Penulisan Skenario: Tujuan dan Halangan

Secara teoretis, karakter, tujuan dan halangan harus dirumuskan secara seimbang. Sama kuat dan sama berbobot. Meskipun demikian, pada prakteknya, kadang-kadang bobot antara ketiga hal ini tidak seimbang.

Ada film yang sangat ditentukan oleh karakter. Dalam drama percintaan semisal sinetron-sinetron yang saat ini tayang di televisi Indonesia, alur cerita sangat di-drive (digerakkan) oleh karakter. Tujuan dan halangan tidak begitu kelihatan.

Mungkin ini juga yang membuat sinetron Indonesia kurang diminati. Atau diminati tetapi dihargai rendah. Ditambah lagi sudah banyak film dan drama asing yang bisa diakses oleh penonton di Indonesia, yang dihargai tinggi karena bobot antara karakter, tujuan dan halangannya seimbang.

Itulah sebabnya, sebaiknya kaidah keseimbangan ini tetap dijunjung tinggi oleh setiap penulis skenario, yakni keseimbangan antara karakter, tujuan dan halangan.

TUJUAN

Ada 3 kriteria sebuah tujuan, yakni relatable, urgent dan risky. Kita bahas satu persatu.

Pertama, tujuan harus relatable. “Relatable” (padanan kata dalam bahasa Indonesia yang paling dekat ialah “kena” atau “mengena”). Ini sangat penting. Seorang penulis lakon yang merencanakan sebuah karakter, dan ia menganggapnya penting. Tetapi jika penonton tidak bisa memahami, maka percuma juga.

Sebagai contoh, si screenwriter membuat premis: Seorang karyawan yang ingin menjadi stand up comedian, tetapi tidak didukung oleh isterinya. Sebagai premis, pernyataan ini tidak salah. Ia memenuhi perumusan sebuah premis, yakni memuat karakter, tujuan dan halangan. Akan tetapi, profesi stand up comedian masih belum umum untuk penonton Indonesia. Maka, jika ia hendak mempertahankan premis ini, si penulis skenario harus menyelesaikan banyak PR untuk membahas dunia profesional seorang stand up comedian (mematangkan karakter).  Barulah kemudian, ia bisa mengulas mengapa kurangnya dukungan seorang isteri tidak terhadap keinginan si karakter utama (si suami) menjadi halangan yang kuat.

Itulah sebabnya, seorang penulis skenario harus banyak membaca dan mengamati. Ia harus memperkaya diri dengan realitas sosial-budaya penontonnya. Setelah ia paham, barulah ia bisa mengangkat sebuah premis yang mengena dengan mereka.

Kedua, tujuan itu harus urgen. Tujuan harus memiliki deadline yang jelas. Jika tidak ada urgensi, penonton akan bertanya: “mengapa tujuan itu harus dicapai sekarang?” Pada premis di atas, misalnya, kalau saat ini si suami tidak didukung isteri menjadi stand up comedian, ia kan masih bisa memulainya tahun depan atau tahun depannya lagi. Mengapa harus sekarang?

Pada Cek Toko Sebelah, urgensi dari tujuan menjadi jelas karena kesehatan Koh Afuk (karakter utama) terganggu. Ia harus segera mewariskan legacy yang dia inginkan. Jika tidak segera terjadi, maka si karakter utama keburu meninggal sebelum tujuan tercapai. Dalam Susah Sinyal, si ibu harus segera memperbaiki hubungannya dengan putrinya sepeninggal si nenek yang selama ini mengasuh putrinya. Jika tidak segera terjadi, maka hubungan si anak dan si ibu akan semakin parah dan susah untuk diperbaiki kembali.

Ketiga, tujuan itu harus risky (memiliki resiko). Artinya, tujuan itu harus memiliki resiko bagi banyak orang, bukan hanya untuk si karakter dan si penulis. Kalau tujuan tidak tercapai, apa resikonya? Dalam Avengers: Endgame (2019), misalnya, kalau Thanos tidak bisa dikalahkan maka populasi dunia akan hilang setengah.

HALANGAN

Halangan dapat dirumuskan dari salah satu atau lebih dari ketiga faktor ini.

