Lirik “Dekke Jahir”

Di naro simatuakku
mandulo boru nai.
Diboan do deke jahir na sai.
Mekkel suping ma attong da.
inang ni dakdanak i.
Mida dekke binoan ni inantai.

Ai di na ro, simatuakku
lao mandulo borunai.
Ai diboan do dekke jahir
diboan do dekke jahir nasai.

Ai dohot do dongan sahuta
jala longang mida i.
Mida dekke binoan ni inanta i.
Ai rohakku pe tarhirim
jala longang mida i.
Dekke jahir binoan ni inanta i.

Ai di na ro, simatuakku
lao mandulo borunai.
Ai diboan do dekke jahir
diboan do dekke jahir nasai.

 


Unpopular fact:

Di banyak media dan sumber berita, disebut bahwa lagu Batak Dekke Jahir (Dengke Jahir) adalah lagu lawas ciptaan Yan Sinambela, salah satu personil group komponis Guru Nahum Situmorang. 

Misalnya, di salah satu kanal Youtube dengan tangkapan layar ini.

Tapi, coba dengarkan lagu Cotton Field ini.

Sama nada dan motif lagunya? Ya. Karena memang lagu yang sama.

Maka, kalaupun dinyanyikan ulang dengan bahasa berbeda, sangat arif jika tidak ada klaim bahwa Dekke Jahir adalah ciptaan Yan Sinambela. Menulis lirik baru atas lagu yang sudah ada? Barangkali iya. Dalam hal itu, unsur “mencipta” dilakukan Yan Sinambela. Padahal, sebuah lagu itu mencakup musik dan lirik. Tak hanya lirik. Kembali ke awal lagi: Tidak benar lagu tersebut ciptaan Yan Sinambela.

Saya tak lantas menyebut ini tindakan plagiarisme atau pembajakan sebab tidak punya cukup informasi apakah Yan Sinambela sudah meminta izin dan mendapat izin dari Creedence Clearwater Revival, pemilik asli lagu tersebut, atau pewarisnya.

Lagu itu sudah sangat lawas sehingga tak perlu izin untuk remake atau menculik nada dan motifnya tanpa mention penulis asli lagu? Tunggu dulu. Hak cipta dan royalti berlaku 70 tahun.

Jika benar pembajakan, ini menyedihkan. Sebab pembajakan itu menghilangkan motivasi dan kreatifitas pencipta. Padahal, motivasi dan kreatifitas adalah dua aset paling berharga yang dimiliki seorang seniman. Selain waktu, tentu saja.

Menghilangkan dua aset berharga itu berarti nyata-nyata menodai “proses berkesenian”, menyitir kata seorang seniman dari Jogja, Rimanda Sinaga.