kepada dirinya sendiri, lingkungannya yakni pemerintahan yang berkuasa saat ini.

Entah menyadari benar tujuan dari pesannya kepada pemerintah dan segenap aparat (sebab masih saja ada yang terkantuk-kantuk mendengarkan Presiden sedang berpidato dengan intensi sepenting itu), tujuan dari pesan berikutnya adalah kepada segenap aparat pemerintah:

Karena itu pemerintah bertekad untuk terus meningkatkan pemeretaan ekonomi yang berkeadilan bagi seluruh masyarakat, memberantas radikalisme dan terorisme dan menggebuk komunisme

Presiden mengatakan pemerintah juga mengeluarkan kebijakan pemerataan ekonomi melalui pembagian aset untuk umat agar mempunyai lahan, kemudahan akses permodalan dan pendidikan advokasi yang masif.

“Pemerintah juga berencana mengembangkan perekonomian umat melalui pengembangan ekonomi keuangan syariah yang berdasarkan sistem wakaf, tapi ini masih dalam proses untuk kita selesaikan,” jelas Presiden.

Dalam kesempatan ini, Presiden juga berpesan bahwa dengan panduan Al-Quran bahwa sudah menjadi kodrat bangsa Indonesia untuk hidup dalam kebhinekaan, keberagaman suku, keberagaman agama, keberagaman ras dan keberagaman golongan.

“Ini merupakan anugerah Allah yang diberikan kepada kita. Dan kita wajib merawat apa yang telah menjadi anugerah Allah. Kita wajib merawat Bhinneka Tunggal Ika,” kata Presiden.

Pesannya telah tersimpulkan ketika Jokowi kemudian mengajak segenap warga Indonesia bahwa:

“Al-Quran mengajarkan kita taawud, bekerja keras, dan bekerja sama untuk mengubah nasib kita, mengubah nasib bangsa kita, bangsa Indonesia. Karena itu pemerinah bekerja keras membangun infrastruktur, membangun hubungan konektivitas di tanah air agar biaya logistik turun, biaya transportasi turun, sehingga perbedaan harga antar wilayah tidak ada perbedaan, tidak terlalu jauh, artinya merata”

Men-darat-kan Universalitas Quran

Presiden Joko Widodo mengatakan Indonesia dalam mengejar kemajuan dan kesejahteraan rakyat harus bersandar pada tuntutan universalitas Al-Quran.

Jika dicermati, seruan yang serupa juga adalah pesan dari setiap kali kutbah dibawakan oleh seorang kyai yang benar-benar mendalami Kajian Quran. Sebab ada juga yang menyebut diri pemuka agama atau kyai, ustadz atau ustazah tetapi sangat jauh dari amanah mulia yang melekat pada tugas yang diembannya. Saban hari ini misalnya, kerap kita mendengarkan bahwa seruan “jangan mengkriminalkan ulama” sudah dikoreksi menjadi “jangan meng-ulama-kan kriminal”.

Pada konteks lain, juga oleh para pastor, pendeta, malim, bhiku, bhikuni, pandita – apapun sebutan bagi para pemuka agama – bahwa masing-masing kitab suci mereka, sama seperti Qur’an, mengandung nilai-nilai kebaikan universal. Begitu teorinya.

Tetapi jemaat, rakyat, ummat, umat dan warga sipil biasa tidak lagi bisa dinina-bobokan oleh seruan, pidato dan kampanye yang wah dan sensasional, cetar membahana. (Sebab kita tahu bahwa ada ratusan pakar ahli komunikasi dan propaganda politik berkontribusi pada penyusunan dan pengkondisian acara-acara kenegaraan sehingga terlihat elegan). Jemaat, rakyat, ummat, umat membutuhkan wacana teoretis yang SEJALAN dengan kenyataan praktek penyenggaraan pemerintahan dalam hidup sehari-hari mereka.

Jika benar bahwa “Al Quran adalah rahmat, bukan saja untuk Bangsa Arab, tetapi untuk seluruh umat manusia di dunia, termasuk Indonesia”, maka para penghayat universalitas Quran tersebut harus memperlihatkannya dalam hidup sehari-hari.

