Teologi konon adalah ngomong (logos) tentang sang tuhan (teos). Sejak manusia merasakan ada Tuhan yang menakjubkan sekaligus menggetarkan mereka (fascinosumet tremendum) itu, sejak itu pula tak terhitung banyaknya omongan yang lalu diomongkan kembali, sebagian ditulis ulang, sebagian diulang-ulang saja oleh penulis yang berbeda. Entah dengan laklak ataupun papyrus Biblos, atau coretan di gua tua yang basah dan gelap bertemankan obor mengukir di batu yang keras. Terkumpul sepanjang sejarah peradaban manusia. Kemungkinan jumlah lembarnya lebih banyak dari total populasi jiwa yang pernah menghirup oksigen di jagat ini.
Demikianlah ia menjadi buku besar teologi. Di tangan para rabbi ia menjadi shibbolet bagi mereka yang pantas “duduk di bawah pohon ara” dan “mana yang akan dilempar ke dalam api yang menyala-nyala”. Para rahib dan arahat mencoba menjadikannya tuntutan bagi setiap pengikut yang konon ingin menemukan diri dalam pencerahan budhi (bodhi). Kitab itu juga diyakini bisa membimbing manusia menyadari kesatuan athman dan brahma. Belakangan ia dipeluk dan dijadikan bantal empuk yang nyaman sebagai bacaan sebelum tidur oleh para Kristen yang merasa diri mesti menjadi orang saleh. Tak kurang pula ia dijadikan tuntutan hidup bahkan sains oleh teman-teman Muslim yang merindukan turunnya hidayah pada setiap ibadah sholatnya.
Dan masih ada ribuan lagi golongan orang yang mencoba memposisikan diri terhadap Tuhan, si tremendum et fascinosum itu.
Kini tahun 2016 orang semakin kritis. Di zaman dimana pluralisme kini semakin diterima dan di-aku-i sebagai bagian dari gaya hidup, maka tidak mustahil bahwa seorang ateis, agnostik dan orang beragama bisa bercengkerama bersama. Entah itu ketika berbicara tentang sains, ngulik-ngulik remah-remah coretan tentang sejarah komunis yang kabur atau dikaburkan, atau bahkan tentang pantat biduan yang memang terlalu montok untuk tidak mendapat perhatian. Entah itu ketika menemukan diri sebagai bagian dari solidaritas besar dengan lilin di tangan dan memegang poster bertuliskan dukungan penuh cinta terhadap dik Yuyun, ataupun ketika saling beringas menunjukkan taringnya dalam debat dan dialog yang seakan tiada henti-hentinya selama ada secangkir kopi dan sekarung kuota internet.
Satu post scriptum disematkan pada setiap buku dan tulisan teologi yang mencoba menjelaskan siapa itu Tuhan dan apa karakteristiknya:
Teologi itu buatan manusia, gambaran tentang Tuhan yang sejatinya adalah cerminan atau proyeksi manusia atas diri dan masyarakatnya.
Saya tidak akan membahas tentang Yuyun, hukuman mati atau seumur hidup terhadap pelaku pemerkosaan atas Yuyun, KPAI, ataupun teori-teori tentang pemajuan-perlindungan-penegakan HAM yang setiap waktu siap untuk meramaikan lini masa setiap kali insiden ‘kecil’ di daerah terpencil yang mendekatkan setiap orang dengan Yuyun. Setiap tahun ada ribuan sarjana Hukum yang siap menjadi pengamat dan memberikan annotasi mereka terhadap kasus serupa, entah itu dalam dagelan pengacara-hakim-terdakwa, atau memang benar mengadili dan memberikan diri pada keadilan publik yang beradab.
