Kamu masih menyimpan niat untuk berkunjung ke Raja Ampat. Atau ingin membuka usaha sendiri. Atau berkunjung ke Paris, supaya kamu juga bisa selfie membelakangi menara Eiffel yang ikonik itu dengan kekasihmu. Atau menjadi backpacker dan mengelilingi Indonesia dari Aceh hingga Papua. Atau menjadi warga kosmopolitan yang bebas bepergian kemana saja. Atau bergabung dengan salah satu NGO di sebuah negara yang jauh. Atau ingin berhenti dari pekerjaanmu sekarang dan hendak menulis buku. Kamu selalu ingin menggapai semua mimpi itu. Bahkan, sekedar memikirkannya pun ada rasa senang membuncah di dadamu. Masih, hingga sekarang.
Tapi lalu kamu menyalahkan lingkunganmu karena kamu tidak bisa mencapai semua itu. Kamu mencari-cari kesulitan praktis yang bisa terjadi di lapangan. Kamu merasa bahwa sistem tidak pernah adil untukmu. Lalu, sembari mematut diri di depan cermin kamu berkata: INI bukan saat yang tepat. Lalu kamu menunggu. Nanti, kalau aku sudah berumur 35 tahun, kalau aku sudah resign dari kantor, setelah wirausaha yang kugeluti menghasilkan ratusan juta rupiah, setelah ini dan itu. Ada target jangka menengah, ada target jangka panjang. Beberapa sudah tercapai. Tapi kamu tidak kehabisan alasan untuk membela diri mengapa kamu tidak bisa menjalani semua mimpimu itu sekarang. Pokoknya, kamu punya seribu dalih.
Di benakmu, tergambar sekian paket detail yang lengkap dengan segala kerumitannya. Tentang akan seperti apa hidupmu nanti. Akan tinggal dan menetap dimana. Orang-orang seperti apa yang nanti berada di sekelilingmu. Prestasi apa saja yang akan kamu dapatkan. Pengembangan pribadimu. Situasi keuanganmu. Pacarmu yang baru. Masa depanmu yang cerah dan bahagia selamanya. Kamu memikirkan semuanya. Dan ini kamu lakukan setiap kali kamu melewatkan mimpimu yang tidak terwujud. Setiap kali kamu lalai melakukan apa yang perlu untuk mewujudkan mimpi itu.
Apakah kamu memang menginginkan akan selamanya bekerja selama 16 jam sehari? Atau masa depan dimana kamu bahkan mengepel lantai kantormu sendiri? Atau, sendiri di sebuah koskosan sempit, sibuk menulis dan merancang jam kerja untuk periode 5 tahun? Apakah kamu pernah kepikiran untuk keluar sebentar, menyepi ke sebuah desa yang sunyi untuk menyelesaikan sebuah masalah? Atau, apakah dalam mimpimu kamu juga sudah memiliki komitmen untuk hanya makan telor mata sapi dan nasi putih selama enam bulan supaya rencana trip ke Raja Ampat akhirnya kesampaian?
Mimpi memang penuh bunga-bunga. Makanya disebut mimpi. Atau, bisa jadi itu mimpi buruk. Mimpi yang kita pelihara tidak bertanggungjawab apapun ke kita, selain untuk menginspirasi kita. Untuk membakar semangat kita sehingga kita mau berjam-jam melakukan sesuatu yang kita benci. Hal-hal yang harus kita lakukan. Tidak ada pilihan lain. Jalan yang berbatu dan penuh duri. Tidak ada karpet lembut sehalus beludru disana. Bermimpi itu enteng, tapi jalan ke sana penuh rintangan.
Lalu kamu memotivasi diri sendiri untuk jatuh cinta dengan proses yang kamu alami sekarang. Dengan kebosanan. Dengan rasa sakit dan monotonnya rutinitas harian. Kamu takut untuk melangkah keluar dari tempat kerjaanmu yang nyaman dengan kursi empuk dan kolega yang santai diajak bersenda-gurau. Kamu benar. Mengejar mimpi memang bukan untuk semua orang.
