Otot, Otak, Ongkos – Bagian II

OTAK

Kita masuk yang kedua, yaitu ‘otak’.

Rangkaian mentalitas insecure itu kemudian hendak diselesaikan dengan cara mengakali otak hukum: membangun koalisi besar kemudian menggunakannya. Ini terlihat jauh sebelum dilantik jadi presiden, Presiden Prabowo itu sudah mengirimkan signal bahwa dia akan membangun koalisi gemuk. Bahkan ada alergi berlebihan terhadap adanya oposisi.

Jadi, Saudara-saudara, kita harus kerja sama, kita harus ”collaborate. Jangan kita mau ikut-ikut budaya lain. Budaya Barat atau budaya mana itu mungkin, suka apa ya, oposisi-oposisi gontok-gontokan. Oposisi enggak mau kerja sama. Itu mungkin budaya mereka. Budaya kita, sudahlah ya, kan ramai-ramai bersaing. Tidak mungkin kita tidak bersaing. Hidup ini persaingan.

(Prabowo)

Kemudian Prabowo melancaran niatnya untuk merangkul sebanyak mungkin parpol masuk ke koalisinya. Prabowo kemudian menggemukkan kabinet. Yang menarik ialah bahwa hal ini menjadi mungkin karena Presiden sebelumnya, Joko Widodo (Jokowi), melakukan perubahan terhadap undang-undang Kementerian Negara yang memberikan kesempatan bagi Presiden untuk melantik atau memilih jabatan menteri dan wakil menteri secara unlimited.

Jokowi menandatangani undang-undang yang menghapus batasan jumlah Kementerian Negara tersebut di dalam Undang-Undang Nomor 61 Tahun 2024 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2008 tentang Kementerian Negara. Itu yang mengakibatkan pasca-reformasi ada peningkatan jumlah menteri yang sangat luar biasa, khususnya di zaman Prabowo Subianto.

Pada era Habibie hanya ada 37 kementerian; Abdurrahman Wahid 36; Megawati 33, Susilo Bambang Yudhoyono 34, Joko Widodo 34; Prabowo Subianto 49. Ketiadaan aturan pembatasan dalam undang-undang itulah yang memungkinkan kabinet Prabowo-Gibran menjadi pemilik menteri terbanyak sejak reformasi.

Saudara-saudara sekalian, jumlah anggota kabinet kita sebanyak 48 menteri. Juga ada badan-badan yang sangat strategis. Ini memang lebih banyak dari pemerintah-pemerintah sebelumnya. Jumlah ini Saya sadari memang bisa dianggap tergolong besar, tapi memang bangsa kita bangsa yang besar. Kita tidak dapat pungkiri bahwa kita negara keempat terbesar di dunia dari jumlah penduduk. Dari luas wilayah kita luasnya sama dengan Eropa, Barat.

(Prabowo)

Mari kita periksa pernyataan Pak Presiden yang mengatakan bahwa bangsa besar itu membutuhkan jumlah kabinet yang banyak.

Pertama, dari konteks negara kesatuan, Indonesia tetap menjadi yang terbanyak.

  • Indonesia: 49
  • Ghana: 46
  • Kongo: 45
  • Kamerun: 41
  • Pantai Gading: 40
  • Korea Utara: 39

Kedua, menggunakan konteks negara dengan sistem federal, tetap saja Indonesia menjadi yang terbanyak.

  • Indonesia: 49
  • Bosnia: 39
  • Kanada: 34
  • Sudan Selatan: 34
  • Malaysia: 32
  • Uni Emirat Arab: 32

Ketiga, jumlah kementerian terbanyak dibandingkan dengan angka jumlah penduduk, Indonesia tetap menjadi yang terbanyak.

