Mengenalmu Itu Tak Mungkin

Kamu dan Namamu

Sebelumnya, sejauh kutahu: Kamu itu ada dua.

Satu, kamu. Dua, siapa sebenarnya kamu.

Oh iya. “Dea namaku”, katamu waktu itu. Kutahu, lengkapnya: Idea.

Kamu yang Kukenal

Maka, semua berubah sejak saat itu.  Kau kupakai dimanapun dan kapanpun aku mau. Untukku.

Baju yang kupakai ya baju yang pernah kamu lihat. Celana yang kukenakan ya celana yang pernah kamu setrika. Bahkan, tubuh ini ya tubuh yang kamu pernah sentuh. Bahkan, pikiranku ya pikiran yang pernah kupertukarkan denganmu.

Untuk mengenalmu, kupikir cukup. Tak perlu membaca tulisanmu, tak perlu bertanya pada dua manusia yang membesarkanmu – yang kau sebut “Papa” dan “Mama”, tak perlu sibuk mencari informasi dari teman-temanmu, bahkan kamu tak perlu bercerita apapun padaku. Kupikir, aku sudah mengenalmu.

Tapi, sungguh, kamu itu siapa sebenarnya?  Ketika aku tak ada, kamu itu siapa?

Terpaksa kutanya tiga teman tempatku bertukar cerita: Berkeley, Leibnitz dan Russel. Dari mereka aku tak mendapat apa-apa. Malah bertiga kompak mencecarku dan jadinya malah penasaran denganmu. Tak sanggup meladeni ribuan pertanyaan yang mereka ajukan. Padahal, semuanya: tentangmu.

Aku jadi sadar. Aku tak bisa kembali lagi ke masa sebelum bertemu denganmu. Hasrat untuk mengenalmu menjadi semakin besar. Apa boleh buat. Sudah terlanjur.

Kamu yang Kugambar

Oh iya, aku pernah mencoba menggambarkanmu. Kulit putih, tinggih 165 centimeter, rambut lebat sebahu. Perempuan, tentu saja. Eh, bentar, perempuan itu apa?

Suaramu renyah di telinga. Ketika kamu berbicara, aku bisa mendengarmu jelas sekali meski coffee shop tempat kita bertemu memutar Highway to Hell-nya AC DC kencang sekali. Ketika mukamu memerah saat tanganmu tak sengaja menyentuh bahuku, aku ingat bagaimana rasanya.

Fixed, kupikir cukup. Aku sudah tahu siapa kamu.

Tanpa perlu menulis dan membacanya kembali, aku kenal warna kulitmu. Aku tahu lekuk tubuhmu. Bahkan, letak tahi lalat dan bekas luka itupun aku sudah hapal. Oh iya, pipimu yang lembut itu. Mengapa selembut itu, sementara watakmu sekeras batu?

Aku tak ragu lagi. Tak mungkin lagi aku tertipu atau bingung membedakanmu dari perempuan lain. Dengan Naama, Mestama, Lilith, Eva. Apalagi dengan Ribka yang kalau tertawa itu seisi ruang menoleh menatap curiga.

Tapi, benarkah kamu hanya itu? Bagaimana dengan sisi dirimu yang belum kau tampakkan padaku?

Waduh. Aku terdiam sejenak. Sekilas ragu menghampiri, sekelebat seperti cahaya kilat ophanim yang menyertai Uriel ketika mengunjungi nabi tua. Ada suara menggelegar di kepalaku: “Hey, kamu belum mengenal Dea. Dea ada. Itu saja yang kamu tahu”

Aku jadi curiga. Bagaimana kalau perempuan setinggi 165 centimeter, rambut lebat sebahu, pipi lembut dan ciri lain yang kamu punya ternyata ada pada Naama, Mestama, Lilith, atau malah juga ada pada Ribka.

Ternyata, kamu lebih dari apa yang bisa kugambar.

Sebentar, samakah kamu yang dulu kukenal dengan kamu yang kugambar saat ini?

Aku lirik kembali baju yang pernah kamu lihat, celana yang pernah kamu setrika, tubuhku ini ya tubuh yang kamu pernah sentuh, bahkan kucoba mengingat cerita yang pernah kubagi denganmu. Sama saja.

Tapi mengapa kamu jadi terasa berbeda?

Dea yang kukenal dan kugambar, itukah semua dirimu?

Kamu menurut Orang Lain

Keraguan ini cukup menyiksa kini.

Pertanyaan “Siapa Dea?” semakin sering menghampiriku. Kamu, tentu saja ada. Baru kemarin aku menyentuh tanganmu ketika kamu menghadiahkanku sebuah sapaan “Selamat Pagi” yang hangat. Bahkan, semalam baru saja kita berbincang di Voice Call Whatsapp hampir berjam-jam lamanya.

Tapi kini kamu mulai abstrak bagiku.

Aku tak mau begini. Tentu aku tak rela kehilanganmu.

Maka kucari pada orang-orang tentang siapa Dea bagi mereka. Kutanyai universe perihal dirimu.

Kamu yang kuingat

Banyak data yang kutimbun. Hasil pencarianku. Tentu, seperti sebelumnya: semua tentangmu.

Percaya pada ingatanku, kusimpan semuanya disana. Supaya setiap kali aku membutuhkanmu, aku tahu harus mencari dimana.

Seperti layar besar, ingatanku memutar semua adegan tentangmu. Matamu. Pipimu. Lekuk tubuhmu. Loud speaker khayal menggemakan suaramu, lengkap dengan timbre dan frekuensi yang kuyakin itu pasti suaramu.

Aku berharap, semoga gudang ingatanku tetap aman. Jangan sampai pencuri datang dan mengacak-acaknya. Aku tak ingin datang kembali kesana dan menemukanmu menjadi orang yang berbeda. Sudah susah-payah aku mengenalmu. Aku tak mau kalau harus memulai semuanya dari awal lagi.