Pertama, halangan yang berasal dari diri sendiri. Jika, kelemahan sebuah karakter sedemikian besar, bahkan tanpa ada penjahat (villain) pun bisa jadi kelemahan diri sendiri sudah menjadi halangan untuk mencapai tujuannya sendiri.

Kedua, halangan yang berasal dari karakter lain. Karakter lain ini bisa manusia, setan, bencana alam, dan lain-lain. Tergantung jenis film yang sedang dirancang skenarionya.

Ketiga, halangan yang berasal dari keadaan. Keadaan yang dimaksud bisa berasal dari situasi keluarga dimana karakter utama dibesarkan. Bisa juga situasi masyarakat, sistem perundangan yang berlaku, struktur sosial yang buruk, atau komunikasi yang buruk di antara para karakter-karakter.

 

Mereka yang Bersikap “Bodo Amat” dengan Kaidah Seni

Subjektifitas Ekstrem

Ada sebagian orang yang ketika berdiskusi tentang karya seni bertahan dengan subjektifitas estetika. Bahkan secara ekstrem atau radikal. Misalnya, ada yang mengatakan begini:

“Dalam pandangan saya, tidak ada karya yang gagal. Tidak ada lukisan atau lagu yang bagus atau jelek, benar atau salah. Semua itu subyektif. Semua karya yang dibuat, selama diakui sebagai karya seni oleh pembuatnya, pasti memiliki makna. Jadi, tidak usah repot-repot mengurusi atau melakukan kritisisme terhadapnya.”

Jika sudah begini, diskusi pun terhenti. Habis perkara. Apa lagi yang mau diperbincangkan? Atau, di lain kesempatan orang-orang yang lain berkata begini:

“Sejauh itu dibuat oleh manusia, pastinya itu terkategori karya seni. Bagus atau jelek, itu urusan belakangan” – (X)

Tidak perlu mencari makna dalam sebuah karya seni. Tidak usah terawang bentuk apa yang ada dalam lukisan abstrak. Tak perlu ulas makna dan bahas semiotika dalam lirik lagu Batak yang sering kau bawa-bawa itu.” – (Y)

Karya seni tidak untuk dipecahkan apa maknanya. Seabstrak apapun lukisan atau seabsurd apapun sebuah lagu, biarkan saja. Toh kita tidak dituntut untuk melihat atau menafsirkan makna di baliknya. Setiap karya seni memiliki tingkat kesulitan berbeda dalam proses penciptaannya. Semua tergantung pada penikmatnya. Karena estetika adalah hal yang subjektif. Apa yang Anda nikmati, belum tentu orang lain menikmati. Ada yang menilai bahwa lukisan abstrak, lukisan kontemporer atau lirik lagu absurd Nadin Amizah bukanlah citra seni. Bagi Saya, karya-karya itu adalah karya seni yang baik dan benar.  Bodoh amat dengan pemikiran orang lain. Sekali lagi, estetika adalah hal yang subjektif. (Sambil menyodorkan penampilan Mawang ini). ” – (Z)

 

Terhadap pendapat subjektifis XYZ begini, tidak relevan berbicara salah dan benar. Sebab, yang mereka bawakan melulu adalah pengalaman menikmati, bukan pengalaman memahami. Tidak akan nyambung bernalar dengan teman yang mengumbar emosionalitas semata. Adalah irelevan jika kita hendak menilai sebuah karya jika peserta hanya bermodalkan pengalaman menikmati. Maka, istilah seperti “baik”, “benar”, “salah”, “kurang”, “berkualitas” salah tempat untuk diperbincangkan disini. Begitulah. Untuk percakapan begini, baiknya diskusi memang berhenti saja. Kecuali memang niatnya ngobrol ngadul ngidul ya. Beda lagi.

(Adapun perihal perbedaan kedua pengalaman ini, yakni pengalaman menikmati dan pengalaman memahami, sudah kutuliskan di blog ini baik untuk seni rupa maupun seni musik).


Subjektifisme Moderat

Ada sebagian orang lagi yang mengungkapkan emosionalitas mereka atas suatu karya tetapi juga sadar bahwa yang mereka miliki adalah pengalaman menikmati, bukan pengalaman memahami.

