Setujukah Anda jika Gajah Mada diklaim Muslim?

Viral “GAJ Ahmada” Hoax Sejarah

Belakangan ini cukup banyak repost dan viral sebuah tulisan dengan judul MELURUSKAN SEJARAH!! (dengan tanda seru) yang justru berisi sebuah distorsi luar biasa, bahkan (jika kita cermat membaca dan membandingkan dengan manuskrip dan bentuk lain peninggalan historis Nusantara), akan kelihatan bahwa tulisan tersebut tak lebih dari dongeng menyesatkan. Tulisan tersebut berisi sebuah narasi yang pada intinya ingin mengatakan bahwa Mahapatih Gajah Mada adalah seorang sosok Muslim luar biasa yang sebenarnya bernama Gaj Ahmada.

Tak kurang dari portal-islam.id (dengan fanpage beranggotakan 210 ribuan akun menjadi konsumen dari hoax viral) yang menyebarkan hasil “penelitian” Lembaga Hikmah dan Kebijakan Publik (LHKP) Pengurus Daerah Muhammadiyah Yogyakarta tersebut. Silahkan dilihat di laman bersangkutan, sebelum dihapus oleh admin portal tersebut.

Dalam kaitan tersebut kita harus dapat dengan jernih melihat bahwa sejarah bukanlah dongeng yang cukup hanya dibuktikan dengan argumen otak atik matuk alias dengan nalar cocoklogi berdasarkan kemauan sendiri atau tujuan-tujuan tendensius. Masyarakat Nusantara harus cerdas dalam menangkap informasi yang tidak jelas latar kesejarahannya dengan berbagai bukti yang melingkupinya.

Viral tulisan tersebut sangat dimungkinkan didasarkan pada buku berjudul Kesultanan Majapahit ditulis oleh Herman Sinung Janutama, lulusan UMY Yogyakarta yang menulis buku tersebut tanpa didasari keilmuan selain otak-atik gathuk alias cocoklogi. Jika nama GAJAH MADA dipaksakan menjadi bahasa Arab Gaj Ahmada, pertanyaannya adalah memangnya hal tersebut dapat ditemui ada dalam prasasti, naskah kuno Negarakertagama? Atau ada dalam kitab Pararaton, Kidung Sunda, Usana Jawa? Apakah ada satu saja yg menulis Kosa Kata Jawa “Gaj” dan “Ahmada” ? Lalu apa arti kosa kata “Gaj” ? Ia merupakan kosa kata Jawa atau Arab?. Lalu apa arti dari kata Ahmada? Adakah orang Arab memakai nama Ahmada?

Dalam buku yang cenderung awur-awuran itu, penulis secara tegas menyatakan bahwa Raden Wijaya adalah dzuriyah (keturunan) Nabi Muhammad SAW dan beragama lslam. Pertanyaanya sederhana: Apa dasarnya?

Tidakkah penulis itu tahu bahwa Sanggrama Wijaya yang bergelar Kertarajasa Jayawarddhana itu saat mangkat jenazahnya dibakar dan abunya dicandikan di Simping dan Weleri? Adakah dzuriyah Rasulullah SAW yang muslim matinya dibakar?

Mari kita baca naskah-naskah Majapahit mulai Negara kretagama, Kutaramanawa Dharmasastra, Kidung Banawa Sekar, Kidung Ranggalawe, Kidung Panji Wijayakrama, Kidung Sudamala, Kakawin Sutasoma, dll, termasuk prasasti-prasasti. Adakah pengaruh bahasa Arab dalam naskah-naskah tersebut?

Tulisan Bodoh Yang Membodohkan Bangsa

Tulisan-tulisan bodoh yang tanpa dasar ilmu tentang sejarah bangsa, sepintas bisa dianggap sebagai tulisan picisan yg tidak memiliki pengaruh apa-apa terhadap sejarah mainstream bangsa lndonesia. Tapi jika tulisan “sampah” dalam keilmuan itu ditopang oleh organisasi besar dan institusi negara dan akademisi, bisa merubah eksistensi dan citra bangsa.

Jika Borobudur bikinan Nabi Sulaiman dan Majapahit didirikan orang Arab keturunan Nabi SAW, akan terdapat simpulan bahwa pribumi lndonesia itu kumpulan manusia primitif yang tidak memiliki peradaban dan kebudayaan. Bagaimana bangsa lndonesia disebut beradab jika membikin candi saja tidak becus, menunggu kedatangan Bani lsrael. Nah, jika Bani lsrael dapat membangun candi yg sangat megah di negeri seberang lautan, adakah situs bangunan candi seperti borobudur di lsrael?

