Simon Vaz dan Frater Pra-TOR Keuskupan Agung Medan

Hari ini Jumat, 18 Oktober 2024.

Dua hari lagi, Prabowo Subianto akan dilantik menjadi Presiden Republik Indonesia. Menggantikan Presiden Joko Widodo yang akan mengakhiri dua periode berturut-turut masa jabatannya. Yupz, benar. Anda, Saya dan ratusan juta penduduk Indonesia sebentar lagi akan memiliki presiden baru.

Berbagai macam dinamika perpolitikan yang malang-melintang di berbagai media massa terkait berbagai ketidakberesan Pemilu, bagaimanapun, akan segera menemukan titik ekuilibrium atau titik keseimbangannya. Entah apapun dan dimanapun posisi Anda saat ini dan masa-masa menjelang Pemilu yang lalu, ini adalah fakta yang akan kita alami bersama. Setidaknya untuk 5 tahun ke depan. Sebaiknya kita isi dengan rasa syukur dan optimisme.

Kita akan mengalami kepemimpinan dengan presiden baru, kabinet baru, dan kemungkinan-kemungkinan situasi baru akibat berbagai janji kampanye yang semoga bisa terlaksana, semata demi Indonesia yang semakin berkemajuan. Sebaiknya tetap kita bekerja sesuai panggilan kita dan berdoa sesuai cara yang kita yakini masing-masing supaya tujuan mulia ini tercapai.


Ini bulan ketiga Saya menjadi seorang pengajar Bahasa Inggris di Rumah Pembinaan Pra-Tahun Orientasi Rohani Santo Yohannes Maria Vianney Keuskupan Agung Medan di Kabanjahe, Kabupaten Karo, Sumatera Utara. Biasa disingkat Pra-TOR KAM. Gedungnya bersebelahan dengan pastoran Paroki Santo Petrus dan Paulus Kabanjahe. Beberapa Keuskupan lain di Indonesia juga tampaknya sudah mulai mendirikan rumah pembinaan Pra-TOR untuk calon-calon imam di wilayah mereka. Murid-murid yang Saya ajari Bahasa Inggris ini berjumlah empat belas orang. Mereka angkatan keempat sejak Pra-TOR KAM dibuka (menurut keterangan dari Rektor).

Saya dan para para frater yang menjadi murid-murid Saya menyepakati untuk menamai diri mereka sebagai seorang Presoyan, akronim dari PreSpiritual Orientation Year. Kesepakatan serupa sudah berhasil pula Saya buat dengan kakak tingkat setahun di atas mereka, ketika kami berproses selama 1 bulan dalam Kursus Intensif ESP (English for Special Purpose) di Paroki Santo Yosep Jalan Bali Pematangsiantar bulan Juni – Juli 2024 yang lalu.

Dalam dinamika pembinaan bersama mereka, Saya menangkap nada yang sama dalam harapan mereka secara umum. Mereka ingin dengan lancar menjalani tahun pembinaan ini. Sebagai frater Pra-TOR, mereka berharap dapat dengan lancar mengikuti setiap proses formasi selanjutnya: tamat dari Pra-TOR, lanjut ke TOR (Tahun Orientasi Rohani), menamatkan gelar Sarjana Filsafat dari STFT, menyelesaikan masa TOP (Tahun Orientasi Pastoral), menyelesaikan tesis S-2 di kampus yang sama, ditahbis diakon, hingga akhirnya ditahbis menjadi seorang imam diosesan.

Jika ini terjadi, maka mereka akan mengambil peran dalam melanjutkan karya Simon Vaz, imam diosesan berkebangsaan Portugis yang mengawali berdirinya umat Katolik di Nusantara dengan membaptis orang-orang Moro di Halmahera Utara pada 1534. Simon Vaz kemudian dibunuh di Pulau Moratai setahun kemudian, dan menjadi martir pertama di Indonesia.

Sebagai seorang imam diosesan, nantinya – bersama dengan senior mereka termasuk Pak Rektor RD Yohannes Fransiskus Sihombing, Magister Spiritualis RD Anton Nguyen van Viet (berkebangsaan Vietnam), Parokus RD Sautma Toho Maruba Simanullang, Vikaris Parokial RD Lukman Pandiangan dan imam-imam diosesan lainnya di dalam dan luar Keuskupan Agung Medan – mereka akan diuji: mampukah mereka menunjukkan identitas dan spiritualitas seorang imam diosesan sebagai “akar tunggang Gereja Katolik (di) Indonesia“.


Lantas, apa hubungan imam diosesan Indonesia dan kepemimpinan Presiden baru Indonesia?

Bersama para imam biarawan yang jumlah lebih banyak (meskipun tetap kurang untuk melayani secara maksimal), para imam diosesan akan menjadi klerus yang mendampingi seluruh umat Katolik di Indonesia – yang prosentasinya cukup minor dalam demografi Indonesia. Artinya, segala kegembiraan dan harapan (gaudium et spes) dari umat Katolik dan non-Katolik di Indonesia di bawah kepemimpinan presiden yang baru ini akan menjadi kegembiraan dan harapan mereka juga.

