Sebagai pelengkap pelajaran satire bagi para pemelintir Sejarah sebelumnya, masih berbicara tentang “pelurusan” sejarah a la “oneng” dari teman-teman kita dari tetangga sebelah, simak lagi satire kedua berikut ini.
Hari-hari ini, semakin kental dan kencang dibandingkan periode sebelumnya, kita semakin dididik untuk berdamai dengan kenyataan bahwa menjaga diri supaya tetap waras dengan segala macam kebisingan (noise) dan tidak jemu untuk menyuarakan yang benar (voice), ternyata butuh konsistensi tinggi. Tidak mudah.
Sesekali kita butuh untuk serius, membaca begitu banyak manuskrip, melatih diri untuk melakukan diskresi yang benar, tenggelam dalam dinamika dialektika yang bahkan tidak pernah terpahami sepenuhnya hingga ini.
Di lain waktu, kita butuh untuk berjenaka saja. Raut wajah serius dan dahi berkerut adalah (mungkin) bahan bakar yang justru ditunggu-tunggu dan diharapkan oleh siapapun yang ingin memelintir sejarah. Judulnya sih “meluruskan sejarah”, entah sejarah mana yang hendak diluruskan oleh Herman Sinung dan teman-temannya itu.
Tidak mudah menjadi tetap sadar dan tegar di tengah wacana lelucon yang diperlakukan serius itu, yakni bahwa Patih Gajah Mada adalah seorang muslim, nama sebenarnya GAJ Ahmada, singkatan dari Ghufron Awaluddin Jamal Ahmada. Jika Anda ingin menanggapinya secara jenaka, maafkan kali ini harus reaktif, bersama teman saya Made Tertiana sang guru yoga, Anda boleh melakukan argumentasi jenaka seperti pada gambar ini, tentu tidak serius:
Ketika Anda merasa bahwa kewarasan Anda kembali pulih setelah tersenyum dengan jenaka di atas, ajaklah teman-teman untuk menyadari kelucuan historis yang diciptakan oleh teman-teman dari tetangga sebelah itu. Mulai dengan mengajarkan mereka hal-hal sederhana seperti menerangkan koin di bawah ini dengan penjelasan yang sederhana pula.
Semoga, selain Anda, semakin banyak teman-teman Anda yang ikut tetap waras. Bersama Saya, Anda dan teman-teman Anda tentu saja setuju untuk #MenolakBodohDanTolol.
2 thoughts on “Satire bagi Para Pemelintir Sejarah (part. 2)”