Kubulatkan tekad. Akan kukunci gudang ingatan ini dan kubuang kuncinya ke laut kenyataan yang luasnya tak bertepi, supaya tidak seorangpun bisa menemukannya kembali.

Sesaat sebelum aku menutup semua ruangan di gudang ingatan, kupastikan bahwa semua kotak ingatan sudah bertulis namamu. Tiba-tiba, kilat itu datang lagi. Kilat ragu yang kini tidak lagi  disertai petir menggelegar dan bara ophanim, tapi sendu menusuk bak paduan suara cherubim:

“Itu Dea yang kamu kenal dari masa lalu. Dea versi sejarah lampau. Kamu yakin tidak ingin menyisakan ruang bagi Dea di masa sekarang? Bagaimana kalau Dea berubah di masa depan?”

Ragu yang gelap pekat sehitam Tartarus menggodaku. Kuurungkan mengunci gudang ingatan itu.

Aku tersadar, pencarianku tentangmu belum selesai. Sebenarnya, baru saja dimulai.

Kamu yang Kuamati

Kubiarkan gudang ingatan terbuka lebar. Biarkan saja.

Jika ada pencuri yang penasaran hendak melihat-lihat isinya, biarkan saja. Aku punya kuncinya. Aku tak punya alasan untuk khawatir. Toh gudang itu gudangku. Semua kotak harta karunku jelas kutulis dengan label namamu. Dea-ku.

Tak ingin kehilangan jejakmu, kuputuskan sejak saat ini aku akan mengamatimu. Lekat. Dekat.

Tiba-tiba ada yang aneh. Ketika mengamatimu, aku seperti menonton orang lain yang mengawasimu. Laki-laki yang pandangannya tertuju padamu tanpa berkedip sedetikpun. Kutanya semesta, siapa lelaki itu? Cherubim yang sejak tadi duduk disampingku berkata: Lelaki itu ya kamu. Sialan.

Tetapi cahaya yang dibawa malaikat itu sangat terang. Aku jadi bisa melihat dengan jelas. Aku melihat diriku yang sedang menatapmu. Aku melihat diriku yang sedang minum kopi bersamamu. Aku melihat diriku mengajakmu berjalan kaki di pesisir pantai yang kita kunjungi bulan pertama kita resmi jadian itu. Aku bahkan melihat diriku yang menikmati tubuhmu dengan gairah menggebu ketika aku menginginkanmu itu. Aku melihat semua yang kulakukan denganmu.

Selain dirimu, aku akhirnya melihat hal lain. Aku kini melihat senyum di wajahku. Kenikmatan di sekujur ragaku ketika memelukmu. Rasa sakit dan penderitaanku. Malam-malam kesepianku ketika kamu jauh dariku. Aku kini melihat dua orang: aku dan kamu.

Masihkah kamu Dea yang sama, jika kuberitahu semua ini?

Apakah kamu masih Dea yang sama ketika aku tersenyum dan ketika aku meringis kesakitan?

Kutanya diriku, tak ada jawab. Kuingat tadi cherubim yang duduk di sampingku. Mengapa tak kutanya saja pada malaikat yang mahatahu itu? Sayang sekali, kutoleh ke samping, ternyata dia sudah berambus pergi mengangkasa. Sepertimu, meninggalkanku.

Oh iya. Mengapa tak kutanya pada Azazel, kucing kesayangan kita berdua itu?

Pusss, pusss. Dimana kucing manja yang suka berak sembarangan itu. Ini dia. Sembunyi di balik gudang ingatan. Kupikir orang akan menganggapku gila sebab mencoba mengajak seekor kucing berbicara.

“Azazel, menurutmu gimana? Siapa Dea kesayangan kita itu?”

Azazel hanya mengibaskan ekornya. Wajahnya tampak merengut, membuatnya imut bercampur seram dengan kumis panjang dan kukunya yang keluar seperti hendak mencakarku. Kuanggap itu jawaban. Jawaban yang persis sama dengan anggapan orang. Seperti binatang lainnya, Azazel kucing kesayangan kami pun tidak pernah sadar sampai memikirkan sosok Dea seserius diriku. Dasar binatang.

Untuk sesaat, kupikir cukuplah kukerahkan daya upaya untuk mengenalmu, wahai Dea-ku.

Meski yang kudapat hanya Dea yang kukenal, Dea yang kugambar, Dea yang kuamati, Dea yang kuingat, dan kata orang tentangmu. Semua ini kesepakatanku tentang Dea. Aku yang menyepakatinya dengan orang lain yang mengenalmu. Sebab mereka pun punya konsep tentang siapa Dea.

Jujur saja, ini tak sungguh memberiku kepastian, yang manakah dirimu.


Oh iya. Sudah larut malam. Besok kita akan bertemu.

Mengapa tak kutanya saja dirimu:

“Dea, kamu itu siapa?”

 


Ini adalah parafrase bebasku terhadap tulisan Bertrand Russel ketika ia berbicara tentang idealisme dalam "The Problems of Philosophy"

Kompartementalisasi – Solusi buat Remaja Jompo SMA

“8 les sehari, semuanya ada PR.

Alamak .. Ngeri kali ternyata di SMA ini bah“, begitu curhat seorang siswaku di Snapgram-nya.

Can you feel it?

I can. 

Bahkan setelah hampir 20 tahun meninggalkan bangku SMA, aku masih bisa mengerti mengapa curhat retjeh ini muncul.

Jangan salah paham dulu. Dengan kata “receh”, aku tidak bermaksud menyepelekan beratnya beban mengikuti pembelajaran di sekolah, lengkap dengan kewajiban menenteng buku paket tebal dan buku catatan untuk masing-masing mata pelajaran, ditambah lagi dengan PR setiap hari.