  • Indonesia: 53 kementerian (termasuk lembaga setingkat menteri) untuk 280 juta jiwa penduduk
  • India: 52 kementerian untuk 1,46 miliar jiwa penduduk
  • China: 26 kementerian untuk 1,40 miliar jiwa penduduk
  • Amerika Serikat: 23 kementerian untuk 341 juta jiwa penduduk
  • Pakistan: 34 kementerian untuk 240 juta jiwa penduduk.

Hal yang sama terjadi di jumlah wakil menteri ya. Kalau kita baca undang-undang, sebenarnya wakil menteri itu hanya untuk tujuan khusus. Hanya untuk tujuan khusus. Presiden dapat menunjuk wakil menteri. Ini yang mengakibatkan kita sering bertanya apa tujuan khusus yang sedang dibangun oleh Presiden Prabowo.

  • Kabinet Susilo Bambang Yudhoyono-Boediono: 18 wakil menteri
  • Joko Widodo-Jusuf Kalla: 3 wakil menteri
  • Joko Widodo-Maruf Amin: 15 wakil menteri
  • Prabowo-Gibran: 57 wakil menteri

Ini mendukung dugaan bahwa ada pembagi-bagian kue kekuasaan untuk memperkuat otak hukum tersebut.

Dan saya katakan di sini kita berhasil karena kita didukung oleh presiden ketujuh. Tepuk tangannya kurang semangat. Semangat lagi. Hidup Jokowi.

(Prabowo)

 

Setelah kemudian membagi memperbesar kue kekuasaan untuk dibagi, Presiden Prabowo juga menjaga relasi dengan Presiden sebelumnya – dan itu ada juga bagian Gibran di situ – secara sangat mesra. Sekali lagi mudah untuk membahasakan rasa insecure-lah yang memunculkan ketakutan untuk ditinggalkan oleh presiden yang sebelumnya.

Terlihat bahwa pada pola relasi antara Prabowo dan Jokowi itu memang ada simbiosis mutualisme. Sesaat sebelum menjadi presiden, Prabowo diberikan jenderal bintang empat oleh Presiden Jokowi, sesuatu yang kita tahu persis diimpikan oleh Prabowo yang dipaksa berhenti di tahun 1998 berkaitan dengan keterlibatannya pada penculikan aktivis.

Tidak lama setelah Prabowo dilantik, kita menengarai ada relasi yang tidak sederhana antara pentersangkaan Tom Lembong (Tim Sukses Anis Baswedan) oleh kejaksaan atas kasus gula impor gula dengan rivalitas Prabowo versus Anis. Anis Baswedan, bekas tim sukses Joko Widodo di masa lalu, adalah rival Prabowo pada Pemilu 2024.

Hal serupa terjadi pada kasus pentersangkaan Hasto Kristiyanto. Terlihat upaya weaponizing law, yakni menggunakan hukum untuk menjatuhkan atau kemudian melakukan politik balas dendam terhadap rival-rival politik.

PDIP memang tidak diam saja ketika Sekjen mereka menjadi tersangka. Ketua Umum PDIP secara resmi memberikan instruksi harian kepada semua kadernya, yakni untuk menunda perjalanan untuk menghadiri retreat kepala daerah yang dilakukan oleh Presiden Prabowo.

Kemudian terlihat sedikit perubahan peta permainan. Sebagai bagian dari penguatan politik ini, Prabowo harus mencari kesetimbangan: Dia pun memberi amnesti dan abolisi dalam kasus Tom Lembong dan Hasto Kristianto.

Secara khusus, atas pengampunan yang diberikan kepada Hasto Kristianto, Ketua Umum PDIP Megawati mengucapkan langsung terima kasih terhadap Prabowo. Megawati kemudian mengumumkan dukungan terhadap Presiden Prabowo setelah bertemu secara langsung. Meskipun tidak berada dalam barisan koalisi Prabowo, tapi jelas PDIP mengatakan mendukung Prabowo.