Ngomong-ngomong, pidato universalitas Quran juga sebelumnya disampaikan oleh Suryadharma Ali ketika masih menjabat sebagai Menteri Agama, sebelum dirinya divonis 6 tahun penjara gara-gara tersangkut kasus dana haji. Suryadharma Ali hanya salah satu contoh saja dari sekian banyak orator yang berteriak menyebutkan universalitas Quran, tetapi dirinya sendiri justru menunjukkan PRAKSIS yang sangat bertentangan dengan TEORI yang dia kumandangkan. Masih banyak lagi lainnya termasuk dalam pemerintahan, yang suaranya tidak didengar lagi, dianggap sepi bahkan akan dicatat sejarah sebagai tokoh dengan reputasi yang buruk.

Jika benar bahwa universalitas itu juga terlihat pada “keteladanan Rasulullah pada gerakan yang memakai nilai universalitas Al-Quran untuk mentransformasikan Bangsa Arab menjadi yang beradab, menjadi bangsa maju”, mestinya para penghayat dan pembaca Quran juga bahu-membahu mentransformasikan bangsa Indonesia, bangsanya sendiri, menjadi bangsa yang beradab, bangsa yang maju. Merusak, demo tanpa aturan, persekusi massal maupun individual, kompromi dengan gerakan teroris, atau mengusik ajaran agama lain, tent saja bukan contoh umat yang melaksanakan nilai universalitas Quran itu.

Begitulah. Universalitas Quran ini begitu luhur (dengan asumsi bahwa tafsirnya benar demikian), sebab konon katanya memang diturunkan dari langit. Supaya dimengerti oleh penduduk yang tinggal di bumi Indonesia ini, ia harus di-darat-kan.


Ketika mendengarkan teori atau kampanye yang luar biasa soal wacana kebaikan dari suatu ajaran agama, teman saya biasanya bilang: “Asal ma toho”. 

Ketika ternyata teorinya tidak mendarat, kotbah membahana dan pidato berapi-api tidak nyata dalam praktek, bahkan bertentangan, teman saya ini akan mengatakan: “Holan hata do hape nanidokmi, kedan”

Lirik “Sursar” (Habang Birrit-birrit)

Ai diusehon do … mudarni da bangso i

Habang birrit
Habang birrit
Sattabi loloan on

Dipatakkas dipatilik
Dipatakkas dipatilik
Bohi nagurapon on

Sik sing sibatubmaikkam ni surle surle

Boha parhoda boban damarsipatu da huling huling
Boha pogos ni damanag ikkon alusan do namakkuling
On dope huboto ito da
Turi turi pakko pakko
Pangeol ni napulang maho

Pweeeeeeeee

Di waktu malam teraang bulan
Kau ada duduk disamping ku
Siapa suka suka ito da
Di ambar kami banyak limbat
Ulu ni limbat didoltuk
Ulu ni pisang dibondut

Lalalala
Lalalalala
Lalalalalala
Lalalalalalala

Di waktu malam bulan purnama
Cincin kuterima
Tanda nya cinta

Di waktu malam bulan purnama
Cincin kuterima
Tanda nya cinta

Paulak cincinhi da ito
Paulak cincinhi da ito
Hutekken nama i da ito
Di Sukarela i

Redi koman da ito
Sipussu ni hotang
Roma ho tuson da ito
Si boru ni tulang

Ai molo olo ho di au
Ikkon do ripe sonang
Sian dia dalan ni au on ripe sonang
Kopi susu manogot, sikkola potang potang

Layang layang sursar inang, were uerre
Mangakkat si assimun inang were uerre
Targantung di siboga, sitolu halaki
Dua do mandur Jawa, Sada do Sina i
Sude Siboga Julu, sude marnidai

Ai disusehon do mudarni bangsoi

Hella hella la
Mauli mauli hella la

Suri kadongdong ponggol loting
Suri kadongdong tonga borngin
Sursar inang talipolang inang
Manjua inang tu na sonang inang
Magodang magodang magodang

O inang baju
Di akkat biang tarallalam
Tano suksuk tano kanan
Timbaho mi timbahon bakkal
Dialsiphon doi lae sangalsip be
Sangalsip be

Asa … ris be …


Sumber: GoBatak.Com

Lirik “Patik Palimahon” Cipt. Soaloon Simatupang

 

Aha do among si bahenonhu tu ho
Na boi pa las roham di hatuaon ni umurmi
Tu tao na bagas pe langeanku do
Mandiori pinarsitta ni roham
Asa boi paganjang umurmi

