Seniman yang Apes dalam Sejarah
Hampir semua anak sekolah pasti mengenal lagu Garuda Pancasila. Lagu bertempo mars itu juga tak pernah absen dari daftar lagu pada buku lagu wajib nasional. Namun, penciptanya, Sudharnoto, justru hampir dilupakan. Padahal, sepak terjangnya cukup panjang dalam sejarah musik dan kebudayaan Indonesia.
Lagu “Garuda Pancasila”, seperti disebut dalam buku Apa dan Siapa Sejumlah Orang Indonesia 1981-1982 (1981:732) digubah pada tahun 1956. “Dialah penggubah lagu ‘Mars Pancasila’ bersama Prahar, atau yang umum mengenal [lagu itu] sebagai ‘Garuda Pancasila’ (1956),” tulis Hersri Setiawan dalam Kamus Gestok (2003:274).
Dengan demikian, Sultan Hamid II, perancang lambang negara Republik Indonesia Garuda Pancasila bukan satu-satunya tokoh yang apes dalam sejarah Indonesia. Tokoh lain, yang juga terkait Garuda Pancasila, adalah Sudharnoto, sang pencipta lagu “Garuda Pancasila”. Dulu, ada masa lagu ini diperdengarkan di TVRI. Lagu wajib nasional ini termasuk lagu yang bagi banyak pihak di Indonesia, pantang untuk dipelesetkan.
Sudharnoto lahir di Kendal, Jawa Tengah, pada 24 Oktober 1925. Meski lulusan Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, ia justru berkarier di dunia musik. Pasalnya, ibunya pandai main akordeon sedangkan ayahnya gemar main gitar, seruling, dan biola meskipun juga seorang dokter pribadi Mangku Negara VII di Surakarta.
Ia adalah pencipta lagu wajib nasional yang kurang dikenal. Penata musik film terbaik yang dipenjara rezim Orde Baru. Selain Garuda Pancasila beberapa lagu Sudharnoto yang populer pada masanya antara lain Madju Sukarelawan, Asia Afrika Bersatu, dan Bangkit Wartawan AA.
Setelah Orde Baru tumbang, musisi Harry Roesli, cucu Marah Roesli sang penulis roman Siti Nurbaya, pernah akan diperkarakan karena mempelesetkan lagu itu. Padahal, bisa jadi apa yang dilakukan Harry adalah bentuk kritik terhadap pelaksanaan Pancasila di Indonesia yang jauh dari ideal. Pemerkaraan Harry itu, tentu merupakan bukti “Garuda Pancasila” ini bukan lagu main-main.
Lekra berkaitan erat dengan Partai Komunis Indonesia (PKI). Soal siapa Sudharnoto, tentu tidak diceritakan dalam buku pelajaran sejarah atau seni di sekolah. Semua tahu Orde Baru anti PKI.
Diakui atau tidak, Sudharnoto pernah menjadi anggota pimpinan pusat dari Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra). Menurut Subagio Sastrowardoyo, yang berseberangan dengan PKI dan Lekra, dalam Bakat Alam dan Intelektualisme (1983:70) Sudharnoto adalah tokoh musik di Lekra bersama Amir Pasaribu yang menggubah lagu “Andhika Bhayangkari”, yang dipesan ABRI dan masih dipakai lagunya setelah ABRI berganti nama.
Sambil bermusik, Sudharnoto juga aktif dalam organisasi kebudayaan. Ia tercatat sebagai anggota Pimpinan Pusat Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra). Bahkan, ia menjabat sebagai Ketua Lembaga Musik Indonesia (LMI).
Menurut Rhoma Dwi Aria Yuliantri dan Muhidin M. Dahlan dalam Lekra Tak Membakar Buku, Sudhanoto termasuk salah satu anggota awal sekaligus pengurus Lekra bersama A.S. Dharta, M.S. Ashar, Njoto, Henk Ngantung, Herman Arjuno, dan Joebaar Ajoeb.
Sudharnoto juga termasuk di antara para seniman yang memperkuat redaksi majalah kebudayaan Zaman Baru pimpinan Rivai Apin. Pada Desember 1959, bersama sejumlah seniman Lekra, Sudharnoto juga turut mengirim petisi Pencabutan Larangan Terbit Harian Rakjat ke Istana Merdeka.
