Penulisan Skenario: Menciptakan Karakter (bagian 1)

Ketika membuat premis (sudah saya ulas sebelumnya pada blog ini), sebenarnya sudah ada karakter, tetapi masih sederhana dan belum mendetail.

Nah, sekarang kita akan mematangkan karakter.

Sebelum menciptakan karakter dan fase-fase karakter, kita harus punya pemahaman soal karakter ideal.


Apa itu karakter ideal?

Karakter ideal adalah karakter yang memilki sifat unik dan realistis secara seimbang dan baik.

UNIK

Harus unik, supaya berbeda dengan yang lain. Sehingga ketika ditonton/dilihat orang, mereka tertarik, “oh, ini berbeda nih dari yang lain“. Jangan sampai orang mengatakan, “sudah sering melihat yang begini“, jadinya orang tidak tertarik.

Sekali lagi, ingat, seni pertunjukan adalah pertarungan merebut perhatian.

Tapi hati-hati.

Ketika menciptakan sesuatu yang unik, penulis kerap tergoda untuk menjadi liar, keluar dari realita. Jadinya karakter yang diciptakan jauh dari kenyataan. Nyeleneh.

Unik tidak harus berarti aneh. Ke-unik-an yang dimaksud disini adalah hasil dari detail yang lebih banyak.

Bagaimana kita bisa memberi detail yang banyak pada sebuah karakter? Tidak ada pilihan lain: Kita, sebagai penulis, harus mengenal betul karakter tersebut.

Metode paling mudahnya ialah dengan membayangkan karakter yang sedang kita khayalkan ini mirip dengan siapa pada kehidupan nyata kita. Bisa jadi dia adalah diri kita sendiri, salah seorang teman, orang tua, atau orang lain yang punya pengaruh kuat pada diri kita.

Misalkan karakter yang mau kita jadikan tokoh (baik tokoh utama maupun tokoh figuran) dalam film mirip dengan diri kita sendiri, maka sepanjang penulisan skenario, kita tinggal mengingat wajah kita sendiri. Kalau sedang bahagia, sikap kita seperti apa. Ketika sedih atau menghadapi masalah, sikap kita bagaimana. Baju apa yang senang kita pakai, musik apa yang senang kita dengarkan, teman seperti apa yang kita akrabi, orang seperti apa yang kita sukai dan benci, dan detail seterusnya.

Dengan demikian, karakter yang sedang kita rancang ini benar-benar unik (Lat. uniquus: satu-satunya, tak bisa disamakan dengan orang lain). Kita tahu benar bahwa diri sendiri berbeda dengan orang lain, bahkan dengan orangtua atau saudara kandung sekalipun.

Nah, metode yang sama juga kita lakukan kalau kita mau membayangkan karakter tadi mirip dengan salah seorang teman kita, atau orangtua kita atau siapapun yang kita kenal.

REALISTIS

Ciptakanlah karakter yang realistis (kecuali untuk genre film sci-fi atau sedang membahas sosok alien yang jauh di masa depan yang gambaran kehidupan mereka pun jauh dengan yang kita alami sehari-hari).

Jika tidak realistis, penonton akan merasa skeptis atau malah jadinya aneh.

“Mana mungkin ada karakter seperti ini?”.

Karena itu, menciptakan karakter yang realistis adalah suatu keharusan sehingga nanti ketika script yang sedang kita rancang menjadi adegan, penonton bisa relate dengannya.

Contoh karakter yang ikonik dalam sejarah film Indonesia, misalnya Cinta (dalam Cinta dan Rangga).

Jadi sejak awal kita harus tanamkan dalam fikiran bagaimana caranya kita menciptakan karakter yang unik dan pada saat yang bersamaan juga harus realistis.

FASE-FASE KARAKTER

Untuk menciptakan sebuah cerita yang kuat, kita sebagai penulis, harus sangat kenal dengan karakternya. Kita harus membangun sebuah dunia untuk karakternya. Apa yang terjadi sejak dia lahir sampai dia besar dan dewasa, khususnya untuk karakter utama.

Walaupun tidak semua informasi tentang karakter ini tidak akan sampai kepada penonton, tetapi sebagai penulis kita harus mempunyai sebanyak mungkin informasi tentang karakternya karena dengan itu baru kita tahu kelemahan dan kekuatannya, bagaimana sikapnya ketika menghadapi konflik yang akan terjadi.

Sekarang mari kita bagi fase-fase yang dialami oleh si karakter kita tadi.

Misalkan karakter yang mau kita ciptakan bernama Rebecca.

Fase pertama, karakter ketika lahir. Ini menyangkut identitas, atribut fisik, jenis kelamin, suku, kondisi sosial-ekonomi. Ini sudah harus sudah kita ketahui dulu sebagai pijakan awal. Setidaknya dari hal ini, kita harus sudah tahu karakter kita lahir dalam keadaan seperti apa. Ini sebagai pijakan awal.

Nah, kita coba aplikasikan.

Rebecca seorang perempuan, berumur 17 tahun. Rambutnya panjang hitam terurai melewati pundak. Tai lalat di sudut kiri bibirnya membuatnya manis ketika tersenyum. Ayah dan ibunya orang Toba, jadi dia pun mengenakan marga mengikuti marga si bapak.Sehari-hari Bapak bekerja sebagai petani kopi, sementara ibunya adalah guru honor di sebuah sekolah swasta di desanya dengan gaji pas-pasan.

Fase kedua, karakter ketika menjalani kehidupannya.  Ini menyangkut pertemanannya, pendidikan, tragedi, percintaan, romansa, hubungan dengan teman dekat atau keluarga dari lahir sampai ketika film dimulai.
Fase ketiga, karakter saat film dimulai. Pada tahap ini, begitu penonton mulai melihat tayangan film, mereka sudah harus langsung mengenali karakter itu. Penonton sudah harus memahami karakter itu seperti apa.

Apakah Rebecca ramah? Pemalu? Pemarah? Extrovert atau introvert? Jujur penuh integritas atau licik dan penuh akal bulus?

Ini akan sangat tergantung juga dengan usia karakternya. Jika di awal kita memilih usia karakter utama adalah anak-anak atau remaja, mungkin tidak banyak yang harus kita petakan karena pada usia seperti itu relatif belum banyak yang dia alami. Berbeda kalau misalnya tokoh kita adalah pria dewasa atau bahkan seorang kakek, tentu kita bisa membayangkan betapa banyak peristiwa hidup yang sudah ia lalui.


Jadi saat kita mau menciptakan karakter, kita harus melakukan pemetaan (mapping) ini. Kita bisa melakukannya dengan membuat pertanyaan-pertanyaan dan menjawabnya sendiri. Pertanyaan apapun yang menyangkut karakter itu. Lahirnya bagaimana? Selama hidupnya bagaimana? Terus, dengan pengalaman hidup seperti itu, nanti hasilnya dia akan jadi orang seperti apa?

Jawaban atas pertanyaan-pertanyaan inilah yang akan menjadi gudang atribut untuk kita sematkan pada karakter.

Ini berlaku untuk karakter utama, maupun karakter figuran lainnya.

 

 


Tulisan ini adalah parafrase mandiri Saya terhadap penjelasan Ernest Prakasa di Kelas.Com