Saya hanya tertegun saja ketika membaca kembali sebuah tulisan dari E. Nugroho. Belum pernah bertemu, tapi rasanya saya mesti berlari untuk bisa mencapai frekuensi yang sama dengan Pak Nugroho yang saya yakin jujur ketika menerangkan dirinya sebagai seorang “dokter pensiunan yang suka mengeritik tapi tidak berbuat apa-apa”. Berikut saduran dari saya.
Pakailah Sandal Kalau Ke Gereja
Tahun lalu saya membaca poster besar di gereja. Kalau tidak salah dari Seksi Lingkungan. Isinya: Pakailah sepatu kalau ke gereja. Jangan pakai sandal. Masak kamu tidak menghormati Tuhan. Gereja adalah rumah Tuhan. Begitu kira-kira. Ini bukan pertama kali saya mendengar kritik soal tata cara berbusana ini. Saya selalu menentang. Tidak pada tempatnya gereja, suatu institusi rohani (dulu saya berpendapat begitu), mengatur soal tata cara duniawi ini.
Lalu, terjadilah pembicaraan berikut:
+ : Masak kamu tidak menghargai rumah Tuhan, memakai sandal ke gereja.
– : Tuhan Yesus sendiri kemana2 selalu memakai sandal. Saya cuma meniru Yesus. Apakah dia tidak boleh masuk ke gereja ini ?
+ : Bedalah. Itu kan zaman dulu. Kalau sekarang, Yesus tentu memakai sepatu.
– : Kok tahu? Bagaimana bisa yakin bahwa Yesus akan menjelma sebagai orang Jakarta, dan bukan orang di hutan Mentawai yang tidak bersepatu dan hanya memakai cawat?
+ : Pokoknya anggap saja Yesus menjadi orang Jakarta.
– : Bagaimana kalau Yesus tidak punya uang untuk beli sepatu? Masih banyak orang Jakarta yang susah untuk beli sepatu, lho.
+ : Intinya begini. Kalau ke gereja, orang Kristen harus menyesuaikan diri dengan lingkungannya. Kalau kamu ke Jakarta, sesuaikan diri; pakailah pakaian Jakarta. Sesuaikan diri dengan mayoritas.
– : Kamu serius dengan pendapat itu?
+ : Tentu saja serius.
– : Kalau demikian, kalau kita diajak ke Papua yg umatnya masih pakai koteka, kita harus menyesuaikan diri dengan mereka ?
+ : Ah, ada2 saja. Mereka kan masih terbelakang.
– : Mungkin ada baiknya kita tidak menyombongkan diri?
+ : Pokoknya menurut saya, pakai sepatu itu pantas untuk Tuhan.
– : Pantas itu relatif. Santo Fransiskus Asisi membuang pakaian mewah dan sepatunya 800 tahun lalu, dan memakai pakaian rombeng dan sandal (mula-mula telanjang kaki). Juga waktu dia bertemu dengan paus. Gandhi juga membuang jas dan pakaian ala baratnya, memakai sehelai kain tenun India plus sandal. Presiden Vietnam, Ho Chi Min, hanya memakai sandal jepit ketika datang ke Istana Merdeka bertemu Soekarno. Mereka tidak dianggap menghina, malah dipuji-puji karena berani mewakili rakyat miskin.
+ : Susahlah, kalau berdebat begini. Yang jelas SAYA SUKA PAKAI SEPATU.
– : Tepat… Itulah jawabnya. “Saya suka”. Cuma mungkin kita perlu membiarkan orang lain dengan kesukaannya.
– : Ada tambahan: di Singapura (mungkin juga di tempat lain? ), banyak pria memakai sepatu, tapi bercelana pendek kalau ke gereja. Mana yang lebih pantas ya, bercelana pendek, atau memakai sandal?
Buat saya pribadi, semakin sedikit gereja mengurus tata cara duniawi, akan semakin sedikit kesalahan yg dilakukannya. Dan kalau kita ingin berpihak pada orang miskin seperti diminta Bapa Suci, akan lebih baik kalau kita menyesuaikan diri dengan mereka. Semoga ada kesesuaian pendapat di antara kita.