Salah satu kerja monumentalnya adalah mendirikan Ansambel Gembira. Ansambel tertua di Indonesia ini dibentuk pada 3 Februari 1952 oleh Sudharnoto bersama Titi Subronto dan Bintang Suradi. Ansambel Gembira cukup terkenal pada masanya. Grup ini seringkali mengisi resepsi-resepsi penting hingga acara di Istana Negara. Bahkan, mereka juga tampil di berbagai acara di luar negeri, seperti Tiongkok, Vietnam, Korea, dan negara-negara di Eropa Timur.
Kiprah terakhir Sudharnoto di Lekra diketahui ketika LMI menggelar Konferensi Nasional I di Jakarta pada 31 Oktober–5 November 1964. Ia terpilih sebagai ketua presidium.
“Sudharnoto menyatakan dengan tegas agar dengan irama Djarek, Resopim, dengan melodi Takem dan Gesuri, dengan harmoni Manipol yang diperkuat gubahan megah Tavip, seniman musik progresif mengganyang kebudayaan imperialisme Amerika Serikat, mengganyang Manikebu dan membina musik yang berkepribadian nasional,” tulis Rhoma dan Muhidin.
Kiprah Sudharnoto di Lekra terhenti pada 1965. Hersri menyebut pasca tragedi berdarah itu, ia dipecat dari RRI dan menjadi tahanan politik di Rumah Tahanan Chusus (RTC) Salemba.
Pada tahun 1956 Orde Baru belum lahir, sementara Lekra yang berdiri pada 17 Agustus 1950 masih berjaya dan anggota-anggotanya berkarya dengan bebas.
Setelah PKI disikat, orang-orang Lekra juga kena garuk. Sudharnoto ikut ditahan sebagai Tahanan Politik di Rumah Tahanan Chusus (RTC) Salemba. Tak cukup hanya dipenjara, Sudharnoto juga kehilangan pekerjaannya. Pada tahun 1965, seperti dicatat Hersri, Sudharnoto dipecat dari Radio Republik Indonesia (RRI), tempat dia menjadi Kepala Seksi Musik sejak 1952 dan juga jadi pengisi acara Hammond Organ Sudharnoto.
Hidup Getir Usai G30S
Sudharnoto tak pernah sekolah musik secara formal. Dia lahir dari keluarga dokter. Ayahnya adalah dokter Keraton Mangkunegaran yang hobi bermain musik dan biasa memainkan seruling, biola dan gitar di waktu luang. Sementara ibunya bisa bermain akordeon. Sejak kecil, telinga Sudharnoto sudah tak asing mendengarkan lagu-lagu-lagu klasik.
Sudharnoto yang lahir di Kendal pada 24 Oktober 1925, kerap bergaul dengan seniman dari Solo. Dia belajar not balok dari musisi keroncong Maladi yang kelak jadi Menteri Penerangan (1959-1962), juga pada Daldjono yang menciptakan lagu “Bintang Kecil”. Sedangkan untuk aransemen lagu, dia belajar dari Sutedjo dan RAJ Sudjasmin. Agar jagat pergaulannya makin luas, Sudharnoto juga bergaul dengan banyak musisi luar negeri. Dia dikenal berkawan dengan musisi dari Belanda seperti Jos Cleber. Sedangkan musisi lokal yang dikaguminya adalah Ismail Marzuki. Dia pernah membuat rekaman kaset berjudul Mengenang Ismail Marzuki.
“Karya Bang Mail padat kata-katanya,” ujarnya.
Sudharnoto belajar mencipta lagu ketika masih belasan tahun. Lagu pertamanya adalah “Bunga Sakura”. Lagu ciptaannya yang juga populer adalah lagu “Mars Dharma Wanita”, juga lagu-lagu pop seperti “Setitik Kasih” dan “Di Tokyo Kita kan Bertemu”. Namun tentu saja, karya terbesarnya adalah “Garuda Pancasila”.