Sebenarnya pemberian amnesti dan abolisi ini juga berbau anyir. Sebelumnya tidak pernah dilakukan pemberian amnesti dan abolisi untuk kasus korupsi. Baik amnesti dan abolisi umumnya dikaitkan dengan kasus politik untuk menjaga kondisi sosial kemasyarakatan dan sosial politik.

Pasca-prahara Agustus ada kabar yang beredar bahwa ada keterlibatan dari kader PDIP atas kasus korupsi itu, yang mengakibatkan dipecatnya dua pejabat PDIP dari kabinet. Mereka kena reshuffle. Prabowo telah mencopot Budi Gunawan dari posisi Menko Polkam dan Hendrar Prihadi atau Hendi dari jabatan Kepala Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah (LKPP). Saat ini, Menko Polkam diisi oleh Djamari Chaniago, sedangkan posisi Kepala LKPP ditempati oleh Sarah Sadiqa.

Sekjen PDIP Hasto Kristiyanto menanggapi pencopotan keduanya dengan menyinggung bahwa komunikasi antara Ketum PDIP Megawati Soekarnoputri dan Presiden Prabowo Subianto terjalin baik.

 

Seri penguatan otak ini terus berlanjut. Presiden Prabowo juga harus membawa pasukan pendukungnya di TKN itu dengan membagi-bagi jabatan komisaris BUMN bagi Tim Kampanye Nasional Prabowo Gibran.

Gerindra sebagai partai penyokong nomor satu bagi Presiden Prabowo itu mendapatkan sampai 48,6% jabatan di komisaris di BUMN; sisanya dinikmati oleh partai-partai lain secara beragam.

Bagi para wakil menteri yang tidak jelas penggajiannya, setidaknya ada 30 dari 57 wakil menteri mendapatkan jabatan komisaris di berbagai perusahaan BUMN.


(Masih bersumber dari Dirty Vote II)

Simon Vaz dan Frater Pra-TOR Keuskupan Agung Medan

Hari ini Jumat, 18 Oktober 2024.

Dua hari lagi, Prabowo Subianto akan dilantik menjadi Presiden Republik Indonesia. Menggantikan Presiden Joko Widodo yang akan mengakhiri dua periode berturut-turut masa jabatannya. Yupz, benar. Anda, Saya dan ratusan juta penduduk Indonesia sebentar lagi akan memiliki presiden baru.

Berbagai macam dinamika perpolitikan yang malang-melintang di berbagai media massa terkait berbagai ketidakberesan Pemilu, bagaimanapun, akan segera menemukan titik ekuilibrium atau titik keseimbangannya. Entah apapun dan dimanapun posisi Anda saat ini dan masa-masa menjelang Pemilu yang lalu, ini adalah fakta yang akan kita alami bersama. Setidaknya untuk 5 tahun ke depan. Sebaiknya kita isi dengan rasa syukur dan optimisme.

Kita akan mengalami kepemimpinan dengan presiden baru, kabinet baru, dan kemungkinan-kemungkinan situasi baru akibat berbagai janji kampanye yang semoga bisa terlaksana, semata demi Indonesia yang semakin berkemajuan. Sebaiknya tetap kita bekerja sesuai panggilan kita dan berdoa sesuai cara yang kita yakini masing-masing supaya tujuan mulia ini tercapai.


Ini bulan ketiga Saya menjadi seorang pengajar Bahasa Inggris di Rumah Pembinaan Pra-Tahun Orientasi Rohani Santo Yohannes Maria Vianney Keuskupan Agung Medan di Kabanjahe, Kabupaten Karo, Sumatera Utara. Biasa disingkat Pra-TOR KAM. Gedungnya bersebelahan dengan pastoran Paroki Santo Petrus dan Paulus Kabanjahe. Beberapa Keuskupan lain di Indonesia juga tampaknya sudah mulai mendirikan rumah pembinaan Pra-TOR untuk calon-calon imam di wilayah mereka. Murid-murid yang Saya ajari Bahasa Inggris ini berjumlah empat belas orang. Mereka angkatan keempat sejak Pra-TOR KAM dibuka (menurut keterangan dari Rektor).