Jika Majapahit didirikan oleh dzuriyah Rasul SAW, maka tentu terbukti bangsa ini primitif dan tolol sampai sampai untuk membangun sistem pemerintahan saja tidak mampu, dan harus menunggu kedatangan orang Arab yang lebih beradab dan memiliki iptek canggih.

Jika itu benar bahwa bangsa ini tolol primitif sehingga untuk membangun kerajaan saja musti menunggu kedatangan orang Arab, adakah data sejarah yg menunjuk bahwa di jazirah Arab pernah ada kerajaan nasional seluas Majapahit dengan administratif sangat canggih?

Prasasti di Gresik

Prasasti di makam Kyai Tumenggung Pusponegoro, Gresik, berangka tahun 1114 H/ 1719 M, yang dicatut dalam tulisan “Meluruskan Sejarah!!” tersebut. Disebutkan bahwa prasasti itu menunjuk Kyai Pusponegoro yang merupakan trah Majapahit tapi adalah seorang muslim yang hidup di jaman Mataram.

Bagaimana prasasti era Mataram lantas diklaim era Majapahit? Prasasti ini meski masih berbentuk Surya Majapahit yaitu logo negara Majapahit, tapi sudah mendapatkan penambahan. Menganggap prasasti ini sebagai data dan latar kesimpulan bahwa Majapahit adalah kesultanan Islam tentu merupakan kesimpulan sekenanya dan cenderung mengada-ada.

Prasasti peninggalan Kerajaan Mataram

Cocoklogi Tak Berbatas

Dasar logika “Otak-atik gathuk” sebenarnya bukan hal baru. Ia sudah digunakan misalnya dalam buku Serat Darmogandhul dan Suluk Gatoloco. Bedanya, di buku kolonial itu Bahasa Arab ditafsir menurut cocokologi bahasa Jawa, sementara dalam buku Kesultanan Majapahit bahasa Jawa ditafsir dengan bahasa Arab. Ini fenomena ilmu humor yang dapat memperkaya khazanah folklore lndonesia dan Arabia.

Kenapa ilmu cocokologi dengan nalar otak-atik gathtuk yang digunakan dalam buku Serat Darmogandhul dan Suluk Gatoloco serta Kesultanan Majapahit itu memperkaya khazanah folklore lndonesia dan Arabia? Karena logika umum dengan common sense tidak lagi digunakan, dimana logika semacam ini dapat dipandang sebagai logika alternatif khas Jawa yang muncul akibat tekanan kolonialisme Belanda yang secara sistematis membodohkan inlander.

Mari kita lihat contoh sewaktu penulis Serat Darmogandhul menafsir Al-Qur’an yang berbahasa Arab dengan nalar otak-atik manthuk bahasa Jawa:

  • “Dalikal” – Ono barang kang nyengkal.
  • “kitabula” – Kita buka.
  • “Laroibapi” – Pakaian kita kabeh.
  • “Huda” – Widi.
  • “Lilmutaqin” – Pel* kita den emutaken … ( dan seterusnya).

Begitulah tafsir cocokologi dengan nalar otak-atik gathuk yang dapat melenceng jauh maknanya dengan tafsir al-Qur’an mainstream yang disepakati. Artinya, ketika nalar otak-atik gathuk ala Salesmanship wal Gatoloco itu diterapkan dalam menafsir sejarah, kekeliruan fatal pasti terjadi karena dasar logika yang digunakan cenderung sak karepe dewe (semaunya sendiri).

Sekarang mari sejenak kita uji penafsiran nama Gajah Mada dengan ilmu cocokologi dengan nalar otak-atik gathuk yang menetapkan nama itu berasal dari kata Fatih Haji Ahmada yang berubah menjadi Patih Gaj Ahmada yang bermakna “Patih Haji Ahmada Sang Penakluk”

Sejak kapan nama Patih Gaj Ahmada digunakan? Dalam sumber prasasti, kronik, naskah kidung, atau dongeng lisan apa sekali pun nama superaneh itu digunakan?

Jawabnya:

Nama “Gaj Ahmada” untuk kali pertama digunakan oleh Herman Sinung Janutama dalam buku “Kesultanan Majapahit”.

Sebelum itu, belum pernah ada satu manusia pun yang menulis dan menafsirkan tokoh “Rakryan Mahpatih Amangkubhumi Pu Gajah Mada” dengan nama “Patih Gaj Ahmada”.

Gajah Mada yang patungnya dirias untuk memberi kesan seakan ia adalah ulama Muslim, tepat dengan nama pelintirannya Gaj Ahmada

Pertanyaan penting yang bisa kita jawab bersama ialah: Setujukah Anda jika Gajah Mada diklaim Muslim? Jika tidak setuju, bantu teman-teman yang lain untuk ikut menyuarakan versi yang benar.


Dikompilasi dan disunting seperlunya dari halaman LESBUMI