Demonologi Kristen

Demonologi adalah ilmu tentang iblis, yakni roh (atau roh-roh) jahat yang mempunyai kemampuan untuk mempengaruhi dunia fisik, termasuk manusia, binatang, dan peristiwa alam.

Entah kita percaya atau tidak dengan keberadaan dari makhluk atau benda semacam ini, demonologi adalah ilmu yang gelap, artinya ada beberapa metode klasifikasi,  hirarki dan indentifikasi terhadap nama, tanda dan teori tentang iblis terkait kuasa jahat yang dimilikinya; batasannya, ritual pemanggilan, bagaimana memerintahkan dan mengusirnya.

Ada ratusan, bahkan ribuan teks sihir yang sudah ditulis tentang tema ini.

Demonologi sama pentingnya bagi umat beriman maupun bagi mereka yang ingin mencari bagaimana cara mengendalikan iblis untuk berbagai tujuan jahat.

Bagi umat beriman, memahami demonologi bisa membantunya untuk menjaga diri dari pengaruhnya. Ini disebut sebagai pertarungan spiritual, sebuah perang antara Yang Baik dan Yang Jahat yang berlangsung terus-menerus. Ini sebuah keniscayaan.

Bagi banyak orang, ini menarik.

Barangkali catatan paling tua yang kita bisa lacak tentang roh jahat ini adalah sebuah teks magis dari Mesopotamia Kuno, yang mencatat ada 7 entitas jahat yang disebut udug. Udug tidak pernah digambarkan secara visual, hanya dicirikan sebagai bayangan gelap dengan cahaya memudar di sekeliling mereka, udara beracun dan suara yang keras menakutkan.

Ini ilustrasi udug dari seniman kontemporer


Ketujuh udug/utukku ini dipercaya menyebabkan penyakit. Instruksi detail perihal bagaimana cara mengusir udug inilah yang kemudian menghasilkan beberapa teks Sumeria awal 5000 tahun lalu, pada milenium ketiga sebelum Masehi.

Demonologi Kristen

Fokus kita saat ini adalah Demonologi Kristen, salah satu cabang yang paling berkembang dalam kancah studi tentang iblis.

‘Demon’ sendiri adalah istilah yang berakar dari bahasa Yunani ‘daim‘ yang berarti kekuatan atau roh supranatural. Pada masa Yunani Kuno, istilah ini sama sekali tidak bermakna negatif. Roh-roh ini bisa baik, jahat atau sepenuhnya netral. Filsuf Sokrates, misalnya, berbicara tentang ‘daim’-nya sendiri sebagai figur spiritual yang menginspirasinya untuk mencari kebenaran dari realitas.

Tetapi seiring waktu, kata ini berevolusi hingga semakin spesifik merujuk pada entitas jahat yang sering disalahkan setiap kali ada penyakit mematikan, penyakit jiwa, atau peristiwa malapetaka dan bencana alam yang sulit dijelaskan, misalnya ketika rumah seseorang terbakar secara misterius.

Dari perspektif Kristen, pembahasan tentang iblis ini sangat kompleks.

Sebagai catatan awal, sangat umum diterima dalam kultur populer bahwa malaikat itu baik dan iblis itu jahat. Tetapi dalam teks asal, kedua makhluk ini sebenarnya ambigu secara moral. Misalnya, malaikat yang utamanya adalah pengirim pesan, bertindak mirip robot yang diprogram oleh Tuhan untuk melakukan kehendakNya. Sementara itu, iblis lebih rumit. Mereka sebenarnya adalah malaikat juga, yang dalam tradisi Kristen awal sebagaimana halnya dalam tradisi pendahulunya Judaisme, tetapi mengalami kejatuhan, yakni para malaikat yang kemudian berdosa dan secara permanen diusir dari Surga. Bahasa sederhananya, jika para malaikat secara esensi beroperasi bak robot, maka iblis atau malaikat yang jatuh ini merusak bahasa pemrograman dan tujuan asli mereka sendiri dan turun ke bumi untuk melakukan tindakan lain, seperti berhubungan seksual dengan manusia perempuan karena parasnya yang cantik.

Ini misalnya dapat kita temukan dalam Kejadian pasal 6.

Ketika manusia itu mulai bertambah banyak jumlahnya di muka bumi, dan bagi mereka lahir anak-anak perempuan, maka anak-anak Allah melihat, bahwa anak-anak perempuan manusia  itu cantik-cantik, lalu mereka mengambil isteri dari antara perempuan-perempuan itu, siapa saja yang disukai mereka. Berfirmanlah TUHAN: “Roh-Ku tidak akan selama-lamanya tinggal di dalam manusia, karena manusia itu adalah daging, tetapi umurnya akan seratus dua puluh tahun saja.” Pada waktu itu orang-orang raksasa  ada di bumi, dan juga pada waktu sesudahnya, ketika anak-anak Allah menghampiri anak-anak perempuan manusia, dan perempuan-perempuan itu melahirkan anak bagi mereka; inilah orang-orang yang gagah perkasa di zaman purbakala, orang-orang yang kenamaan. 

Setan sendiri mulanya dianggap malaikat kelas atas yang aslinya bernama Lucifer. Maka, penting diingat bahwa semua iblis, termasuk Setan sendiri, adalah makhluk yang memiliki hubungan langsung dengan Tuhan, mempunyai kekuatan yang berasal dari Surga, meskipun terbatas sesuai kehendak Tuhan. Artinya, Setan dan makhluk iblis lainnya adalah ciptaan dari Allah yang Mahakuasa, yang memberikan mereka izin dan kekuatan untuk menciptakan kerusakan di Bumi dan mencobai manusia.

Membingungkan, tentu saja. Tetapi demikianlah pemikiran Gereja, yakni bahwa dengan cara inilah Tuhan secara berkelanjutan menguji dan membuktikan iman orang kepadaNya, yakni ketika orang yang memilih Setan memilih berdosa.

King James, misalnya – yang kemudian membuat Alkitab versi King James – menekankan bahwa iblis bertindak seturut izin dari Tuhan sebagai ‘Tongkat Pengkoreksi’ (the Rod of Correction) –  sebuah istilah yang diciptakannya sendiri – yakni benda yang dahulu umum digunakan oleh guru dan orangtua ketika mengajari anak-anak.

"Rod of Correction", gambar dari relevate.org

Dengan begitu, iblis adalah malaikat-malaikat yang gagal mengikuti instruksi Tuhan. Mereka tidak jahat dalam dirinya sendiri (inheren) tetapi lebih merupakan aktor independen, yang tidak begitu berbeda dengan manusia dalam hal moralitas dalam bertindak.

Ada iblis yang mempunyai agenda pribadinya sendiri. Ada yang diarahkan oleh hasrat primitif seperti hasrat berhubungan seks. Yang lain lagi secara langsung dipengaruhi oleh Setan di Neraka dan secara aktif melancarkan rencana jahatnya.

Tetapi, ada juga iblis yang ‘baik’, dan percaya atau tidak, ada iblis yang menyembah Tuhan. Hal ini sangat menarik: beberapa kali dalam perikop Kitab Suci, kita menemukan iblis yang tunduk pada kuasa Yesus, sebagai putera Allah dan bagian dari Tritunggal Mahasuci.

Dalam Injil Markus, kita menemukan misalnya setiap kali iblis berhadapan dengan Yesus, ia akan sontak bersimpuh atau tiarap dan menyembah Yesus. Jika kita melakukan penelusuran serupa dari teks Kitab Suci dari yang paling awal ditulis hingga Kitab Wahyu, kita akan menemukan bahwa pada waktu itu ada gagasan bahwa iblis itu netral dan baik.

Meski begitu, Kitab Suci kemudian berfokus pada yang jahat, dan iblis yang secara khusus mengabdi sebagai  pasukan (legion) Setan. Dari sinilah kemudian berkembang gagasan baru bahwa para iblis itu memang dari sendirinya jahat. Kedua gagasan ini bercampur-baur sehingga pada perikop Markus 5:1-20 kita membaca bagaimana Yesus mengusir roh jahat dari orang Gerasa.

Lalu sampailah mereka di seberang danau, di daerah orang Gerasa. Baru saja Yesus turun dari perahu, datanglah seorang yang kerasukan roh jahat dari pekuburan menemui Dia. Orang itu diam di sana dan tidak ada seorangpun lagi yang sanggup mengikatnya, sekalipun dengan rantai, karena sudah sering ia dibelenggu dan dirantai, tetapi rantainya diputuskannya dan belenggunya dimusnahkannya, sehingga tidak ada seorangpun yang cukup kuat untuk menjinakkannya. Siang malam ia berkeliaran di pekuburan dan di bukit-bukit sambil berteriak-teriak dan memukuli dirinya dengan batu. Ketika ia melihat Yesus dari jauh, berlarilah ia mendapatkan-Nya lalu menyembah-Nya, dan dengan keras ia berteriak: “Apa urusan-Mu dengan aku, hai Yesus, Anak Allah Yang Mahatinggi? Demi Allah, jangan siksa aku!” Karena sebelumnya Yesus mengatakan kepadanya: “Hai engkau roh jahat! Keluar dari orang ini!” Kemudian Ia bertanya kepada orang itu: “Siapa namamu?” Jawabnya: “Namaku Legion, karena kami banyak.” Ia memohon dengan sangat supaya Yesus jangan mengusir roh-roh itu keluar dari daerah itu. Adalah di sana di lereng bukit sejumlah besar babi sedang mencari makan, lalu roh-roh itu meminta kepada-Nya, katanya: “Suruhlah kami pindah ke dalam babi-babi itu, biarkanlah kami memasukinya!” Yesus mengabulkan permintaan mereka. Lalu keluarlah roh-roh jahat itu dan memasuki babi-babi itu. Kawanan babi yang kira-kira dua ribu jumlahnya itu terjun dari tepi jurang ke dalam danau dan mati lemas di dalamnya.


Seiring waktu, dengan berkembangnya Kekristenan dan menyebar ke seluruh Eropa, berkembang pula penggunaan istilah untuk menyebut iblis. Istilah-istilah itu kemudian berkembang, yang tadinya hanya merujuk pada malaikat-malaikat yang jatuh, kini juga mencakup semua ilah kafir, ilah yang tak dapat dipercaya, terutama dari agama-agama politeistik seperti Yunani, Romawi, Skandinavia, Jerman dan lainnya. orang Kristen mula-mula dan abad pertengahan meyakini bahwa semua dewa-dewi yang disembah dan dipercayai mempunyai kekuatan terhadap dunia fisik adalah entitas iblis yang menjauhkan orang dari Satu Allah yang Benar.

Pemahaman akan Iblis dengan cara pandang ini sebenarnya tidak dituliskan dalam naskah asli Kitab Suci, namun menjadi semacam apokrif, sebab juga dicatat oleh para penulis Kristen sejak abad II. Cerita rakyat dari berbagai wilayah penyebaran Kristen tentu memiliki legenda dan asal-usul entitas iblis dan dari cerita ini berkembanglah gagasan tentang iblis yang tidak lagi hanya menyebut malaikat-malaikat jatuh dan dewa-dewi kafir, tetapi juga mencakup hantu, ghoul, goblin dan peri. Empat sebutan terakhir ini dimaksudkan untuk menyebut roh lebih rendah yang tidak mempunyai tubuh fisik, tetapi memiliki kemampuan untuk berinteraksi dengan dunia fisik, kadang bahkan dalam cara yang luar biasa. Sebaliknya, manusia juga bisa berinteraksi dengan mereka dengan memanggil mereka, berbicara dengan mereka bahkan mengendalikan mereka dengan serangkaian tindakan magis, atau setidaknya, diyakini begitu.

Maka, supaya tidak meluas, kita kembali pada gagasan awal Demonologi Kristen, yakni kodrat dari malaikat-malaikat yang jatuh dan menjadi jahat, mereka yang mengabdi pada Setan. Seperti apa tampilan mereka, kuasa apa yang mereka miliki, dan bagaimana mereka melaksanakan misinya. Misi yang tentu saja dimaksudkan untuk menguji iman seseorang kepada Tuhan dengan serangkaian godaan dan manipulasi sampai batas ekstrem.