Setelah keluar dari tahanan, dengan nama dan hidup yang dirusak, Sudharnoto harus memulai hidup dari bawah lagi. Hidup seorang bekas tapol selalu harus susah di zaman Orde Baru, apalagi tapol yang dikaitkan dengan G30S.
Seperti dicatat dalam Apa dan Siapa Sejumlah Orang Indonesia 1981-1982, pria yang punya nama samaran Damayanti ini harus menjadi penyalur es batu di Petojo dan supir taksi. Menggunakan nama samaran Damayanti ini, ia mengikuti sayembara penulisan lagu Mars Dharma Wanita dan ternyata menang. Taksinya pernah menjadi langganan hostess yang bekerja di klub malam LCC. Di sana, Sudharnoto jadi pemain organ sejak 1969, juga bermain di restoran Shangri-La pada 1978. Hasratnya untuk menulis lagu tak pernah padam. Semasa jadi pemain organ di Shangri-La, Sudharnoto diketahui “…selalu menyelipkan kertas di sakunya. Ilham yang muncul langsung dicorat-coret notnya.”
Sementara itu, lagunya Dari Barat Sampai ke Timur pernah diduga menjiplak Marsaillaise, lagu kebangsaan Perancis.
“Memang ada miripnya dengan Marsaillaise, lagu kebangsaan Prancis. Tapi apakah jiplakan dari Barat, apakah terpengaruh oleh Barat, itu tidak usah dipersoalkan. Lagu Dari Barat Sampai ke Timur nyata-nyata dapat membangkitkan semangat perjuangan, nyata-nyata dapat membangkitkan gairah revolusi. Itu yang penting,” ucap Sudharnoto dalam majalah Minggu Pagi, 3 Januari 1965.
Meski rusak nama, Sudharnoto tetap dipercaya orang-orang dunia perfilman untuk menggarap ilustrasi musik di beberapa film, pekerjaan yang juga pernah dia lakoni di zaman Sukarno jadi Presiden. Beberapa tahun kemudian, Sudharnoto bisa membangun kembali karier musiknya. Menurut data filmindonesia.or.id, pada 1972 ia menjadi penata musik pada film Dalam Sinar Matanya. Sejak itu, ia menggarap tata musik 26 film. Ilustrasi musik garapannya antara lain ada di Juara Sepatu Roda (1959)—yang merupakan film pertama Wim Umboh–dan Kabut Sutra Ungu (1980)—yang membuatnya dapat Piala Citra.
Tahun berikutnya, ia menyabet penghargaan yang sama untuk film Dr. Siti Pertiwi Kembali ke Desa. Kemudian pada 1983, ia kembali meraih penghargaan tersebut melalui film R.A. Kartini. Film Amrin Membolos (1996) menjadi film terakhir yang ia garap tata musiknya.
Meski hidupnya dihancurkan oleh Orde Baru, dia tetap menaruh perhatian terhadap rezim itu. Sudharnoto merasa prihatin karena lagu-lagu mars tidak berkembang di era Orde Baru. Padahal orde militer butuh lebih banyak lagu-lagu mars. Secara umum, menurut Sudharnoto, lagu-lagu yang berkembang di zaman Orde Baru adalah lagu-lagu tentang gagalnya percintaan.
Sudharnoto tutup usia pada 11 Januari 2000, tepat hari ini 20 tahun lalu. Meski nama baiknya dicemari noktah bikinan penguasa, namanya akan tetap dikenang sebagai pencipta lagu “Garuda Pancasila”. Orde Baru bisa membuat namanya rusak, membikin hidupnya jadi ruwet, tapi mereka tak bisa merampas “Garuda Pancasila” darinya. Dan terbukti lagu itu jauh lebih kuat dari rezim yang memenjarakan Sudharnoto.
Selain mencipta lagu, Sudharnoto juga melakukan penelitian musik ke berbagai daerah, antara lain Aceh, Sumatra Barat, Kalimantan, Sulawesi, dan Nusa Tenggara. Daerah yang sangat ingin ia kunjungi namun terhalang biaya adalah Papua.
Orde Baru ambruk pada 1998, dan lagu “Garuda Pancasila” masih terus dikumandangkan hingga hari ini.
Sumber: