Balik Nama

Tulisan ini tidak ada hubungannya dengan Bea Balik Nama (BBN), Ganti Nama atau sejenisnya. Tiba-tiba saja terbersit di pikiran saya bahwa tanpa edukasi yang njelimet dan kritisisme yang ketat, bisa-bisa semakin banyak orang tanpa sadar menjadi korban dari propaganda dan provokasi. Semoga saja tulisan ini sendiri tidak ditengarai sebagai sebuah upaya provokasi.

Di sebuah group Whatsapp, seorang teman post sebuah candaan sebagai intermezzo di tengah diskusi group yang tensinya mulai naik.

BALIK NAMA

Ada ibu mangamu di Samsat, ba urus BPKB mo bale nama.

Ibu : Kita nyanda mau tau pak, pokoknya kita nyanda mau bale nama.
Petugas: : Aduh Ibu, hrs itu soalnya nama yg lama sdh dihapus, jd Ibu harus balik nama.
Ibu : Biar mo mampos mar kita nyanda mau Pak.
Petugas : Knp Ibu tdk mau Balik Nama? Alasannya apa?
Ibu : Kita pe nama Maya Rolot! Coba ngana pikir kalau mau Balik Nama jadi Tolor Ayam. Itu Saya nyanda rela, Pak.

Kita, para member group Whatsapp tersebut pun masing-masing menghargainya dengan sebuah emoticon smile. Oke, fair donk: A joke and a smile.

Akan tetapi, melihat fenomen akhir-akhir ini, rasanya alur pikir yang dikandung humor ini cukup membantu untuk menjelaskan banyak hal. Setidaknya, untuk mengatasi kegalauan dan keprihatinan dari banyak teman.

Joke atau candaan sejatinya memang bukan untuk dianalisis karena akan kehilangan kelucuannya. Tapi, pembaca joke tadi sudah mengapresiasinya dengan tertawa. So, that’s enough for joke. Now, the analysis.

Entah benar ada seorang ibu bernama Maya Rolot, dan dia pergi ke Samsat untuk keperluan administrasi kendaraan bermotornya, pembaca tentu mafhum bahwa inti dari kelucuannya adalah pada frasa [tolor ayam] (baca: telor ayam). Berkat kepolosan si Ibu mengartikan secara denotatif instruksi dari petugas soal Balik Nama berikut Bea Balik Nama, terjadilah kegaringan di mata para pembaca, kebingungan di mata petugas, dan rasa tidak terima bagi si Ibu tadi. Cerita pun direka – supaya semua aspek itu terjadi – dengan kelihaian si pembuat joke yang sengaja menamai si Ibu dalam cerita tadi sebagai Maya Rolot.

Padahal, dalam dunia nyata, realitas yang bisa kita damaikan dengan alur pikir kita (yang mudah-mudahan masih dengan nalar logika yang sehat) adalah jika si cerita berangkat dari nama real pribadi, bukan dari pembalikan huruf nama pribadi tersebut. Jadi, real person first (subject) baru kemudian predicate, bukan sebaliknya.

Seperti biasa, joke menjadi lucu ya karena itu: menawarkan alternatif berfikir dengan cara terbalik. Tentu saja jika diplikasikan ke dunia nyata akan terjadi banyak kekacauan di sana-sini. Whatever, for the sake of a laughter, tidak banyak yang memberi notice terhadap dampak pola pikir terbalik tersebut.

Terbalik gimana sih maksudnya, Om?

Kira-kira begini jalan ceritanya. Jreng … jreng … jreng


Hatta …

Tersebutlah bahwa menurut sekelompok orang – yang mengatasnamakan ajaran tertentu, dan ajaran tertentu itu mengatasnamakan diri sebagai ajaran yang paling benar – seorang figur publik dianggap, dituntut, dicaci dan didesak untuk mundur dari kedudukannya sebagai pemimpin di sebuah lembaga pemerintahan karena sebuah perkataan yang dinilai sebagai penistaan terhadap ajaran mereka.

Entah tau atau tidak, entah tau tapi peduli atau tidak, sejatinya perkataan yang dimaksud itu sudah diedit dan dipelintir pula. Maka, klop-lah. Makin beranilah mereka untuk memperjuangkan anggapan, tuntutan dan desakan mereka. Tentu saja, cacian dan sumpah serapah mengiringi aksi super-duper berani dan ramai itu. Alhasil, bipolaritas pun menjadi dua realitas sosial di kota itu: pasukan kotak-kotak versus pasukan berjubah putih.


 

That’s the end of the story. By the way on the busway You Got A Way and I’m Only One Call Away … (begh …), story tadi bukan tale loh. Ribuan media di Indonesia menyorot sosok fenomenal ini kok. Sungguh terlalu jika pembaca tidak tahu siapa yang saya maksud.