 

Dia do inong pinangido ni roham
Baen on ni anakmon asa tung las nang rohami
Manang aha pe inong sai ulaonku do
Nasa na tolap ni gogoki
Asa boi pasonang rohami

(Reff):
Sude parsatokkinan do
Nasa na di hasiangan on
Dang arta di portibi on
Na naeng si pasahatonki

 

Jalo ma sombakkon Inong
Jalo ma nang sombakkon Among
Nidok ni patik palimahon i
Pasangaponmu natorasmu
Ido naeng si ulahononku
Tu ari na naeng ro

(Interlude)

Marsomba ujung au
Tu ho Among, tu ho Inong
Sai pasu-pasu ma hami akka pinomparmon
Memehononku ma antong tu sude pahoppumi
Asa tung diantusi be muse pasangaphon natorasna

(kembali ke Reff)

Ido naeng sisombahononku
Tu ho Among, tu ho Inong

Lirik “Dalihan Natolu”

Gogo ni Batak di paradaton.
Tar songoni nang di parsaoran.
Mardame dame di ganup inganan.
Sude marpartuturan.

Poda ni omputta sijolojolo tubu.
Ikkon ingoton di akka na parpudi.
Ingot ma i dalihan natolu
Dingolu mi siganup ari.

Somba marhula hula.
Manat mardongan tubu.
Elek hita marboru.

Ikkon marsipasangapan.
Marsiurupan di akka nahumurang
Marsitukkoltukkolan di akka hasadaan
Jala mardamedame diparsaoran.

Napinattikhon hujur di topi ni tapian.
Tudia mangalakka dapot parsaulian.
Eme ni sitamba tua parlinggoman ni siborok.
Debata do na martua, horas hita diparorot.

Gogo ni Batak di paradaton.
Tar songoni nang di parsaoran.
Mardame dame di ganup inganan.
Sude marpartuturan.

Poda ni omputta sijolojolo tubu.
Ikkon ingoton di akka na parpudi.
Ingot ma i dalihan natolu
Dingolu mi siganup ari.

somba marhula hula.
Manat mardongan tubu.
Elek hita marboru.
Ikkon marsipasangapan.
Marsiurupan di akka nahumurang
Marsitukkoltukkolan diakka hasadaan
Jala mardamedame diparsaoran.

Napinattikhon hujur di topi ni tapian.
Tudia mangalakka dapot parsaulian.
Eme ni sitamba tua parlinggoman ni siborok.
Debata do na martua, horas hita diparorot.

Napinattikhon hujur di topi ni tapian.
Tudia mangalakka dapot parsaulian.
Eme ni sitamba tua parlinggoman ni siborok.
Debata do na martua, horas hita diparorot.


Sumber: LirikLaguBatak.Id

Muslim dan Kristen, “Ambil dan Bacalah”

Ateis, Agnostik dan Teis Dikaruniai Akal

Kalau kamu punya waktu untuk browsinng di internet, cobalah iseng mengetik keywords:

 Dawkins’ Scale,

Nietszche,

religious people less intelligent,

Mudah-mudahan kamu akan memperoleh sekilas gambaran betapa wacana religiositas mempengaruhi keterbukaan kaum beragama terhadap ilmu pengetahuan dan informasi ilmiah yang terbaru secara jujur.

Harapan dari tulisan singkat Saya ini semoga bisa bermuara pada penyadaran sederhana.

Apa itu?

Yakni kesadaran bahwa sebagai satu spesies homo sapiens sesuai evolusi Charles Darwins (either you accept Darwinism or not) dan taksonomi Carolus Linnaeus, situasi dianugerahkannnya akal budi kepada semua manusia itu berlaku umum, entah kamu termasuk kaum (yang menyebut diri) beragama, agnostik (para peragu kritis akan benar-tidaknya eksistensi Tuhan) dan ateis (teman-teman yang tidak meyakini adanya Tuhan berangkat dari lack of evidence) sesuai nomenklatur Dawkins’ Scale.

Sebagai golongan teis paling peraih dua statistik terbesar di KTP menurut data pemerintah Republik Indonesia, layak rasanya jika teman-teman Muslim dan Kristen merenungkan dan mengevaluasi kembali sejauhmana pencerapan kita terhadap perkembangan ilmu pengetahuan dan informasi.

