Pandemi dan Disrupsi Mempertegas Urgensi Heutagogi di Sekolah

Disrupsi dan Pandemi

Sudah sejak beberapa tahun lalu, istilah disruption era (era disrupsi) semakin terbiasa terdengar dan terbaca kita. Mungkin ada yang belum pernah mendengarnya. Disrupsi adalah gangguan yang mengakibatkan industri tidak berjalan seperti biasanya karena bermunculannya kompetitor baru yang jauh lebih efisien dan efektif, serta penemuan teknologi baru yang mengubah peta bisnis. Contoh yang sering dirujuk adalah ojek pangkalan dengan ojek aplikasi (Gojek atau Grab). Kita bisa lihat, tren ini masih berlanjut dan sepertinya akan terus dalam pola itu.

Saya melihat bahwa pola ini memiliki interseksi yang cukup kuat dengan apa yang menimpa kita di seluruh dunia sekarang ini, yakni pandemi COVID-19 dengan segala dampaknya terhadap seluruh aspek kehidupan kita. Interseksi itu terutama menjadi jelas pada dunia pendidikan Indonesia.

Persisnya interseksi itu terjadi karena era disrupsi mengubah daftar pekerjaan yang dibutuhkan oleh dunia kerja (yang sering tidak diajarkan di sekolah). Sementara itu, pandemi mengubah cara belajar dan materi belajar yang perlu (yang sering tidak terjadi di sekolah).

Karir di Sekolah: Mana yang Masih Relevan?

Bagi para tenaga pendidik, setidaknya kenyataan ini mengajarkan kita bahwa ada dua jenis karir di sekolah dan masa depannya.

Pertama, yang expendable alias mudah digantikan mesin.  Keniscayaan otomatisasi yang diakselerasi oleh paduan big data dan AI (artificial intelligence) membuat pekerjaan lama (yang dulunya diimpikan sebagai tempat berlabuh para siswa dengan kurikulum sekolah yang ada saat ini) akan semakin tidak dibutuhkan lagi. Untuk karir di sekolah saja misalnya, profesi seperti guru les mengetik, tukang ketik, guru sejarah, entry data di tata usaha sekolah diyakini akan semakin sedikit dibutuhkan, atau malah hilang sama sekali. Ini sangat masuk akal karena kodrat dari pekerjaan itu sangat mungkin diambil alih oleh otomatisasi tadi. Apalagi untuk materi pelajaran yang melulu hafalan, Youtube dan sumber internet lainnya sudah lebih kaya dan lebih banyak pilihan tergantung tingkat pencerapan si anak. Expendability akan semakin tegas pula manakala guru mapel itu tidak kreatif dalam merangsang siswa supaya tertarik mendalami pelajaran yang diampunya. Hal yang sama juga terjadi pada pekerjaan lain di luar sekolah, yakni yang tugasnya bisa diambil alih oleh mesin.

Kedua, yang belum expendable atau belum tergantikan oleh mesin. Tenaga pendidik yang dalam proses pembelajaran banyak melibatkan unsur kreatif diyakini masih belum tergantikan. Misalnya, pelajaran bahasa dan sastra, seni dan budaya, olahraga dan mata pelajaran lain yang indikator pencapaiannya tidak cukup dengan teori tetapi juga dengan praktek yang dibimbing serius oleh guru pengampu yang bersangkutan. Hal yang sama juga terjadi pada pekerjaan lain di luar sekolah, masih akan bertahan, yakni yang tugasnya masih dominan melibatkan proses kreatif dan intuisi (yang hingga saat ini belum bisa dijangkau atau ditaklukkan oleh AI dan teknologi mutakhir lainnya). Menulis lagu, mengarang puisi, atau melatih otot kaki untuk membentuk curve saat melakukan sepak pojok pada sepak bola adalah contoh pembelajaran yang masih lebih membutuhkan manusia sebagai instruktur dibanding mesin.

Tidak tertutup kemungkinan, kelompok kedua ini juga akan expendable ketika AI dan teknologi turunannya semakin berkembang. Sebagai contoh, saat ini, berkat kemampuan “self-learning robot” melihat pola dan hubungan makna kata berkat algoritma tesaurus yang semakin melimpah, bahkan sudah ada bot yang bisa menulis puisi. Meskipun hasilnya belum sehebat karya para penyair kondang, tapi juga sering lebih bagus dibanding karya penulis puisi pemula.

Ketika Sekolah Tak Lagi Relevan

Pandemi COVID-19 dengan dampak yang berkepanjangan pada berbagai aspek kehidupan ini mengajarkan setidaknya 2 hal penting dalam konteks pendidikan. Dua hal ini sangat bersambung pula dengan tuntutan era disrupsi.

Pertama, ada banyak hal (lain) yang bisa dipelajari.

Kedua, ada banyak cara (lain) untuk belajar

Bagi tenaga pendidik dan murid, hal ini sangat relevan dan mendesak untuk didiskusikan bagaimana mengimplementasikannya. Kita urai satu persatu.

Ada banyak hal yang bisa dipelajari

Ketika kita mencari bacaan mengenai skill dan pekerjaan yang paling dibutuhkan di masa depan dan mengungkapkan hasil bacaan kita secara jujur, kita akan menemukan bahwa kurang lebih 75%-nya berkaitan dengan dunia digital. Mulai dari progammer, designer, digital marketer, web developer, sampai data analyst. Dan dari 75% itu tak ada yang diajarkan di sekolah.

Oke, kita berkilah bahwa sekolah memberikan pengetahuan dasar yang penting. Tapi apakah memberikan banyak pengetahuan dasar adalah bijak disaat dunia semakin membutuhkan keahlian spesifik? Jelas tidak. Itu sama artinya kita membangun pondasi terlalu luas dan dalam, tapi tidak pernah membangun dinding dan atapnya.

