Invasi Kultur Korea Hingga ke Bangku Sekolah

Blink …

Whatsapp Saya berbunyi. Seorang Siswa menanggapi sebuah link tulisan di blog ini. Sebelumnya, link yang dimaksud Saya tuliskan di status Whatsapp Saya. Beginilah interaksi kami:

Adapun tulisan yang dikomentarinya adalah tulisan dari kakak kelasnya. Sebuah ulasan tentang penampilan boyband Seventeen yang membawakan lagu Thanks. Dari antara ratusan tulisan kritik seni yang mereka hasilkan (sebagian besar hanya copy paste saja, jadi Saya buang ke tempat sampah),  ulasannya adalah salah satu dari sedikit tulisan yang Saya edit untuk dipublikasikan di blog ini. Saya melihat effort yang menurut Saya luar biasa ia lakukan. Dia tulis begini:

Sebenarnya, memaknai lirik dengan bahasa asing sangatlah sulit, karena kita harus menterjemahkannya terlebih dahulu. Tetapi, jika sudah menyukai KPop dan sudah terbiasa dengan bahasa Korea, akan memudahkan kita untuk mengerti sedikit makna lagu Seventeen ini. Sebagai penggemar mereka, saya rela mencari arti lagu ini, mencari tahu tentang semua yang berkaitan dengan lagu ini. Buktinya, dengan ‘effort” yang Saya lakukan untuk menghasilkan kritik seni ini.

Mengaku sebagai seorang carat (sebutan bagi fandom alias basis masa penggila Seventeen), ia rela melakukan semua itu.

Pada percakapan lainnya (tentu saja lewat chatting, karena saat ini mereka belajar dari rumah akibat pandemi COVID-19), seorang siswa lain menanggapi:

Baru aku tau kalo bapak carat wkwkwk

Dalam sekali tayang, Saya langsung dihadapkan pada dua kenyataan ini: Tiga orang siswi yang Saya ajar, ketiganya adalah penggila korea. Iseng, Saya coba lihat postingan mereka di media sosial. Fix, yang hype bagi mereka adalah apapun yang berbau Korea. Ratusan bahkan ribuan postingan foto dan caption mereka hasilkan setiap minggunya, yang hampir semuanya berkaitan dengan kultur Korea pada umumnya, K-Pop khususnya.

Di tempat lain lagi, seorang teman guru berkisah bahwa istrinya hampir tidak bisa diganggu sedikitpun ketika sang istri menonton Drama Korea dengan seksama. Soalnya, nonton-nya di tablet, dengan kedua earphone menutup telinga.


Saya yakin, melihat fenomen lain di media daring atau pada perjumpaan nyata, ada jutaan lagi remaja terutama anak sekolah yang sedang dilanda Korean Wave ini. Korean Wave atau gelombang Korea adalah istilah yang diberikan untuk tersebarnya budaya Korea pada berbagai negara di dunia. Indonesia termasuk negara yang sedang terkena demam Korea. Hal ini misalnya terlihat di layar televisi Indonesia yang sekarang berlomba-lomba untuk menayangkan informasi dan hiburan yang berhubungan dengan Korea.

Sebenarnya Korean Wave ini bukan hal baru. Korean Wave (Hallyu) sudah dimulai sejak 1999, lalu semakin masif di Indonesia pada 2010-an ini. Lalu semakin menggila akhir-akhir ini. Percakapan Saya dengan tiga Siswa tadi hanya buih pasir di lautan antusiasme siswa dan siswi akan budaya Korea.

Di tempat lain, Nafa Urbach, seorang aktris ternama Indonesia ternyata punya pendapat yang sama. Seperti ditulis Kompas, Nafa Urbach mengungkapkan kegelisahannya. Bedanya, Nafa melihat indikasi penyebabnya.

Beralihnya penonton Indonesia dari sinetron lokal ke drama Korea dianggap artis Nafa Urbach karena kondisi industri sinetron menurun. Nafa juga sempat bertanya kepada warganet di akun Instagram beberapa hari lalu. Warganet memberi jawaban bahwa sudah tidak menyaksikan sinetron asli Indonesia. Mereka lebih menyukai menonton drama Korea.

Jadi ini udah kayak alarm sih kalau aku pikir, alarm buat sineas Indonesia, penulis skenario Indonesia, dan PH-PH di Indonesia yang mengerjakan sinetron stripping. – Nafa Urbach

Alarm itu bahkan dimuat dengan judul dramatis: Kalau semua nonton drakor artis Indonesia tidak kerja nanti. Sepertinya, kekhawatiran ini mewakili para pelaku industri film dan sinetron di Indonesia.


Meski, dunia pendidikan dan dunia industri hiburan jelas sangat kompleks berbeda, tetapi keduanya bersatu menghadapi invasi kultur Korea ini. Pertanyaan yang selanjutnya menyeruak ialah: Seberapa menariknya sih budaya Korea dengan segala K-Pop dan K-Drama dan K lainnya sampai budaya Indonesia tidak diminati lagi (setidaknya berkurang drastis)?

Konon, kata kunci untuk mengulas hal ini ialah identity dan legacy. Orang Indonesia tidak lagi menguasai budaya Indonesia, karenanya juga tidak menikmati budaya Indonesia. Sebagian yang mencoba bertahan dengan pengharapan bahwa menggiati budaya Indonesia masih bisa memberinya makan, tapi lalu tak bisa apa-apa karena tidak memiliki legacy atas ilmu yang dia rasa dimilikinya.

Wanna talk about this, too? Kamu bisa kirim pesan ke sini.