Tidak perlu rumit-rumit, pakai saja empat indikator utama literasi dalam mengukurnya, yakni reading, writing, listening and speaking. Jadi, alih-alih berbalik menyerang (seringkali tanpa sadar kita bumbui dengan berbagai logical fallacies yang sulit kita hilangkan) rekan ateis yang kerap melakukan bully seakan-akan fakta keberagamaan kita berbanding lurus dengan tingkat ignoransi, jadilah well-prepared “membela” rasionalitas dari iman yang dimiliki dengan memperkaya diri dengan segala pengetahuan dan sikap terbuka yang perlu untuk itu.

Teman Muslim, Warnailah Dunia dengan Menulis

Kemarin, pada hari ke-17 Ramadhan, pada malam Nuzulul Qur’an seorang teman online Saya di aplikasi Line mengirim pesan terusan dari M. Anwar Djaelani, penulis buku “Warnai Dunia dengan Menulis” kepada Saya. Berikut isi pesannya:

“Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu yang menciptakan. Dia telah menciptakan manusia dari segumpal darah. Bacalah, dan Tuhanmu-lah yang Maha Pemurah. Yang mengajar (manusia) dengan perantaran Qalam (tulis-baca). Dia mengajar kepada manusia apa yang tidak diketahuinya” (QS [96]: 1-5).

Modal Sukses

Di negeri ini, di tiap 17 Ramadhan, umat Islam banyak yang mengadakan Peringatan Nuzulul Qur’an. Di acara ini, hampir pasti lima ayat Al-Qur’an yang kali pertama diwahyukan kepada Nabi Muhammad Saw dan yang terjemahnya menjadi paragraf pembuka tulisan ini akan dibacakan. Akibatnya, nyaris tak ada umat Islam yang tak tahu perintah ini: Iqra’ (Bacalah).

Acara itu secara umum diniati untuk menjadi media agar kita lebih mencintai Al-Qur’an (dalam makna, lebih bersemangat untuk mengamalkan semua ajaran di dalamnya). Dalam kaitan ini, mestinya kita harus lebih mencermati perintah membaca dan menulis. Jika itu yang kita kerjakan, sungguh kita akan punya gambaran bahwa di depan Islam, aktivitas membaca dan menulis mendapat nilai yang sangat tinggi dan akan menjadi katalisator tegaknya sebuah peradaban mulia.

Di ayat pertama sangat jelas meminta kita untuk membaca. Apa yang harus dibaca? Semua ayat Allah, baik yang tertulis ataupun yang tak tertulis. Ayat yang tertulis adalah Al-Qur’an. Ayat tak tertulis adalah alam semesta dan seisinya yang merupakan ciptaan Allah.

Di antara ayat-ayat itu, sangat banyak yang harus dijelaskan lebih lanjut. Misal, kita diminta ‘menerangkan’ bagaimana unta diciptakan, langit ditinggikan, gunung-gunung ditegakkan, dan bumi dihamparkan?” (baca QS [88]: 17).

Jika demikian, apakah Al-Qur’an tak sempurna seperti yang digambarkan antara lain di QS [2]: 2? Sama sekali tidak! Lewat ayat yang membutuhkan penjelasan lebih dalam itu Allah justru memberi sarana kepada manusia agar memanfaatkan akal yang dipunyainya. “Hai jamaah jin dan manusia, jika kamu sanggup menembus (melintasi) penjuru langit dan bumi, maka lintasilah. Kamu tidak dapat menembusnya melainkan dengan kekuatan”(QS [55]: 33).

Kekuatan apa? Kekuatan akal! Maka, di Al-Qur’an banyak ayat yang berupa rangsangan Allah agar kita terus memikirkan ciptaan-Nya. “Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, dan silih bergantinya malam dan siang terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang berakal” (QS [3]:190).

Di titik ini, agar pembacaan kita atas ayat-ayat Allah lebih bisa dirasakan manfaatnya oleh kaum yang lebih luas, maka perlulah kesemuanya ditulis. Di sinilah makna penting ayat ke-4 dari QS Al ‘Alaq, bahwa Allah yang mengajar (manusia) dengan perantaran qalam (tulis-baca).

Aktivitas membaca dan menulis itu saling terkait.