Para iblis

Iblis-iblis sama dengan malaikat dalam hal: bersifat non-fisik, berada di angkasa, dan tidak bisa mati. Iblis tidak mahatahu, tetapi memiliki seperangkat pengetahuan spesifik yang menjadi spesialisasi mereka. Ada yang luas seperti pengetahuan (filsafat) hayati dan moral; ada juga yang sempit seperti pengetahuan tentang berbagai jenis racun berbahaya dan penyembuhan dengan ramuan herbal. Kuasa yang iblis miliki memang berasal dari Surga, tetapi dengan seksama dibatasi oleh Tuhan.

Dimana iblis tinggal?

Iblis juga umumnya hanya bisa hadir di satu tempat pada waktu tertentu, ia tidak mahahadir (omnipresent). Tetapi beberapa tradisi menyebutkan bahwa Setan itu bisa juga mahahadir: inilah yang membuat kuasa Setan jauh di atas melebihi iblis manapun. Injil Markus dua kali mencatat bagaimana kawanan iblis bisa menempati satu orang, dan secara umum iblis-iblis itu dikenal suka menyiksa orang yang mereka rasuki untuk waktu yang cukup lama atau serangkaian upaya lain tanpa henti sampai mereka akhirnya benar-benar merasuki orang itu seutuhnya dan akhirnya memegang kendali. Tidak hanya kepada manusia, kawanan iblis ini juga bisa merasuki binatang. Intinya, semua makluk hidup bisa mereka pengaruhi, semuanya rentan terhadap pengaruh mereka.

Tetapi ketika mereka tidak memasuki seseorang atau binatang, kemana para iblis itu pergi? 

Umumnya kita akan berpikir bahwa iblis-iblis itu tinggal di Neraka. Tetapi Injil Lukas menyebutkan bahwa mereka akan mengembara tanpa henti di tempat yang gersang, tidak ada air, tempat yang terpisah dari dunia fisik ini. Itulah sebabnya rumah asli mereka, tempat yang paling nyaman mereka, adalah dalam tubuh manusia, binatang, patung, atau gambar yang umumnya melekat dengan penyembahan kafir.

Bagaimana rupa iblis?

Lalu, seperti apa penampilan iblis jika ternyata mereka bukanlah makhluk fisik?
Kebanyakan gambaran tentang iblis berasal dari Kitab Wahyu, terutama gagasan bahwa mereka memiliki tanduk. Tetapi sebenarnya gagasan ini tampaknya berasal dari periode yang jauh lebih dahulu, yakni dari dewa-dewi kafir, misalnya Moloch, yang digambarkan seperti sapi. Ada juga dewa-dewi lain yang memiliki kepala sapi, atau justru mengenakan tanduk sebagai mahkota.

Maka, jika kamu berpikir seperti jemaat awal Kristen yang meyakini bahwa dewa-dewi ini adalah iblis yang disembah oleh orang yang jatuh ke dalam pencobaan mereka, kita bisa katakan bahwa tanduk memang menjadi pertanda atau ciri khas iblis. Tetapi, Kitab Suci menjelaskan bahwa iblis-iblis bisa mengambil bentuk dan wajah dari tampilan fisik apapun yang mereka suka, termasuk tampilan dari apa yang kita anggap baik, bahkan suci.

2 Korintus 11:13-15 mencatat:

Sebab orang-orang itu adalah rasul-rasul palsu, pekerja-pekerja curang, yang menyamar sebagai rasul-rasul Kristus. Hal itu tidak usah mengherankan, sebab Iblispun menyamar sebagai malaikat Terang. Jadi bukanlah suatu hal yang ganjil, jika pelayan-pelayannya menyamar sebagai pelayan-pelayan kebenaran. Kesudahan mereka akan setimpal dengan perbuatan mereka.


Demikianlah menurut Kitab Suci, Setan bisa mengambil rupa beragama binatang, termasuk ular berbisa, kambing, atau naga merah berkepala tujuh. Tidak ada penampakan yang secara khusus bisa menggambarkan iblis sebab mereka bisa mengambil rupa dari apapun selama itu membantu mereka mencapai tujuannya.

Upaya untuk melakukan kategorisasi atas iblis, misalnya, mengenal bahwa umumnya ada 2 jenis (spesies) iblis yang dikenal manusia, yaitu incubi dan succubi, yang sama-sama bertujuan untuk melakukan pencobaan dengan bujuk rayu.

Incubus akan mengambil bentuk seorang pria dengan paras menarik untuk merayu seorang manusia wanita dan bersetubuh dengannya. Succubus, sebaliknya, akan tampil dalam rupa wanita cantik untuk melakukan hal serupa dengan manusia pria.

Sebuah spesies lagi bisa kita tambahkan, bersumber pada catatan tentang sihir dari abad XV “Malleus Maleficarum“, yakni bahwa beberapa iblis lebih suka muncul sebagai anak kecil. Ada ciri khusus yang membedakan anak kecil jelmaan iblis ini dengan anak lainnya, yakni: mereka umumnya memiliki berat badan yang abnormal dan tidak bertumbuh tinggi.

Tanda khusus ini kemudian menjadi subjek diskusi yang menarik. Ada sumber yang mengatakan bahwa tubuh mereka sangat dingin seperti es. Tetapi kalau ditelusuri, kepercayaan soal tubuh yang sangat dingin ini berkembang selama periode Penganiayaan terhadap Tukang Sihir di berbagai wilayah di Eropa, dimana para tukang sihir itu akan disiksa dengan mengikat mereka dan membenamkannya pada balok-balok es supaya mereka mau mengakui perbuatannya.


Jenis kelamin iblis

Topik berikut yang cukup hangat didiskusikan dan sekaligus kontroversial adalah: apakah iblis ini memiliki jenis kelamin?

Iblis-iblis dalam tradisi Kristen – misalnya Satan dan Belzebul – selalu ditunjukkan sebagai laki-laki, dan ini konsisten baik dalam sumber agama maupun dalam sumber okultis. Ini juga mencakup succubi, yang tampil sebagai wanita cantik untuk bersetubuh dengan lelaki. Bahkan, Succubi juga ternyata laki-laki. Diyakini bahwa mereka akan mengambil sperma lelaki yang bersetubuh dengannya, lalu berubah kembali menjadi incubus, kemudian ketika bersetubuh dengan wanita menggunakan sperma itu untuk menghamili si manusia wanita yang digaulinya. Para teolog umumnya sepakat bahwa inilah caranya malaikat-malaikat jatuh generasi pertama menghasilkan keturunan pada kitab Kejadian.


Meskipun tidak memiliki tubuh fisik, para iblis ini selalu ingin memilikinya. Dan ketika memilikinya, sebenarnya mereka ini tidak berjenis kelamin tertentu, melainkan menyesuaikan dengan gender yang dibutuhkan.

Ketertarikan seksual dan nafsu sangat penting dalam demonologi sebab mudah dipahami kedua godaan ini paling sulit ditolak oleh manusia sebab sudah menjadi kodrat manusia sebagai makhluk seksual – sama seperti makhluk hidup lainnya – untuk bereproduksi.

Tidak melulu perjumpaan singkat untuk bersetubuh, umumnya para demonolog (pegiat demonologi) Kristen menyepakati bahwa hubungan konsensual jangka panjang antara manusia dan iblis itu sangat mungkin. Meskipun hubungan itu penuh penderitan dan menyakitkan, tetapi orang-orang yang mengaku memiliki hubungan semacam ini, misalnya para tukang sihir jahat dan para pengikut Lucifer abad XIII, menyebutkan bahwa apa yang mereka alami itu benar pengalaman yang memuaskan dan nikmat.


Siapa saja iblis itu?

Sebelum menggali lebih lanjut tentang kemampuan iblis dan bagaimana cara memanggil dan mengendalikan mereka, kita kembali melihat inti ilmu demonologi.

Sebagai sebuah studi, tidak berbeda dengan ilmu tentang makhluk hidup atau biologi, para demonolog tak henti berupaya untuk mengklasifikasikan para iblis ini dan meletakkannya dalam sebuah model hirarki, sebab dengan cara inilah kita bisa memahami lebih baik perihal kuasa apa yang iblis miliki, pengetahuan yang menjadi spesialisasi mereka, serta kepada atasan yang mana mereka tunduk dan mengabdi.

Kita mulai dengan para leluhur iblis, yakni iblis pertama (arcdemons). Seperti halnya para leluhur malaikat atau para malaikat pertama memandu paduan suara para malaikat di surga, maka para leluhur iblis ini memimpin legiun atau pasukan iblis. Bedanya – tidak seperti angelologi –  demonologi tidak memiliki daftar pasti berisi mana saja yang merupakan iblis pertama. Dalam dunia okultis pun sejak dulu hingga sekarang masih ada kontroversi soal ini.

Contohnya, ada dewa-dewi Kanaan yakni Baal dan Astarte, yang dalam Kekristenn kuno dipandang sebagai dua musuh besar Allah Yahweh. Ini mendorong para demonolog awal untuk menyebut keduanya sebagai leluhur iblis; dan mengasosiasikannya dengan iblis Bael dan Astaroth.

Tetapi, semenjak pemujaan terhadap Baal dan Astarte berhenti, besarnya ancaman dari kedua ilah ini juga hilang, demikian juga dengan tempat mereka dalam hirarki para iblis.

Ketujuh Pangeran Neraka

Baru pada Abad Pertengahan ada hirarki yang hingga saat ini masih bertahan, yakni Ketujuh Pangeran Neraka. Para teolog menyepakati ketujuh sosok ini direkayasa berdasarkan Tujuh Dosa Mematikan: masing-masing iblis menggunakan salah satu dari godaan dari ketujuh dosa sebagai metode mereka. Sistem ini ditelusuri berasal dari sebuah traktat abad XV yang disebut Lantern of Light. Siapa saja ketujuh pangeran iblis itu?

Pertama, Lucifer (Si Pembawa Cahaya), yakni malaikat jatuh yang pertama. Lucifer melambangkan Kesombongan.

Kedua, Leviathan, yang dalam Bibel digambarkan sebagai ular laut berbisa, yang mewakili Dengki.

Ketiga, Sathanas, yakni kata Latin untuk Setan, nama yang disandang Lucifer setelah ia jatuh. Sathanas mewakili Amarah.

KeempatBelphegor, yang disebut sebagai yang paling malas dan paling lalai: ia mewakili Kemalasan.

Kelima, Mammon, malaikat jatuh, yang dalam tulisan okultis digambarkan selalu menatap pelataran emas di Surga ketimbang menatap wajah Allah sendiri. Maka, Mammon melambangkan Keserakahan/Tamak.

Keenam, Belzebul. Dalam demonologi Katolik, Belzebul dianggap sebagai satu dari tiga malaikat yang jatuh dari Surga (bersama Lucifer dan Leviathan). Namanya yang dalam terjemahan literal berarti Tuhan para Lalat. Maka, Belezebul melambangkan Kerakusan.

Ketujuh, Asmodeus, yang digambarkan sangat mirip dengan utuqqu hasil rekayasa seniman kontemporer diatas, tetapi dengan tiga kepala: satu kepala manusia,  kambing, satu lagi kepala lembu. Dengan penggambaran yang aneh ini, Asmodeus dianggap mewakili Hawa Nafsu/Kecabulan.


Selain ketujuh leluhur iblis ini, ada tak terhitung banyaknya buku teks sihir (grimoire) abad pertengahan yang berisi daftar yang sangat panjang, ada yang ratusan tetapi tidak konsisten, yang tentu saja dibuat untuk menggolongkan iblis dari kelas lebih rendah berdasarkan tugas, peringkat dan gelar.

Perihal gelar, umumnya gelar yang iblis miliki berasal dari gelar yang dulu mereka miliki sebagai malaikat sebelum diusir dari Surga. Misalnya iblis bernama Olivier dulunya adalah Pangeran dari antara para malaikat agung (archangels) dan ia tetap menggunakan gelar itu di Neraka, meskipun jelas sekali bahwa ia tidak lagi menyandang posisi itu.

