(Suhunan, seorang penulis yang cukup aktif menguraikan gambaran Rikba Tjiptaning di dinding Facebook. Untukku, tulisan ini menarik dan padat. Berikut repost-nya.)
Ning.
Nama lengkapnya, Ribka Tjiptaning Proletaryati. Nama yang tak jamak bagi masyarakat Indonesia umumnya. Ia berdarah Jawa, kedua orangtuanya bukan orang sembarang: berdarah biru (bangsawan) dari dua kesultanan Jawa, Solo dan Yogjakarta.
Ayahnya, Raden Mas Soeripto Tjondro Saputro, masuk trah keluarga besar Kasunanan Keraton Pakubuwono (Solo). Ibunya, Bandoro Raden Ayu Lastri Suyati, keturunan keluarga besar Kesultanan Yogjakarta.
Ning, demikian ia biasa dipanggil oleh orang-orang dekatnya, lahir 1 Juli 1959 di Solo (tetapi ada juga yang menulis Yogjakarta). Kisah hidupnya bak sebuah roman yang layak difilmkan. Kisah yang sarat penderitaan, perjuangan, ironi dan tragedi, keberhasilan, juga kontroversi.
Sebelum Peristiwa G 30 S/Gestok, 1965, meletus, ayahnya dihormati umumnya warga Solo. Seorang pengusaha sukses, usahanya pabrik paku dengan lima pabrik dan produksi pakunya laku di berbagai kota dan desa sekitar Jawa Tengah.
Peristiwa terkelam dalam sejarah Indonesia modern itu, sekejap saja memporakporandakan kehidupan RM Soeripto Tjondro Saputro dan istri anaknya. Tak lama kemudian, ia diciduk tentara dan dibawa ke Jakarta. Ia anggota Biro Khusus Partai Komunis Indonesia (PKI) yang masa itu termasuk partai politik besar beranggotakan 30 jutaan orang.
Ibunya Ribka (atau Ning) yang juga ningrat itu pun kemudian ditangkap militer, diinterogasi beberapa hari, sebelum dilepas. Saat itu ia tengah hamil anak kelima, Ning anak ketiga dari lima bersaudara, saat itu masih anak TK. (Usia enam tahun).
Ibunya kemudian membawa anak-anaknya ke Jakarta. (Dalam wawancara dengan satu media besar, dikatakan Ning, koper mereka dicuri di stasiun Gambir sesaat setelah turun dari keretaapi yang membawa mereka dari Solo).
Mereka menumpang tinggal sementara di rumah seorang kerabat yang sudi menolong, berumah di wilayah Pondok Gede, Jakarta Timur. Tetapi, ibunya kemudian dijemput tentara. Ning dan satu adiknya tinggal di rumah paman itu, tak ikut ibunya. Kedua bocah cilik itu sering menangis karena kangen ibu dan ayah mereka.
Suatu hari, karena kangen ibunya, Ning dan adiknya nekat berjalan kaki dari wilayah Pondok Gede yang saat itu masih sepi ke terminal bus Cililitan; perjalanan yang cukup jauh dengan jalan kaki, apalagi bagi anak kecil, menelusuri Jalan Raya Bogor-Kramatjati-Cililitan. Modal mereka lima buah salak yang dimakan saat lapar. Syukurlah, ada seseorang yang mengenali mereka, lalu dibawa ke rumahnya.
Ning akhirnya bisa bertemu ibunya. Mereka kemudian tinggal di satu bedeng dekat kandang sapi di wilayah Cawang, Jakarta Timur. Mereka diberi tumpangan oleh seorang kenalan ayahnya yang kasihan melihat mereka. Dalam kondisi yang sangat sulit dan tetap diawasi tentara, ibu dan keempat saudaranya menjalani hari demi hari penuh derita. Uang tak ada, makanan tak bisa dibeli. Mereka sering kelaparan.
Suatu hari, Ning dan adiknya dibawa paksa tentara ke wilayah Kebayoran Lama untuk melihat ayah mereka. Ternyata, di sebuah rumah di Gang Buntu, ayahnya tengah disiksa. Tubuh ayahnya berlumur darah, digantung dengan kaki ke atas, kepala ke bawah. Ning dan adiknya sontak menangis.