Pertama, kita diminta untuk membaca.

Terkait ini, tentu diperlukan bahan bacaan. Bagi Muslim, bacaan utama adalah Al-Qur’an (bahkan, Al-Qur’an menurut bahasa maknanya adalah bacaan atau yang dibaca). Setelah itu, Al-Qur’an (plus ayat Allah yang tak tertulis) perlu dijelaskan oleh “kaum yang berakal”. Di titik ini, kita memerlukan penulis dari kalangan ulama dan cendekiawan Muslim, yang bisa menyediakan bahan bacaan yang baik.

Kedua, untuk membuat tulisan yang baik, penulis butuh ilmu atau wawasan. Untuk itu, penulis harus banyak membaca. Bukankah –kita tahu- bahwa tulisan yang baik itu hanya akan lahir dari pembaca yang tekun?

Tampak, bahwa aktivitas membaca dan menulis seperti dua sisi mata uang yang satu dan lainnya tak boleh tiada.

Keduanya harus ada, karena saling bergantung.

Terkait hasil beraktivitas membaca dan menulis, tercatat bahwa sejarah umat Islam di tujuh abad pertamanya adalah rangkaian kisah gemilang sebuah peradaban. Kala itu, ilmu –yang diperoleh lewat membaca dan menulis- berkembang pesat. Ilmu menopang penemuan berbagai teknologi yang membuat hidup manusia lebih nyaman. Tak hanya itu –dan bahkan ini yang paling penting- ilmu ketika itu bisa membuat manusia lebih mengenal siapa Tuhannya.

Bangun, Bangkit!

Sekarang, kita tengok sebuah negeri berpenduduk Muslim terbesar di dunia. Pertama, di antara cita-cita dari pendiri negeri ini adalah “Mencerdaskan kehidupan bangsa”. Usaha itu, tak dapat tidak, harus dilakukan lewat peningkatan aktivitas membaca dan menulis. Masalahnya, sudah seperti itukah kita?

Lihatlah, di segi minat baca! Ternyata, menurut UNESCO, pada 2012 indeks minat membaca masyarakat Indonesia 0,001. Artinya, dari setiap 1.000 orang hanya seorang yang punya minat baca (www.linggapos.com 28/09/2013).

Lalu, bagaimana dengan minat menulis? Kita pakai logika saja. Aktifitas membaca diperlukan untuk menjadi modal menulis. Maka, bisa dipastikan, bahwa minat menulis kita akan lebih rendah jika dibandingkan dengan minat membaca. Asumsinya, bagaimana mungkin seseorang akan suka menulis jika dia tidak senang membaca?

Kini, tak usah meratap, tapi – sebaliknya – mari bangkit!

Pertama, kepada para Ulama, jadilah seperti Nabi SAW yang sangat menomorsatukan akivitas membaca dan menulis. Apa yang terjadi pasca-Perang Badar cukup memberi pelajaran kepada kita. Kala itu, atas tawanan perang dari pihak musuh yang ingin bebas, Nabi Saw hanya memberikan syarat ‘sederhana’ yaitu si tawanan memberikan pelajaran baca-tulis terlebih dulu kepada umat Islam. Lihat, Nabi Saw tak meminta tebusan harta tapi sebuah ‘modal sukses’ yaitu kecakapan membaca dan menulis. Dalam konteks ini, duhai ulama, gairahkan umat Islam untuk gemar membaca dan menulis.

Kedua, kepada pemerintah. Amanah yang kamu pikul cukup berat. Sudahkah kamu menyediakan strategi yang bagus sedemikian rupa membaca dan menulis (sebagai bagian paling pokok dari usaha “Mencerdaskan kehidupan bangsa”) dapat menjadi keseharian dari semua murid / mahasiswa dan warga pada umumnya?

Mari bangkit, songsong peradaban mulia dengan menjadikan aktivitas membaca dan menulis sebagai keseharian kita. Hanya dengan cara demikian, peringatan Nuzulul Qu’an yang kita selenggarakan tiap tahun tak sia-sia.

Teman Kristen, Ambil dan Bacalah!

Entah kamu Katolik atau pengikut salah satu dari ribuan denominasi Protestantisme, sebagai orang yang gemar membaca dan mengikuti perkembangan sejarah literatur Gereja, nama Aurelius Agustinus dari Hippo tentu bukan nama yang asing lagi.