Pertama, siswa yang membuat status itu kukenal. Pada tatap muka di kelas, dia seingatku bukan tipe orang yang kesulitan mengikuti pelajaran. Memang sesekali tampak wajahnya seperti mengantuk. Mungkin karena malam sebelumnya harus mengerjakan banyak PR. Tapi sesekali saja. Secara umum,  dia tidak ketinggalan dan tampak ceria mengikuti proses belajar di kelas.

Jadi, snapgram-nya itu kuanggap sebagaimana mestinya saja: status untuk memeriahkan timeline saja. Lho kok? Lha iya, sebab zaman sekarang jika anak remaja benar-benar ingin curhat, nadanya akan berbeda. Mungkin saja akan berbunyi begini: Please help me. Aku udah cape“. Jadi tidak akan sempat membuat kalimat panjang, tambahan lagi pakai kata “alamak”. Jadi, aku tahu pasti, dia sedang baik-baik saja.

Tetapi, kedua, kata receh juga seperti biasanya: selalu memuat paradoks. Di satu sisi, si pembuat status jika ditanyai seadanya soal apa maksudnya dengan membuat status seperti itu di akun media sosialnya, dia akan berkilah: “Nggak ada apa-apa loh, Pak. Cuman status ajanya itu. Biar nggak apa kali”. Meski kita juga tidak tahu persis apa arti kata “nggak apa kali” disini, kita bisa asumsikan bahwa tidak ada yang serius.

Di sisi lain, jika kita mau sedikit melakukan pengamatan lebih cermat dan pengenalan lebih dalam terhadap status itu, kita akan cepat menemukan fenomen sejenis ternyata juga ada pada siswa lainnya. Jadi, dia tidak sendirian mengeluhkan beratnya beban ini. Cukup valid kalau kita mengambil hipotesa sementara bahwa benar ada sesuatu yang perlu didiskusikan. Bahwa benar, jika diberi kesempatan, mereka akan memilih untuk tidak menjalani 6 hari seminggu dengan banyaknya materi pelajaran dan PR setiap hari seperti ini. Benar, mereka masih bisa menanggung beban ini. Tetapi juga sekaligus benar bahwa ini cukup berat buat mereka.

Terkadang, setengah bercanda, selain bersama para rekan guru kami mempertanyakan “apanya sih yang merdeka dari kurikulum Merdeka ini untuk kita para guru”, beberapa siswa juga sudah mulai ada yang kritis lewat celetukan: “Bukankah belajar itu seharusnya menyenangkan, Pak? Tidak malah memberatkan seperti ini?”


Jika kamu seorang Baby Boomer dan sudah sampai pada bagian ini, kujamin kalian akan berkomentar:

Dasar anak remaja sekarang memang daya juangnya lemah. Dikit-dikit mengeluh. 

Tentu saja, sebagai orang yang sudah lebih tua, yang sudah lebih banyak makan garam beryodium dan tidak beryodium, kalian (eh, kita?) punya seribu argumentasi sehingga sampai pada simpulan berupa komentar diatas. Tentu kita tidak mau juga disalahkan oleh para siswa kita. “Tau apa mereka? Mereka kan siswa kita, kita guru mereka”, begitu kesadaran subliminal kita yang serba patronizing itu hendak menghakimi mereka.

Tapi tenang dulu. Tanpa perlu kita berkomentar demikian, mereka sudah duluan. Mereka sudah mampu mengungkapkan betapa absurdnya diri mereka dan situasi mereka. Buktinya mereka percaya diri saja mengidentifikasi diri sebagai “remaja jompo”.

Frasa dengan contradictio in terminis itu kupikir cukup jelas maksudnya. Identifikasi diri ini bisa ditanggapi sebagai humor (jika kamu bisa menikmati sebuah meme, kupikir kalian tahu maksudku). Untuk kultur “teenage thingy” mereka, ini identitas yang mempersatukan mereka sekaligus menjembatani jurang atau social gap – antara murid dari keluarga kaya versus murid dari keluarga menengah ke bawah, antara murid “ambis” versus murid “santuy” dan antara murid paralel vs murid yang megap-megap ketika rapat kenaikan kelas berlangsung. Dengan menyebut diri sebagai “remaja jompo”, mereka bersatu. Mungkin mirip dengan kaum buruh yang (bermimpi) bersatu di bawah manifesto Karl Marx . (Ups …)

Tetapi bisa juga dimaknai sebagai keluhan serius bahkan seperti mengejek diri sendiri. Bagaimana tidak? Masih remaja, tetapi sudah gampang lelah. Belajar sedikit, maunya libur seminggu. Kerja sedikit, maunya healing sebulan.

Tergantung kalian, mau memaknainya dari sisi mana.

Yang jelas, mereka masih mengagumi kita yang sudah sampai pada tahap ini, bisa menjadi tenaga pendidik untuk mereka. Semoga juga menjadi  guru untuk mereka dalam arti seutuhnya. Intinya, mereka ingin seperti kita. Menjadi dewasa. Menjadi orang yang punya pekerjaan dan penghasilan. Orang yang tidak lagi menjadi beban keluarga.

Mereka serius ingin menjalani masa SMA mereka dengan belajar semaksimal mungkin sesuai dengan impian (goals) mereka.

Mereka bahkan sudah menuliskan dengan jelas materi motivasional pengantar sesuai instruksi yang kuberikan kepada mereka kala MPLS. Bahwa jika ingin menjalani masa SMA dengan baik dan nikmat, sejak awal mereka sudah harus bisa menuliskan goals yang mereka ingin capai, dan sebaiknya mereka menulisnya dalam format S-M-A-R-T.

S = specific

M = measurable

A = attainable/achievable

R = Relevant

T = Timebound.

Jadi, misalnya, ada siswa yang pada minggu pertama di bangku SMA, bisa menuliskan bahwa 3 tahun berikutnya dia melihat dirinya sebagai mahasiswa kedokteran di salah satu universitas top tier di Indonesia. Target atau cita-cita ini sudah memenuhi kriteria specific.