Dulu ketika seseorang hendak membangun sebuah rumah/bangunan ia hanya perlu beberapa tenaga tukang. Sekarang dengan semakin mewah dan lengkapnya fitur bangunan, seseorang perlu mencari arsitek untuk desainnya, insinyur teknik sipil untuk perhitungannya, seorang akuntan untuk menghitung keluar masuknya uang, ahli listrik, manajer, sampai tukang dan kuli pekerja kasarnya.

Begitu juga untuk membangun sebuah web. Dulu, seseorang membuat web cukup dengan WordPress atau Blogger. Sekarang dengan semakin kompleksnya web yang multifungsi, tidak cukup dikerjakan oleh seorang web developer saja. Setidaknya butuh seorang progammer html untuk pondasi webnya. Progammer PHP agar webnya berjalan dinamis. Progammer CSS agar tata letak web terlihat rapi dan menarik, sampai ux designer-nya agar antarmuka web mudah dipahami pengunjung. Bayangkan untuk membuat dua hal itu, kita butuh banyak sekali kemampuan spesifik dari para ahlinya. Untuk tingkat kesulitan lebih tinggi sedikit, website e-commerce, misalnya, bahkan bisa membutuhkan lebih banyak orang. Seperti pernah diceritakan oleh Leogent Haromunthe, adik Saya yang bergiat di bidang pembuatan software e-Commerce. Lebih tinggi lagi, misalnya untuk manufaktur bioteknologi, jumlahnya bisa semakin banyak pula.

Say Ramdhan, seorang teman Facebook, mengurai fenomena ini secara sederhana dan mengena di group L.I.K.E Indonesia (Lingkar Inspirasi Keluarga Indonesia). Ia menjelaskan bagaimana kita harus berdamai dengan kenyataan bahwa semakin banyak profesi baru untuk satu keperluan. Dan sekolah kita yang sampai 12 tahun bahkan tidak mampu menentukan akan menjadi apa siswanya. Sebaliknya, keperluan lain yang selama ini dikerjakan banyak orang, akan membutuhkan semakin sedikit tenaga kerja.

Dengan kegagalan itu, akhirnya banyak orang yang harus mencari keahlian tambahan selepas lulus SMA bahkan SMK. Baik melalui kuliah atau kursus lainnya. Nah, apakah semua pengetahuan dasar dari sekolah diperlukan untuk belajar pengetahuan tambahan ini? Jelas tidak.

Sekarang kita merasa sekolah kita baik-baik saja dan tidak menyadari bahwa sekolah kita sudah tidak relevan dalam hal menyiapkan skill anak untuk masa depannya. Ya, para orang tua yang saat ini memaksa anaknya pergi ke sekolah adalah manusia yang saat ini hidup layak berkat pendidikan mereka di sekolah. Mereka adalah generasi old school, generasi baby boomer dimana ijazah adalah bekal mencari kerja. Situasi ini bisa menjadi semakin unik dan menegangkan jika kita melihat membaiknya meritokrasi pada beberapa perusahaan. Artinya, semakin banyak bos perusahaan yang menerima karyawan karena memang sesuai dengan kemampuannya, bukan karena faktor ijazah atau kedekatan pribadi. Berbeda dengan zaman sebelumnya dimana masih banyak karyawan diterima karena ada orang dalam. Atau karena menyogok bagian personalia atau pimpinan, secara halus maupun terang-terangan.

Yang tidak kita sadari, anak-anak yang kita paksa sekolah pada waktunya akan bekerja sebagai progammer, data analyst sampai digital marketer. Dengan menyadari bahwa pendidikan mereka di sekolah hanya menghasilkan selembar kertas ijazah berbonus ilmu membaca dan menghitung. Mereka-mereka ini adalah penghuni masa depan yang akan menyiapkan anak mereka dengan lebih baik tanpa jalur sekolah.

Ini bukan ramalan. Kita bisa melihat beberapa orang kaya (yang dulu biasa/gagal di sekolah) saat ini tidak terlalu memusingkan sekolah anak-anak mereka. Ada sebagian yang mengambil jalur home schooling, atau kursus-kursus lainnya. Intinya mereka menyiapkan skill spesifik anaknya sejak dini. Umumnya, mereka ini adalah yang sadar dengan konsekuensi era disrupsi dan tidak ingin anak-anaknya ketinggalan kereta di masa depan.

Ada banyak cara belajar

Alasan kedua yang membuat sekolah tidak relevan adalah model pengajarannya. Pandemik ini mengajarkan banyak orang bahwa ada banyak cara lain untuk belajar. Iya, di luar sana kita dengar orang tua ingin agar sekolah masuk. Iya orang tua, bukan anaknya. Anak-anak dengan kreativitasnya menemukan banyak carauntuk belajar apa yang mereka minati. Mereka mulai belajar melalui YouTube, IG, WAG atau Telegram. Bahkan tak jarang yang ikut kursus online berbayar.

Ketika di sekolah guru-guru produk keluaran lama bingung cara membuat PDF serta membuat tugas melalui Google Classroom, para siswa menemukan di luar sana ada beberapa anak muda yang saling berbagi video pembelajaran menggunakan berbagai media yang menyenangkan. Ketika guru tak lagi bisa mengandalkan papan tulis hitam putih, akhirnya siswa menemukan sebuah pembelajaran yang dikemas dalam konten infografis yang menarik.