Saya dan para para frater yang menjadi murid-murid Saya menyepakati untuk menamai diri mereka sebagai seorang Presoyan, akronim dari PreSpiritual Orientation Year. Kesepakatan serupa sudah berhasil pula Saya buat dengan kakak tingkat setahun di atas mereka, ketika kami berproses selama 1 bulan dalam Kursus Intensif ESP (English for Special Purpose) di Paroki Santo Yosep Jalan Bali Pematangsiantar bulan Juni – Juli 2024 yang lalu.

Dalam dinamika pembinaan bersama mereka, Saya menangkap nada yang sama dalam harapan mereka secara umum. Mereka ingin dengan lancar menjalani tahun pembinaan ini. Sebagai frater Pra-TOR, mereka berharap dapat dengan lancar mengikuti setiap proses formasi selanjutnya: tamat dari Pra-TOR, lanjut ke TOR (Tahun Orientasi Rohani), menamatkan gelar Sarjana Filsafat dari STFT, menyelesaikan masa TOP (Tahun Orientasi Pastoral), menyelesaikan tesis S-2 di kampus yang sama, ditahbis diakon, hingga akhirnya ditahbis menjadi seorang imam diosesan.

Jika ini terjadi, maka mereka akan mengambil peran dalam melanjutkan karya Simon Vaz, imam diosesan berkebangsaan Portugis yang mengawali berdirinya umat Katolik di Nusantara dengan membaptis orang-orang Moro di Halmahera Utara pada 1534. Simon Vaz kemudian dibunuh di Pulau Moratai setahun kemudian, dan menjadi martir pertama di Indonesia.

Sebagai seorang imam diosesan, nantinya – bersama dengan senior mereka termasuk Pak Rektor RD Yohannes Fransiskus Sihombing, Magister Spiritualis RD Anton Nguyen van Viet (berkebangsaan Vietnam), Parokus RD Sautma Toho Maruba Simanullang, Vikaris Parokial RD Lukman Pandiangan dan imam-imam diosesan lainnya di dalam dan luar Keuskupan Agung Medan – mereka akan diuji: mampukah mereka menunjukkan identitas dan spiritualitas seorang imam diosesan sebagai “akar tunggang Gereja Katolik (di) Indonesia“.


Lantas, apa hubungan imam diosesan Indonesia dan kepemimpinan Presiden baru Indonesia?

Bersama para imam biarawan yang jumlah lebih banyak (meskipun tetap kurang untuk melayani secara maksimal), para imam diosesan akan menjadi klerus yang mendampingi seluruh umat Katolik di Indonesia – yang prosentasinya cukup minor dalam demografi Indonesia. Artinya, segala kegembiraan dan harapan (gaudium et spes) dari umat Katolik dan non-Katolik di Indonesia di bawah kepemimpinan presiden yang baru ini akan menjadi kegembiraan dan harapan mereka juga.

Apa yang istimewa dengan imam diosesan ini? Megapa harus dibedakan dengan imam lainnya dari aneka tarekat dan biara? Sebagai pembantu Uskup, yang tanpa mereka Uskup disebut oleh RD Y. Gunawan seperti “macan ompong”, mereka cukup lama dibiarkan tidak dikenal secara baik oleh umat Katolik sendiri. Sematan julukan sebagai “imam kelas dua” (tweede klas priester) dalam periode yang cukup lama terutama oleh Gereja Zaman Kolonial dan identitas yang kerap dipeyorasi sebagai “imam sekular” adalah dua diantara sekian banyak fenomena yang harus mereka hadapi. Begitu sikap yang harus dimiliki para imam diosesan, pun dengan para frater calon imam diosesan ini.