Perihal peringkat, para iblis secara tradisional dikelompokkan dengan mekanisme mirip hirarki militer, tersusun mulai dari seorang presiden yang memerintah banyak legiun iblis, jenderal yang bertugas mengatur kelompok iblis tertentu, sampai pada iblis lebih rendah yang mirip pasukan infantri.

Sebagai contoh, ada iblis Sargatanas yang dalam buku teks sihir The Red Dragon disebut berpangkat brigadir mayor. Ia memerintah tiga iblis bawahan bernama Faraii, Loray, dan Valefar. Sargatanas sendiri melapor pada iblis berjabatan lebih tinggi yakni Astaroth.

Dictionnaire Infernal

Adalah sebuah kamus yang ditulis pada 1818 Jacques Collin de Plancy berjudul Dictionnaire Infernal yang cukup lengkap dalam hal pemeringkatan para iblis ini.

Ada Melchom, penerima sumbangan pesta alias tukang kutip uang. Nisroch, chef (kepala urusan dapur). Behemoth, penyaji piala. Dagon, kepala pantry.  Dan Nybbas, si badut. Daftar lengkap untuk urusan perjamuan pesta.

Selain berdasarkan peringkat, tugas iblis juga ada yang digolongkan berdasarkan waktu dan tempat kemunculan mereka di dunia manusia. Leonard adalah tuan hari Sabat. Belial adalah duta Italia.

Empat Raja Mata Angin

Akhirnya ada hirarki berdasarkan penjuru utama mata angin yakni Utara, Selatan, Timur dan Barat. Inilah yang dapat kita temukan dalam teks sihir terkenal The Lesser Key of Solomon, yang menawarkan alternatif kategorisasi selain sistem Ketujuh Pangeran dari Neraka tadi. Menurut versi ini, ada Empat Raja dari keempat mata angin yang mengabdi langsung kepada Satan. Di bawah keempat raja ini, ada 72 iblis kuat yang pernah dipanggil oleh Salomo.

Keempat Raja itu adalah: Zimniar, Raja dari Utara; Corson, Raja dari Barat; Amaymon, Raja dari Timur yang dikenal sebagai Tuhan Maharakus; Gaap, Raja dari Selatan.

Ada keterangan menarik tentang dua raja terakhir ini. Terkait Amaymon diceritakan bahwa ketika orang memanggil iblis ini, maka si pemuja harus berdiri tegak dan melepas tudung atau penutup kepalanya untuk menunjukkan rasa hormat mereka. Jika si pemuja lupa atau lalai melakukan ini, maka Amaymon akan berpura-pura bahwa semua baik-baik saja, tetapi diam-diam dia akan merancang kehancuran dan malapetaka bagi orang itu. Perihal Gaap: ketika ia mengambil bentuk fisik, ia akan muncul sebagai pangeran berparas menarik atau bangsawan rupawan. Gaap dikenal sebagai ahli asmara berikut kelakuan dan keahliannya menyediakan perawatan kecantikan bagi wanita, yang bisa membuat wanita tampak semakin menarik dan menggoda bagi lelaki, tetapi Gaap sekaligus akan membuat mereka mandul. Buku teks yang sama juga menyebut bahwa Gaap mampu membuat seorang lelaki menjadi dungu atau menjadi tak dianggap. Seperti kita ulas sebelumnya bahwa para iblis ini cenderung memiliki seperangkat bidang pengetahuan, maka Gaap dianggap sebagai tuan dari seni liberal.


Empat Iblis King James Version

Tidak diketahui banyak orang, ternyata King James (yang membuat Bibel versi King James) sendiri adalah seorang demonolog ekstrem. Ia sampai menulis disertasi berjudul Daemonologie pada 1597. Dokumen ini mengelompokkan iblis dalam empat tipe utama berdasarkan metode unik yang mereka gunakan dalam membuat masalah.

PertamaSpectra, yakni roh jahat yang menghantui rumah atau bangunan yang terbengkalai, mirip konsep modern yang kita sebut hantu atau ‘poltergeist’.

Kedua, Obsession, yakni roh jahat yang mengikuti manusia tertentu dan menyebabkan masalah pada apapun di sekitar orang itu sehingga ia dianggap sebagai pembawa sial.

Ketiga, Possession, yakni roh jahat yang menempel pada manusia dan menyebabkan kerusakan dari dalam, mirip konsep modern yang kita kenal sebagai perilaku psikiotik, depresi ekstrem hingga berganti kepribadian.

Keempat, Fairies, yakni roh jahat yang secara fisik sebagai manusia dan dengan itu berinteraksi dengan manusia secara langsung. Interaksi ini yang akan menuntun manusia menuju bahaya, bersetubuh dengannya, atau membawa mereka berpetualang dari satu tempat ke tempat lain.


Enam Iblis Michael Psellos

Klasifikasi tak kalah penting lainnya muncul dari seorang pertapa Byzantin bernama Michael Psellos, yang menyebut ada 6 tipe iblis berdasarkan tempat tinggal mereka.

Pertama, tipe Leliurium, yakni yang paling kuat dari antara keenam iblis. Iblis tipe lelurium menempati dunia ether, di atas bulan.

Kedua, tipe Aerial, yang menempati udara dan atmosfer, di bawah bulan.

Ketiga, tipe Terrestrial, yang tinggal di bumi.

Keempat, tipe Marinal, yang tinggal di dalam air.

Kelima, tipe Subterranean, yang tinggal di gua-gua dan saluran bawah tanah.

Keenam, tipe lucifugous, yakni yang paling lemah dari keenam tipe iblis ini, mereka tinggal neraka paling bawah sehingga mereka buta total dan tidak bisa merasakan apapun.

Perihal kuasa iblis, Michael Psellos menjelaskan bahwa iblis paling kuat akan menyerang pikiran dan akal manusia untuk memanipulasi khayalan mereka dan menghasilkan ilusi yang tampak benar-benar nyata. Sementara itu, iblis paling lemah hanya bisa menggerutu atau bertindak secara insting, melulu mengikuti amarah manusia dan karena itu tidak panjang akal serta menjengkelkan.

Ada berapa jumlah iblis?

Berapa sebenarnya jumlah iblis yang ada? Jika hendak mengutip secara literal, berdasarkan kitab Wahyu, sepertiga dari seluruh malaikat akhirnya jatuh, terusir dari surga dan menjadi iblis. Berapa persisnya? Sejumlah demonolog mencoba menawarkan teori mereka dengan menggabungkan kutipan dari naskah Wahyu dan teks sihir yang banyak tersebar.

Johann Weyer,Seorang demonolog abad XVI, menghitung ada sebanyak 4.439.622 yang kemudian dikelompokkan kedalam 666 legion, dengan masing-masing legion beranggotakan 6.666 iblis, yang keseluruhnya diperintah oleh 66 mangkubumi, pangeran dan raja dari neraka.

Alphonso de Spina, seorang Uskup pada abad XV, menyebut bahwa ada sejumlah 133.316.666 iblis.

Tetapi kedua tawaran teori ini dan yang sejenisnya akan mengalami kendala ketika kita berbicara tentang prokreasi iblis, yakni kemampuan iblis untuk menghasilkan keturunan. Jika benar seperti kita baca pada kitab Kejadian bahwa iblis bisa mengawini manusia perempuan dan beranak-pinak, maka tidak mungkin jumlah iblis ini konstan (tetap).


Bagaimana memanggil (to summon) dan memerintah (to command) iblis?

Sampai pada bagian ini, baik kalau kita berhenti sebentar.

Mengingat apa yang dikatakan Albertus Magnus ketika berbicara tentang teologi. Kalau kita memparafrasekannya dalam demonologi, maka akan berbunyi:

A daemonibus docetur, de daemonibus docet, et ad daemones ducit

(Ilmu ini diajarkan oleh para iblis, mengajarkan tentang iblis, dan menuntun pembaca kepada iblis).

Mari kita renungkan sebentar. Sebelum kita melanjutkan tulisan ini. Supaya setelah sekuel dari tulisan ini terbit, maka niat, situasi, cara dan hasil yang ditimbulkan pada pembaca menjadi baik, indah, bermakna, serta berguna.

Sekian.


Terima kasih banyak atas Mr. Mythos. Videonya adalah bahan dasar yang diubahsuaikan menjadi tulisan ini.

Mambuat Tua ni Gondang Na Sampulu Lima [Gondang Bolon/Gondang Sabangunan]

1. Gondang Mulajadi Nabolon

Amang panggual pargossi, parmaungmaung ni namora, amang pandenami,

Di haroronami rombongan na sian parserahan tu huta Sibabiat on, baen ma jolo gondang ni Debata Mulajadi Nabolon. Na manjadihon ulu manjadi simanjujung, na manjadihon pinggol manjadi situmangi, na manjadihon mata manjadi sipanonggor, na manjadihon baba manjadi simakkudap. Manjadihon tangan na manjadi simarjalo, na manjadihon pat manjadi simanjojak.

Jojak ma amatta na manggokhon, songoni nang hami rombonganna.

Amang panggual pargossi,

Baen ma jolo gondang ni Debata Mulajadi Nabolon. Na manjadihon butibutian botobotoan di na ganupganup desa di liat portibi on, di dolokdolok dohot di toruanna, asa horas ganup akka pamaretta na manguluhon, horas saluhut pangisina ni huta on na niulohonna.

2. Gondang Batara Guru

Mauliate ma, amang panggual pargossi.

Nunga dibaen ho sude akka pangidoan nami. Amang pandenami panggual pargossi, raja ni na malo. Pande pe hami, uppande do ho; malo pe hami, ummalo do ho. Sude pangidoan nami nunga hot dibaen ho.

Nunga dibaen ho gondang ni Omputta Debata Mulajadi, baen ma jo gondang ni omputta si Tuan Batara Guru, Batara Guru doli, Batara Guru boru, Batara guru situtu, na marhelahon Banebulan, na marsimatuahon Banesori. Parsori so haliapan, parsori so habubuhan. Unang haliapan dongantubu nami na manggokhon tu ulaon on, dohot ganup gokkon unang habubuhan. Asi ma rohani Debata, holong ma rohani Tuhan. Dapot na jinalahan, jumpang na niluluan. Tubu anak marsangap, boru martua, na boi pangalualuan, asa boi mardalan dohot denggan muse ulaon sisongon on ganup taon, makkorhon ganup bulan.

Amang panggual pargossi, baen jo gondang ni omputta si Tuan Batara Guru.

3. Gondang Bane Bulan

Amang panggual pargossi,

Mauliate ma di ho, nunga dibaen ho gondang ni opputta si Tuan Batara Guru, baen ma jolo ba: gondang ni si Raja Bane Bulan, na matabung i bonana, na matabung di pussuna, gabe ma amana, gabe dohot boruna. Baen jolo gondang ni Bane Bulan.

4. Gondang Bane Sori

Mauliate ma, amang panggual pargossi.

Nunga dibaen ho gondang ni opputta Bane Bulan, baen ma jo sarune dua.  Marbane sori ma hamu, parsori so haliapan parsori so habubuhan, unang haliapan unang habubuhan. Asa asi rohani Debata, holong roha ni Tuhan. Jumpang na jinalahan, dapot na niluluan.

Baen jo Amang, marbane sori ho, dua baen sarune i.

5. Gondang Saniang Naga Laut

Mauliate ma amang panggual pargossi,

Nunga dibaen ho gondang na hupangido, gondang ni Batara Guru, Bane Bulan, Bane Sori. Nunga dibaen ho gondang ni Debata na Tolu.

Baen ma jolo ba sigalumbang laut, gondang ni opputta Boru Saniang Naga Laut, paraek sitiotio, partambak simonangmonang, sibaen sigabegabe, sibaen sihorashoras. Baen jo, Saniang Naga Laut-hon jo, dua baen sarune mi, Amang.