Apa yang istimewa dengan imam diosesan ini? Megapa harus dibedakan dengan imam lainnya dari aneka tarekat dan biara? Sebagai pembantu Uskup, yang tanpa mereka Uskup disebut oleh RD Y. Gunawan seperti “macan ompong”, mereka cukup lama dibiarkan tidak dikenal secara baik oleh umat Katolik sendiri. Sematan julukan sebagai “imam kelas dua” (tweede klas priester) dalam periode yang cukup lama terutama oleh Gereja Zaman Kolonial dan identitas yang kerap dipeyorasi sebagai “imam sekular” adalah dua diantara sekian banyak fenomena yang harus mereka hadapi. Begitu sikap yang harus dimiliki para imam diosesan, pun dengan para frater calon imam diosesan ini.

Sampailah kita pada poin tunggal pembahasan pada tulisan singkat ini: bahwa irisan identitas antara umat dari agama Katolik dan menjadi warga negara Indonesia sebenarnya tak perlu dipersoalkan.

Mengapa demikian? Sebab sejatinya kedua identitas ini bersatu, tidak terpisah apalagi bertentangan. Bukan tanpa sebab, organisasi  berlabel Katolik setua PMKRI, misalnya, sejak awal mendaku akan memperjuangkan kemajuan Indonesia dengan semboyan 100% Katolik, 100% Indonesia. Padahal, embrio PMKRI sudah ada bahkan sebelum Indonesia memproklamasikan diri.

Selanjutnya, bagaimana mereka – para imam diosesan ini – bisa betul secara meyakinkan hadir dan mendengar kegembiraan dan harapan dari umat Katolik Indonesia yang mereka gembalakan?

Inilah yang sejak awal mereka harus tanamkan: bahwa ada hal-hal yang secara keliru dianggap terpisah bahkan bertentangan oleh para penganut ideologi-ideologi sekularistik. Para imam diosesan harus secara meyakinkan memperlihatkan bahwa sebenarnya hal-hal itu satu.

Maka, para imam diosesan dan calon imam diosesan itu – dalam proses panjang formasi dan kehadiran bersama umat Katolik dan non-Katolik di Indonesia, tahu mengapa sejak awal mereka memilih menjadi imam diosesan, pembantu Uskup, pegawai negeri-nya atau pamong praja-nya Uskup; dan bukan imam biarawan yang harus taat pertama-tama dengan petinggi tarekat dan biara mereka.

Ketua STF Driyarkara, RD Simon Petrus L Tjahjadi, dalam epilog buku yang ditulisnya “Mission Breaktrough – Narasi Kecil Imam Diosesan di Indonesia”  meringkas dengan baik bagaimana imam diosesan harus memperlihatkan secara meyakinkan kesatuan yang dimaksud. Saya sadur seperlunya:

Penghayatan hidup imamat seorang imam diosesan perlu memperlihatkan secara meyakinkan bersatunya:

  1. Cinta, kepercayaan dan pelayanan kepada Allah – dan – pelayanan dan kepercayaan kepada manusia
  2. Iman dan akal budi
  3. Karisma dan jabatan
  4. Individualitas dan komunitas
  5. Kepemilikan dan lepas-bebas
  6. Selibat dan seksualitas
  7. Religius dan sekuler
  8. Altar dan pasar
  9. Hidup doa dan kerasulan
  10. Agama dan kemanusiaan.

Demikianlah seorang calon imam diosesan perlu belajar dan memahami pasangan nilai-nilai ini. Nilai-nilai yang dulu diperlakukan dengan dikotomi ketat padahal adalah satu kesatuan, saling melengkapi.

Maka, jika ke depan para frater ini melanjutkan rangkaian pembinaan sebagai calon imam diosesan, mereka memiliki alasan dan semangat yang konsisten untuk membina diri hingga ditahbis menjadi seorang imam diosesan. Sebaiknya seorang frater Pra-TOR menjalani formasi setahun ini dengan rasa syukur dan optimisme.

Jika kelak mereka menjadi imam diosesan dan berkarya di Gereja Katolik Indonesia, mereka memiliki alasan dan semangat yang konsisten untuk tetap hadir bersama warga Indonesia, mendengarkan kegembiraan dan harapan bangsa Indonesia: Katolik dan non-Katolik. Baik pada pemerintahan Presiden Prabowo maupun presiden-presiden selanjutnya.


Sebagai seorang pengajar yang diberi kesempatan untuk terlibat dalam pembinaan mereka, Saya merasa ini tugas yang cukup menantang. Kalau begitu, Saya harus membaca lebih banyak lagi, mendengar lebih banyak, mengalami lebih banyak. Sepertinya memang harus belajar lebih lagi.