Mereka ini mengaku bisa menikmati lukisan abstrak seperti ini. Tapi tidak tahu apa artinya. Tidak apa-apa, sebab kedua pernyataan ini tidak bertentangan.

Pada tataran menikmati, memang tidak perlu memecahkan kode yang mungkin tersembunyi dalam lukisan ini. Yang penting orang bisa merasakan emosi di dalamnya sebagaimana tertuang dalam sebaran warna, ragam sapuan kuas, atau bagaimana komponen-komponen tersebut menghasilkan tekstur. Karena tujuannya untuk menikmati, maka kita tak perlu menghakimi bahwa lukisan ini tak layak dipajang di galeri (karena belum memahami).

Pada tataran menikmati, memang tidak perlu memecahkan arti teriakan Mawang pada video di atas. Atau diksi absurd Nadin Amizah dalam penggalan lirik lagu Bertaut ini:

Bun, hidup berjalan seperti bajingan (hidup dimetaforkan dengan bajingan?)
Seperti landak yang tak punya teman 
Ia menggonggong bak suara hujan (sinestesia ekstrem yang baru?)
Dan kau pangeranku, mengambil peran (sebegitunya demi sajak berakhiran n-n?)Yang penting orang bisa merasakan emosi di dalamnya sebagaimana terdengar pada suara renyah Nadin, irama lagu, dinamika, tempo, warna, harmoni atau bagaimana komponen-komponen tersebut menghasilkan tekstur. Karena tujuannya untuk menikmati, maka kita tak perlu menghakimi lagu ini tak layak didengarkan (karena belum memahami).

Untuk teman subjektifis moderat seperti ini, diskusi selalu bisa terjadi. Mengapa? Karena diawali dengan kejujuran. Mereka benar menikmati, tetapi pada saat yang sama mengaku bahwa benar mereka belum memahami. Berbeda dengan subjektifis radikal sebelumnya yang langsung menutup diri.


Kaidah Berdiskusi Seni: Jujur

Sama seperti diskusi persoalan lain, maka ketika kita hendak berdiskusi tentang seni, pertama-tama sebaiknya sepakat dulu kaidah diskusi. Selain harus menghindari berbagai logical fallacy (kesesatan logika) dan itikad untuk berbagi informasi, juga jangan melupakan aturan ini: “The burden of proof is always on the person making an assertion or proposition. So the burden is on those who make claims to offer reason and evidence in support of those claims.” Artinya, beban pembuktian ada pada pihak yang klaim atau pernyataan. Secara etis, dia memiliki kewajiban untuk menyediakan alasan dan bukti yang mendukung klaimnya.

Maka, jika ada orang yang mengatakan “lagu ini bagus, recommended banget deh“, sebenarnya kita berhak meminta dia untuk menyediakan alasan dan bukti yang mendukung klaim tadi, mengapa lagu itu bagus. Dia sudah berani menyentuh pengalaman memahami. Tentu saja, ungkapan “karena aku suka” tidak cukup. Dia dituntut untuk mengurai karya itu dari unsur-unsur penciptaannya, latar belakang pencipta, bahkan sampai ke atmosfer keseniannya. Dalam konteks ini, kita akan segera menemukan inkonsistensi pada kelompok subjektifis ekstrim tadi, karena sedari awal sudah tidak jujur.

Berbeda jika orang mengatakan “aku suka lagu ini, tapi aku belum tahu apa artinya”, maka dia tidak wajib menyediakan alasan dan bukti apapun. Sebab dia sedang bercerita tentang pengalaman menikmati. Yang bersangkutan jujur mengaku bahwa dia menyukainya karena baginya lagu itu enak didengar dan menimbulkan rasa tertentu. Tetapi dia belum mampu menguraikan aspek-aspek, menjelaskan unsur dan komposisi, tidak bisa menjelaskan melodinya, progresi chordnya, dan mengapa lagu itu dapat menimbulkan rasa.  Dalam konteks ini, kita bisa bersama-sama menggali apa makna dari lagu atau karya seni lainnya, karena dimulai dengan sikap jujur.

Inilah kaidah berdiskusi. Maka kalau hendak mendiskusikan sebuah karya seni secara intelektual,  rangkullah sikap dasar seorang ilmuwan, yakni: Ilmuwan boleh salah, tetapi tidak boleh berbohong.