Lega rasanya menemukan tulisan dengan karakter yang bagi saya mestinya diminati, ditulis dan dibaca oleh semakin banyak orang Katolik, atau bahkan agnostik dan ateis sekalipun. Seperti menemukan oase di tengah gaharnya perang proxy dan hate speech baik yang tampil tegas maupun malu-malu, yang membuat orang jengah membaca koran atau menyebarkan berita sebab jerat hoax memang seperti lingkaran setan. (Hoax punya lingkaran yang bisa panjang, bisa pendek. Kerap bahkan si penebar hoax meyakini hoax yang dia tebarkan sendiri hanya karena si penutur kesekian kali menggayakan bahasanya secara berbeda dan meyakinkan. Tidak selalu jelas siapa korban dan siapa banditnya.)
Keju dan Nasi Aking
Menggambarkan seperti apa Tuhan itu ternyata tidak harus menimbulkan gaduh (yang kerap membuat orang beragama mendapat diskredit dari ateis maupun agnostik). Jika orang cukup berani menyebut bahwa BENAR cermin dari dirinya atau proyeksi masyarakat dan kelompoknya-lah yang membuatnya memahami Tuhan sebagai Maha Pemurah pemberi keju atau Maha Pemurah pencipta nasi aking. Kita tidak pernah akan benar-benar tahu apakah keju dan nasi aking itu memang diberikan oleh tuhan yang sama.
Karenanya, akan sangat fair jika masing-masing terbuka dengan kemungkinan bahwa tuhan yang mereka yakini dan percayai bisa saja saling tertukarkan, atau malah tidak ada.
Sama seperti diminta oleh Bapa Suci Paus, Rinpoche, presiden yang mulia, tukang bakso yang baik, ataupun sintua saleh di kampung saya, akan lebih baik kalau kita menyesuaikan diri dengan mereka. Dimulai dari mencoba memahami bagaimana Tuhan bisa sama-sama hadir lewat nasi aking dan keju, baik dengan lagu-lagu hillsong dan irama qasidah maupun dengan teriak keras teologi pembebasan dan asap senapan Che Guavara.
Aah is the ancient Egyptian god of the moon. His names translate into the Egyptian word of the moon. Alternative spellings of his name include Iah, Aa, Ah, Aos, Yah, Aah Tehuti or Aah Te-huti that may also mean “collar”, “defender” or “to embrace”. He is associated with other lunar deities including Thoth and Khonsu who may have eclipsed his popularity. He is sometimes believed to be the adult form of the child moon god Khonsu who eventually assimilated his functions. He is also believed to be the student of the god of wisdom, Thoth who likewise absorbed some of his functions. However, despite his waning following over the course of Egyptian history, Aah remains to be a fixture in Egyptian amulets and hieroglyphs.
He is often represented as a man with a tight fitting garment wearing a crown made of a sun disk with a crescent moon on top of it. Sometimes, he is seen wearing the Atef crown topped by moon resting on a full, long, tripartite wig. He may also be seen carrying a long staff.
His existence was further proven when he was mentioned in the Book of the Dead saying, “I am the moon-god Aah, the dweller among the gods”.
Aah is credited for having created the original Egyptian calendar. The said calendar is divided into 12 months with 30 days every month. In one of the myths, Nut, the sky and Geb, the earth were siblings, who were locked in what seemed like an eternal embrace. Their almost unbreakable bond irked their father, the sun god Ra, who abhorred their incestuous relationship. He cursed them that will never bear children on any day of the year when they continued their relationship despite his disapproval. Nut and Geb sought refuge in Thoth, the god of wisdom and knowledge. Thoth devised a plan to gamble with the creator of the calendar, Aah. The wager was that Aah would give Thoth five days of his moonlight if he won. Thoth won and the five days became the extra five days of the year. Nut was able to bear children on each day because it was not covered by the curse of Ra. She gave birth to Osiris, Isis, Set, Nephthys and Horus the elder on each day. These days were believed to be inserted in the month of July making all of them July babies.