Sekali lagi kita mungkin berkilah, “ah itu kan tidak menjamin anak-anak paham dengan yang mereka pelajari”. Tentu saja, pembelajaran daring tidak bisa menjamin hal tersebut. Tetapi apakah pembelajaran tatap muka di depan papan juga mampu menjamin pemahaman siswa? Tidak juga.

Benar memang lebih banyak siswa yang merasa lebih mudah menerima pelajaran tatap muka secara langsung dari guru. Tetapi tidak sedikit pula yang karena terpaksa bisa belajar hanya dari Youtube atau WAG. Jangan remehkan kemampuan manusia untuk beradaptasi dengan keadaan.

Mungkin anak kita dengan kemampuan menengah sampai ke bawah akan merindukan suara kita di depan kelas dengan sedikit wajah merengut kita yang memaksa mereka belajar. Tapi, bagi mereka dengan kemampuan menengah ke atas, mereka bisa belajar dari mana saja. Butuh bukti? Coba lihat komentar anak-anak kita di IG atau YouTube. Tidak sedikit yang menganggap penjelasan dari konten kreator itu benar-benar mudah dipahami. Jika 25% saja siswa kita merasa cukup belajar secara daring, maka kita akan kehilangan 25% pelanggan sekolah di masa depan.

Kita mungkin tak akan kaget lagi. Sebab saat ini kita biasa melihat banyak mall dan gerai besar tutup dikarenakan keberadaan toko daring. Banyak sudah perusahaan transportasi gulung tikar bangkrut karena transportasi daring. Lalu apa jaminan sekolah akan bertahan dari hantaman ini?

Bagaimana jika sekolah pun pada akhirnya didigitalisasi sepenuhnya? Bisa. Sebagaimana LBB anak siswa dan LBB lainnya yang sudah mulai merambah dunia digital, sekolah pun bisa. Tapi akan ada disrupsi besar-besaran dalam dunia pendidikan kita.

Supaya tetap relevan, heutagogi urgen diterapkan.

Seperti pernah Saya ulas sebelumnya di blog ini, dalam kacamata positif yang tidak dipaksakan, kita bisa pula memanfaatkan pembelajaran daring akibat Pandemi COVID-19 ini sebagai sparing partner pendidikan. Caranya: mengimplementasikan heutagogi. Secara singkat, heutagogi adalah sebuah pendekatan baru yang memberikan kesempatan kepada siswa untuk menentukan apa yang akan dipelajari di kelas dan bagaimana mereka akan mempelajarinya.

Jika sekolah ingin agar mereka tetap relevan bagi pelanggannya, maka sekolah harus segera membenahi kedua hal tadi, yakni 1) apa yang dipelajari dan 2) bagaimana cara mempelajarinya. Kita urai kembali satu persatu.

Untuk yang pertama, dibutuhkan dukungan dari pemerintah terutama kementerian pendidikan. Jika tidak, akan sulit terlaksana. Meski demikian, bukan tidak ada angin segar. Semangat Merdeka Belajar, penghapusan UN, perampingan RPP dan beberapa fenomen lainnya kiranya bisa dimaksimalkan. Terutama untuk sekolah swasta yang memiliki keleluasaan lebih dibanding sekolah negeri. Fokusnya adalah memasukkan muatan pelajaran yang relevan dengan tuntutan era disrupsi tadi tanpa harus menyandera kelangsungan institusi pendidikan dan kesejahteraan para tenaga pendidik serta para karyawannya.

Untuk yang kedua, sekolah butuh dan mendesak untuk mendigitalkan dirinya. Masalahnya ketika sekolah beralih digital, akan banyak guru-guru (manusia) yang tidak lagi relevan. Bayangkan 1 juta anak bisa belajar dari sebuah portal belajar daring yang isinya hanya puluhan guru. Bayangkan hanya seorang guru saja yang dibutuhkan untuk membuat video pembelajaran yang dapat ditonton sejuta siswanya bahkan untuk siswa di tahun berikutnya.

Mau dikemanakan guru lainnya? Jika benar pendidikan akan sepenuhnya berada di dunia digital apakah kita siap “membuang” guru-guru kita yang berjasa? Jika memang mereka adalah guru sebagai sosok untuk digugu dan ditiru, maka tuntutan untuk beradaptasi yang dialami siswa dan orangtua, juga berlaku untuk mereka.

Untuk kasus tertentu, dimana usia sudah mendekati pensiun sehingga dirasa sangat terlambat untuk ‘mulai kembali menyentuh hal-hal yang berbau teknologi’, mereka bisa didaulat oleh pemilik sekolah sebagai punggawa pertahanan nilai-nilai baik dari baby boomer. Maksudnya bagaimana? Jangan lupa, meskipun anak-anak milenial ini terlihat lebih pintar dan cerdas, tetapi mereka juga membutuhkan asupan nilai (value) yang tidak didapat dari teknologi, yakni kejujuran, integritas, dan perseveransi (daya juang). Ketiga nilai ini, sampai sekarang, masih dicari oleh perusahaan manapun pada karyawan yang ingin melamar. Nah, sekolah bisa merancang skema dan penjadwalan dimana guru-guru dari kelompok khusus ini bisa berkontribusi untuk fokus menanamkan dan mengembangkan nilai-nilai luhur tadi bagi para siswa. Tentu saja, hal inipun tidak akan terwujud jika ternyata mereka pun menjadi guru bukan karena meritokrasi (tetapi karena ‘hal lain’).


Semua tuntutan ini sebenarnya sudah mulai terasa selama awal abad milenium. Tetapi dengan kemunculan pandemik ini, langkahnya semakin dipercepat. Semua elemen pendidikan dipaksa untuk lebih cepat adaptif terhadap keadaan. Yang tertinggal atau terlena dengan zona nyaman mungkin akan bernasib sama seperti Nokia dan Blackbery yang tergusur oleh smartphone.