Peristiwa tersebut sungguh tak mudah mereka lupakan, dan barangkali hanya bisa dihapuskan bila masa mereka di dunia ini telah selesai. Belasan tahun ditindih penderitaan, sungguh tak mudah. Kesulitan hidup seakan tak ada kata usai mendera mereka. Demi makanan dan supaya bisa bersekolah, apa saja dilakukan ibunya. Hidup mereka amat susah, tetapi Ning dan kakak adiknya tetap ingin sekolah. Pekerjaan apa saja dilakukan Ning, termasuk jadi kondektur bus jurusan Blok M-Cililitan. Suatu pekerjaan yang tak lazim bagi gadis remaja.
Ning dan saudara-saudara kandungnya tumbuh berkembang dengan tindihan derita. Rezim Orde Baru tiada ampun menghukum orang-orang PKI dan keturunan mereka.
Tentu saja bagi anak seperti Ning yang saat peristiwa berawal masih anak TK, sangat sulit memahami mengapa mereka harus mengalami semua itu. Ia tak paham kenapa ayahnya yang berstatus ningrat dan pengusaha sukses harus disiksa dan dipisahkan dari istri dan anak-anak yang amat membutuhkan.
Bisa dibayangkan betapa berat bagi ibunya menyediakan nafkah sekaligus melindungi anak-anaknya. Ia berdagang kue-kue dan kemudian bergiat di satu gereja.
Ning tumbuh di tengah situasi dan lingkungan yang amat keras, tak boleh lembek apalagi bermanja-manja. Hidup harus dilanjutkan kendati dihimpit segala jenis kesulitan.
Tamat SMP, 1974, ia masuk SMA 14, Cawang, Jakarta Timur, lulus 1977 (saya lulus dari SMA yang termasuk favorit ini, 1979). Kemudian dia “nekat” kuliah di FK UKI (Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Indonesia) yang juga berlokasi di Cawang. Biaya kuliahnya yang tak murah itu dia upayakan sendiri.
Ning termasuk lama menamatkan sekolah dokternya, 1992, sangat mungkin terhambat biaya kuliah. Setelah dapat izin praktik dokter, ia buka klinik sederhana di daerah Cileduk. Ning kemudian berteman dengan kalangan aktivis yang menentang Rezim Orde Baru.
Ia mulai tertarik politik meski pemerintah membatasi ruang gerak orang seperti dirinya: keturunan PKI, tidak bersih lingkungan. Walau tidak menonjol sebagai kader, dia pilih PDI (Partai Demokrasi Indonesia, cikal bakal PDIP). Dia tahu diri, posisinya yang tidak bersih lingkungan, tak memungkinnya aktif berpolitik.
Perjalanan waktu kemudian membuatnya kenal dan dekat ke Puan Maharani dan juga Taufik Kiemas-Megawati Soekarnoputri.
Meski dianggap “orang terlarang”, Mega dan Taufik tentu tahu latar belakang Ning, keturunan bangsawan Keraton Solo dan Yogja, ayahnya seorang terhormat pula, ningrat pengusaha yang dalam hitungan hari dihancurkan sebuah peristiwa yang disebut pemerintahan Soeharto, “Pemberontakan 30 September PKI.”
Peristiwa Reformasi 1998, menjadi momen yang amat penting bagi Ning, apalagi sejak Gus Dur terpilih sebagai Presiden RI. Ia dekati tokoh NU yang moderat dan pembela HAM itu. Gus Dur pula yang mendukungnya menulis buku: Aku Bangga Jadi Anaknya PKI. Buku yang dianggap berani dan kontroversial–meski Rezim Soeharto telah redup.
Ning tak salah membanggakan ayahnya, tentu. Baginya, lelaki ningrat yang dahulu amat dihormati orang Solo itu sosok yang tak tergantikan baginya; meski akhir hidupnya amat tragis dan Ning serta adiknya pernah dipaksa militer menyaksikan lelaki yang mereka rindukan itu digantung dan disiksa; dan dari hidung, kuping, mata, mengucur darah.
Pastilah ia menyimpan amarah, apalagi belasan tahun hidup sengsara, berpindah-pindah rumah dan sejak kecil melakukan apa pun yang bisa menghasilkan sedikit uang.
Ning yang kemudian jadi politisi PDIP dan (bisa) terpilih dua kali jadi anggota DPR, sering mengaku seorang Soekarnois. Tetapi statusnya sebagai keturunan anggota biro khusus PKI, kerap dijadikan lawan politik untuk mendiskreditken parpol berlambang moncong (banteng) putih itu.