Sebagai manusia yang selalu bertanya, dilengkapi dengan nalar yang selalu penasaran dan ingin bertanya terus-menerus, manusia didorong untuk selalu ingin mengetahui apa saja. Mengetahui berarti si A mengetahui sesuatu tentang si B atau si A sendiri (refleksi).
Satu fenomen paling umum yang bisa ditemui di hampir sepanjang peradaban bahkan hingga hari ini 12 Januari 2016 adalah klaim dari mayoritas manusia di planet bumi ini, yang mengatakan bahwa ada suatu entitas di luar diri manusia, yang lebih kuat (lebih baik, lebih berkuasa, dan serba “comparative” lainnya) dari manusia sendiri. Secara singkat mereka menyebutnya “Tuhan”.
Umum pula ditemui bahwa ketika kelompok itu belum banyak berbaur dengan manusia lain di luar kelompoknya, akan terpelihara suatu sistem kepercayaan, bisa dalam bentuk institusi religius berupa agama dan aliran kepercayaan (yang lalu menurunkan sejumlah aturan dan praksis hidup bersama, tentu berikut sanksi dan ganjarannya) ataupun “totem” yang dianggap bisa memberi sesuatu yang tidak bisa dipenuhi oleh manusia sendiri.
Guna mengkomunikasikan siapa sosok yang tremendum et fascinosum itu, sesuai konteks bahasa, zaman, dan situasi sosial-ekonomi-politisnya, mereka pun menamai sosok itu dengan sebutan tertentu.
Menjadi semakin kaya dan semakin membuka cakrawala ketika semakin banyak orang mengetahui bahwa nama (termasuk muatan pengertian yang dibawanya) dari si “Tuhan” itu ternyata ada banyak sekali.
Setidaknya tercatat ada 1000-an lebih.
Dan berhubung tak satupun nama ini pernah hadir dalam entitas langsung yang terdokumentasi dalam literatur sejarah yang bisa diverifikasi secara empiris, maka sulit membuktikan apakah semua nama ini merujuk pada satu entitas yang sama (hanya bahasanya yang berbeda) atau memang benar mewakili 1000-an lebih entitas sejumlah nama itu.
Maaf jika ini menyinggung perasaan religius dari para pembaca.
Sebagai orang yang kebanyakan membaca daripada menulis dan menghasilkan karya, saya dan kebanyakan teman-teman lain merasa cemas dan waswas. Bagaimana tidak, kini kompetisi dagang ternyata bukan hanya diramaikan oleh startup dan situs-situs e-commerce seperti BukaLapak, Blibli, Rakuten, Blanja, Tokopedia dan seabrek nama lainnya. Mencoba ingin memenuhi selera dan kebutuhan para penikmat belanja online, alternatif yang bagus terutama jika tidak ingin bermacet-macetan menuju ke toko atau supermarket konvensional. Bagus dan cukup membantu. Apalagi macam dan jenis barang yang diperdagangkan pun kian beragam.
Sayangnya, efek dari dunia digital yang menjadi ekosistem belanja online yang mestinya cukup melegakan hati ini mesti dikacaukan dengan banyaknya komoditas yang salah kamar. Selain Google Ads, Facebook for Business, ataupun Twitter Ads, kini setiap portal dan website semakin gencar berlomba mencari clickers dan unique visitors dengan menjajakan konten yang menurut mereka menarik. Mesti bukan fenomena baru, tapi tampaknya dunia digital ini semakin menjadi tempat yang subur bagi yang mau berjualan apapun. Tentu saja ada disclaimer yang siap menjadi punggawa terdepan jika suatu saat website atau portal yang bersangkutan dikeluhkan atau diadukan netizen karena berjualan tidak pada tempatnya.