Pilihlah Hidup

Aaa … aaa …. aaa …

Should’ve stayed were the signs I ignored?

Can I help you not to hurt anymore?

We saw brilliance, when the world, was asleep.

There are things that we can have but can’t keep

 

If they say

Who cares if one more light goes out

In a sky of a million stars?

It flickers, flickers

Who cares when someone’s time runs out

If a moment is all we are

We’re quicker, quicker

Who cares if one more light goes out?

Well I do.

 

The reminders pull the floor from your feet

In the kitchen, one more chair than you need oh

And you’re angry, and you should be, it’s not fair

Just ’cause you can’t see it, doesn’t mean it isn’t there

 

If they say,

Who cares if one more light goes out

In a sky of a million stars?

It flickers, flickers

Who cares when someone’s time runs out

If a moment is all we are

We’re quicker, quicker

Who cares if one more light goes out?

Well I do.

 

If they say,

Who cares if one more light goes out

In a sky of a million stars?

It flickers, flickers

Who cares when someone’s time runs out

If a moment is all we are

We’re quicker, quicker

Who cares if one more light goes out?

Well I do.


Lagu ini cukup legendaris bagi banyak orang, termasuk Saya.

Pertama, karena Chester Bennington, si vokalis Linkin Park yang menyanyikan lagu ini, kita ketahui meninggal bunuh diri. Ini sudah lebih dari cukup menjelaskan mengapa lagu ini kemudian menjadi sangat sarat makna dan pesan untuk direnungkan.

Kedua, setelah melihat versi cover dari One Voice Children’s Choir, ada perasaan merinding meski sudah mendengarkannya untuk kesekian kalinya. Versi yang dibuat dalam rangka bulan Suicide Prevention and Awareness (Sikap Mawas dan Pencegahan terhadap Bunuh Diri) ini membuat “One More Light” semakin istimewa. Selain karena ketertarikan dengan melodi lagu yang dengan menakjubkan dinyanyikan oleh paduan suara, anggotanya anak-anak pula, dengan indah duka dan harapan tergambar disini.

Belum lama ini, kita mendengar banyak kejadian artis bahkan orang biasa yang melakukan tindakan bunuh diri. Saya tidak ingin memulai perdebatan tentang asal-muasal, sebab atau situasi yang menyebabkan fenomena suram generasi kita ini. Sebab sangat kompleks dan rentan subjektif jika mencoba menggunakan sudut pandang tunggal.

Saya hanya mau menawarkan supaya kita sesekali memperkaya nalar kita yang sangat rasional-positivistik dengan kandungan cipta yang penuh dengan rasa dan empati. Melalui seni terutama lagu, hal ini lebih tepat dan akurat tersampaikan. Sebagai anasir tertinggi dari peradaban yang tinggi (terlebih bagi warga Nusantara yang kerap menyebut dirinya berbudaya adiluhung), lagu (sebagai bagian dari seni dan budaya) sekali lagi menegaskan dirinya sebagai sarana komunikasi yang paling tepat. Di dalamnya, misteri hidup dan mati – yang tak hentinya membuat kita bingung – disampaikan dengan indah.

Kembali ke cover One Voice Children’s Choir. Seperti ditulis di deskripsi videonya, ternyata lagu ini juga mereka dedikasikan untuk salah satu anggota paduan suara mereka, Megan. Sang konduktor, Masa merasakan kepedihan yang cukup mendalam atas kepergian gadis cilik Megan. Sedih-sesedihsedihnya, sama dengan orangtua, teman dan kerabat Megan.

Ketiga, sekali lagi, seni yang bagus, ialah seni yang menyatukan manusia. Seniman yang baik akan menciptakan karya yang menyatukan manusia. Jika setiap mendengar lagunya kita menjadi teringat akan sosok dan pesan kehidupan yang disampaikannya, itulah seniman yang sudah mencapai pencerahan tertinggi. Buat Saya, “One More Light” adalah salah satu contohnya.

Keempat, seperti pesan lagu ini: Pilihlah hidup.

Choose to live.

Choose to stay.

Pesan Ketua Puanhayati Pusat kepada Perempuan Penghayat di Indonesia

Pesan Ketua Puanhayati Pusat kepada Perempuan Penghayat di Indonesia dalam acara Doa Bersama & Ruwatan COVID-19 (25 April 2020)

Dian Jennie Cahyawati

Saya memohon kepada seluruh perempuan penghayat kepercayaan yang berada ada di Indonesia supaya kita tetap kuat.

Kita pasti bisa melewati semuanya dengan baik.

Kawan-kawan,

Kita harus yakin karena keyakinan, doa dan kewaspadaan kita. Kemudian kita harus menjaga kesehatan kita sebagai salah satu imun yang akan memagari jasmani kita untuk menangkal virus yang sekarang sudah menyebar tanpa henti di seluruh belahan dunia.

Kawan-kawan Saudara perempuan penghayat kepercayaan yang Saya banggakan,

Lakukanlah hal-hal yang bisa membantu saudara-saudara kita yang lain. Lakukanlah sesuatu sesuai dengan kemampuan yang kita bisa hari ini. Apakah itu dalam bentuk materi, dalam bentuk tenaga, himbauan.

Bahkan Saya kira semua personil, semua perempuan penghayat dan seluruh penganut kepercayaan di Indonesia bisa melaksanakan doa di rumah. Kita menyatukan energi positif bersama-sama dan jangan lupa tetap melakukan pemantauan kepada saudara-saudara kita di sekeliling kita terutama saudara-saudara kita yag membutuhkan.