Cara mengukurnya (measurable) juga mudah. Ya, dilihat dari apakah nanti mereka lulus atau tidak di kampus impian mereka itu.

Achievable? Yes. Sudah banyak kakak kelas mereka yang membuktikan bahwa ini bisa dicapai. Jika pendahulu mereka bisa, mereka juga optimis bisa melanjutkan tekad serupa.

Relevant? Tentu saja. Mereka tahu bahwa apa yang mereka jalani sekarang relevan dengan harga yang harus dibayar sampai mereka bisa dengan bangga berswafoto ria di Instagram dengan jaket kampus impian tadi.

Time-bound? Jelas. 3 tahun dari sekarang, target itu harus tercapai. No matter what, at any price, they would do it.


Lalu, darimana datangnya frasa humor sekaligus ejeken terhadap diri sendiri tadi?

Sudahlah remaja jompo, anak SMA pula. Combo. Paket lengkap.

Aku melihatnya secara positif.

Tapi bukan toxic positivity, yakni godaan untuk overproud yang sering membuat orang jatuh karena terlalu percaya diri. Misalnya sudah sadar diri bahwa lemah dalam bidang sains, tetapi memaksakan diri untuk mengambil jurusan sains murni di kampus nomor satu; padahal ada banyak jurusan lain yang lebih tepat.

Apa positifnya? Sebab mereka sudah bisa memvisualisasikan diri berkat metode SMART goals tadi, mereka pun akhirnya menyadari konsekuensinya: seberat apapun proses belajar yang mereka sebut beban tadi, toh mereka bersedia menjalani prosesnya dan mengikuti setiap tuntutannya. Mereka sadar bahwa tidak ada kata excuse untuk tidak hadir di sekolah lalu pura-pura membuat surat sakit palsu sebab selain itu ilegal, toh tidak banyak berguna sebab besoknya dia akan harus mengikuti ulangan susulan atau pelajaran susulan untuk materi pelajaran yang tertinggal ketika ia tidak hadir. Mereka mengerti bahwa semua proses ini adalah sebuah keniscayaan yang mesti dijalani jika mereka ingin SMART goals itu tercapai nanti.

Mereka sadar itu. Itu yang membuat mereka mencari cara bagaimana supaya sebagai remaja jompo yang gampang lelah, mereka tetap punya energi untuk mengikuti setiap materi pelajaran yang berbeda. Sebagai anak SMA yang mudah galau, overthinking dan mudah insecure melihat pencapaian kakak kelas mereka yang telah terlebih dahulu sampai di kampus yang juga mereka impikan, mereka ingin supaya setiap angka rapor di akun SIABUD atau rapor besar mereka tidak ada yang di bawah standar kelulusan.


KOMPARTEMENTALISASI

Maka, inilah tawaran solusi dariku, untuk kalian wahai remaja jompo SMA: cobalah kompartementalisasi.

Kompartementalisasi (Inggris ‘compartmentalization’) berarti pembagian, penggolongan, atau pengkategorian. Inilah salah satu mekanisme pertahanan diri yang paling umum terhadap berbagai beban, tugas, keraguan dan (mungkin juga) ketakutan.

Gunakan ini untuk mengatasi kondisi kekacauan kognitif yang membuatmu bersusah payah mengerti semua mata pelajaran dan mendapatkan angka rapor yang memuaskan. Untuk mengatasi gangguan mental dan kecemasan yang kadang membuatmu bertanya: “sudah sampai dini hari mengerjakan tugas dan PR, benarkah nanti aku bisa lulus di perguruan tinggi yang kudambakan itu?”

Bagaimana melakukan kompartementalisasi ini?

Pertama-tama, mulai dengan consideratio status (penyadaran diri atas situasi yang kamu alami saat ini). Sadari bahwa saat ini kamu sudah berusaha menjalankan kewajibanmu sebagai pelajar meskipun kamu tahu bahwa kamu punya seribu alasan untuk tidak melakukannya.

Sadari bahwa sebagai siswa yang pernah mengalami kegagalan di bidang akademik tertentu, satu-satunya cara untuk bangkit dari kegagalan itu adalah dengan kembali mempelajari materi pelajaran yang membuatmu gagal sebelumnya.

Sadari bahwa kamu harus mengerjakan semua tugas sekolah persis ketika berada di sekolah agar bisa kembali pulang ke rumah, asrama atau tempatmu ngekost tanpa membawa beban tambahan. Sebab kamu tahu sudah ada PR yang menanti, bukan?

Oke. Sudah. Terus selanjutnya bagaimana?

  1. Pikirkan hal-hal apa saja yang penting dan harus diselesaikan – apakah menghafal rumus kimia Susunan Berkala Unsur-unsur, Tugas Refleksi Agama, atau Rumus Dasar Algoritma Matematika?
  2. Bayangkan bahwa hal-hal itu berwujud ruangan-ruangan yang di dalamnya terdapat 5 soal yang tertulis di papan tulis dan harus bisa kita jawab.
  3. Untuk setiap ruangan, kamu hanya punya waktu 1 jam pelajaran (persis sesuai jadwal atau roster yang sudah disediakan pihak Sekolah untukmu) guna menyelesaikan soal-soal itu. Ketika waktu habis, kamu harus segera keluar dari ruangan pertama dan pindah ke ruangan selanjutnya.
  4. Kamu pantang melanggar batas waktu yang sudah ditentukan.

Agar cara ini berhasil, kamu perlu berhenti mencari-cari alasan ketika  tidak bisa menyelesaikan semua soal dengan baik. Kamu tahu bahwa kamu mampu mengerjakannya. Tinggal soal apakah kamu mau menggunakan kemampuanm hingga level ‘maksimal’ dan menerapkan disiplin pada dirimu sendiri.