Sampailah kita pada poin tunggal pembahasan pada tulisan singkat ini: bahwa irisan identitas antara umat dari agama Katolik dan menjadi warga negara Indonesia sebenarnya tak perlu dipersoalkan.

Mengapa demikian? Sebab sejatinya kedua identitas ini bersatu, tidak terpisah apalagi bertentangan. Bukan tanpa sebab, organisasi  berlabel Katolik setua PMKRI, misalnya, sejak awal mendaku akan memperjuangkan kemajuan Indonesia dengan semboyan 100% Katolik, 100% Indonesia. Padahal, embrio PMKRI sudah ada bahkan sebelum Indonesia memproklamasikan diri.

Selanjutnya, bagaimana mereka – para imam diosesan ini – bisa betul secara meyakinkan hadir dan mendengar kegembiraan dan harapan dari umat Katolik Indonesia yang mereka gembalakan?

Inilah yang sejak awal mereka harus tanamkan: bahwa ada hal-hal yang secara keliru dianggap terpisah bahkan bertentangan oleh para penganut ideologi-ideologi sekularistik. Para imam diosesan harus secara meyakinkan memperlihatkan bahwa sebenarnya hal-hal itu satu.

Maka, para imam diosesan dan calon imam diosesan itu – dalam proses panjang formasi dan kehadiran bersama umat Katolik dan non-Katolik di Indonesia, tahu mengapa sejak awal mereka memilih menjadi imam diosesan, pembantu Uskup, pegawai negeri-nya atau pamong praja-nya Uskup; dan bukan imam biarawan yang harus taat pertama-tama dengan petinggi tarekat dan biara mereka.

Ketua STF Driyarkara, RD Simon Petrus L Tjahjadi, dalam epilog buku yang ditulisnya “Mission Breaktrough – Narasi Kecil Imam Diosesan di Indonesia”  meringkas dengan baik bagaimana imam diosesan harus memperlihatkan secara meyakinkan kesatuan yang dimaksud. Saya sadur seperlunya:

Penghayatan hidup imamat seorang imam diosesan perlu memperlihatkan secara meyakinkan bersatunya:

  1. Cinta, kepercayaan dan pelayanan kepada Allah – dan – pelayanan dan kepercayaan kepada manusia
  2. Iman dan akal budi
  3. Karisma dan jabatan
  4. Individualitas dan komunitas
  5. Kepemilikan dan lepas-bebas
  6. Selibat dan seksualitas
  7. Religius dan sekuler
  8. Altar dan pasar
  9. Hidup doa dan kerasulan
  10. Agama dan kemanusiaan.

Demikianlah seorang calon imam diosesan perlu belajar dan memahami pasangan nilai-nilai ini. Nilai-nilai yang dulu diperlakukan dengan dikotomi ketat padahal adalah satu kesatuan, saling melengkapi.

Maka, jika ke depan para frater ini melanjutkan rangkaian pembinaan sebagai calon imam diosesan, mereka memiliki alasan dan semangat yang konsisten untuk membina diri hingga ditahbis menjadi seorang imam diosesan. Sebaiknya seorang frater Pra-TOR menjalani formasi setahun ini dengan rasa syukur dan optimisme.

Jika kelak mereka menjadi imam diosesan dan berkarya di Gereja Katolik Indonesia, mereka memiliki alasan dan semangat yang konsisten untuk tetap hadir bersama warga Indonesia, mendengarkan kegembiraan dan harapan bangsa Indonesia: Katolik dan non-Katolik. Baik pada pemerintahan Presiden Prabowo maupun presiden-presiden selanjutnya.


Sebagai seorang pengajar yang diberi kesempatan untuk terlibat dalam pembinaan mereka, Saya merasa ini tugas yang cukup menantang. Kalau begitu, Saya harus membaca lebih banyak lagi, mendengar lebih banyak, mengalami lebih banyak. Sepertinya memang harus belajar lebih lagi.