Menabrak “Gunung Es”

Fenomena “Gunung Es” dalam konstelasi sosialitas masyarakat kita itu nyata.

Jika Anda pernah berlayar di lautan lalu melihat ada setumpuk tanah di permukaan dari kejauhan, kemungkinan besar ada bagian yang tak terlihat, yang jauh lebih raksasa dibanding yang Anda lihat. Jangan sekali-sekali mencoba menabrakkan perahu Anda kesana. Bisa fatal akibatnya.

Bagi yang kurang paham gunung es seperti apa, boleh kok bolak-balik lagi diktat Freud atau Freudiannya.

Kalau masih sulit juga, gampangnya, ya kayak api dalam sekam saja.

Jika Anda melihat tumpukan sekam, hangat dan mengeluarkan asap sepanjang waktu, kemungkinan besar di dalamnya ada nyala api yang sewaktu-waktu siap menunjukkan wujud aslinya jika sekam sudah dilalapnya habis: menjadi api yang merah membara.

Pelapor Kaesang yang – seperti diberitakan media antara lain Tribunnews – ternyata SUDAH ditetapkan sebagai tersangka dalam kasus Hate Speech (Ujaran Kebencian).

Beberapa teman gendek.

“Kalau sebelumnya sudah tau tersangka, mengapa tidak langsung diproses? Kok membiarkan berlarut-larut hingga kasusnya membawa-bawa nama Kaesang, anak Pak Jokowi? Kalau yang dilaporkannya adalah anak pak Joko Z, tukang bakso tetangga sebelah rumah, apakah polisi juga akan menguak status tersangkanya?”

Lalu teman-teman aparat juga depressed.

“Tidak segampang itu. Memasukkan semua tersangka pasal hate speech dengan menggunakan UU ITE yang masih belum lepas dari pasal-pasal karet itu, lalu langsung memprosesnya, bisa penuh tuh register kasus di pengadilan.”

Yo wis. Berarti kelemahannya di situ: Kita kekurangan para professional di bidang penegakan hukum. Tinggal tambah saja. Tugas Negara untuk mengakomodasi proses dan prosedur dari program percepatan penambahan petugas penegakan hukum.

“Tapi masalah juga belum selesai, Bang.”

“Lho, kok?”

Kemaren saja ada tersangka yang diputus hakim dengan tuntutan melebihi tuntutan jaksa, para advokat nggak bisa buat apa-apa tuh. Sampai ada teman lulusan Hukum yang mau datang ke kampus asalnya buat unjuk rasa ke dosen pembimbing, gara-gara teori hukum yang dia pelajari tiba-tiba seperti tidak ada gunanya sama sekali.

Kalau begitu, gimana caranya memberantas kegilaan berliuk-liuk sirkuler bagai gurita penuh tentakel ini?

Ya, harus langsung ke akarnya Bang. Jika mau mencari seberapa tinggi gunung es-nya, selamilah hingga ke palung laut yang paling dalam. Moga-moga ketemu kaki gunung es-nya sebelum kamu kehabisan oksigen.

Kalau mau memadamkan api dalam sekam, siram air sebanyak-banyaknya Bang. Pastikan sampai ke bagian paling bawah dari alas tumpukan jerami itu. Kalau cuman percikin air ke rongga yang kelihatan berasap, kena jemur matahari sebentar, nanti berasap lagi. Soalnya, bara apinya masih di sana.

Owh… mai goat.

“Maksud Lo, masyarakat kita pada dasarnya memang sakit?”

Udah ah. Udah hampir jam 4 pagi. Ntar lagi Subuh, banyak syaiton berkeliaran. Kudu banyakin baca mantra buat ngusirnya.

Tolerance is Heaven for Pluralistic Society

 


As posted on my Facebook.