Ajang Apresiasi kepada Penulis Skenario

Adakah penghargaan untuk penulis film (skenario) pada Piala Oscar, Academy Awards, atau di festival film lainnya?

Iya, betul. Penulis skenario film memang mendapatkan piala penghargaan.

Di ajang Academy Awards, penghargaan untuk penulis skenario itu ada dua kategori, yaitu Best Original Screenplay (Penulisan skenario asli) dan Best Adapted Screenplay (Penulisan Skenario Hasil Adaptasi). Perbedaannya tentu saja untuk kategori pertama skenario film biasanya ditulis sendiri oleh sutradara atau produser film tersebut sedangkan untuk kategori kedua ditulis berdasarkan inspirasi dari media lain, khususnya novel dan buku yang telah ada.

Tahun 2020 yang lalu yang mendapatkan piala Oscar untuk Best Original Screenplay adalah Bong Joon-Ho dan Han Jin-Won untuk film Parasite. Sementara yang meraih piala Oscar untuk kategori Best Adapted Screenplay adalah Taika Waititi untuk film Jojo Rabbit yang diangkat berdasarkan novel karya Christine Leunens berjudul Caging Skies.

Dalam penghargaan Golden Globes, kategori untuk penulis skenario film terbaik disebutnya sebagai Best Screenplay – Motion Picture, dan tahun 2020 pemenangnya adalah Quentin Tarantino untuk film Once Upon a Time in Hollywood.

Sementara di British Academy Film Awards atau BAFTA, untuk penulis skenario film kategorinya juga ada dua, yaitu Best Original Screenplay dan Best Adapted Screenplay, sama seperti di Academy Awards. Dan tahun ini untuk kategori Best Original Screenplay dimenangkan Bong Joon-Ho dan Han Jin-Won untuk film Parasite. Kemudian Best Adapted Screenplay diraih oleh Taika Waititi untuk film Jojo Rabbit. Jadi pemenangnya sama juga seperti di ajang piala Oscar.

Di Festival Film Indonesia penulis skenario juga mendapatkan penghargaan Piala Citra untuk dua kategori, yaitu Skenario Asli Terbaik, dan Skenario Adaptasi Terbaik. Tahun ini 2020 pemenang piala Citra untuk Skenario Asli Terbaik adalah Gina S. Noer untuk film Dua Garis Biru, sementara peraih piala Citra untuk kategori Skenario Adaptasi Terbaik dimenangkan oleh Gina S. Noer dan Yandy Laurens untuk film Keluarga Cemara.

Beberapa festival film di Indonesia adalah Festival Film Bandung, dan Piala Maya juga memiliki penghargaan untuk penulis skenario film. Kalau di Festival Film Bandung disebutnya sebagai Penulis Skenario Terpuji Film Bioskop, dan tahun ini dimenangkan oleh Gina S. Noer untuk film Dua Garis Biru. Untuk Piala Maya, ada dua kategori untuk penghargaan bagi penulis skenario, yaitu Penulisan Skenario Asli Terpilih yang tahun ini dimenangkan oleh Gina S. Noer untuk film Dua Garis Biru. Dan satu kategori lagi adalah Penulisan Skenario Adaptasi Terpilih, untuk tahun ini dimenangkan pasangan suami istri Ernest Prakasa dengan Meira Anastasia untuk film Imperfect.

Dan masih banyak lagi festival film lainnya, baik berskala internasional atau hanya sebatas di Indonesia yang memberikan penghargaan bagi penulis skenario film terbaik.

Kita ini sama-sama Parasit

Film Parasite

“Parasite” merupakan salah satu film paling sukses secara komersial di Korea Selatan. Film ini benar-benar menggambarkan bagaimana sebuah parasit terus menggerogoti induk semangnya. Parasit digambarkan sangat mengerikan bahkan bisa membuat sang induk semang menderita. Seiring dengan penghargaan prestius yang didapatnya, film ini meraih kritikan positif yang luar biasa, dan sering kali digadang-gadang sebagai salah satu film asal Korea Selatan terbaik sepanjang masa, serta salah satu film terbaik di dekade 2010-an.

Adalah tangan dingin Bong Joon-ho yang menulis, menyutradarai dan memproduseri Parasite sampai mencapai titik kegemilangannya yang tertinggi di bawah bendera Barunson E&A Corp: Ya, sebuah Piala Oscar untuk kategori Film Terbaik dalam Academy Awards 2020 yang digelar di Dolby Theatre, Hollywood, California, Minggu (9 Februari 2020) waktu setempat. Parasite sukses mencatat sejarah sebagai film berbahasa asing pertama yang berhasil meraih Oscar dalam kategori Best Picture. Piala Oscar yang diraih Parasite tidak hanya itu. Sebelumnya, Film Internasional Terbaik, dan yang tidak kalah bergengsi yakni pemenang Sutradara Terbaik. Tentu saja, Parasite kemudian dipuji setinggi langit oleh publik negara asalnya sendiri, Korea Selatan.