6. Gondang Namartua Pusuk Buhit

Mauliate ma hudok hami tu ho, amang panggual pargossi, ala nunga dibaen ho gondang ni Saniang Naga Laut. On pe, amang pande hami, huhatahon ma on jo, hu Sombaon pohonpohonon, sipagabe na niula:

Hutonggo hupio hupangalualui Sahala ni da Ompung na Martua Pusuk Buhit.

Tuan ni junjunganna, Raja ni junjunganna.

Ampu tuan bonabona, raja ni bonabona, bonabona ni da Ompung na Martua Pusuk Buhit.

Marsahata hamu, marsaoloan dohot guru sodompangon ni da Ompung na Martua Pusuk Buhit.

Parlandong di dilana, parpustaha di tolonanna, parlaklak sipitu dopa.

Datu bolon ni da Ompung na Martua Pusuk Buhit, Sibaso bolon ni da Ompung na Martua Pusuk Buhit. Sibaso bolon, sibaso panurirang, sibaso pangarittari. Rittari ma hami pangaratto na ro mulak mandulo hutanami Sibabiat on.

Asi ma roham, lambok ma pusum. Siborok di guluan, ro pe hami na manjalahi hangoluan.

On parsattabian pangelekelekan tu hamu. Parbue ni satti madingin satti matogu sipatindak panaili sipaulak hosa loja, napuran sitirtiron na malambok pusu. Elekelek apoapo hu hamu, mangido sigabegabe sihorahoras.

Hata ni sidupsidupon do dohononnami tu hami.

Sahat sahat ni solu, sahat tu bontean, sahat hami ro nuaeng tu huta Sibabiat on, sahat ma tu panggabean.

Andorhas tu andorhis, andor siporapora, torhas ma torhis hami dohot nasida gabe jala ikkon mamora, horas hamu dohot ompungta na martua Debata

Amang panggual pargossi, baen jolo gondang hasadaon ni ompungta namartua Dolok na Ginjang, tuan ni junjungganni, raja ni junjunganna, ompu tuan bonabona. Raja bonabona, bonabona ni da Ompung di Dolok na Ginjang dohot na humaliangna saluhut.

Hot jo baen.

7. Gondang Sori Matua

Mauliate ma amang panggual pargossi, nunga dibaen ho gondang na hupangido i.

Baen ma jolo gondang ni Omputta si Raja Sori matua, Raja Uti, na pitu hali santi, na so haloppoan.

Asa parputi so haliapan ibana, parputi so habubuhan. Unang haliapan, unang habubuhan.

Baen jolo gondang ni oppungta si Sori Matua.

8. Gondang Raja Hatorusan

Mauliate ma amang panggual pargossi, amang raja ni na malo. Sude pangidoanhi, nunga hot dibaen ho.

Mauliate ma, sai hu malona ma ho.

On pe amang panggual pargossi, baen ma jo gondang ni ompung Raja Hatorusan i,

Sipatorus boaboa, sipatorus alualu tu Omputta Debata Mulajadi na Bolon.

Asa dipatorus sude nasa akka pangidoan ni hami akka na marsiak bagi on.

Baen jo ba amang gondang ni Raja Hatorusan i.

9. Gondang Si Boru Deak Parujar

Mauliate ma, amang panggual pargossi. Nunga dibaen ho gondang ni Ompu Raja Hatorusan i.

Baen ma jo gondang ni si Boru Deak Parujar, dohot si Raja Parodap.

Na tuat sian banua ginjang, sian ginjang ni ginjangan, sian langit ni langitan.

Sian batu martanggatangga, batu martinggitinggi, sian hotang marsuksang, bittang na marjorbut.

Hu Sianjur mulamula, Sianjur mula tompa, parsarsaran ni na marlundu, parserahan ni akka jolma.

Baen jolo gondang ni si Boru Deak Parujar dohot si Raja Parodap.

10. Gondang Sianjur Mulamula

Mauliate ma amang panggual pargossi, nunga dibaen ho gondang ni Si Boru Deak Parujar dohot si Raja Parodap.

Baen ma jolo gondang ni tano Limbong mulana.

Mula ni odungodung mula ni hatahata.

Mula ni jolma tubu, mula ni jolma raja.

Paraek, parhutuan, parpassim sipitu mata.

Pardolok Pusuk Buhit, horbo pelepeleanna

Baen jolo gondang ni Sianjur Mulamula i.

11. Gondang Lae Lae na Ualu

Amang panggual pargossi,

Baen jolo gondang ni desa na ualu

bulan sampulu dua, ari sitolupulu, mamis na lima.

Baen jo lae lae ni desa na ualu i.

Dua jo baen hamu jo sarune i, amang.

12. Gondang Raja Sori Matua

Mauliate ma ba amang panggual pargossi, amang raja ni na malo. Si bulung ni bulu do inna si bulung ni hoppohoppo, amang panggual pargossi, amang raja ni pangomo. Malo pe au, ummalo do ho. Sude pangidoanhu, nunga hot dibaen ho. Dohot sipalu ogung, nunga diatur ho.

Baen ma jo amang, gondang ni na hupangido on.

Andorang so dibaen ho gondangna, on do dohononnami tu na manggokhon hami, asa sai songon pangidoannami:

Tano ni Ajibata inna tano ni parkiloan. Marhite asi dohot holong ni Debata, saut ma pangidoan.

Mangido do hami sian saluhut rombongan tu Debata Parasiroha,

asa songon

Binanga ni Sihombing, pokkahan ni Tarabunga. Simbur ma magodang pomparanmu, pempeng matua, mardakka ubanna, limutan tanggurungna. Leleng hamu mangolu, saur ma hamu matua. Sinur na pinahan, gabe na niula.

Tu sanggar ma apporik, tu lobang satua. Tubu anak na marsangap, boru na martua. Sukkup allangonna, nang so pola loja mangula.

Amang panggual pargonsi,

Baen jo gondang ni Raja i, gondang si Sori Matua. Asa gabe jala horas, na manggokhon dohot na ginokkonna.

Baen ma jo ba.

13. Gondang Sori Mahumat

Mauliate ma ba dohononnami rombongan tu ho, nunga sonang hami na manortor i. Alai on do dohononhu hu hamu, hot ma jo baen sahali nai jo ba, amang panggual pargossi.

Gondang ni Raja i, Tuan Sori Mahumat. Partagas takkara dua, parhatian habonaran, parninggala sibola tali. Hu ginjang so ro mukkat, hu toru so ro  teleng. Parjanji dang boi muba, parhata dang boi mose.

Baen jolo ba gondang ni Tuan Sori Mahumat.

14. Gondang Lae Lae

Amang panggual pargossi, amang raja ni na malo.

Asa manortor ma jolo hami rombongan na ro sian desa na ualu tu huta Sibabiat on. Songon hata ni umpasa do dohonon nami:

Gambir sian Dairi, napuran sian Angkola. I bibir daina, i tolonan tabona. Patindak panaili, paulakhon hosa loja. Boi do ubat ni sahit, boi hitehite ni dorma.

Asi ma roha ni Debata Mulajadi, holong ma roha ni Tuhan, dapot ma na tajalahi, jumpang na niluluan.

Asa napuran tanotano, rangging marsiranggongan, tung pe badannami padaodao dohot saluhut keluarga na so boi dope ro sian parserahan, alai tondinami ma  marsigomgoman.

Jadi baen ma jolo amang, si lae lae ni tondi, sigabegabe sihorashoras i.

Baen hamu jo dua sarune i ba, parsarune.

Hot jo baen amang ba, ima Lae Lae.

15. Gondang Hata So Pisik

Mauliate ma amang pargossi nami,

Aso hubaen jolo tortor nami sangombas nai, marlogu so pisik ma ho jolo ho.

 

Pinauneune sian Hata Mangido Gondang ni Gondang Batak Saurdot

 

 

Hutongos Do Surathu Tu Ho sian Kode Tuak

Surat tu Inang ni si Ucok

Inang ni Ucok, palambas rohami,
Anju ma au baoadi simagoon naung bagianmi.
Inang ni Ucok, nang pe masuk tuahon, bukka pittu i.
dang lupa au di rupami.

Inang ni Ucok, jaha jo surathon.
Di harotas hugurathon na di roha on.

Molo borngin pe au sahat dijabu.
Ala nahuingot dope pardijabu.

Dang tenggen do pe au inang.
Dang mabuk au hasian.
Dang mirdong dope au tondikku.
Nga sahit i di au anggi.

Songoni majo isi ni surathon hasian.
Dang boi godang husurat ai suhul do dison.
Tiang nijabu ni parlapoon pe dang tigor be.

Horas ma ahu naminum tuak.
Hipas maho na paimahon au.


(Disadur dari Pantun Hamonangan)

“Mati Yang Diulang” karya Femi Khirana

Malaikat Jubah Putih (MJP) bingung. Akhir-akhir ini banyak manusia yang mati bunuh diri. Ruang Rehabilitasi Akhirat yang dialokasikan untuk tempat manusia mati bunuh diri itu, sudah penuh sesak.

Seperti biasa MJP menginterogasi penyebab manusia mengambil jalan pintas sebelum manusia menghadap langsung kepada Yang Kuasa.

MJP : Apa alasan kalian bunuh diri?
Si Miskin : Gak bisa bayar hutang.
Si Patah : Patah hati.
Si Sakit : Cacat seumur hidup.
Si Bangkrut : Gak ada kerjaan dan usaha selalu bangkrut.
Si Kecil : (Manusia ini tercatat baru berusia 8 tahun) Gak naik kelas.

MJP menggelengkan kepala, ternyata alasan manusia bunuh diri dari zaman batu sampai sekarang selalu klise. Karena Ruang Rehabilitasi Akhirat makin sesak, beberapa manusia terpaksa dikembalikan ke dunia. Kesempatan hidup yang kedua ini diatur sedemikian rupa agar manusia tersebut tidak mati bunuh diri lagi.

Maka, 
Si miskin dijadikan konglomerat.
Si patah dijadikan berwajah rupawan.
Si sakit dijadikan atlet terkenal.
Si bangkrut dijadikan seorang pejabat.
Si kecil dijadikan murid pintar. Manusia pun bahagia ketika kembali ke dunia.

MJP lega dan berharap kelak mereka mati dengan cara wajar.


Hanya tiga bulan Ruang Rehabilitas Akhirat itu lengang. Bulan ke-4 kembali penuh sesak.

Lagi-lagi MJP harus menginterogasi dan terpaksa membuat program menduniakan manusia lagi. Dalam proses interograsi, MJP terkejut sangat, karena Si Miskin, Si Patah, Si Sakit, Si Bangkrut, dan Si Kecil ternyata mati bunuh diri lagi!

MJP sangat berang.

MJP : Kalian mati bunuh diri lagi!!! Kenapa???
Si Miskin: Harta saya habis gara-gara ditipu.
Si Patah: Saya dicerai karena sudah tidak laku jadi artis.
Si Sakit: Saya gagal meraih kejuaraan nasional.
Si Bangkrut: Saya divonis penjara karena dijebak koruptor.
Si Kecil: Saya pintar, tapi ndak bisa lanjutin sekolah.
MJP: (Pusing) Jadi kalau kalian hidup lagi, minta jadi apa??? 

Manusia pun saling memandang satu sama lain. Si Kecil pun didaulat jadi jurubicara,
“Kami tidak minta dijadikan apa-apa.. Kami hanya minta ada orang yang mau peduli dan memperhatikan kami ketika kami sudah tidak bisa berbuat apa-apa.”

MJP pun menghela nafas panjang dan sedih. Remedial terpaksa dibatalkan.
“Maaf, permintaan kalian terlalu sulit untuk direalisasikan hiks… hiks…”


Judul asli tulisan ini adalah "Remedial", sebagaimana ditulis Femi Khirana.

Tulisan ini dapat dikategorikan sebagai #flashfiction. Karakter tidak boleh lebih dari 1000. Berbeda dengan #fiksimini yang lebih ekstrem (hanya boleh mentok 140 karakter, mirip dengan Twitter dulu, yang mirip SMS jumlah karakternya). 