(Dalam hal ini saya salut ke Taufik Kiemas dan Megawati, tak ragu memajukan Ning sebagai kader PDIP, meski berisiko dinilai negatif oleh yang antipati atau yang tak cukup paham histori politik pra dan pasca Orde Baru).
Karir Ning melejit di PDIP, pernah dipilih jadi Ketua Komisi IX di DPR, 2009-2014, membidangi tenaga kerja, transmigrasi dan kesehatan. Tetapi, di masanya ketua komisilah pernah terjadi kegemparan karena kasus hilangnya Ayat (2) Pasal 113 Rancangan Undang-Undang Kesehatan yang disetujui Rapat Paripurna DPR, 14 September 2009. Ning dituduh aktor yang menghilangkan pasal mengenai tembakau dan zat adiktif. Meski namanya sempat tercoreng, ternyata dalam Pileg 2014, kembali ia berhasil mengumpulkan suara dari Dapil Jabar IV. Hasil itulah yang membuatnya kembali menduduki kursi DPR.
Sempat diisukan, dia akan menjabat Menteri Kesehatan saat Jokowi memenangkan Pilpres 2014. Konon, ketakjadiannya diangkat Menkes karena IDI (Ikatan Dokter Indonesia) menolak dan juga dari petisi online. Ia termasuk anggota DPR yang vokal, pernah menyuarakan ketidaksetujuan kenaikkan iuran peserta BPJS Kesehatan yang diputuskan pemerintah. Dia minta kenaikkan iuran tersebut dibatalkan karena membebani rakyat, apalagi saat pandemi Covid-19.
Saya tak kenal Ribka Tjiptaning atau Ning. Kebetulan saja saya juniornya di SMA 14 Jakarta dan kemudian sama kampus walau berbeda fakultas. Saya mulai tertarik mengikuti sepak-terjangnya sejak dia luncurkan buku yang kontroversial: Aku Bangga Jadi Anaknya PKI. Gila juga ini orang, pikir saya saat itu. Buku keduanya saya baca pula (lupa judul dan masih saya cari di perpustakaan pribadi).
Pemikirannya, menurut saya biasa saja. Tak distingtif dari rata-rata politisi dan anggota DPR di negara ini. Hanya kuat menguasai isu-isu permukaan, walau itu sudah cukup jadi modal beretorika bagi politisi seperti dirinya. Personalitasnya pun–yang hanya melihatnya dari jauh– kurang menarik (Ini pandangan agak subjektif).
Yang saya kagumi dari dia, ketabahan dan kepercayaan dirinya. Gila, menurut bahasa anakmuda. Penderitaan, tekanan, rintangan, yang dia hadapi sejak usia enam tahun sebagai orang yang distigma menakutkan (yakni anaknya PKI) sungguh tak mudah saya bayangkan. Perjuangannya agar survive dan kemudian jadi dokter cum politisi, terus terang, suatu keajaiban bagi saya.
Ia sangat tangguh dan kukuh bak batu karang.
Memang ia pernah bermasalah dalam kasus hilangnya pasal tembakau di RUU Kesehatan, dan teranyar kontroversi penolakannya divaksinasi untuk menghadang Covid-19 dalam rapat DPR dengan Menkes Budi Gunadi Sadikin. Ia berani menolak kebijakan presiden yang didukung partainya, membuat dirinya dikecam habis-habisan oleh warganet hingga kemudian ditegor Sekjen PDIP–walau akhirnya minta maaf.
Statusnya sebagai anaknya eks anggota biro khusus PKI pun kembali marak dihujamkan oleh para pengecam ke dirinya. (Alangkah tak adil sebenarnya, para orangtua yang terlibat di suatu parpol yang kemudian dilarang rezim yang berkuasa, keturunan mereka jadi kena stigma dan cibir, perlakuan diskriminatif dari negara).
Saya tak berniat membela Ribka Tjiptaning atau Ning melalui tulisan ini, pun tak bermaksud mendiskreditkannya, yang sama sekali tak saya kenal. Ia bukan pula figur atau seseorang yang karena pemikiran dan perbuatannya membuat saya jadi kagum, misalnya.
Tetapi, dari pikiran jujur, saya mengakui ketangguhannya. Ia bahkan sangat tangguh dan amat percaya diri. Suatu hal yang pasti sangat sulit saya lakukan atau miliki andai berposisi seperti dirinya.
Kisah hidupnya, seperti roman berisi tragedi manusia akibat pertarungan kuasa dan politik yang bukan fiksi. Itu sungguh seksi difilmkan oleh sineas, menurut saya.