Teringat perbincangan dengan seorang teman di Facebook.
Beliau membagikan link Pope said Jesus failed? ini dan langsung mentah-mentah ditangkap bulat-bulat.
Tak tanggung-tanggung, teman saya ini bilang bahwa:
“Intinya pope menyatakan bahwa Yesus gagal dalam karya penyelamatannya di kayu salib dan Yesus adalah putra Lucifer”
Lalu dia tambahkan lagi bahwa si Pope tidak pantas jadi pemimpin umat. ”Pope emang ateis kok. Ga layak buat jadi pemimpin umat”
Banyak emoticon “smile” yang dia gunakan ketika mengomentari postingannya sendiri sehingga saya merasa bahwa ia hanya sekedar mencari sensasi saja.
Saya bertanya apakah maksudnya memang benar demikian?
Saya coba mengkritisi karena jika ini viral, bukan tidak mungkin bahwa yang bersangkutan bisa berhadapan dengan kritik yang mungkin tidak sanggup dia terima lagi. Bukan karena apa. Seandainya memang kritik atau postingannya ditulis sebagai tanggapan, tentunya yang bersangkutan sebaiknya membaca terlebih dahulu teks yang dia ingin komentari (dalam hal ini: menonton seluruh video yang dia share dan tidak memberi caption secara serampangan)
Tapi sebelumnya saya pastikan dulu apakah dia memang benar-benar bermaksud mengatakan hal itu atau sengaja melempar isu dan memancing komentar-komentar yang beragam mutu dan motifnya dari para pengguna Facebook. Saya agak wanti-wanti saja, belum yakin betul dia benar-benar serius membagikan hasil pemikirannya seperti itu atau sekedar bercanda.
Memberi komentar atas seorang figur publik memang sah-sah saja. Sekalipun figur publik itu sebesar Paus, yang notabene memang pemimpin institusi Gereja Katolik.
Terlepas dari figur yang dikritiknya, hanya membaca paragraf ini saja pun kiranya yang bersangkutan tidak perlu sudah mengerti apa sebenarnya maksud dari sang Paus.
“God sees to the fruits of our labors, and if at times our efforts and works seem to fail and not produce fruit, we need to remember that we are followers of Jesus Christ and his life, humanly speaking, ended in failure, the failure of the cross,” Pope Francis said.
Ternyata benar: Teman saya ini hanya bercanda.
Atau mungkin karena kesal saja, dan mencoba melampiaskan kekesalannya dengan mencantumkan postingan di media sosial dan mencari hiburan dengan membaca komentar-komentar yang muncul sebagai notifikasi di gadget yang dia gunakan.
Hanya saja, sebelum saya dan beberapa teman-teman yang lain, komentar menghujat seperti yang dia targetkan sudah muncul duluan, mengatakan bahwa Paus itu seorang ateis dan tidak pantas menjadi pemimpin umat. Persis seperti yang sudah terjadi di negara lain.
Entahlah. Apakah beliau benar-benar tidak membaca semuanya, tapi saya lantas screen-shot saja isi teks kotbah sang Paus dalam kutipan yang lebih lengkap dan menunjukkan kepadanya. Tugas saya selesai. Selanjutnya, terserah dia.
Fenomen seperti ini barangkali menjadi tren di media sosial. Bahkan orang-orang yang menurut para followers-nya adalah tokoh yang punya intelejensi dan wawasan yang mumpuni, tak jarang juga jatuh dalam godaan untuk men-share link, halaman atau kutipan dari seorang figur publik dan memposting begitu saja hanya dengan melakukan copy paste dari headline-nya.
Hal ini tidak sepenuhnya salah. Bisa saja itu metode mereka untuk menguji seberapa kritis para follower-nya (jika mereka cukup arif). Tapi yang sering terlihat ialah bahwa mereka sendiri tidak benar membaca terlebih dahulu mana isu yang ingin mereka sampaikan ke para pengikutnya. Ibarat guru, postingan di media sosial dari seorang yang dianggap ahli dan berwawasan luas di suatu bidang ibarat vitamin bagi para pengikutnya (yang tanpa sadar menjadi murid dari orang yang memposting). Sebagaimana layaknya pengikut, kebanyakan langsung menelan bulat-bulat saja gagasan yang dilontarkan dari sang gurunya.
Sudah saatnya kita arif membagikan berita, dan membacanya.
Yang menjadi masalah ialah, jika seperti kasus teman saya di atas, orang yang dianggap arif malah dengan sadar membagikan begitu saja isu mentah dengan mencaplok headline tanpa memahami konteksnya: bayangkan betapa cepatnya kebodohan menjadi viral.
Rasanya, viralitas yang berbasiskan sensasionalitas bukan hal yang dicari para pengguna media sosial atau pembaca berita.