Khusus untuk Gereja Katolik, penulis dari zaman Gereja sebelum abad Pertengahan ini, Santo Agustinus dari Hippo (Afrika Utara) ini dinobatkan sebagai salah satu dari beberapa Pujangga Gereja dengan buah-buah pemikiran yang masih relevan dan karenanya menjadi referensi dari berbagai dokumen doktrinal Gereja hingga hari ini.

Salah satu anjuran Santo Agustinus yang banyak dijadikan inspirational quote adalah “tolle et lege” (Lat., artinya: ambillah dan bacalah). Seorang teman blogger menyuguhkan review singkatnya sebagai parafrase yang cukup apik terhadap anjuran tersebut. Berikut isi review-nya.

 (Tanya teman atau gunakan Google Translate, Tradukka atau tools penterjemah lain jika kamu kesulitan memahami teks berbahasa Inggris)

“But when a deep consideration had from the secret bottom of my soul drawn together and heaped up all my misery in the sight of my heart; there arose a mighty storm, bringing a mighty shower of tears. Which that I might pour forth wholly, in its natural expressions, I rose from Alypius: solitude was suggested to me as fitter for the business of weeping; so I retired so far that even his presence could not be a burden to me. Thus was it then with me, and he perceived something of it; for something I suppose I had spoken, wherein the tones of my voice appeared choked with weeping, and so had risen up.

He then remained where we were sitting, most extremely astonished. I cast myself down I know not how, under a certain fig-tree, giving full vent to my tears; and the floods of mine eyes gushed out an acceptable sacrifice to Thee. And, not indeed in these words, yet to this purpose, spake I much unto Thee: and Thou, O Lord, how long? how long, Lord, wilt Thou be angry, for ever? Remember not our former iniquities, for I felt that I was held by them. I sent up these sorrowful words: How long, how long, “tomorrow, and tomorrow?” Why not now? why not is there this hour an end to my uncleanness?

So was I speaking and weeping in the most bitter contrition of my heart, when, lo! I heard from a neighbouring house a voice, as of boy or girl, I know not, chanting, and oft repeating. ‘Take up and read; Take up and read.’ [’Tolle, lege! Tolle, lege!’] Instantly, my countenance altered, I began to think most intently whether children were wont in any kind of play to sing such words: nor could I remember ever to have heard the like. So checking the torrent of my tears, I arose; interpreting it to be no other than a command from God to open the book, and read the first chapter I should find.

Eagerly then I returned to the place where Alypius was sitting; for there had I laid the volume of the Apostle when I arose thence. I seized, opened, and in silence read that section on which my eyes first fell: ‘Not in rioting and drunkenness, not in chambering and wantonness, not in strife and envying; but put ye on the Lord Jesus Christ, and make not provision for the flesh, in concupiscence.’ [Romans 13:14-15] No further would I read; nor needed I: for instantly at the end of this sentence, by a light as it were of serenity infused into my heart, all the darkness of doubt vanished away.”

Jika ingin membaca secara penuh karya Agustinus yang memuat quote tadi, silahkan mencari di perpustakaan yang ada, entah offline atau online. Berikut ini detail dari referensi yang Saya maksud:

Aurelius Augustine, The Confessions of St. Augustine, translated by Edward Pusey. Vol. VII, Part 1. The Harvard Classics. New York: P.F. Collier & Son, 1909–14.

Fides et Ratio (Iman dan Akal Budi)

Mencari titik temu (interseksi) antara iman (yang doktrin dan penjelasannya pertama-tama tidak harus melalui standar metode ilmiah) dan ratio (akal budi) adalah tugas bagi setiap akademisi, pemuka jemaat (pastor, pendeta, bijbelvrouw, katekis, penceramah, kyai, ustadz dan ustazah) termasuk seluruh umat beragama. Sekali lagi, secara khusus, seruan ini dialamatkan kepada teman-teman Muslim dan Kristen, golongan teis Indonesia paling peraih dua statistik terbesar di KTP menurut data pemerintah.

Kamu bisa mulai dengan memperbanyak frekuensi membaca dua jenis buku sekaligus.

Satu, Kitab Sucimu dan ribuan tafsir-tafsirnya.

Dua, buku ilmiah yang berbicara tentang topik terkait di perikop atau ayat yang sedang kamu perdalam.