Ciri flashfiction atau fiksi mini: 1) langsung ke konflik, dan 2) ending twist

“Hidung Godfather” – Fiksi dengan Ending Psikologis oleh Femi Khirana (1)

Dia, bertubuh gempal, berkumis tipis.

Dia, yang sepuluh tahun lalu hanya seorang petugas keamanan di perumahan elit kawasan Pondok Indah. Dia yang semula hanya nebeng di rumah kampung mertua indah, lalu mencoba sewa rumah gubuk derita bawah jembatan tol yang akhirnya digusur. Namun seiring naiknya pamor sebagai satpam, ia dapat mengontrak rumah bedeng. Lalu tiga tahun terakhir ini sudah mampu ngontrak rumah sederhana di kawasan Kebayoran.

Dia, bertubuh gempal, berkumis tipis.

Orang memanggilnya sebagai Mas Wawan. Terlalu panjang bila dipanggil Kurniawan, nama aslinya. Nama itu pun baru mencuat di kawasan perumahan Pondok Indah setelah kemenangannya memukul maling di perumahan itu.

Ya, sejak itu dia mulai disegani.

Dulu? Boro-boro! Selalu senior-senior yang dapat jatah istirahat yang banyak. Tetua satpam selalu dapat seseran yang menggiurkan. Ia hanya sesekali dapat uang rokok bila ia sedang sendirian menjaga portal tatkala matahari baru akan menyembul.

Mas Wawan, yang dulu bertubuh gempal mulai terlihat sembulan perut di tubuhnya. Hanya kumis tipis saja yang tetap dipertahankannya. Karena dia tidak mampu menahan gatal seputar bibir dan khususnya hidung. Tetapi ada satu alasan lagi kenapa ia tidak membiarkan wajahnya sangar. Ia tetap membiarkan wajahnya klimis.

Ya, penyebabnya hanyalah karena hidung besarnya yang harus terlihat jelas! Itu hidung keberuntungan katanya.

Sebenarnya ia percaya tidak percaya dengan hidung keberuntungan. Tetapi karena orang-orang keturunan Cina yang tinggal di perumahan itu selalu memuji hidung besarnya, ia jadi percaya dan selalu mengembang-kempiskan tanpa sadar jika sedang senang hati.

Katanya, berkat hidung besarnya itu ia mampu menjadi orang yang disegani sesama satpam. Sejak dipercaya untuk ikut serta mendapat seseran dari warga, ia juga mulai ngobyek sana-sini. Bila ada warga perumahan yang sedang ada hajatan, ia pun terkena bagian uang tambahan. Bila ada warga yang minta tolong dipanggilkan taxi, ia pun dapat giliran untuk mencari. Bila ada penjaja makanan masuk ke perumahan, ia harus dapat jatah uang masuk.

Ia mulai percaya bila hidung yang diberi Tuhan itu mampu menolongnya memperbaiki nasibnya. Ia mulai yakin bila dulu sang maling yang digasaknya memang ditakdirkan untuk bertemu dengannya agar ia dikenal warga sebagai satpam yang mampu diandalkan! Sejak itu uang yang dapat dipajak dari warga mulai masuk ke kantong silih berganti, bahkan terkadang tumpang tindih.

Jadwalnya untuk membantu warga jadi padat karena orang lebih percaya padanya untuk mengantisipasi masalah keamanan warga Pondok Indah. Uang rokoknya yang dulu hanya receh sekarang sudah harus berbentuk puluhan ribu jika ingin meminta pertolongannya.

Berkat hidung pula, Satpam Wawan tidak sempat menyicipi jabatan koordinator satpam. Belum sempat ia mengiyakan untuk menjadi koordinator satpam, ia sudah didatangi seorang berpangkat tinggi di ranah militer. Itulah saat-saat terakhir ia tinggal di rumah kontrak kawasan Kebayoran. Sejak direkrut oleh seorang yang berasal dari kemiliteran yang tinggal di kawasan perumahan itu, ia mulai jarang terlihat.

Orang hanya menebak-nebak keberadaannya. Ia menjadi gosip di kalangan karyawan perumahan Pondok Indah. Ada yang pernah melihatnya di pasar Senen, tetapi ada juga yang pernah melihatnya di terminal Pulo Gadung. Tidak jelas. Kabarnya, ia sudah jadi kepala preman pasar dan terminal. Tetapi yang jelas gosip yang paling betul dari antara mereka adalah Mas Wawan sekarang sudah enak, sudah jadi orang kaya dan ditakuti.

Ya, aku mengiyakan jika gosip jadi orang kaya itu adalah benar.

Sejak Ayahku, yang dipanggil Mas Wawan itu bergabung dengan organisasi preman, kami sekarang tidak perlu ngontrak rumah. Sekarang rumah ini mau diisi barang apapun tidak akan penuh. Ayah juga tidak perlu pusing-pusing mencari angkutan untuk pindahan lagi. Semua sudah permanen. Barang baru masuk dan keluar. Masuk untuk dinikmati, keluar untuk dibagikan kepada anak buah Ayah jika sudah tidak dinikmati lagi.

“Ini semua berkat hidung Ayah, Jun,” kata ayah berkali-kali sampai aku muak mendengarnya.

“Dan kamu juga orang yang sangat beruntung! Lihat hidungmu! Mirip Ayah, makanya kamu tidak pernah susah,” lagi-lagi kata-kata itu selalu membuat jengah.

Berulang kali kupandang wajahku, rasanya ingin kucopot hidung itu agar Ayah tidak membangga-banggakan keberuntungannya terus. Ingin kulakukan operasi plastik agar Ayah tidak menganggap aku anak yang ingin mengikutinya jejaknya. Tetapi setelah kutanya-tanya harga operasi plastik ternyata mahal! Kalau aku minta uang sebanyak itu ke Ayah pasti curiga juga.

Entahlah, aku tidak pernah suka dianggap penerus keberuntungan Ayah. Bagaimanapun aku merasa usaha Ayah tidak halal. Aku merasa Ayah hanya mengandalkan keberuntungan terus tanpa kerja keras. Bahkan aku merasa sebal bila melihat banyak anak buah Ayah yang nunduk-nunduk di depannya.

Sepertinya Ayah adalah juragan kejam yang bakal mencopot bola mata orang bila melawannya. Ya, aku tidak mau sama dengannya! Aku juga lelaki! Aku punya sikap, dan aku merasa, aku tidak seperti itu! Aku, bukan ayah! Hidungku ini pun bukan nasib dari Ayah! Aku harus berjuang untuk nasibku sendiri. Tidak seperti Ayah yang kudengar disegani, ditakuti, dan juga kejam itu.

Maka, sengaja aku memilih untuk kuliah agak jauh dari rumah. Aku ingin kos sendirian. Sebenarnya aku ingin ke luar kota, tetapi lagi-lagi Ayah bilang,

“Jangan! Kamu boleh ngekos, tapi tidak boleh keluar dari Jakarta!”

“Ayah! Aku mau belajar mandiri!” protesku.

“Kau tidak usah belajar mandiri! Dari sifatmu, Ayah tahu kalau kamu bukan orang yang suka bikin orang susah! Gak ada alasan kuliah di luar kota buat mandiri!” begitu alibi Ayah yang lagi-lagi tak dapat kulawan. Aku sama ciutnya dengan anak buahnya yang biasa hanya nurut.

“Tapi, Ayah!” aku coba usaha lagi untuk meyakinkannya.

“Hei, Jun! Pilihan hanya dua, boleh kos dan kuliah di Jakarta. Atau kau keluar dari Jakarta tetapi kau sudah bukan anakku lagi!” kata Ayah semakin tegas.

Lagi-lagi, aku memilih untuk tidak menjadi durhaka.

“Tetapi aku mohon satu lagi, Ayah…”

“Apa?!”

“Aku tidak mau pakai mobil Ayah, aku mau bayar kos dengan uangku sendiri. Aku mau cari kerja,” pintaku.

“Itu terserah! Kamu lihat saja nanti, Jun! Di manapun kamu bekerja, pada akhirnya kamu akan kembali kepada keberuntunganmu sendiri. Kamu akan bernasib seperti Ayah, suka tidak suka,” dan lagi-lagi aku yang mendengarnya menjadi mual.


Sejak itu aku merasa bebas. Aku tidak perlu dibebani dengan pandangan hormat dari orang-orang yang tak kukenal jika mengendarai mobil. Aku tidak perlu memberitahu satpam di rumahku sendiri bila hendak jalan-jalan seputar perumahan saja! Aku menikmati kehidupan dan aktifitas kampus.

Aku aktif di senat mahasiswa sebagai bentuk partisipasiku bila ada acara-acara turun ke jalan untuk memberantas penindasan kepada orang miskin. Kuanggap semangat melindungi mereka yang tertindas ini dapat membuang sebagian dosa-dosa Ayahku yang kabarnya boss preman.

Keberpihakanku kepada mereka yang tertekan di jurang kemiskinan kuharap dapat menebus segala keberuntunganku yang ingin kubagikan kepada mereka. Ya, lama-lama kusadari tindakanku seakan-akan berlawanan dengan tindakan Ayah. Ya, biarlah Ayah menjadi penjahat kelas elit, tapi aku justru ingin membela orang-orang yang biasa dipalak Ayahku dan komplotannya.

Entahlah, makin lama aku turun ke jalan melihat kenyataan hidup, hatiku semakin pahit dan kesal dengan Ayah. Apakah Ayah tidak punya hati kepada pedagang pasar yang sudah susah payah jualan tapi harus diminta uang keamanan terus? Apakah Ayah tidak kasihan dengan supir angkot yang akhirnya berekses jadi tindakan kurang ajar karena selalu ditekan setoran dan rasa was-was dirazia polisi? Jadi bila dulu aku menikmati semua hasil perasan Ayah, kini aku ingin menghapusnya pelan-pelan dari darahku.

Aneh, padahal kata Ayah aku menuruni hidungnya. Darahnya mengalir dalam tubuhku. Tetapi kok aku sama sekali tidak seperti Ayah yang bisa keras dengan lingkungannya? Aku tidak pernah bisa mengajak Ayah untuk terbuka pikirannya agar mencari pekerjaan yang normal-normal saja. Mengapa Ayah memilih pekerjaan yang kejam dan membiarkan dirinya menjadi kejam?

Bila aku membahas pekerjaannya, Ayah selalu menganggap aku belum tahu apa-apa soal kerjaan. Dan untuk hal yang terakhir itu rasanya ada benarnya.

Setahun aku ngekos, hingga kini aku memang masih tidak mendapatkan pekerjaan! Sering kusamarkan bila Ayah menelepon ke ponselku,

“Gimana? Udah dapat kerjaan?”

“Lagi tunggu panggilan, sudah wawancara, Ayah,” jawabku. Padahal tak ada satu pun wawancara yang menjanjikan aku akan mendapatkan kerjaan.

“Oh ya? Semoga berhasil. Kalau habis uang, bilang saja,” ujar Ayah.

“Aku tidak apa-apa, Ayah. Aku hemat-hemat, uangku masih cukup,” jawabku.

“Ya sudah, bagus! Semoga sukses!”

Dan aku jadi masygul setelahnya. Kuhibur diriku sendiri,

“Ya, tak apalah! Sementara belum dapat kerjaan, berarti aku masih bisa aktif di senat dan turun ke jalan untuk bantu-bantu orang.”


Siang itu di Terminal Kampung Melayu …

Aku sudah bersiap-siap dengan teman-teman kampus yang ingin turun ke jalan. Tujuan demonstrasi kali ini adalah tuntutan agar pihak aparat keamanan resmi terminal dapat menumpas preman berkedok keamanan di terminal Kampung Melayu. Ya, sepertinya ini adalah hari di mana aku melawan Ayah. Mahasiswa yang bernama Junaedhi melawan preman keamanan yang identik dengan profesi ayahnya, Kurniawan.