Selain wacana politik khususnya #MKD, #Freeportgate, dan #SetyaNovanto, bukan rahasia lagi bahwa kini komoditas sureal pun semakin menjamur dalam bentuk eceran kotbah, kutipan dan cyberwar atas nama agama. Selain belanja alat cukur dan bak mobil, kini internet pun sudah menjajakan dua komoditas sureal terbaiknya, yakni komoditas politik dan komoditas agama.
Setidaknya ini yang dialami oleh teman saya yang khawatir karena tidak menjumpai informasi yang penting dan sehat dari hampir semua media massa di Indonesia.
Kegeramannya diungkapkannya dalam salah satu postingan di media sosialnya sebagai berikut …
Sambil menunggu musim jualan “haram ucapan natal” di akhir tahun, sementara waktu jualan “sesatnya Syiah”. Pebruari nanti bisa jualan haram “Valentine’s Day” dan “Gong Xi Fa Cai”.
Barangkali yang terakhir ini punya market baru. Pedagang yang baik itu mampu menjual sesuatu yang sulit laku. Kalau setiap bulan ada yang diharamkan, lumayan bisa masuk media. Ceramah laris.
Kepada pemilik media sebisa mungkin berpikir ulang mendudukkan isu tersebut sebagai berita publik karena ini bagian dari perdagangan. Tetap dimuat tapi sebaiknya masuk kolom iklan. Lagian pengusung isu-isu anti Syiah anti Ahmadiyah itu punya anggaran dari sponsor.
Nanti di bagian kolom iklan itu bersanding antara iklan “Anti Loyo” bersanding dengan Anti Syiah. Iklan “Mujarab Basmi Tikus” bersanding dengan iklan “Mujarobat Pembasmi Ahmadiyah”. Atau iklan pelet menaklukkan Neng Sunni agar berjodoh dengan Kang Abi (Wahabi)…..hihi……
Situasi berita kok samangkingburemmmmm huhu …
Ini hanya satu contoh.
Masih banyak contoh lain. Di komunitas lain, dengan cap agama yang lain, atau komunitas lain yang tak henti-hentinya mempertontonkan akutnya inferioritas diri mereka. Sebab, bukankah mencari popularitas dengan menjelek-jelekkan komunitas lain adalah sifat dari pengemis di dunia digital yang haus dan lapar dengan perhatian, clicks, comments dan response dari pembaca? (Syukur-syukur setelahnya donasi mengalir ke salah satu rekening yang dicantumkan).
“Ya udah sih, kalau nggak suka, ya tinggal di-close saja, cari channel atau sumber lain”, begitu mungkin respon dari netizen yang super sabar dan terus mencoba bersikap arif. Bisa saja. Tapi jika hampir semua website dan media massa begitu, bukankah ini cerminan dari selera masyarakat kita juga? Kita akan dipasok dengan komoditas salah kamar sejenis hari demi hari, kemungkinan jumlahnya akan semakin banyak, lalu di-blast membabi buta (syukur-syukur bukan copy paste sesama rekan kuli tinta di lapangan). Kenapa? Karena rating tidak melihat isinya. Lalu lintas informasi tidak perduli apakah si pembaca senang dan puas karena memperoleh informasi baru atau malah makin cenat-cenut karena setiap media massa hanya menjual “barang-barang yang salah kamar” tersebut.
Moga-moga saja forum opini pubik seperti Kompasiana, Forum Detik, Kaskus atau forum lainnya tetap sehat dengan menjadi platform sharing opini dan ulasan yang membangun dan mengkiritik, bukan kebablasan lalu malah menjual “komoditas salah kamar” seperti yang barusan disebutkan.