Dibalut dengan komedi, film thriller ini pun penuh dengan pertarungan antara keserakahan dan segala prasangka yang dengan apik diperankan oleh Song Kang-ho sebagai Ki-taek, Jang Hye-jin sebagai Choong-sook, Choi Woo-shik sebagai Kim Ki-woo, dan Park So-dam sebagai Kim Ki-jung.

Mengapa Parasite sangat terkenal?

Tema utama Parasite adalah perjuangan kelas dan kesenjangan sosial. Kritikus film (termasuk Joon-ho sendiri) menganggap film ini sebagai cerminan kapitalisme zaman modern. Beberapa kritikus lainnya mengaitkan dengan istilah “Neraka Joseon” yang terutama populer di kalangan orang muda pada akhir 2010-an untuk menggambarkan kesulitan hidup di Korea Selatan.

Judul film ini awalnya adalah Décalcomanie, yang menurut Joon-ho dalam wawancaranya terilhami dari konsep seni rupa decalcomania (seni menerapkan desain dari kertas ke media berbahan gelas atau porselen). Namun, judul tersebut kemudian diganti dengan “Parasite” karena memiliki makna ganda. Joon-ho mengatakan, “Karena cerita ini mengenai keluarga miskin yang menyusup dan merayap ke dalam rumah orang kaya, tampaknya sangat jelas bahwa Parasite mengacu kepada keluarga miskin, dan saya pikir itu sebabnya tim pemasaran agak ragu. Namun, jika Anda melihatnya dengan cara lain, Anda dapat mengatakan bahwa keluarga kaya, mereka juga parasit dalam hal pekerjaan. Mereka bahkan tidak bisa mencuci piring dan menyetir sendiri, sehingga mereka lintah dari pekerjaan keluarga miskin, sehingga kedua keluarga tersebut adalah parasite.”

Parasite mengisahkan kehidupan keluarga Kim Ki-taek (Song Kang-ho), seorang supir cabutan yang menikah dengan istrinya Choong Sook (Jang Hye-jin) bersama dua anak mereka yang sudah berusia belasan tahun di sebuah apartemen bawah tanah yang tak layak huni. Mereka semua pengangguran. Untuk memenuhi kebutuhan hidup, mereka menggantungkan diri pada pendapatan kecil dari melipat kotak pizza.

Suatu hari, putra dalam keluarga itu, Ki-woo mendapatkan pekerjaan mengajar les yang memungkinkan ia memperoleh pendapatan tetap. Pekerjaan itu sendiri sebenarnya didapat Ki-woo untuk menggantikan temannya yang melanjutkan kuliah di luar negeri. Menjadi tumpuan keluarganya, Ki-woo kemudian datang ke rumah keluarga yang akan membayarnya sebagai guru les, keluarga Park yang merupakan pengusaha di bidang IT. Namun saat Ki-woo tiba di rumah keluarga Park dan bertemu dengan seorang wanita muda dari rumah itu, Yeon-kyo, saat itulah strategi untuk menarik keluarganya dari kemiskinan dimulai.

Pelan tapi pasti, antara kedua keluarga yang berbeda strata ekonomi pun terjalin simbiosis. Keluarga Kim menyediakan layanan kemewahan untuk keluarga Park yang mengeluarkan keluarga Kim dari lingkungan miskin. Namun simbiosis itu tak bertahan lama.


Kita ini Sama-sama Parasit

Satu hal yang pasti: Hadirnya film Parasite membuat Asia semakin terkenal di dunia perfilman. Film ini membawa dampak positif juga di negara asalnya. Karena film ini, Pemerintah Kota Seoul menyatakan akan membantu 1.500 rumah tangga miskin di Seoul untuk meningkatkan kehidupannya, terutama masyarakat yang tinggal di apartemen semi-basement seperti yang digambarkan dalam film Parasite.

Ini sungguh kenyataan yang menyejukkan: Bahwa seni, sekali lagi, kembali ke fitrahnya: menginspirasi manusia untuk melakukan sesuatu bagi masyarakat dan dunia. Parasite menyindir kondisi di Seoul, membuat pemerintah semakin berkaca untuk memajukan kesejahteraan rakyatnya. Pada tataran moral, Parasite kembali mengingatkan kita bahwa kerap kita (yang kaya dan yang misikin) parasit satu sama lain. Kita tak bisa hidup tanpa induk semang kita.

Jika orang lebih senang disebut sebagai homo socius, bukan homo lupus yang saling memangsa bak parasit, itu artinya dia mesti berfikir dan bertindak lebih baik lagi. Sangat jelas dipesankan bahwa kita adalah makhluk sosial yang tidak bisa hidup sendiri tanpa bantuan orang lain. “No Man is an Island”, kata seorang penyair.


Disadur seperlunya dari tulisan Micheel Cordes Sinaga, siswi XII IPA SMA Budi Mulia Pematangsiantar T.P. 2019-2020