Tetapi, tentu saja, aku tidak ingin menjadi motivator yang menyebarkan toxic positivity untukmu. Maka harus kukatakan sejak dini: Tidak Ada yang Menjamin Kompartementalisasi bisa Berhasil 100%.

Tidak semua siswa bisa sukses dengan cara ini.

Setidaknya, metode ini bisa membuat hidupmu lebih teratur. Sehingga sukses belajarmu bukan cuma angan-angan. Tapi, tidak ada jaminan bahwa cara ini akan berhasil 100%. Sebab yang menentukan kesuksesanmu adalah dirimu sendiri.

Kompartementalisasi adalah solusi jangka pendek yang sudah pasti gagal ketika kamu tidak melakukannya dengan sepenuh hati. Contohnya saja:  seorang siswa yang gagal pada mata pelajaran Matematika pada semester sebelumnya mungkin akan kembali merasakan traumanya pada Matematika pada semester berikutnya.

Sama halnya ketika kamu sedang berada di kelas Kimia, bisa saja kamu justru tidak fokus karena memikirkan kegagalan Matematika-mu atau malah memikirkan mengapa si doi yang kamu incar malah mengirimkan menfess ke siswa lain, bukan kamu.

Begitulah, seorang siswa mungkin akan kesulitan memilah-milah mana yang harus dilakukan duluan, mana yang belakangan. Tidak rela menutup pintu ruangan pertama sekalipun waktu 1 jam sudah habis dan tugas di ruangan kedua telah menunggu.

Maka, teknik kompartementalisasi sangat bisa gagal karena secara emosional kamu sering menjadi terlalu terikat dengan salah satu tugas yang kamu anggap dianggap lebih penting dari tugas lainnya. Dampaknya, tugas lain yang sudah menunggu akan diabaikan. Di akhir hari, barulah kamu akan kaget saat melihat betapa sedikitnya pekerjaan yang sudah kamu selesaikan. Ini kunci gagalnya.

Lalu, kunci suksesnya apa?

Kunci sukses kompartementalisasi adalah fokus. F-O-K-U-S. Kegagalan dan kesuksesan metode ini amat tergantung pada seberapa konsistennya kamu dalam menjaga fokus. Sadarilah bahwa kamu punya tenggat waktu untuk masing-masing tugas yang harus ditaati. Kamu tidak bisa mengesampingkan tugas lain hanya untuk sebuah tugas yang kamu rasa paling penting.

Fokuskan konsentrasi dan kemampuanmu untuk melaksanakan hanya satu tugas dalam satu waktu. Taatilah aturan dan ruang imajiner yang sudah kamu ciptakan sendiri. Jangan ragu untuk membuang dan melupakan hal-hal yang memang tidak layak untuk dipikirkan.

Kamu masih khawatir bahwa doi akan berpaling darimu? Tidak apa-apa. Tetapi ingat, rasa khawatirmu tidak akan membuatnya kembali padamu. Dan sangat mungkin bahwa dia akan makin yakin meninggalkanmu jika dia melihatmu gagal lagi, menyerah lagi, dan murung lagi.

Maka, ingatlah kembali kompartementalisasi. Mana yang harus dikerjakan lebih dulu? Tugas mana yang harus ditempatkan di prioritas selanjutnya? Taatilah aturan tersebut. Kerjakan tugasmu satu-persatu sesuai jangka waktu yang kamu sepakati sendiri. Plus, hindari juga distraksi lain seperti godaan scrolling Tiktok secara serabutan atau begadang demi push rank di game Mobile Legend kesayanganmu. Kamu bisa melakukannya nanti. Kalau tugasmu sudah selesai.

Jika kamu bisa melakukan komparementalisasi dengan konsisten, hidupmu akan lebih terorganisir. Tidak ada lagi tumpang tindih kewajiban yang membuat hari-harimu kacau. Hidupmu jadi lebih seimbang.

Perjuangan untuk menciptakan hidup yang lebih seimbang memang tidak selesai dalam satu malam. Ini adalah proses tanpa akhir. Selama kamu bisa memilah, membuat prioritas, dan konsisten pada aturan yang kamu buat sendiri, kamu sudah melakukan kompartementalisasi.

Kompartementalisasi menjadi milikmu. Menjadi bagian darimu. Pelan-pelan kamu akan melihat apa yang diberikannya untukmu. Hidupmu akan berkembang: entah akan lebih baik, atau lebih bermakna.

Mengapa Orang Tolol Sering Menjadi Bos (di Indonesia)*

Lagi dan lagi, saya mengalami ini. Kembali saya harus menerima keadaan, bahwa saya dipimpin oleh orang tolol. Orang tolol adalah orang yang bertindak tidak dengan kejernihan, tetapi dengan emosi dan pikiran pendek. Ia cenderung egois, dan tak segan-segan mengorbankan orang lain, selama kepentingannya terpenuhi.

Setelah berbincang dengan beberapa teman, hal ini tak hanya terjadi pada diri saya. Mereka pun pernah, dan bahkan sedang, mengalaminya. Apa yang terjadi? Mengapa, di Indonesia, orang tolol sering menjadi bos?

Mengapa?

Ada lima hal yang bisa dipertimbangkan. Pertama, budaya jilat pantat sudah menjadi budaya umum di Indonesia. Orang naik jabatan, bukan karena kemampuan, tetapi karena pandai menjilat atasan. Hasilnya, banyak orang memegang posisi pemimpin, walaupun tak memiliki kemampuan yang memadai.

Ini terkait dengan sebab kedua, yakni para atasan yang tidak jernih memahami keadaan. Kerap kali, mereka sebelumnya adalah pekerja yang penjilat pantat. Karena berulang, tindakan busuk ini telah menjadi budaya. Pada akhirnya, seluruh sistem akan ambruk, karena diisi dengan orang-orang yang tidak memiliki kemampuan yang diperlukan.