Social distancing ini juga membawa beban domestik yang lebih besar Saya kira dan tampaknya dari hari mulai pagi hingga malam seakan-akan tidak berkesudahan supaya semua keluarga ada dalam rumah. Perempuan dituntut supaya semastikan seluruh keluarga dalam rumah tetap sehat dan kuat, menjadi pelindung bagi putra-putrinya. Dan jika kita punya rumh tangga biasanya kita mengerjakan rumah yang kita punya
degan segala yang tenaga yang tercurahkan dari mulai kita bangun hingga kita tidur.

Karenanya Saya kira berbagi peran dalam sebuah rumah tangga, dalam sebuah keluarga adalah cara terbaik kita utuk meminimal
dampak sampingan dari social distancing. Kita perlu berkomunikasi bersama pasangan kita, bersama putra-putri. Karena itu selain untuk mengakrabkan, bagaimana kita berbagi peran, untuk mengakrabkan komunikasi kita bisa membangun kerjasama yang baik dalam sebuah keluarga.

Kawan-kawan puanhayati,

Saya yakin kita semuanya akan tetap saling berdoa, kita selalu menjaga jarak dan jangan lupa kita tetap di rumah saja. Gunakan masker
saat kita keluar dari rumah. Selalu mencuci tangan. Dan satu hal lagi yang paling penting kita tetap berdoa, memohon kepada yang Mahakuasa, untuk senantiasa melidungi kita semuanya.

Saya yakin kekuatan dari kawan-kawan semuanya akan selalu nembawa bangsa kita untuk bisa segera terbebas dari dampak atau bencana COVID-19.

Terima kasih.

Rahayu


Sumber:

  1. Twitter
  2. SatuNama.Org

Lusi dan followers berbagi hikmah dari COVID-19

Lusi, seorang Freethinker Indonesia, yang mengatakan bahwa Indonesia sedang kehilangan identitasnya, diganti dengan kultur barbar Timur Tengah, punya akun Twitter. Di situ Lusi menyebut bahwa pelajaran yang bisa dia petik dari COVID-19 ini ialah:

Banyak orang pintar, tapi tidak banyak orang yang peduli

 

Tak lama,muncul berbagai respon lain dari para follower-nya.

(Demi prinsip anonimitas, hanya respon saja yang akan dimuat dengan pengubahsuaian bahasa. Masing-masing akun responder sengaja tidak dipublikasi).

Berikut berbagai respon yang receh dan serius yang pantas diperhatikan.

Pertama, tentang media massa yang salah mengutip dari nasarumber, lalu berita yang dimuat akhirnya menimbulkan kisruh.Kedua,

Masih klise: banyak yang mencatut penderitaan sesama, beli beras untuk disumbangkan sebanyak 50 ton, minta ditulis kuitansinya 100 ton.

Berikutnya …

  • Sesungguhnya ibadah bisa dilakukan dimana saja, tanpa harus pamer dan selfie di tempat ibadah.
  • A: Alam sedang bersih-bersih maka biarkan. B: Awas tersapu
  • Pentingnya nabung, dan sedikit cicilan
  • Ngurus Indonesia yang terdiri dari beribu pulau itu rumit alias rundut.
  • Pentingnya jaminan penghasilan dasar (sekurangnya penghasilan darurat)
  • Bahwa menjadi berkecukupan adalah kunci
  • A: Pentingnya kembali ke alam. B: Emangnya selama ini di akherat, Mas? A: Lagi merasa di alam kubur
  • Tetangge ane bilang ini ujian dari Allah supaya manusia ingat penciptanya. Begitu, Kakak. Ternyata, Covid-19 ini bukan ujian dari Allah. (Memang bukan. Itu virus. Bukan ujian. Soal tetanggamu, memangnya selama ini dia tidak mengingat penciptanya? Kayaknya malah overdosis mikirin penciptanya. Sesekali mikirin teori relativitas, gitu)
  • Perlunya banyak duit. Kalau disuruh #StayAtHome gak bingung mau makan apa, bagaimana bayar ini itu, dan bisa santuy.
  • Sebenarnya masyarakat itu nggak penting-penting banget kalau nggak pas tahun politik.
  • Potret garong menunjukkan perangai original.
  • Priyayi di negara kita benar benar percaya bahwa bukan saja kebal hukum, tapi mereka juga kebal virus
  • Rasa peduli timbul karena adanya empati. Bisa kita perhatikan, biasanya orang-orang yang berkoar-koar dan bergaya suci (sebatas di mulut) namun tidak mempunyai empati. Bila kita buka mata, akan kita temukan orang-orang itu di sekitar kita. Contoh: Pemuka agama yang kaya-raya hasil jual ayat namun kikir, senyap tak terdengar kiprahnya dalam meringankan beban masyarakat sekitarnya.
  • Bisa lihat mana yang teman sebenarnya
  • Semakin banyak yang nggak takut mati
  • Belajar nerima bahwa masih banyak (banget) pejabat daerah yang egois.
  • Kita belajar bahwa komunikasi yang tidak baik tak akan bisa menyelesaikan masalah dengan masalah
  • Ada orang yang memikirkan orang banyak. Ada yang sangat-sangat egois
  • Setidaknya jadi banyak yang hafal doa qunut
  • Dunia ini tidak adil. Jadi, biasakan dirimu.
  • Banyak orang peduli, tapi lebih banyak lagi yang nggak peduli.
  • Orang bego tuh nggak takut mati
  • Orang pintar banyak tapi orang yang bego jauh lebih banyak!

Kalau menurut kamu, gimana?