Baru saja saya buka Facebook dan menemukan bahwa ternyata saya sudah di-unfriend oleh seorang teman. Inisialnya EM. Sedikit history pertemanan kami: Saya yang terlebih dahulu mengajukan pertemanan dengan beliau dan diterima. Melihat bahwa profesi sebagai pemuka jemaat di sebuah denominasi pengikut Yesus di bilangan daerah Depok yang dia jalani, rasanya bisa jadi alasan untuk mengkonsumsi isi postingannya di timeline saya. Bagaimanapun, sebagai orang yang diikuti oleh banyak orang karena nasihat rohaninya, kemungkinan besar banyak nutrisi moralitas (atau … iman, mungkin?) yang bisa saya dapat dari tulisan-tulisannya.
Naasnya, begitulah kejadiannya. Beliau mem-posting suatu kejadian yang santer baru-baru ini dan mengundang simpati dan empati mendalam dari berbagai belahan dunia, yakni tragedi kemanusiaan yang dilakukan oleh sekelompok teroris di Perancis. Tapi, alih-alih ikut memberikan ungkapan simpati, doa-doa, penguatan atau solusi psikologis dan nasihat rohani bagi para follower dan temannya yang merasakan duka yang sama, malahan dia mencoba menyalahkan korban dengan dasar yang tidak relevan. Saya lalu komentari, tapi kemudian komentar saya dihapus, dan saya pun di un-friend dari friendlist-nya.
Mungkin memang begitulah hakikat pertemanan di Facebook, apalagi jika belum pernah bertemu muka. Padahal saya mengandalkan kesamaan kami sebagai penyandang marga yang sama dari sebuah sub-etnis Batak. Tapi ya memang sosilitas di Facebook memang sangat rentan dinodai oleh ego dan beberapa asumsi yang sebenarnya perlu direvisi kembali.
Sebenarnya, apa pentingnya buat saya?
Penting dan tidak penting.
Jika itu hanya menyangkut pribadi, jabatan atau expose lainnya tentang hal-ikhwal pribadinya lalu saya tiba-tiba masuk nyerocos dan mengotori komentar-komentar terdahulu yang tampaknya senang membebek dengan apa yang dia katakan, saya maklum. Namanya juga postingan di halamannya ialah propertinya (jangan lupa … properti Facebook juga). Wajar kalau dia bisa saja meng-hapus komentar, like, reply atau membatasi notifikasi apapun yang tidak diinginkannya.
Tetapi, ini berbeda.
Ini menyangkut tragedi kemanusiaan global, dan dia malah menyalahkan korban tragedi. Iya, tentang tragedi penembakan massal di Bataclan, Paris, beberapa waktu yang lalu.
Thread ini kemudian saya tinggalkan karena kemudian nge-lunjak dan hanya menjadi ajang pembodohan (atau hanya sekedar mencoba akrab dengan mengiyakan semua yang dikatakan si pemimpin agama seolah-olah setiap ucapannya ialah sabda penuh vitamin ).
Semestinya mereka tahu bahwa ini akan kedengaran sangat menyedihkan, apalagi jika sampai diketahui oleh para keluarga korban.
Sontak saya tidak setuju dan mencoba (baginya saya hanya sok akrab … mungkin) memberikan argumentasi yang barangkali baginya hanya berupa dissenting opinion tanpa ada niat baik. Padahal, saya hanya memberikan komentar realistis saja. Tanpa endorsement dari pihak manapun, termasuk tidak dari orang yang mungkin menjadi rivalnya untuk tujuan meng-counter pendapatnya dan menjatuhkan namanya. Lagipula, sekali lagi, saya tidak kenal dengan beliau dan beliau juga tidak kenal dengan saya. Maka, jika saya memberi komentar tanpa niat baik, berarti saya hanya sedang buang-buang waktu saja.
“Atau, jangan-jangan saya memang hanya buang-buang waktu?”
Pertanyaan ini kemudian memenuhi benak saya beberapa saat lamanya.
Benar. Saya introspeksi diri. Belum tentu apa yang saya katakan benar.