Situasi mulai ramai dengan mahasiswa-mahasiswa berjaket kuning, biru, dan hijau. Aku pun sudah siap berkoar-koar untuk melawan segala bentuk premanisme terminal. Aku juga bersiap-siap bila dipanggil untuk membacakan beberapa kalimat tuntutan untuk keamanan resmi di terminal agar menumpas preman yang menindas supir-supir terminal.

Udara makin memanas, suasana di terminal pun makin panas. Pendemo yang jumlahnya tidak terlalu banyak mulai dihampiri oleh sekawanan orang berpakaian preman. Aku dan pendemo lain semakin memanas untuk memaki-maki kekejaman mereka. Pendemo lainnya semakin gemas melihat aparat keamanan resmi terminal hanya diam-diam di depan kantor mereka.

Tidak tanggapnya aparat keamanan membuat kami meringsek ke kantor mereka. Beberapa pendemo mulai membalik-balikan meja dan kursi kantor terminal karena merasa dilecehkan. Sebagian pendemo masih tetap berkoar-koar agar aparat keamanan dapat menumpas premanisme.

Anehnya, kami yang awalnya hanya berupaya agar supir-supir tidak tertindas oleh preman malah merasa dilawan oleh dua pihak. Ya, pihak aparat keamanan yang menganggap kami sok pintar. Dan juga jelas dari kelompok preman yang tidak suka kami ikut campur dalam usaha mereka memalak.

Kami mulai didesak oleh dua musuh besar sekaligus! Aparat keamanan yang tersinggung mulai mendorong-dorong sahabat-sahabat kami yang berusaha masuk kantor terminal. Para preman juga mulai melesak ke arah kami agar kami bubar secepatnya. Kami marah! Dan kami tidak terima! Kami yang bertindak atas nama kemanusiaan ternyata hanya dianggap sampah!

Melihat pendemo mulai melawan, aparat pun tak segan bermain tangan. Mahasiswa pun tak segan melawan dengan batu sekadarnya yang terambil di tangan. Preman-preman pasar mulai menarik-narik mahasiswa agar segera keluar dari area terminal. Ketiga pihak bergelut! Ketiga pihak di terminal kampung melayu ini berperang! Ribut! Adu mulut, adu jotos, adu lempar, dan adu dorong terjadi! Rusuh!

Dan aku?

Aku dengan cepat berusaha menyelamatkan diri untuk dapat melapor ke polisi. Secepat kilat aku mengelak semua bentuk jotosan. Untung sejak kecil Ayah membekali aku dengan ilmu bela diri, setidaknya untuk urusan tangkis menangkis pukulan lawan, aku sudah tak takut. Dengan sekelebat aku berlari cepat. Melihat aku yang dapat lolos tanpa luka berarti, ternyata menarik perhatian beberapa preman terminal. Mereka berusaha mengejarku. Ya, jelas aku jadi sasaran! Sedari demo tadi, sepertinya mulutku paling pedas, membuat telinga mereka terbakar jelas!

Nafasku memburu, jantungku bergemuruh.

“Aku harus cepat sampai ke jalan besar itu! Kalau tidak bisa gawat dikeroyok!” jerit batinku untuk menyemangati tenagaku yang sudah ngos-ngosan.

Preman-preman di belakangku tetap berteriak menyuruhku berhenti sementara aku berlari dan semakin melambat dan lambat dan benar-benar pelan karena kehabisan nafas. Jarak mereka semakin dekat, aku berusaha tetap lari walaupun sebenarnya sudah berjalan tertatih-tatih.

“Sudah nyaris sampai jalan besar! Ayooo!” aku menyemangati diriku lagi.

“Woiii!!! Berhenti kamu!!!” teriakan gerombolan itu makin dekat. Aku makin kalut.

Kali ini betulan aku merasa takut, tetapi nafasku sudah habis, langkahku makin pendek. Batu-batu besar dan tajam itu mulai sedikit-sedikit membentur-bentur tubuhku sehingga aku harus berusaha melindungi tubuhku dan berkelit.

“Gila! Aku mati konyol hanya karena melawan anak buah ayahku!!!” aku marah dalam hati.

Kemarahan itu membuat aku membalikkan tubuh. Aku tidak berlari menghindari mereka lagi, kali ini aku menghadapi wajah mereka. Aku tidak boleh mati!

Aku berjalan menghampiri mereka dengan suaraku yang menggertak,

“Ayo! Siapa berani! Aku, Junaedhi! Kalian berani melawan anak boss kalian, Kurniawan??!! Heh??! Ayo! Kalau berani, maju!”

Tantanganku membuat mereka agak ciut. Sekilas ada yang percaya, ada yang tidak percaya. Tetapi jika mereka melihat hidungku, mereka seharusnya percaya! Bukankah ini hidung cetakan Ayahku, persis!

“Bohong!” Wah, ada juga yang ngotot tidak percaya bila aku anak seorang preman besar.

“Kurang ajar kamu! Kamu gak bisa lihat mukaku ini persis boss kamu itu??!” aku masih menggertak. Ini jalan satu-satunya agar tidak mati konyol.

“Bohonggg! Bohonggg!!” kali ini beberapa orang mulai memekik, tetapi mereka masih tidak berani maju. Seakan-akan mereka masih mengidentifikasi hidung besarku ini. Sembari mereka dalam aksi terpaku melihat diriku yang nekat, tiba-tiba mobil yang kukenal persis itu menghampiriku. Nafasku kembali membara, tetapi kali ini aku merasa sedikit tenang.

“Juned! Masuk!!!” perintah Ayahku. Ya, Ayahku ternyata ada di sini.

“Ayah! Aku… pulang…,”

“Masuk!!!” kali ini Ayah membentak lebih kencang. Segerombolan preman yang tadi mengejarku pun ikut mendengar dan mulai beringsut menjauh dariku. Mereka akhirnya sadar bila aku memang anak boss besar, Kurniawan.
Dengan berat hati, aku masuk ke mobil Ayah. Dan kami hanya berdiam-diam diri di dalam mobil. Entahlah apakah ia membenci anaknya yang melawan kawanannya, karena aku sendiri juga bingung apakah aku benci dengan Ayah atau tidak.


Sore Itu di Perumahan Pondok Indah …

Ayah berhenti di taman perumahan Pondok Indah, tempat dulu ia pernah menjadi satpam. Kami tetap di mobil, dan ia tetap diam. Lalu, ayah mengajakku keluar dengan cara membuka central lock pintu mobil. Kami berdua menuju taman itu. Tiba-tiba… plakkk!!! Ayah menampar pipiku. Aku sangat terkejut. Dan mukaku memerah, mataku pun memerah! Aku tahu sekarang, bila aku benci ayahku! Sungguh benci!

“Aku tidak pernah memukulmu, tapi kali ini harus!” kata Ayah.

Aku yang masih terkejut hanya diam. Seperti biasa, aku selalu kalah dengan kharisma Ayah bila ia sudah melontarkan kata-kata. Tetapi Ayah tak kunjung menjelaskan alasan mengapa ia menamparku. Akhirnya aku yang menjadi spaneng sendiri dan mulai membuka mulut,

“Aku ingin belajar hidup dengan normal, Ayah! Aku ingin punya pekerjaan yang tidak menindas orang! Aku tidak mau hidup enak sementara orang tertekan! Itu sebabnya aku tidak suka melihat orang susah dijadikan sasaran ketidakadilan! Hatiku selalu melawan semua pekerjaan Ayah! Aku malu!” Kulihat mata Ayahku dengan sinar kebencian, tetapi herannya kali ini Ayah tak terlihat murka dengan aksiku.

“Jun, apa cita-citamu? Kau ingin jadi tokoh masyarakat yang membantu orang susah?” tanya Ayah sambil memandang rumput-rumput rapih di sekeliling.

“Ya, jika memang harus… Pokoknya aku tak mau senang di atas penderitaan orang,” jawabku.

“Kau memang persis Ayah. Bukan hanya hidung… tapi semua…”

“Halahhh… Ayah! Jangan bahas itu terus! Aku bosan! Jelas-jelas aku tidak mirip Ayah! Ayah dikenal orang sebagai boss preman! Sedangkan aku ingin dikenal sebagai orang yang berbelas kasihan! Itu beda!” protesku.

“Hah! Itulah kenapa aku menamparmu!” seru Ayah. Dan aku bingung.

“Kau bingung?! Aku menamparmu karena kau sendiri tidak mengenal sifat Ayah. Kalau kau tahu sifat Ayah, kau akan paham mengapa aku setuju waktu orang merekrut aku untuk merintis organisasi keamanan untuk pedagang pasar dan supir terminal.”

“Yang aku tahu, Ayah adalah berandalan! Ayah kejam!” kataku. Ayah lalu memandangku dengan tajam.

“Memangnya kamu pikir tokoh masyarakat yang ada di tivi-tivi itu bukan orang kejam, Jun??! Kamu mau seperti mereka?! Silakan!!! Kamu kuliah saja sampai tamat, jadi wakil rakyat sana!! Ayah mau lihat, apakah kamu masih bisa berbagi untuk orang-orang miskin atau malah menimbun uang dari orang miskin!” sergah Ayah.

“Aku berusaha agar tidak seperti itu!” protesku.

“Kamu berusaha untuk tidak seperti itu berarti kamu tidak cocok untuk bekerja di sana! Di meja-meja kantor yang kamu harapkan jadi tempat dudukmu itu sudah sarat dengan uang darah rakyat, Jun!! Kamu sekolah, masak kamu tidak tahu itu??! Kamu tidak mau pun, kamu sudah terlibat jadi penindas!”

Kali ini tampaknya Ayah setengah benar lagi. Aku kembali lagi terdiam.

“Kamu kira Ayahmu ini berhati batu? Ayah tetap berhati lembek melihat teman-teman Ayah yang bekerja susah payah, tetapi uangnya selalu harus membayar uang keamanan pasar dan terminal dengan pungli yang gila-gilaan! Kau kira Ayah tega melihat teman-teman Ayah yang supir bis, supir truk, supir angkot dipalak habis-habisan oleh rampok? Dan kau tahu siapa yang merampok mereka, Jun?”

Aku menggeleng-gelengkan kepala.

“Kamu bisa lihat tadi waktu demo. Siapa yang marah saat kamu demo? Merekalah yang perampok! Posisi mereka membuat mereka bisa berbuat seenaknya kepada pedagang pasar, supir angkot, supir truk, supir angkutan. Dan Ayah adalah teman-teman supir yang dapat menjaga mereka dari rampok itu. Uang yang disetor supir kepada kami tidak sebesar yang ditagih petugas keamanan resmi. Mereka cukup membayar setengahnya, dan sebagai imbalan, kami melindungi mereka dari rampok. Uang setoran mereka kami bayar ke aparat keamanan resmi yang kami buat tidak berkutik harus menerima uang dari kami. Mereka tahu, jika mereka menolak, Ayah dapat melapor kepada organisasi yang membayar Ayah untuk memecat mereka,” penjelasan itu membuat mulutku menganga.

“Memangnya Ayah kerja sama siapaaa??!” tanyaku bingung.

“Rahasia dong!!” kali ini Ayah seakan guyon denganku.

“Sudahlah! Kau tidak perlu tahu! Kau juga bukan bagian dari kami, dan selalu menolak kami. Jadi Ayah tidak bisa terbuka untuk itu,” kata Ayah yang suaranya mulai melunak.

“Arrhhh!!! Siapa?” desakku. Ayah memandangku ragu-ragu.

“Ah…! Kamu itu kalau sudah maunya!!! Ya anggaplah aku bekerja dengan orang yang ingin menghapus dosa karena sudah menyicipi uang darah rakyat! Menghapus dosa dengan berbagi kepada rakyat tanpa diketahui orang dengan membuat peraturan tidak baku yang justru melindungi rakyat! Sudah jangan tanya lagi!” jawab Ayah.

“Apa aku harus ikut organisasi Ayah supaya bisa membantu Ayah?” tanyaku. Kali ini profesi Ayah mulai membius rasa keadilanku.

