Tak banyak yang perduli
Meski tenggorokanmu mulai perih,
mereka masih butuh gempita suaramu
“Tapi suaraku mulai parau”, pukasmu setengah membela
Tidak ada alasan,
Engkau harus terus bernyanyi.
Siapa suruh engkau unjuk gigi?
Padahal kau tahu ini bukan lagi panggung seni,
Sejak purba intrik busuk sudah merasuki.
Bukankah sejak awal kau sudah diwanti-wanti:
Jangan bernyanyi kalau tak berani sampai mati!!!
“Tapi khan aku tak perlu bernyanyi selama ini”, teriakmu beralibi
Ora urus, engkau harus tetap bernyanyi.
Sebab, mereka tak perduli nafasmu sepanjang apa,
Atau kamu bisa bertahan berapa lama.
Lagipula, mereka hanya pemandu sorak yang haus tawa
Para penonton yang tak kunjung lelah mencoba gembira.
Mereka rindu penyanyi sepertimu
Yang bisa memainkan nada-nada indah nurani mereka,
Yang mampu menyanyikan lagu serima dengan halusnya jiwa mereka.
Siapa suruh engkau berani melantunkan mimpi-mimpi mereka?
Lihatlah, kini mereka mendamba lirihnya suaramu.
Tak kasihankah kau mereka datang jauh-jauh hanya untuk mendengar suaramu?
Mulai dari tanah rencong hingga tembagapura,
Dari yang berbalut sutera hingga yang berani-beraninya datang tanpa pakaian pesta.
Maka, tidak ada alasan lagi, teruslah bernyanyi.
Kau boleh lelah sesekali, tapi mesti lekas bangkit lagi.
Ingatlah, sejak awal kau sudah kutitipkan pesan ini:
Jangan bernyanyi kalau tak berani sampai mati!!!
Tak perduli betapa lara menyesakkan dadamu
Dan vibra suaramu kerap kehilangan nada dasarnya,
seakan kau sendiri lupa kau sedang bernyanyi apa,
Akan semakin banyak yang memintamu bernyanyi.
Sejenak terdiam kasihan, tapi lantas riuh senang ketika kau bilang “Aku tidak apa-apa”.
Tentu, tidak semua sorak itu bermaksud memuji
Selalu ada serigala keji yang menyamar jadi domba dan onta di setiap tampilmu.
Bayangkan, ada dua ratus lima puluh juta jiwa
Tak mudah mengenali mana pengagum dan mana pembenci
Maka, ketika mereka berseru: “Jokowi!!! Jokowi!!!”,
Teruslah bernyanyi buat mereka.
Sebab, nyanyianmu harus tetap terdengar.
Jika tidak, riuh rendah mereka akan menggantikan panggungmu.
Bukan tidak mungkin mereka berbalik menyerangmu.
Tak ada jalan kembali, dari awal sudah kubilang:
Jangan bernyanyi kalau tak berani sampai mati!!!
Sebegitu sakitkah menjadi penyanyi?
Tidak juga.
Engkau bisa menipu mereka
Kau bisa lip sync dan komat-kamit saja.
Hanya saja, pemujamu akan gelisah dan mulai menggunjingkanmu
Sebab mereka tahu kini kau menyanyikan lagu yang berbeda.
Tidak ada rohmu disana.
Pembencimu tertawa senang dan mulai mencari penggantimu
Siapa suruh, kau lahir saat idola mereka sekarat.
“Tapi, siapa yang bisa menyanyikan lagu yang sama indahnya buat jutaan jiwa?”, kau mungkin bertanya.
Bukankah masing-masing punya selera yang berbeda?
Benar.
Belum ada yang sempurna.
Mungkin kau pun juga.
Tapi kau tidak disuruh bertanya,
Karena kau penyanyi.
Maaf kalau aku sedikit keji,
Ambil lagi pengeras suaranya, bernyanyilah lagi.
Bukankah sudah kubilang
sejak pertama kali kau berjanji memimpin negeri para penyanyi:
“Jangan bernyanyi kalau tak berani sampai mati!!!”
One thought on “Buat Pak Jokowi, Sang Penyanyi”