Mudah-mudahan, dengan konsisten melakukan rutinitas membaca dengan cara itu, perlahan kamu bisa berdamai dengan realitas keberagaman sumber literasi terhadap topik atau bahasan yang ingin kamu perdalam.

Contoh sederhana, jika selama ini kamu hanya tahu tradisi pengetahuan tentang sosok Tuhan monoteistik yang kau puja, kamu akan segera menemukan bahwa nama dari Tuhan yang kamu puja hanyalah salah satu dari ribuan (nama) Tuhan yang dipuja umat manusia sepanjang sejarah manusia. Ternyata, ada banyak sekali (nama) Tuhan dan tradisi yang menyertainya. Tradisi yang kamu lakukan hingga hari ini hanyalah salah satu diantaranya.

Atau, jika kamu merasa bahwa terlalu konyol jika masih mempercayai bahwa setiap manusia tercipta secara literer dari tanah, padahal kamu tahu bahwa kamu sendiri adalah hasil dari senggama antara Ayahmu dan Ibumu, tidak ada salahnya kamu membaca teks Kitab Suci yang kau miliki. Lalu mulailah membandingkannya dengan literatur ilmiah terkait. Ada banyak sekali sumber yang bisa dibaca.

Membaca secara konsisten dan berdamai dengan situasi (bahwa menemukan interseksi yang dimaksud ternyata tidak mudah) ilmu keagamaan dan kemajuan sains teraktual yang tidak serta-merta sejalan, memang bukan hal yang mudah dan nyaman. Tapi, seperti kita pada awalnya susah payah memadukan huruf-demi huruf dan akhirnya kita bisa mengeja nama kita sendiri dengan benar, toh akhirnya kita berhasil melewati situasi itu. Tidak ada salahnya, kita kembali “belajar membaca”.

Saya sendiri masih berusaha membaca dengan metode membaca semacam itu. Kegelisahan intelektual ini sedikit bisa saya redam setelah membaca ensiklik dari Paus Yohanes Paulus II yang langsung mengusung judul “Iman dan Akal Budi”.  Jika tertarik, kamu bisa juga mencoba hal serupa.

Untuk mengetahui isi lengkap dari Ensiklik Fides et Ratio yang ditulis oleh (Alm.) Paus Paulus Yohannes II yang kini sudah dibeatifikasi menjadi Santo Yohannes Paulus II, silahkan klik disini:

Ensiklik Fides et Ratio by Vatican.Va


Kamu bisa memulainya sekarang. Selain kamu punya Alkitab, tentu kamu juga punya buku-buku sains yang membahas tema terkait. Selain kamu punya Alquran, tentu kamu juga punya buku-buku sains yang berbicara tentang topik sejenis. Tidak harus mulai dengan tulisan yang sulit seperti Confessiones-nya Agustinus, atau puisi-puisi sofistik Jalaluddin Rumi, atau Kitab Kuning-nya Islam Nusantara. Kamu bisa mulai dengan memanfaatkan akses internet yang kamu miliki.

Kamu bisa mulai dengan membaca lebih banyak informasi dari sumber terpercaya. Jika kamu selama ini lebih banyak menikmati sumber bacaan yang sifatnya satu arah (dari tokoh atau media tertentu yang begitu mempengaruhi kamu sampai tidak ngeh bahwa mereka juga adalah manusia yang tidak mustahil menyertakan unsur subjektifitas dalam penyampaian informasi atau ilmu, sekalipun mereka menyebut atau meminjam otoritas dari agama tertentu atau Tuhan sekalipun), saatnya kamu memperbanyak frekuensi untuk membuka diri pada diskusi dengan anggota yang beragam latar belakang keagamaan.

Jika kamu cukup konsisten dengan sikap ilmiah dan rasional yang sejatinya sudah kamu miliki, berdiskusi dengan anggota dari masing-masing Dawkins’ scale yang berbeda, kelak bukan lagi masalah buatmu. Kamu tidak perlu lagi bertegang urat leher dengan rekan diskusi yang kelihatan seolah menyerang doktrin atau akidah yang selama ini kau pegang teguh mati-matian. Malahan, kamu akan belajar lebih banyak.

Konon, Tuhan menitipkan ilmu dan pengetahuan dimana-mana, termasuk pengetahuan dan pengenalan tentang Diri-Nya sendiri. Wallahualam.