“Hahaha… Jangannn! Bukannya kamu mau jadi tokoh masyarakat tadi???” pancing Ayah.

“Hmmm… Kalau bisa tidak terlibat dengan uang darah rakyat, mengapa harus? Lebih baik terlihat jahat tetapi kenyataannya baik,” aku mulai berfilosofi di depan Ayah.

“Halah!!! Kamu! Sudah! Jangan ngaco! Kamu tidak boleh jadi preman!” larang Ayah.

“Loh kenapa??!”

“Ayah jadi preman untuk membantu orang karena Ayah bukan anak kuliahan kayak kamu! Kalau Ayah sekolah, ya Ayah juga gak mau, Jun! Ah… kamu itu! Sudah Ayah sekolahkan, tetap saja bego seperti Ayah!” kali ini aku jadi malu.

“Jun…”

“Ya?”

“Ayah menunggu kamu sampai kamu bisa kuliah dan jadi orang pintar. Ayah mau kamu terus bisa besar dengan selamat, karena Ayah tahu banyak musuh Ayah juga mengincar kamu. Itu sebabnya Ayah melarang kamu kuliah di luar Jakarta. Semua agar Ayah dapat memantau kamu, dan tidak kehilangan kamu,”
“Hmmm… “ aku bergumam, sedikit terharu tetapi juga merasa dianggap anak kecil. Dan sepertinya Ayah mengerti jalan pikiranku,

“Memang kamu sudah besar, kamu pasti tidak mau dikuntit seperti anak kecil. Tetapi Ayah belum tenang sebelum menceritakan alasan ini. Sekarang kamu sudah tahu, dan mudah-mudahan kamu bisa menjaga diri. Sejak kecil Ayah minta kamu untuk belajar bela diri adalah untuk melindungi kamu sendiri. Ayah sudah tua, tidak bisa berbuat apa-apa,”

“Ah… Ayah masih muda! Dan aku masih bisa teruskan pekerjaan Ayah,” aku menawarkan diri.

“Lagi-lagi kamu!! Kamu itu jangan bodoh seperti Ayah kenapa??!” Ayah kesal.
Aku tergelak-gelak kali ini dan Ayah pun ikut tertawa geli sekarang melihat kegilaan anaknya yang justru ingin mengikuti jejaknya sebagai preman.

“Ayah sudah menabung lama, Jun! Sejak jadi satpam dulu. Nasib Ayah yang cuman sekolah SMP ini kalau tidak mulai dengan memberanikan diri menjadi satpam jagoan dan preman, mana bisa dapat uang? Kadang ada rasa takut, tetapi demi menyambung nyawa kalian, Ayah lawan. Dan menumpuk kekayaan begini sebenarnya buat kamu,” ujar Ayah di sela-sela meredanya tawa kami.

“Hah?” tanyaku bingung.

“Pakailah uang kita untuk cita-citamu menolong orang miskin. Kamu anak kuliahan, kamu lebih pintar dari Ayah. Kamu mau bikin usaha, silakan. Yang jelas kamu bisa bantu orang-orang yang tidak punya pekerjaan, jadi punya kerja. Kamu mau bikin yayasan, silakan. Kamu bisa bantu orang-orang susah, dan kalau uang mulai berkurang, bisa dibantu donatur. Ayah kenal kamu dengan baik, seperti kenal Ayah sendiri. Kita sama-sama tidak tega lihat orang susah,” jelas Ayah. Aku jadi terharu.

“Yang jelas, kamu tidak boleh bikin partai!” seru Ayah lagi dan membuat kami kembali tergelak-gelak.

“Ayah…”

“Ya?”

“Rasanya, memang aku orang yang beruntung,” kataku.

“Oh ya? Kamu sudah merasakan hal itu rupanya?” tanya Ayahku tak percaya.

“Hmmm, ya! Menjadi orang kaya yang tidak tega melihat orang susah. Akhirnya kita memberi terus tetapi kita selalu tidak pernah jadi miskin. Itu keberuntungan,” jelasku.

“Nahhh!!! Tamparanku ternyata berhasil membuka otakmu!” kata Ayah bangga.

“Bukaaannn Ayah!” protesku.

“Loh??? Lalu??? Kenapa kamu tiba-tiba bilang kamu beruntung?” tanya Ayah bingung.

Kutunjuk hidung besarku pada Ayah.

“Ahhh… ya ya…” Ayah pun menunjuk hidungnya dengan bangga.

Balada Sedikit Fals Seniman Milenial

Pippo tak perlu mengetuk dua kali untuk tahu bahwa Ramon, sang adik, sedang berada di kamar. Ramon duduk di meja belajarnya, matanya menatap kosong lembaran partitur musik penuh coretan disana-sini. “Tidak perlu mengurung diri begitu, Bro”, tepuk Pippo di pundak Ramon sembari menarik kursi dan segera sibuk dengan jari-jemarinya mengusap layar HP.

Ramon melirik sebentar ke arah Pippo. ‘Oh, nggak apa-apa, Bang”, ucap Ramon. “Ini sedang mencari inspirasi saja, kepalang tanggung nih”, tambahnya sembari menggaruk kepalanya yang tidak gatal. Andai saja si kakak memahami apa yang sebenarnya membuat Ramon gelisah.


Tak biasanya Ramon merasa seperti ini. Ia kehabisan kata-kata untuk menjelaskan kepada saudaranya itu perasaan macam apa yang dia miliki terhadap musik. Akankah ia berani terbuka mengakui kecengengannya bahwa ia baru saja menangis karena sebuah lagu?

Pasti sungguh tidak masuk akal bagi Pipo yang sibuk “tak tik tuk” membalas satu persatu pesan di group Whatsapp kantornya. Menangis karena ditinggal pacar mungkin masih ditolerir. Ini, karena lagu?


Pikiran Ramon menjelajah liar ke berbagai dimensi. Ada alam alter-realitas dimana dia merasa kedinginan. Uang hasil mengamen semalam di kafe kota kecil itu bahkan tak cukup untuk membuatnya berani menghadap ibu kos, memberitahu bahwa uang kos bulan ini kemungkinan akan terlambat lagi dibayarkannya.

Di alter-realitas II, Ramon tak kuat menahan haru tatkala menyaksikan kecewanya Didi Kempit, temannya sejak kuliah di sebuah insitut seni, diusir dari rumah setelah bertengkar habis-habisan dengan seisi rumah. Rupanya sudah sejak dulu orang tua Didi tidak pernah menyetujui pilihan karir anaknya itu. Mau hidup dari bermusik di zaman sekarang, bisa kasih makan apa anak-istrinya nanti.

Segera berkelibat pula alter-realitas III. Ramon dan Didi berpelukan setelah konser yang mereka rancang berbulan-bulan akhirnya selesai juga. Penonton tidak banyak memang, tiket tidak habis terjual. Tidak juga ada jurnalis yang meliput dan memberitakan mereka, tapi itu tak menyurutkan kepuasan batin mereka berdua.


Ramon terkesiap. Sadar, khayalnya melantur terlalu jauh. Disini ada kakak kandung sedang mencoba membuka pembicaraan, dan ia malah asyik bengong sendiri.

Ia memicingkan matanya melirik kakaknya yang masih asyik dengan gadgetnya itu. Sepertinya sang kakak sedang serius membahas masalah kerjaan dengan rekan-rekannya. Oh, biarlah.


Meski matanya masih menatap lembaran partitur itu, sejatinya Ramon sedang membayangkan Elnoy. Seingatnya Elnoy adalah gadis bersuara merdu, sekaligus satu-satunya cewek di kelasnya yang tidak suka dengan Taylor Swift. Mereka punya kemiripan, sebab Ramon juga tak sekalipun tergoda memutar lagu Justin Bieber.

Oh iya, Elnoy juga pintar menggambar. Beberapa lukisan potrait-nya bahkan sempat menghiasi lini masa Instagram Ramon. Terakhir, semua postingan itu bersih, berganti dengan foto Elnoy dengan senyum getir berpose sembari memegang ID karyawan magang di sebuah bank ternama.


Ramon adalah jiwa orang tua yang terperangkap di badan seorang bocah 21 tahun. Jiwanya berontak menyaksikan betapa banyak temannya yang berbakat, gelisah dan menderita batin hanya untuk memutuskan serius di karir bermusik mereka atau berdagang mengikuti anjuran orangtua mereka. Ia tahu betul, beberapa diantara mereka bahkan tidak mendapat kesempatan untuk menampilkan lagu yang sudah mereka tulis.

Seperti hantu, Didi dan Elnoy serasa nyata menatap Ramon saat ini. Ia bergidik. Semua seperti tiba-tiba terlihat gelap sebentar lalu sekejap berganti pula dengan terang menyilaukan.


Ah, kampret benar. Ramon sadar, musik telah membuatnya merasa gila, sekaligus bahagia. Itulah yang terjadi saat ini.

Ada untaian nada lagu terdengar jelas olehnya. Sementara Pipo sudah beranjak dari kamar itu, sepertinya hendak menyeduh kopi. Itu jelas banget loh, kok hanya dia yang mendengar, Pipo tidak?

Ramon pun tersenyum. Dia baru saja menyadari bahwa apa yang dirasakannya saat ini, itulah kebahagiaan. Musik membuatnya bahagia, bahkan menangis bahagia.

Ia bergeser dari tempat duduknya. Meraih HP yang sedari tadi di-charge di sudut kiri mejanya. Sejurus, ia membuka pula Instagram-nya.

Di story-nya tertulis:

Ketika kamu bahagia, kamu menikmati musik. Tetapi ketika kamu sedih, kamu memahami liriknya.


Mungkin. Besok. Ramon akan merampungkan komposisi lagunya yang tanggung itu.

Ina Na Hinohosan

Ponjot rohana jala tung marsigorgor rimas ni Ompu Maruli boru, pola songon na sosak marhosa dihilala ala ni hata na sangkababa i.

“Ai laos boha pe jago ni jolma, manang beha pe mora na jalan tung songon dia pe saringar ni goar na, tung so tataponna do saur matua molo ndang marurat jolma. Jolma siteanon do i molo di halak batak…!” talmis soara ni Ama ni Benni, huhut songon na di padirgak uluna jala di ombushon timus ni sigaretna.

Nang pe ndang apala digoari manang na tu ise hasahatan ni hata na i, alai sude do natorop i boi mandodo, tu Ompu Maruli do hata i. Ianggo Ompu Maruli doli, nungga tung mahap be di angka hata sisongoni. Alai anggo tu roha ni Ompu Maruli boru, tung mansai maniak. Ai saleleng ngoluna, tung soadong dope halak na barani manghatahon hata sisongoni di jolona.

Ala ni hata sangkababa i, naeng do nian pintor mangintas Ompu Maruli boru mulak sian jabu ni parboruon nasida on, alai sai diotapi ma langka na, unang pola diboto angka dongan sapunguan i na tarholi panghilalaanna. Nian, antar dilangkahon ibana do ruar sian jabu laho tu alaman laho marhosa ganjang, alai tong do sai ponjot dihilala.

Dung i, disuba ibana do dohot marnonang rap dohot angka ina na ro tu arisan saompu i, jala dohot do ibana mamarengkeli siparengkelon, alai tong do ndang lumbang panghilalaanna. Sahat ro di na mulak nasida sian jabu ni parboruon nasida i dung sidung ulaon arisan, sai solot dope na hansit di roha na.

“Songon na asing pardompahanmu Inang, na asing dope dibagasan roham?” manat Ompu Maruli doli manungkun parsonduk na i, dung di mobil nasida.

Dang maralus sungkun sungkun na alai tompu ma manetek ilu ni Ompu Maruli boru.

Tungki simajujungna. Marnida i, gabe hansit tong roha ni Ompu Maruli doli, ai tung so tarberengsa ilu ni nialap na i. Dipadorong ibana mamboan mobil i asa tumibu sahat di jabu, asa pintor dihaol jala dipamenak ibana roha ni soripada na i. Dung sahat nasida di alaman ni bagas nasida, pintor mangintas Ompu Maruli boru ruar sian mobil, dung i masuk ibana tu bilut podoman nasida jala dipapuas ma tangis na, dianggukhon angguk na.