 

Pelajaran Penting dari COVID-19

 

Selama hampir satu semester (hingga saat artikel ini Saya tulis), ritme hidup berubah drastis. Di seluruh dunia, termasuk Indonesia, terutama rumah, tempat kerja dan sekolah kamu. Penyebaran virus Corona ini tidak saja epidemik, tetapi juga pandemi global. Dimana-mana orang diminta (mulai dari dihimbau hingga dipaksa) untuk tetap di rumah dan menjauhi kerumunan untuk mengurangi resiko penularan.

Virus Corona telah membawa sekian banyak hal buruk, penyakit dan kematian, tetapi jika kita mampu menyikapinya dengan lebih arif, kita bisa menemukan beberapa pelajaran penting.

Kerap kamu harus bersedia mengorbankan sebagian kebebasan dan hak personalmu demi kebaikan publik yang lebih besar.

Bagi kebanyakan orang, #TetapDiRumah saja itu susah bukan main. Kita mengeluh bosan, tak bergairah, seperti tanpa tujuan alias gabut. Beberapa orang merasa kesal bahwa karantina kesehatan atau pembatasan sosial ini melanggar hak-hak individual, seperti berkumpul, nongkrong, nge-mall, belanja barang sebanyak uang yang dipunyai dan lain-lain. Baca saja berita tentang ekses dari kekesalan dan ke-ngenyel-an dari orang-orang yang tetap melanggar peraturan dan himbauan dari pemerintah untuk tetap diam di rumah.

Meskipun demikian, demi kebaikan yang lebih besar, kamu dan aku mesti bersedia sedikit berkorban. Keseimbangan antara hak-hak individual dan kemaslahatan umum terus berubah sesuai perkembangan zaman dan situasi dunia. Demi kebaikan publik, berkorbanlah sedikit.

Entah ada virus atau tidak, cuci tangan itu baik.

Kesehatan secara umum itu penting, tidak hanya karena ada virus. Basahi tanganmu, usapkan sabun, kucek-kucek selama kurang-lebih 20 detik. Bilas lalu keringkan dengan menggunakan handuk atau sapu tangan yang bersih. Gunakanlah sabun sebagimana mestinya. Mulai sekarang, jangan lupa: sabun itu efektif membunuh virus.

Beraktifitas dari rumah mestinya bisa menjadi pilihan

Selama pandemi ini, kita terpaksa bekerja atau belajar dari rumah. Begitu virus ini selesai, barangkali kita bisa mengusulkan (atau jika Anda berada pada hirarki atas: mendiskusikan) kemungkinan untuk bekerja atau belajar dari rumah jika dianggap perlu dan penting. Memang tidak semua, tetapi banyak hal yang bisa dilakukan tanpa tatap muka langsung.

Izin tidak hadir karena sakit itu penting

Jika kamu merasa sakit (sakit beneran ya, bukan yang dibuat-buat apalagi dengan surat keterangan buat-buatan itu), tetaplah berada di rumah. Banyak orang merasa bahwa lingkungan kerja atau sekolahnya tidak akan memahami izin tidak hadir karena sakit.  Banyak orang yang ingin tampil seakan-akan dia martir, “Lihatlah, meski aku sakit, aku tetap datang ke tempat kerja”. “Aku, walaupun sakit, tetap kupaksakan hadir di kelas. Kurang apa lagi aku sebagai murid, coba?”

Mentalitas semacam ini harus dihentikan. Jika kamu sakit, tetaplah di rumah. Jika sakitmu tak berangsur pulih, berobatlah segera.

Hak mengakses internet sebaiknya menjadi kebutuhan dasar

Hak untuk mengakses internet (dikenal sebagai  the right to broadband) sebaiknya dipertimbangkan untuk ditetapkan sebagai hak asasi manusia. Terutama di negara berkembang seperti kita, tidak bisanya kita online membuat kita kesulitan untuk mengenal dunia secara global. Ini membentuk dan membatasi kesempatan kita untuk berkembang. (Misalnya, jika kamu tidak memiliki akses interet, tentu kamu tidak akan membaca tulisan ini). Sebagai tambahan, selama masa seperti ini, menghubungi keluarga, teman dan rekan kerja itu penting. Sejauh ini, internet adalah cara dan alat yang dapat kita andalkan secara maksimal.

Tenaga kesehatan dan para peneliti layak mendapat apresiasi yang lebih baik

Ketika kita berada dalam situasi yang sangat mencekam ini, para tenaga medis dan peneliti (researchers)-lah yang akan membantu kita melewatinya. Mereka bekerja siang malam untuk menemukan metode penyembuhan dan pemulihan atas seluruh umat manusia di dunia ini. Saat kita bergunjing ria tentang teori konspirasi elite wewe gombel atau heboh dengan berita berisi distrust terhadap aturan dan pola komunikasi pemerintah, ratusan saintis bekerja keras mencari cara untuk membasmi virus ini. Seperti halnya kita fanatik dengan atlit, aktor/aktris, pemuka agama, politisi, influencer, seniman, Youtuber atau Selebgram, saatnya kita mengevaluasi kembali apakah apresiasi yang kita berikan terhadap para tenaga medis dan saintis selama ini sudah layak. Kemungkinan terbaiknya: mereka layak mendapatkan apresiasi yang lebih dari yang selama ini mereka dapatkan. Jika itu masih absurd, maksudnya ialah, mereka pantas mendapatkan upah yang lebih besar.

Sayangnya, banyak tenaga medis yang kesal karena praktek di lapangan menunjukkan banyaknya pelanggaran terhadap protokol kesehatan, tentu dengan sebab yang beragam. Sampai muncul kekecewaan sebagian orang: “Indonesia terserah“. Tenaga ilmuwan Indonesia pun merasa kecewa karena tak cukup dilibatkan untuk menangani virus Corona ini.