So, whenever you can afford any book, “tolle et lege”, ambil dan bacalah.

 

Lirik “Nang Gumalussang Akka Laut”

Nang gumalunsang angka laut.
Rope nang halisungsung i.
laho mangharomhon solungki.
Molo tuhan parhata saut.
Mandok hata na ingkon saut.
Sai saut doi, sai saut doi, sai saut doi.

Ndang be mabiar ahu disi.
Mangalugahon solukki.
Molo Tuhanhu do donganhi.
Tung godang pe na musukki.
Na mangharophon solunghi.
Sai lao do i, sao lao do i sian lambungku i.

Hatop marlojong do solukku tu labuhan na sonang.
Naso adong be dapot hasusahan i.
Tudos tu si nang pardalananhi.
Laho mandapothon surgo i.

Sipata naeng lonong do ahu.
Sohalugahan galumbang i.
Tudia ma haporusanku i.
Ingkon hutiop tongtong jesus i.

Ditogu-togu tanganhi
Di dalan na sai maol i.
Di parungkilon hasusahan.
Tung Jesus haporusanhi.
Nang pe di dalan lao tu surgo i,
Diiring Jesus ahu disi.

(Interlude)

(repeat once more from the beginning)


Koor HKBP Ama Menteng menyanyikan lagu ini dengan cukup apik, ditambah simfoni orkestra merdu membahana, seperti bisa kita saksikan di video Youtube ini:

Syair disempurnakan dari LirikLaguBatak.Com

Lirik “Tapasada Ma Rohanta”

Hamu Amang, hamu Inang.
Denggan bege hamu, denggan peop hamu.
Angka poda ni ompunta, sijolo jolo tubu.
Asa unang gabe lilu rohamu.
Sian dalan na sintong,
sian dalan na tigor.

Mansai godang di tano on.
namasa da Amang, namasa da Inang.
Ima angka parungkilon, nang dohot parmaraan.
Asa tung marmanat.
Hita on sude, tu joloan on.

Reff:

Nunga lam matua be portibion.
Ai nunga lam manjonok be ajal ni jolma.
Ganup tongkin do sai ro pangunjunan
tu angka jolma na di tano on.

Dohot do muse na parporangan.
Na mambahen hapir hapir rohani jolma.
Ro muse ma angka sahit patimbohon hadabuan.
Pabagashon sitaonon naso tarhatahon i.

Sai nadenggan i ma ta ulahon.
Asa sahat na sinakkap ni rohanta.
Tapasada ma rohanta, tapaunduk ma dirinta.
Asa dapot hita hasonangan i.

(Interlude)

(back to Reff)

Tapasada ma rohanta, tapaunduk ma dirinta.
Asa dapot hita hasonangan i.


Disempurnakan dari LirikLaguBatak.Com

Lirik “Jamila”

Reff:

Oh … da Jamila da Jamila da bintang filim India
Boru ni kalibat parumaen ni pandita
Ai tung godang do halak sega di bahen ho da Jamila
Dirippu anak boru hape naung ina-ina oh Jamila

 

Marsambilu-sambilu manang marsabola-sabola
Hamu dongan na poso bege hamu ma angka poda
Poda-poda nauli tarlomobi sian natorasna
Digogoi do mangula pasikolahan anakonna

Sai songon solu bolon marsiadu tu bottean
Songoni ma natorasna patimbohon pangkat ni gelleng na
Oh … Jamila

(back to Reff:)

Minyak manubak Lobu dalan lao tu Porsea
Godang do anak boru godangan na so hasea
Margabus do di ula maradopon natorasna
Holan mangido hepeng didok lao parsibukkuna
Dihallung ma bukuna didok ma lao tu sikkola
Didayung ma sepeda hape mandapothon halletna
Oh Jamila

(back to Reff:)

Taon onom puluh pitu tu taon onom puluh walu
Maju ni zaman on tar lumobi di namarbaju
Gabe mar-celana jengky rio-rio nang baju-baju
Huhut markassa reben timbo muse dohot sipatu
Ai dang dipardulihon inanta i tinggal di jabu
Soaha be didok so adong laba mangalu-alu .. O Jamila

(back to Reff:)


Disempurnakan dari GoBatak.Com