Ketiga, secara keseluruhan, inilah yang disebut sebagai budaya feodalisme. Beberapa orang merasa, bahwa mereka memiliki derajat lebih tinggi. Lalu, mereka menuntut, supaya orang lain menyembah dan melayani mereka. Inilah akar dari budaya menjilat pantat yang dengan mudah ditemukan di banyak organisasi maupun institusi politik di Indonesia.

Keempat, budaya feodal ini tidak turun dari langit. Ini adalah warisan budaya yang tak pernah sungguh ditanggapi secara kritis. Para penjajah, mulai dari Belanda, Inggris, Portugis sampai Jepang, memanfaatkannya untuk memecah belah, dan menindas seluruh nusantara. Ketika masyarakat dipimpin oleh para penjilat pantat dan orang gila hormat, masyarakat itu akan lemah, serta mudah dikuasai.

Kelima, budaya feodal terus bertahan, karena lemahnya sikap kritis di Indonesia. Ini tentunya terkait dengan mutu pendidikan yang tak banyak berkembang sejak jaman penjajahan Belanda. Budaya patuh buta dan menghafal terus dikembangkan, tak peduli siapa presiden atau menteri yang berkuasa. Tampaknya, bangsa kita sengaja diperbodoh dan dipermiskin, sehingga tetap hidup dalam permusuhan satu sama lain, dan siap ditipu oleh bangsa asing.

Kita harus sungguh sadar, bahwa budaya jilat pantat dan feodal ini akan menghancurkan bangsa kita. Kita akan hidup dalam kesenjangan ekonomi yang amat besar antara si kaya dan si miskin. Kita tetap akan saling bermusuhan satu sama lain, karena kerap diadu domba soal agama. Disinilah arti penting sikap kritis.

Perubahan Budaya

Memang, mengubah budaya dan kebiasaan, apalagi yang sudah mengendap di dalam masyarakat, amatlah sulit. Namun, itu sangat bisa terjadi. Banyak contoh yang bisa dideret, mulai dari perubahan budaya di organisasi, perusahaan sampai dengan perubahan budaya sebuah bangsa. Tiga hal kiranya penting menjadi perhatian.

Pertama, sikap kritis jelaslah harus menjadi ujung tombak pendidikan maupun pola asuh masyarakat. Sikap kritis bahkan sudah menjadi salah satu keterampilan utama masyarakat abad 21. Tradisi tentu perlu dihargai, namun harus terus ditanggapi secara kritis. Kebodohan tidak bisa terus menerus bersembunyi di balik nama tradisi dan ajaran agama yang harus dipatuhi secara buta.

Sikap kritis mengajak manusia untuk tak gampang percaya. Ia mengajarkan orang untuk lolos dari tipu muslihat yang kerap kali berbungkus kesucian. Daya nalarnya berkembang. Keputusan-keputusannya pun semakin mendekati akal sehat dan kebijaksanaan.

Dua, ketidakadilan memang menjadi bagian dari hidup sehari-hari. Namun, sikap diam dan tak peduli justru akan memperparah keadaan. Ketika ketidakadilan terjadi, orang harus bersuara lantang. Perubahan sosial hanya bisa terjadi dengan cara ini.

Tiga, seperti terus diingatkan oleh Noam Chomsky, pemikir asal Amerika Serikat, perubahan budaya hanya dapat terjadi melalui gerakan sosial yang konsisten dan teroganisir. Budaya jilat pantat dan feodalisme juga hanya dapat lenyap dengan gerakan sosial yang kuat. Perubahan yang cepat dan mendasar tentu sulit dicapai. Kerap kali, gerakan sosial adalah gerakan lintas generasi, sehingga tindakan sekarang baru bisa dinikmati buahnya di generasi mendatang.

Semoga saya tidak bermimpi di siang bolong. Indonesia memilih orang-orang yang punya integritas dan berkemampuan tinggi untuk memimpin. Setiap bidang kehidupan berkembang pesat, sehingga cita-cita keadilan dan kemakmuran untuk semua mulai terjangkau. Bukankah ini alasan kita semua mendirikan dan mempertahankan Indonesia? Jika tidak, lalu buat apa negara ini ada?


*(Repost dari tulisan Reza A.A Wattimena di Rumah Filsafat)

Kemiskinan Orang-orang Kaya

Things crazy rich people buy via ScoopWhoop

Meskipun banyak sumber mengatakan bahwa kekayaan dunia ini hanya dikuasai oleh 1% saja dari populasi yang ada, jangan lupa sepuluh persen itu banyak sekali. Saat ini populasi dunia kurang lebih 7,7 miliar orang. Maka, mereka ada sebanyak 70 juta orang. Banyak orang kaya di dunia ini. Mereka tersebar di berbagai tempat. Mereka dilahirkan dengan previlese akses ke sumber-sumber ekonomi. Di banyak tempat, previlese semacam ini dikagumi dan dijunjung tinggi oleh masyarakat setempat.

Hidup yang Nyaman

Mereka mungkin cerdas dan pandai hitung-hitungan. Membuka sebuah gerai usaha baru bukanlah sesuatu yang sulit bagi mereka. Karyawan yang hebat dan loyal pun mudah mereka dapatkan. Perizinan dan pengurusan adminsitrasi bukanlah sesuatu yang sulit untuk dikerjakan.

Mereka juga bisa hebat mengiklankan diri. Beberapa bahkan memiliki kanal Youtube atau website untuk menampilkan wajah dan rumah mewah mereka sebagai bukti bahwa di iklan mereka itu, mereka berhak meneriakkan ke telinga penonon, “nih, bukan cuma iklan, sudah kubuktikan”. Mereka mampu mengurai secara mendetail bagaimana mereka bisa mendapatkan semua itu. Rumah mewah. Mobil mewah. Koleksi seni. Hewan langka yang diimpor dari sabana Afrika sana. Hotel mewah kapan saja bisa mereka kunjungi. Kapan mereka mau makan steak atau hidangan carabou di restoran mahal, tinggal cuss.