Lambok, diapus Ompu Maruli doli abara ni parsonduk na i, dung i di haol momos. Ndang manjua Ompu Maruli boru, baliksa lam dipapuas tangis na di abingan ni simarubun na i.

“Nga sae be i inang, unang be sai lungun roham. Ai ise Ama ni Benni i, umbahen na pola bonsa roham ala ni hata ni i? Ai nda tung dao ho lobi martua marnimbangkon ibana? Ndang singkop didok roham silas ni roha di hita, alai nda tung gumodang na hurang di ibana? Na so diboto i do magona, jala late rohana mida hita!”

“Tung so hapingkiran ahu do, boasa ingkon marasing asing derajat ni jolma di adat batak!” runtus alus ni Ompu Maruli boru.

“Eeee…eeh… Ai adat Batak pe jolma do mambaen, ndang sai sude pita! Godang dope sipatureon di angka adat Batak, ndang gabe i patohan ni parngoluon di portibi on. Tung singkop pe parngoluon ni jolma hombar tu adat Batak, belum tentu gabe jolma na martua. Angka nauli nadenggan naung tajalo i ma ta bilangi, unang patangi tangi angka hata ni si eat roha. Ndang piga dabah borua manang ina na songon ho, boru na taruli asi nang pe ndang haru singkop diadopan ni jolma, tarlobi di adat Batak. Pola pajojoronhu angka pasupasu naung tajalo…?” mansai lambok hata ni Ompu Maruli doli, manorus tu ate ate ni Ompu Maruli boru.

Songon na sip satongkin Ompun Maruli boru, huhut marhosa ganjang. Dung i, dialusi songon soara na marhusip. “Angka aha ma i…?”

“Ba… hupajojor pe, alai unang be tangis ho, Inang. Molo tangis ho, gabe maniak ate-atengku, lobi sian maniak ni ate-atem!”

Dipahusor Ompu Maruli boru parpeakna jala dibereng dompak bohi ni sinonduk na, pardompahahan na tung mansai lambok. Mengkel suping ibana. “Bege hupajojor da…!”

Tung ise ma na songon ho inang,
Boru hasian, boru na hinohosan
Habunbunan ni holong dohot asi asi na lambok
Sian natoras batara jonggi dohot iboto na togap

Nda tung na martua ho tahe, Inang
Hariara na bolon do pangunsandeanmu
Angka boru na lambok do urat ni ate atem
Jala tano na napu do pansalonganmu

Ue, da Inang
Ida ma hatuaon naung niampum
Tiur songon mataniari binsar simalolong ni pahompum baoa
Lambok songon bulan tula pamereng ni pahompun boru
Jala si doli na jogi do gabe helam

O Inang, Inang na lagu
Tung adong dope hatuaon lumobi sian i?


Songon na nienet sian gurat-gurat ni ito Rose Lumbantoruan

Tokka ni Amani Togu

Dung adong saminggu mamboan bus Intra Medan – Jakarta, mulak ma bapak ni si Togu sian pardalananna. Tongon marsahit mata do ibana. Ra pagodanghu marisap dohot hona timus saleleng di dalan i. Gabe dang adong boan-boanna tu si Togu anakna i. Alani i, songon na murhing ma bohi ni si Togu.

Ditedekhon ma tanganna tu amongna i: “Among, dia ma jo hepengmu molo boti”, inna.  “Paima jo kedan da. Mambuat ubat dope inongmu. Asa diubati inongmu jo matakkon”, ninna among ni si Togu i.  Dung didok si Togu ma : “Na hansit do matam bapa?”  Dipinsang inongna ma tutu: “Togu! Tokka. Ndang dohonon ‘matam’ tu among.”

Naeng tangis ma si Togu ala dipinsang inongna. Marheneng ma iluna. Asing do memang si Togu on, nunga laho dolidoli alai iboan dope hingalanna i.  Marnida i, asi ma roha ni amongna. Gabe dilehon ma hepeng jajan tu si Togu i. Mekkel, ittor hatop ma antong lao si Togu tu lapo.

Alai sai simpan dope di pikkiranna hata “tokka” i.  “Lao au da among, lao au inong da”, ninna parmisi.  “Hatop ho mulak da. Ai na laho ro do ra tondongta, ai ro lampulampu tu jabunta on”, ninna inongna tu si Togu tu i.

“Olo inong!”, ninna huhut marlojong lao.

Di jolo ni lapo i dope, diida si Togu ma ro tulangna dohot nattulangna sian hutanasida.  “Lao tu dia ho bere ?”, ninna tulangna i manise. “Manuhor tu kode an, tulang”, ninna si Togu.   “Bah, molo boti beta ma rap. Hudongani hami pe ho”, inna tulangna i songon na palashon roha ni bere hasianna i.

Gabe didongani tulangna dohot nattulangna ima si Togu tu lapo i. Dibayar ma jajanan ni berena si Togu i. Las ma tutu roha ni si Togu.  “Mauliate tulang, mauliate nantulang, baenonku ma hepenghon tu celengan”, ninna. “Bagus bere, malo do ho hape”, ninna tulangna i.  Dung i disukkun nattulangna ima si Baluhap : “Di jabu do inongmu”?  “Di jabu nattulang, nunga ro amonghu”, ninna si Togu.  “Marhua eda inongmu di jabu ?”, ninna nattulangna i.

“Mangubati ‘Tokka’ ni bapakku”, ninna si Togu sian bulus ni rohana.

“Hahhhaaaahhhhhaaaahhhhhhhhhhh”, gabe margak ma mekkel parlapo dohot akka jolma na di lapo i.

Masiberengan ma tulang dohot nattulang ni si Togu huhut mekkel suping ala ni geokna dihilala.  “Ai so pola nian piga leleng amani Togu on marhuta sada, pittor posa do huroha sahit ni ‘Tokka’na i”, ninna Amani Polgut, na tarsar goarna di kode i ala holanna tenggen karejona tiap ari on.

Dung sahat di jabu, ditogihon nattulang ni si Togu ima edana umak ni si Togu tu dapur.  Dipaboa nattulang ni si Togu ma na masa na di lapo i.  “Akhhh, eda, geok hian eda, (huhut margak mekkel) nakkin, husukkun bere i, ‘Marhua eda inongmu di jabu’, nikku. Tung burju do dialusi si Togu bere i au. “Mangubati ‘Tokka’ ni amonghu do inong”, ninna bere i.”

“Hahhhaaahhhhaaaaahhhhhhhhhhhh”, margakargak ma mekkel na mareda i.

“Oeeee tahe, mangubati simalolong ni baom do au, nahupinsang do berem i pamatamatahon amang baom: Tokka, ndang dohonon mata tu bapa, simalolong do, nikku. Ba pittor lao ma beremi tu lapo.  “Eeee tahe, bulus ni roha ni berem i”, inna Nai Togu huhut padenggan parhundulna.

Dungi, marnonang ma nasida sahat tu botari, alai molo si Togu sai tong dope dang dapotsa boasa mekkel halak umbege ‘Tokka’ ni amongna i.


Tinambaan sian guratgurat ni Amanta Pandita Erwin Hutauruk

Rumang ni Na Marpolitik

Molo tabege hata “politik”, “parpolitik”, manang “politisi”, jumotjot do ra pittor tubu di rohatta be akka pakkataion suang songoni akka rumang ni hajolmaon na ganup ari mamakke taktik holan asa lam martamba nian na adong di sasahalak parpolitik i lam tu godangna. Jempek hata dohonon, godangan ma i na so denggan. Hape nian sasintongna ikkon mamboan tu hadengganon do politik on, ai hagiotna pe mamboan tu hadengganon tu ganup natorop do (salus publicum).

Alai, alani godang ni barita manang na masa binereng, olo do sipata niundukkon roha ma na situtu do politik on holan patuduhon hajagoon ni sasahalak mamakke hamaloon, hasangaon ni goar, suang songoni haadongonna, dang parduli mamboan hadengganon tu ganup natorop do manang na holan tu dirina sambing manang holan tu akka familina (on ma na mamboan akka parsoalan, songon na jotjot tabege, i ma korupsi, kolusi, nepotisme) be. Songon na boi rimangrimangatta marhite torsa na jempek on.

Au sahalak pangula-ula do di hita an. Markopi, sipata marpege, sipata marlasiak. I ma ulaonhu martaon-taon jala na hutorushon do i sian natuatuaku, jala nasida sian ompung sahat ma songon i tu na marsundut-sundut, sahat tu sahala nang sumangot ni akka ompu sinahinan. Alai sahali on, ikkon ma luluon dalan asa unang holan na margulu tano tutu gellenghu si Poltak, anakhu, si jujung baringinhon.

Alani i, hudok ma tu si Poltak.
“Ingkon boru na pinillit nami do alaponmu da”.
Alai, “Daong”, inna ibana.
Huuduti muse: “Ai boru ni tokke sawit an do na tinodo ni rohanami da. Sotung leas roham”.
“Molo boti, olo ma au disi”, inna si Poltak.
Dungi ro ma au martandang tu jabu ni amanta tokke sawit i.
“Martahi nian au asa pangolionnami ma si Poltak tu borum siakkangan i”.
Alai didok tokke sawit i, “Daong”.
Huuduti muse: “Ai si Poltak nuaeng nunga gabe Direktur di Kementerian”.
“Molo boti, nunga denggan i, taparade ma tutu pesta i”.
Dungi laho ma au tu jabu ni Menteri.
“Baen ma si Poltak gabe Direktur di Kementerian na niuluhonmu nuaeng, bo”.
Alai didok menteri i, “Daong”.
Huuduti muse: “Ai si Poltak nuaeng nunga gabe hela ni tokke sawit nampuna marribu-ribu hektar i”.
“Molo boti, nunga denggan i, annon tahatai ma muse akka parbagianan na boi sibuaton ta sian laemuna na mora i ate”.

Godangan, songon i ma na masa di na marpolitik on.

Ojo Kesusu

Di sada tingki adong ma sada rumatangga na imbaru. Tar I dope nasida pasauthon sangkap ni nasida na marrokkap marhite ulaon adat. Sae ma tutu pesta i. Marmulakan ma angka natorop. Dungi nasida nadua pe bongot ma tu bagasna.

Ia inanta on tibuhhonni halak Jawa, suang songoni dohot parsinuanna. Jempek dohonon, halak Jawa ma ibana. Ia na mangalap ibana, ima amanta on do na sian hita an, sian luat ni parsolusolu bolon. Ia dapotsa pe rongkap ni sidoli Batak on alana jumpang do nasida padua di tingki mangaratto ibana tu luat Jawa.

Pola do marhir hodok ni amanta on di tingki padua-dua nasida. Holan naeng marsaemara ma I utokutokna.

“Ikkon saut ma on malam pertamakku”, inna rohana. Dungi dipungka ma panghataion.

Baoa: Dek … pahatop saotik. Dang tartaon au be on

Boruboru: Sabar toh mas. Ojo kesusu. Alon-alon asal kelakon

Baoa: (Dang marna diattusi ibana aha nidokni halletna on. Boha hian do naeng parsaut ni halak on, au pe dang pola huboto)

Baoa: Bah … boha do ho? So manang aha dope nitiop, pittor ke susu do nimmu.

Boruboru: “?!?!?!?! (Markerrut pardompahanna ala tong dang tarantusanna. Pola hira na tarjolma)

(Ala so marna marsiantusan nasida, gabe bobonosan ma si baoa on. Dung I tor dipamate ma lampu. Dang binoto be aha na masa ala nunga golap.)


Sian Panurat: Ia impola ni turiturian sigeokgeok on, tarlumobi ma di hita angka na poso, asa tangkas taboto denggan angka hasomalan ni donganta, tarlumobi ma dongan na poso na marimbar huta manang hasomalan. Rupani, molo so binoto aha nidokni dongan, jumolo nisungkun. Unang heppot.