Itu selalu yang kamu pikirkan. Apakah sebaiknya aku mulai mengejar mimpiku?Pikiranmu sendiri yang menjawabnya. Atau malah mempertanyakannya balik. Mengapa? Mengapa harus sekarang? Memangnya apa yang akan terjadi denganku kalau aku sudah pergi ke Raja Ampat? Benarkah yang kudambakan itu setimpal dengan harga yang harus kubayar? Benarkah akan membuatku bahagia? Layakkah mimpi ini kukejar? Lalu, bagaimana nanti dengan teman-teman, keluarga, dan pacarku? Bagaimana nanti dengan dana yang sudah kutabung sekian lama itu? Apa kata orang nanti?
Lalu kamu perlahan memahami bahwa apapun yang terjadi dengan mimpimu, semuanya tergantung padamu. Kemalasanmu. Ketakutanmu. Kemudian kamu akhirnya menyerah. Mau apapun ceritanya – aku memang malas atau tidak mampu mengatasi segala ketakutan dan keraguanku, memang sudah itu mungkin takdirku.
Kamu pun stuck, jalan di tempat. Dalam karir. Dalam relationship. Dalam hal keuangan. Kamu tidak maju, tidak juga mundur. Kamu tahu bahwa suatu saat nanti kamu harus mundur sedikit untuk kemudian membuat lompatan besar. Nggak mungkin akan selamanya begini kan?
Kemudian kamu mulai mengambil langkah pertama. Lakukan cek ombak. Kamu mulai pencet smarphone, booking trip ke Raja Ampat yang sudah lama kamu idamkan itu. Lalu kamu berfikir bahwa nanti kamu akan merancangnya lebih jauh. Pokoknya satu-satu dulu. Kemudian kamu mulai berani bertemu dengan orang-orang, para pengusaha, investor atau entrepreneur muda yang mungkin tertarik untuk bergabung denganmu mendirikan sebuah bisnis. Lalu kamu rajin bertukar kartu nama. Jariganmu kamu perluas.
Tetapi, kamu kemudian stuck lagi. Kamu sudah di pintu gerbang menuju mimpimu, dan sadar bahwa sudah berada disana untuk waktu yang cukup lama. Kamu lalu frustrasi, putus asa. Kamu ingin menjangkau lebih dan melompat lebih tinggi, tapi sekeras apapun kamu berusaha, tidak bisa. Pokoknya, tidak bisa melanjutkan ke langkah berikutnya.
Kemudian kamu melihat mimpimu dari kejauhan. Angan yang dulu terlihat sangat jelas di depanmu, kini seolah kabur, pergi meninggalkanmu. Akhir dari perjalanan ini tampaknya tak seindah yang pernah kamu pikirkan ketika pertama kali bermimpi.
Akhirnya, kamu berhenti mencari. Kamu berhenti bermimpi. Kamu melakukan apa saja yang bisa dilakukan, pokoknya menyelesaikan apapun yang sekarang sedang kamu lakukan. Tujuannya: naik ke level berikutnya. Itulah perjuangan. Survival. Atau entah sebutan apapun yang kamu sematkan. Kamu menuntaskan apapun yang bisa kamu tuntaskan, mengerjakan apa yang bisa kamu kerjakan. Kamu tidak lagi mengejar mimpi. Sekarang, kamu sekedar menjalani hidupmu saja. Tidak lagi melihat ke masa lalu, tapi hari ini. Apapun yang kamu lakukan saat itu, bisa jadi itulah sauh yang akan kamu gunakan berlabuh. Bisa jadi itulah lompatan yang kamu inginkan. Itulah tali yang kamu pegang sehingga kamu bisa melangkah ke tahap berikutnya tanpa harus tergelincir ke bawah lagi.
Setiap pembaca tulisanmu penting. Setiap pendengar lagumu penting. Setiap pengikut di Instagram, Twitter, dan Facebook, itu penting. Setiap orang yang datang mengunjungi bisnismu penting. Setiap orang yang memberi ulasan atas apapun karya yang kau buat, itu penting. Terima, simpan, dan jagalah semua itu. Dan konsisten melakukannya sepanjang waktu. Kamu mencoba dan belajar dari setiap orang, dari apapun. Tidak ada yang remeh, tidak ada yang paling berbobot. Kini mimpimu bukan mimpi lagi.
Mimpimu kini sudah menjadi kenyataan.
Selamat ya.
One thought on “Gimana, Mimpimu Sudah Terwujud?”