Orang-orang kaya ini biasanya mempunyai latarbelakang keluarga kaya juga. Walaupun saat muda mereka mungkin belum memiliki perusahaan sendiri, kesempatan mereka untuk mendapatkan kepercayaan dan modal dari para investor cukup tinggi. Mereka biasanya bertemu di sebuah cocktail party, arisan kolektor tas branded, konser jazz paling modern, atau pada acara grand opening outlet terbaru kenalan mereka.  Tidak jarang juga yang begitu saja bertemu dengan orang kaya lainnya yang tak pelit memodali mereka hanya karena orangtua menyekolahkan mereka sama-sama di kampus luar negeri yang mahal. Beberapa bahkan mendapat modal pinjaman lunak dari bank pensiunan negara kaya semacam Norwegia.

Mereka juga biasanya sukses dalam pendidikan. Ada yang mendapat gelar bakalaureat dari perguruan tinggi swasta, lengkap dengan predikat cum laude. Ada yang menjadi petinggi di badan usaha milik negara, dan memiliki kekuasaan besar. Apapun bidangnya, orang-orang kaya ini sungguh dikagumi oleh lingkungan sekitarnya.

Kemiskinan Orang-orang Kaya

Sayangnya, orang-orang kaya ini seringkali tidak mampu melihat dunia secara keseluruhan. Mereka dibutakan oleh kekayaan mereka sendiri. Mereka menjadi sombong, dan kehilangan empati. Mereka tidak mampu melihat dunia dari sudut pandang yang berbeda, atau merasakan penderitaan orang lain di sekitarnya.

Mereka hidup dalam ilusi, bahwa mereka adalah mahluk-mahluk unggul. Miliarder biasanya terjebak dalam ilusi dan kesombongan semacam ini. Mereka tak merasa bersalah menjadikan manusia lain, tumbuhan, hewan ataupun mahluk lain melulu sebagai sumberdaya untuk memperkuat pundi-pundi mereka. Mereka merusak alam atas nama pemberdayaan ekonomi dan kemajuan industri serta terobosan teknologi.

Orang-orang kaya seringkali tidak kritis. Mereka tidak mempertanyakan pandangan-pandangan yang mereka anut. Mereka mengira, gaya hidup serta pola berfikir mereka adalah kebenaran. Akhirnya, mereka kerap kali melakukan kesalahan yang merusak, tanpa mereka sadari.

Mereka juga kerap kali bermulut besar. Mereka gemar mengumbar janji. Mereka gemar juga memberikan harapan-harapan besar yang, sayangnya, palsu. Orang hanya perlu sedikit kritis, guna melihat kepalsuan yang dibalut dengan kesombongan di dalam diri orang-orang kaya ini.

Orang-orang cerdas ini seringkali juga penuh dengan kontradiksi. Misalnya, mereka mengaku membantu orang kecil dengan mencuri lahan mereka dan menjadikan mereka buruh di tanah mereka sendiri. Mereka berbicara soal menyelamatkan hutan dengan terlebih dahulu membuka tambang disana tanpa pernah sungguh mematuhi komitmen replantasi dan rehabilitasi lahan. Mereka berbicara tentang pentingnya membantu orang tak mampu, sambil memuaskan dahaga mereka akibat jiwa miskin yang tak pernah berkata cukup dengan yang mereka punya. Mereka tidak memiliki filosofi semacam “lama aku mengeruk, saatnya memberi”. Mereka juga tak kepikiran untuk meluangkan waktu memberi kontribusi bagi etika dan moral masyarakat layaknya seniman yang sampai mati bekerja mati-matian untuk nilai dan makna yang dipercayainya berguna bagi orang lain.

Inilah kemiskinan orang-orang kaya. Jangan terpesona dengan jabatan tinggi di perusahaan, gelar pendidikan tinggi, rumah mewah atau mobil mewah. Sebenarnya, merekalah justru perusak kehidupan sosial maupun alam, tempat kita semua hidup. Jika kemiskinan jiwa orang-orang kaya ini didiamkan, dunia kita akan hancur.

 

Mengapa “Berkesenian” menjadi Predikat Ejekan?

Percobaan Pertama: Membunuh Filsafat

Beberapa ribu tahun lalu di negeri Yunani, seorang lelaki parlente mendekati seorang temannya yang berpenampilan polos bersahaja.

Lelaki parlente itu, belakangan kita kenal sebagai Calicles, berkata kepada temannya:

Berhentilah berfilsafat, kawan. Kembalilah ke dunia nyata. Tuntutlah ilmu di  sekolah bisnis.

Quit philosophizing.

Get real.

Go to business school.

Belakangan kita tahu, temannya yang bersahaja itu bernama Socrates.

Untunglah, Socrates tidak mengikuti anjuran temannya itu. Seandainya Socrates mengikuti anjuran Calicles dalam “Giorgias Dialogue” itu, filsafat tidak akan menjadi sebesar sekarang. Plato tidak akan mempunyai guru. Aristoteles, juga tentu saja.

Tidak akan ada para murid peripatetik (para filsuf pejalan kaki) yang membahas segala macam hal sembari berjalan-jalan bersama sang guru. Tidak akan ada Akademia, yang menjadi cikal bakal semua sekolah modern yang ada sekarang ini. Semua orang akan berfokus pada satu hal saja: memenuhi kebutuhan perut, mencari shekel, drachma, dolar atau rupiah.

Untunglah. Ternyata kebutuhan manusia tidak hanya soal urusan perut, tetapi juga soal pikiran. Selain asupan gizi, manusia ternyata butuh nutrisi intelektual dan seni. (Iya. Filsafat bukan hanya induk dari sains tetapi juga seni).