Jika pun benar, belum tentu menyenangkan baginya, apalagi jika komentar itu terdengar seperti teguran padanya di tengah-tengah keramaian. (Mungkin lebih baik jika sebelumnya pendapat itu saya sampaikan lewat messaging dan bukan commenting … tapi, sekaligus saya merasa bahwa mereka yang membebek tadi pun adalah alamat dari komentar saya).
Ini postingannya …
Saat ini hampir seluruh media massa di dunia memberitakan kehebohan peristiwa teror ISIS di Paris Prancis, pada Jumat 13 November 2015 yang menewaskan sekitar 153 orang dan melukai 350 orang lainnya, Peristiwa teror ISIS tersebut dilakukan oleh hampir 20 orang teroris , dimana 8 orang diantaranya tewas dengan meledakkan diri mereka sendiri dengan bom setelah menembak mati ratusan orang dengan senjata AK 47. Peristiwa teror ISIS tersebut kini dikenal dengan nama ” Friday the 13th of November 2015 “. Istilah Friday the 13th sendiri adalah istilah yang sering dipakai di dunia sihir sebagai istilah yang menerangkan kejadian bahwa setiap tanggal 13 yang jatuh tepat pada hari jumat di suatu bulan tertentu, akan terjadi peristiwa yang menumbalkan manusia utk Iblis melalui peristiwa tertentu. Peristiwa teror ISIS di kota Paris 13 November 2015 itu sendiiri terjadi di sebuah gedung konser musik di kota Paris Prancis, dan terjadi saat penonton sedang menonton konser musik.
Namun yang tidak diceritakan dan tidak diungkapkan ke publik adalah konser musik apakah yang sedang berlangsung saat teroris ISIS itu membunuh para penonton konser tersebut
Konser yang diadakan di gedung tempat terjadinya pembunuhan teroris ISIS tersebut adalah KONSER DEATH METAL, dan Tepat sesaat atau beberapa menit sebelum para teroris ISIS menembakkan senjata AK47 nya kepada para penonton, para penonton konser tersebut sedang bersama sama dengan grup musik yang menyanyikannya yang bernama EAGLE OF DEATH ( ELANG KEMATIAN ). Dan lagu yang mereka nyanyikan bersama sama adalah lagu yang berjudul. ” KISS THE DEVIL” yang liriknya adalah sebagai berikut ;
“Siapa yang akan mencintai Iblis?
Siapa yang akan menyanyikan lagunya?
Siapa yang akan mencintai Iblis dan lagunya?
Aku akan mencintai Iblis
Aku akan menyanyikan lagunya
Aku akan mencintai Iblis dan lagunya
Siapa yang akan mencintai Iblis?
Siapa yang akan mencium lidahnya?
Siapa yang akan mencium Iblis di lidahnya?
Aku akan mencintai Iblis
Aku akan mencium lidahnya
Aku akan mencium Iblis di lidahnya “
Dan berdasarkan sebuah foto Para penonton tersebut menyanyikannya sambil mengangkat simbol simbol pemuja iblis seperti simbol 3 jari dan simbol illuminati
Dan tepat beberapa saat atau beberapa menit setelah mereka para penonton tersebut bernyanyi para teroris ISIS langsung menembak mati mereka dan langsung mengirim mereka bertemu dengan Iblis pujaan mereka, yang mereka puja puji dengan nyanyian mereka.
“Hidup dan mati dikuasai lidah, siapa suka menggemakannya, akan memakan buahnya” (Ams 18:21).
Saya mengernyitkan dahi. Wow! Apakah para pemimpin religius sudah kehilangan kreatifitas untuk menciptakan gimmick marketing lainnya? Seakut itukah?
Hey!
Siapa yang mau ditembaki dengan rentetan besi panas usai merayakan kemanusiaan dengan menonton konser musik dan bergembira-ria dengan teman-teman?