Memasak itu penting

#TetapDiRumah telah memaksa banyak orang untuk belajar, mengulang kembali, atau menyalakan lagi semangat untuk memasak. Belajar memasak adalah salah satu keahlian yang sangat penting untuk dimiliki seseorang.Memasak berarti kamu bergantung pada dirimu sendiri. Tak selamanya kamu punya uang yang cukup untuk memesan makanan dari luar. Jikapun uangmu cukup, tak selalu kurir bisa dan mau mengantarkannya untukmu. Lihatlah betapa meriahnya kemewahan yang dibagikan orang lewat media sosial akhir-akhir ini: semua mengepos masakan mereka yang lezat. Mereka menemukan kembali kejaiban dari aktifitas makan-memakan ini. Termasuk mengetahui persis apa saja bahan yang terkandung pada makananmu lalu merasakan sebuah sensasi reward ketika akhirnya kamu bisa memasak makanan untukmu sendiri dan keluarga.

Menyapa teman setiap hari

Tetap di rumah dan tidak bisa keluar menyadarkan kita bahwa cara terbaik untuk mengatasi kebosanan dan mengusir kesepian adalah dengan menyapa teman dann keluarga, lewat chatting atau panggilan video. Jika sebelumnya percakapanmu hanya basa-basi, ini saat yang tepat untuk berbicara secara lebih medalam. Selama masa krusial seperti ini, koneksi yang manusiawi antarmanusia adalah kunci. Telefonlah!

Begitu virus ini selesai, hargailah pentingnya janji ketemu yang sudah kamu buat dengan teman atau keluarga. Jangan lagi ada kisah rencana bukber yang tak kunjung jadi hingga lebaran usai. Jangan lagi ngeles “OTW” ketika teman-temanmu sudah menunggu, padahal kamu baru saja beranjak dari rebahan di kasur menuju kamar mandi.

Menghargai alam

Ketika kamu keluar rumah tapi tetap menjauhi kerumunan, kemungkinan besar kamu rute yang kamu tempuh ialah padang yang luas, kebun atau hutan dekat kota tinggalmu. Sembari berjalan menyusuri area yang mungkin saja sudah pernah kamu jalani, kali ini kamu mengamati secara lebih seksama. Kamu mulai menemukan keindahan alam. Tentu saja, tetap hindari menyentuh wajahmu. Kamu tidak pernah tahu ada jejak carrier Corona sebelumnya disana.

Menikmati kesendirian

Meski kedengarannya mudah, ternyata bagi kebanyakan kita berdiam diri dan tetap tenang itu luar biasa susahnya. Terutama bagi kaum ekstrovert (baik yang mengaku ekstrovert maupun mengaku introvert), sendiri itu melelahkan dan kesepian. Itu sebabnya social distancing (pembatasan sosial) menjadi tantangan tersendiri. Ini momen yang tepat untuk lebih kenal dekat dengan diri sendiri. Kamu bisa belajar untuk menyibukkan diri. Karena sekedar menonton serial film secara maraton atau bermain game seharian tidak lagi cukup, kamu dituntut untuk melakukan hal lain. Terimalah. Tubuh dan pikiranmu sekarang berada di rumah dan kamu harus belajar menikmati dan mencintai situasi itu.

Mulailah menulis kembali. Belajar lagi meditasi. Ulang kembali tarian Salsa yang dulu sempat kau gemari tapi tak tuntas. Ulik lagi lagu-lagu yang sejak dulu kamu penasaran bagaimana cara memainkannya. Atau, cintai tubuhmu dengan menyediakan waktu tidur yang cukup sebagai ganti dari masa begadangmu dulu.

Itulah beberapa pelajaran penting secara umum yang bisa kita ambil dari pandemi global COVID-19 ini. Mana pelajaran yang pas buatmu?


Sumber:

  1. Gulfnews
  2. Twitter Bening28

Penyebab Kegagalan Komunikasi Pemerintah tentang COVID-19

COVID-19: Apa yang Membuat Kegagalan Komunikasi Pemerintah?

Pembubaran kerumunan warga oleh aparat terjadi di sejumlah wilayah di Indonesia. Di tengah semakin mengganasnya penularan virus corona, sebagian masyarakat ternyata masih belum disiplin dalam menerapkan pembatasan sosial atau social distancing.

Mengapa seruan pemerintah tidak dipatuhi? Apa yang melatari kegagalan komunikasi pemerintah?

Ilmu Komunikasi mengenal istilah noise atau gangguan. Unsur noise sangat menentukan berhasil-tidaknya sebuah komunikasi. Noise dalam komunikasi bisa berupa gangguan fisik, gangguan teknis, gangguan semantik, dan gangguan psikologis (West dan Turner, 2008:12). Memang ada jenis noise lain seperti gangguan kultural, namun untuk mengulasnya dengan baik dibutuhkan kajian tersendiri.

Pertama, gangguan fisik yang disebabkan kondisi biologis. Misalnya saja kelompok disabilitas tuli yang memiliki metode komunikasi khusus. Komunikasi dari otoritas kepada mereka mengalami gangguan kalau informasi tentang corona di TV tidak menyertakan Bahasa Isyarat. Begitu pula dengan disabilitas netra yang tidak dapat menerima informasi melalui media cetak atau media luar ruang seperti pamflet atau infografis corona.

Kedua, gangguan teknis, yang bisa terjadi jika ada komponen teknis yang menghambat penyaluran informasi. Contoh: tidak semua masyarakat Indonesia memiliki jaringan internet atau kuota data yang memungkinkan untuk mendapatkan perkembangan informasi sebaran kasus corona melalui situs resmi pemerintah. Hal ini dapat berdampak pada kesadaran dan kewaspadaan masyarakat terhadap ancaman virus corona.