Meskipun demikian, upaya percobaan untuk membunuh filsafat itu masih berlangsung hingga sekarang. Tak sedikit teman yang mengolok-olok ketika seseorang memposting keresahannya di media sosial dalam sudut pandang filosofis.

Alah, bacot. Na mangula on ma bah ni puhuthon“, kata mereka seolah merendah padahal nyatanya mereka ingin menderogasi pentingnya filsafat.

“Untuk apa membahas dan mengulas realitas sosial. Pakai bedahlah, pake ulaslah, filosofi-filosofian segala. Tak ada gunanya kau habiskan waktu dengan membaca dan berdiskusi filsafat Barat itu. Mending ternak lele sajalah”


Percobaan kedua: Membunuh seni?

Zaman sekarang, jika kita jeli, saban hari kita mendengar “Giorgias Dialogue” versi modern dalam konteks kesenian.

“Ngapain sih capek-capek buat tulisan? Yang baca sedikit. Uangnya pun tak jelas.”

“Ngapain sih terus buat lagu? Berdiskusi, begadang, membuat lirik, ulik nada, edit, mixing, mastering, release. Unggah di Youtube, belum dapat adsense, eh keburu kehabisan uang. Sekedar beli rokok dan kopi pun harus berfikir keras. Buat apa? Tuh lihat. Mending buat konten give-away kayak si Boim.”

“Atau lebih ekstrem, ada pesawat jatuh, jadikan konten. Nggak usah mikir empati dengan keluarga korban. Laku keras.”

Mungkin tak persis isi redaksinya seperti ini, tapi muatan maknanya sama.

Begitulah. Sekarang berkesenian seolah predikat ejekan.

Secara jenius, Tilhang Gultom menyisipkan sindirian ini pula dalam lagunya “Tudia Nama Au Lao”

Dia sebut:
Na hansit ma hape di au nadangol on. Alani pogos na tarlobi. Gabe marende nama au. Gabe marende nama. Tu kesenian nama au lao. Tu kesenian nama au lao” (Perih sekali hidup ini, bagiku yang sengsara ini. Karena kemiskinan yang teramat sangat. Aku pun bernyanyi. Ke kesenian-lah aku lari.)

Impresi publik sezamannya yang mau dikritik Tilhang Gultom kiranya cukup jelas: Mereka yang berkesenian atau bernyanyi-nyanyi  kelasnya ya orang kecil. Proletar. Kalau mau kaya dan sukses (gabe jala mamora), pilihlah jalur lain. Entah menjadi petani, pegawai atau pengusaha. Pokoknya, jangan menjadi seniman.

Setujukah kita?

Beberapa dekade lalu, ‘kesadaran’ sejenis juga yang membuat banyak orangtua Batak terlihat tidak konsisten. Ketika si anak masih kecil, akan diajari bernyanyi, main gitar, atau didaftarkan les musik. Tapi begitu selesai SMA, si anak akan diarahkan untuk ambil jurusan yang jelas menjanjikan fulus. Entah sebagai pengacara. Entah sebagai pengusaha atau petugas bea cukai.

Bukankah itu antara lain sebab “Opera Tilhang” (Opera Serindo) kehilangan generasi penerus sepeninggal Zulkaedah Harahap? Tak ada orangtua yang mengajarkan dan mendukung anaknya menekuni keterampilan multiseni dalam Opera Batak itu (bernyanyi, berdrama, berlawak).

Aku sendiri mengalami ini ketika kecil. Di ladang, kalau aku mencoba memukul-mukul kayu meniru “pargossi“, akan ditegur orangtua. Dalam diskusi kemudian setelah mereka rasa aku bisa berfikir, mereka jelaskan:

“Nak. Zaman sekarang, bermusik tidak memberi penghasilan. Jangan kau tiru tulangmu si anu. Margossi ibana, mangadangi sian pesta tu pesta, alai so hea dilean hepeng tu nantulangmi. Holan na mabuk ma ibana tiap borngin. Dungi marbadai ma begeon ni hombar jabu. Jangan kau ikuti yang begitu ya”, kata mereka.

(Aku tak menyalahkan mereka. Itulah impresi umum tentang berkesenian saat itu, jadi mereka pun ikut di dalamnya. Lagipula, tak didukung menjadi penabuh gendang, aku kemudian memilih jurusan “tak jelas”, yakni jurusan filsafat. Skor 1-1. Hehehe).

Di era postmodernisme sekarang yang bahkan banyak orang masih belum tahu mengarah kemana dan harus mendefinisikan seperti apa, sekelompok orang juga mulai jengah dengan filsafat. Mereka mempertentangkan sains dengan filsafat, seakan bisa memisahkan seorang anak dengan ibu kandung yang melahirkannya.

Mereka bosan dengan tuntutan kaidah berkesenian, seakan musik dan lagu melulu hanya soal profit dan ketenaran seorang artis, dan tidak ada kaitannya dengan upaya kurasi nilai ideologi dan budaya arif. Maka, tak heran, lahirlah banyak lagu yang tidak memiliki “jiwa”, hanya otak-atik gathuk tangganada dan analisa teknikal musik. Berkesan, tapi tidak mengandung pesan.

Atau, meminjam lawakan intelektual di tongkrongan kami:

“Godang siingoton. Alai dang adong sitiruon”

Pada situasi begini, wajarlah para seniman dengan ideologi dan kesetiaan pada tugas kesenimanan, akan tenggelam di pasar industri. Antara lain, karena mereka tak sudi “menjual” diri, tak mau repot dengan algoritma Google dan Youtube, tak mau pula menyebar spam disana-sini untuk meraup angka view.

Untuk mereka, pendengar yang baik akan mencari musik yang baik. Beberapa digital marketer mungkin akan menyebut mereka naif, tapi mereka masih bertahan. Entah sampai kapan.