Bagaimana bisa seorang pemimpin religius secara tidak langsung mengajak para teman dan jemaat untuk menyalahkan korban, bukannya melihat masalah secara menyeluruh malah mengambil celah untuk memvalidasi bahwa apa yang dialami para korban adalah murni akibat dari keinginan mereka sendiri.
Komentar dari orang sekelilingnya pun akhirnya menjadi kedengaran menjijikkan.
Seorang komentator berinisial KR merespon:
Berarti kali ini ISIS berlaku benar ya ito?
SS menimpali: Segala sesuatunya mendatangkan kebaikan … Semoga org Prancis bisa lebih berkaca dr kejadian ini …
Kemudian empat orang lainnya: IU, LS, JM, JC pun men-share postingan dari orang yang si EM yang “semestinya lebih arif” tersebut.
Thread ini kemudian saya tinggalkan karena kemudian nge-lunjak dan hanya menjadi ajang pembodohan (atau hanya sekedar mencoba akrab dengan mengiyakan semua yang dikatakan si pemimpin agama seolah-olah setiap ucapannya ialah sabda penuh vitamin rohani).
Orang sederhana saja yang tidak pernah mengenyam pendidikan teologi pasti akan punya sedikit kebijaksanaan untuk menge-rem dan menahan diri memberi ulasan atas suatu tragedi kemanusiaan, terlebih pembunuhan massal yang mengerikan ini. Orang kecil akan merujuk pada filosofi sederhana dari Dalai Lama bahwa “Kalau tidak bisa membantu orang lain, setidaknya jangan menyakitinya”.
Dan komentar saya pun, barangkali tidak akurat, adalah ekspresi keheranan saya atas keanehan ini. Keanehan saya atas repetisi tragedi kemanusiaan oleh ulah para teroris belum selesai, tapi si kawan ini malah menambah keherenan saya menjadi lebih lagi. Belum lagi komentar senada yang seolah meng-aminkan pendapat si kawan ini. Sehingga bahasa yang saya gunakan pun, mungkin mencerminkan ketidaksetujuan yang spontan dan tidak diplomatis.
Komentar saya yang sudah dihapus di utasan beliau kira-kira begini:
Komentar artistiknya cacat, bang E.M.
Saya tidak tahu apakah Abang pernah suka atau tidak dengan musik metal. Tapi menjadi aneh ketika ekspresi seni ditanggapi seperti itu. Musik adalah ekspresi seni, ungkapan dan perayaan atas kemanusiaan. Pun dengan lirik lagu Kiss of Devil (Ciuman Setan) yang dinyanyikan oleh Eagle of Death.
Menyanyikan lirik Kiss of Devil tidak serta merta menjadi affirmasi bahwa yang menyanyikannya memang ingin mati atau menjemput maut.
Kita ambil contoh yang dekat-dekat saja.
Lirik Lonteku oleh Iwan Fals, misalnya. Orang yang mengetahui pesan perjuangan yang ingin disampaikan oleh Iwan Fals lewat lirik lagunya tahu bahwa mereka tidak sedang membicarakan bisnis lendir atau urusan syahwat.
Pun, kita mesti belajar dari konteks dan appetite satir a la Perancis.
Men-judge tanpa mengerti latar belakang kultur setempat bahkan menyalahkan korban will be unfair, even annoying.
N.B. Oh iya. Pembaca barangkali akan berkomentar dalam hati: “Ini khan masalah pribadi. Sebaiknya dikomunikasikan berdua saja. Tidak perlu dengan menulis halaman dan paragraf panjang-panjang begini”. Komentar saya: Benar. Tapi tetap sangat perlu dishare supaya semakin banyak kita sadar bahwa paradigma sempit yang kita gunakan, begitu menjadi viral, akan segera terendus dan menunjukkan niat tidak baik kita yang sebenarnya.
Saya hanya berharap: Semoga beliau tidak sedang jualan agama!!!