Ketiga, adalah gangguan semantik yang disebabkan oleh adanya kendala kebahasaan dalam mengirim dan menerima informasi. Telah banyak narasumber ahli berkomentar di TV dan berbagai media lainnya dalam menjelaskan virus corona. Namun, tidak jarang mereka menggunakan bahasa yang sulit untuk dipahami oleh orang awam. Di antara istilah yang cukup populer misalnya adalah lockdown, social distancing, hand sanitizer, mortality rate, ODP, dan PDP.

Demikian juga dengan frase “penutupan tempat ibadah” yang terkesan adanya larangan untuk beribadah. Padahal, maksud pemerintah adalah mengimbau masyarakat untuk menghindari kerumunan, termasuk kerumunan jamaah saat ibadah di masjid. Komunikasi pemerintah seharusnya lebih menekankan pada anjuran untuk beribadah di rumah ketimbang “penutupan tempat ibadah”.

Bagaimanapun, persoalan komunikasi adalah tentang bagaimana sebuah pesan sampai dan dimengerti oleh kelompok sasaran. Tiap kelompok memiliki karakteristik dan kompetensi bahasa yang beragam. Ibu-ibu di pasar berbeda dengan remaja yang nongkrong di kafe atau kelompok bermain anak-anak.

Dalam konteks itu, gagasan two-step flow of communication dari Paul Lazarsfeld perlu dipahami, khususnya oleh pihak otoritas seperti pemerintah. Gagasan ini mengasumsikan bahwa orang kebanyakan pandangannya banyak dipengaruhi oleh opinion leaders, di mana para opinion leaders ini juga dipengaruhi pandangannya oleh media massa. Singkatnya, opinion leaders berperan menjembatani pesan dari media ke masyarakat luas.

Dengan memahami ini, pemerintah bisa meminta bantuan kepada pihak-pihak tertentu untuk mengadaptasi istilah-istilah sulit. Diksi “social distancing”, misalnya, oleh guru terhadap muridnya dapat diganti dengan kalimat “kita jaga jarak dari orang lain supaya kita aman dari virus jahat corona”; atau “penutupan tempat ibadah” yang oleh ustaz ke jamaahnya dapat diperbaiki dengan “penundaan jumat berjamaah untuk menjaga keselamatan jiwa umat”.

Kemudian, yang keempat, adalah gangguan yang berdimensi psikologis. Untuk memahami ini, kita perlu untuk memahami konsep “frame of reference” dari Wilbur Schramm (1971). Frame of reference merupakan keseluruhan pengalaman, nilai-nilai, harapan, status sosial ekonomi, hingga preferensi politik individu. Semakin luas jurang perbedaan frame of reference antara komunikator dengan komunikan, maka akan semakin besar pula gangguan komunikasi.

Terlepas dari normativitas alasan ekonomi, fenomena ketidakpatuhan masyarakat terhadap imbauan pembatasan sosial juga dapat disebabkan adanya political prejudice (prasangka politis) dari masyarakat terhadap pemerintah dan media. Hal ini dilatarbelakangi oleh adanya memori historis publik terhadap citra pemerintah. Publik akan mengingat jejak inkonsistensi kebijakan yang pernah dijanjikan oleh pemerintah.

Sebagai contoh misalnya adalah pengumuman Presiden Joko Widodo tentang relaksasi kredit bagi kreditur ojek daring dan pelaku UMKM yang sampai hari ini belum terealisasi sepenuhnya. Demikian juga dengan adanya ketidakcocokan data pasien COVID-19 antara yang dimiliki oleh Pemprov DKI Jakarta dan Sumatera Barat dengan data yang dimiliki oleh pemerintah pusat.

Implikasinya, sebagian publik memiliki kekecewaan atau ketidakpercayaan terhadap institusi pemerintah. Inkonsistensi seperti ini akan memicu kegagalan komunikasi antara pemerintah dan rakyatnya, sebagaimana yang digambarkan oleh J. Michael Sproule:

“Ketika orang ditipu, mereka tidak mempercayai sumber yang telah menipunya. Jika mayoritas dari sumber informasi yang ada di masyarakat bertindak tanpa mempertimbangkan kejujuran dalam berkomunikasi, maka semua komunikasi menjadi lemah” (1980:282).

Apalagi Fiske (1987:126) dalam bukunya Television Culture menjelaskan bahwa konsumen media memiliki agensi untuk membentuk makna sesuai keinginan mereka sendiri. Misalnya, kampanye “Darurat Corona” dan “social distancing” dapat dimaknai oleh kalangan tertentu sebagai bagian dari teater politik penguasa untuk mempertahankan pengaruhnya.

Lantas pelajaran apa yang harus dipetik dari fenomena komunikasi di atas?

Pertama, komunikasi adalah subsistem dari sistem politik atau negara. Ibarat manusia, negara adalah tubuh dan komunikasi adalah darahnya. Sehatnya sebuah kehidupan bernegara sangat bergantung pada kualitas dan kuantitas peredaran darah pada setiap organnya.

Kedua, dalam situasi darurat bencana, baik itu alam maupun non-alam, seharusnya setiap jenjang otoritas hendaknya memiliki strategi dan perencanaan komunikasi yang komprehensif dan terkoordinasi. Tentu kebijakan komunikasi harus pula mempertimbangkan aspek keterbukaan informasi publik. Negara harus memastikan tidak ada warganya yang harus menanggung risiko maut akibat kebuntuan komunikasi.


Artikel ini memakai lisensi Creative Commons Atribution-Noncommercial. Pertama kali dimuat di laman remotivi.or.id, ditulis kembali dengan pengubahan seperlunya.