Lantas, apa hubungannya dengan humor tadi?

Pembalikan nama dalam cerita tadi menjadi lucu karena merupakan visualitas versi lucu dari apa yang selama ini banyak terjadi pada setiap aksi massa. Entah itu class action, street firing mass, #twitwar, debat kusir, atau saling pentung.

Memangnya apa yang terjadi? Yang terjadi ialah: Massa membiarkan diri digiring oleh alur pikir dan framing dari informasi yang disesuaikan dengan kehendak si Tuan Besar. Si Tuan Besar ini bisa siapa saja, bisa pribadi, bisa organisasi, bisa agama, bisa fanatisme kelompok, ataupun radikalisme peer group. Ciri utamanya: Si Tuan Besar ini punya kuasa terhadap massa.

Jika massa kritis, maka mereka akan menemukan bahwa urutasn sebenarnya kejadian ialah:

  1. Si Figur Publik tadi berorasi (dalam sebuah kesempatan kunjungan kerja)
  2. Orasinya untuk audiens tertentu (sejauh ini terkonfirmasi bahwa audiens sendiri tidak keberatan dengan isi orasi tersebut)
  3. Isi orasinya menyoal konteks tertentu (bahwa Orang bisa saja menggunakan Otoritas apapun untuk menguatkan efek kekuasannya, termasuk jika harus setiap saat melakukan logical fallacies (kesesatan logika) dalam kata dan tindakan. Entah itu dengan ad auctoritatem, kata-kata dalam Kitab Suci, atau referensi lain yang dianggap akan didengarkan oleh massa). Adapun keperluan orasi itu adalah untuk mengedukasi massa bahwa sejatinya jika tidak menggunakan kesesatan logika tadi, massa akan melihat bahwa kekuasaan tersebut mendatangkan mudarat bagi massa, bukan manfaat. Ketik saja “korupsi di Jakarta” di address bar ketika Anda browse di internet, maka Anda langsung mengerti maksudnya.
  4. Lalu datanglah Sumber Kedua, seorang yang lain mengedit orasi tersebut, mengunggah editannya di sebuah akun media sosial miliknya. Editannya lalu dibaca oleh massa.

Sialnya, di hati para peserta aksi Anggapan, Tuntutan dan Desakan tadi, alur pikir yang terjadi adalah sebaliknya.

  1. Versi dari Sumber Kedua itulah yang benar.
  2. Maka, jelaslah, si Figur publik tidak suka dengan kelompok ajaran tertentu
  3. Karena itu, si Figur Publik mengeritik ajaran tertentu itu dengan menyitir ayat-ayat kitab suci mereka.
  4. Menyerang ajaran kita berarti menyerang kelompok kita. Maka kita tidak boleh diam. Ayo bergerak.
  5. Maka, setelah menilik primbon, menilik partikkian yang simbolis, terjadilah …

411 …

212 …

313..

(Masih belum ada informasi apakah akan terjadi lagi 414, 515, 616 dan seterusnya.)

 

Terus, keseimpulannya apa?

Seandainya si Ibu tadi bertanya lebih dahulu apa artinya Balik Nama pada administrasi kendaraan bermotor, maka kegaguan dan kegaringan tidak akan terjadi pada cerita joke tadi.

Seandainya massa bertanya terlebih dahulu kepada Figur Publik langsung, bukan berdasarkan Sumber Kedua, maka kericuhan, lempar-lemparan, teriak-terikan dan aksi desak-desakan tidak akan terjadi di sepanjang lintasan jalan-jalan utama Jakarta.

 

Begitulah dulu ya.

 

 

 

ARGA BAEN SOARA MUNA I DI PILKADA ON

Foto: Metro TV

Songon naung somal, pittor songon na rame do molo naeng jonok tikkina laho mamillit akka parhalado di pamarentanta. Suang songon I ma tong di luat Samosir. Akka suara suara pe nunga sahat hu inganan naung ditontuhon di luat Samosir dohot na humaliang. Ido na umbahen ikkon ma nian manat bangso I mamillit jala arga situtu ma nian ibaen arga ni soara i.

Songon na nienet sian Konfrontasi, akka pengamat pe manghaporluhon do asa boi nian sude pangisi ni luat Samosir I mamillit akka wakil ni nasida, songon pandokan ni Saragi Simarmata, ima na nuaeng manjabat wakil ketua di PASADA.

“Molo sian Pemerhati Sosial Adat dan Budaya (PASADA), akka mihim-mihim di masa ni Pilkada on dang pola dao songon naung masa saleleng on di akka pemilu di Indonesia on. Mihim na somal diulahon  ima martiga-tigahon soara ni sada-sada pasangan calon manang paslon marhite na papunguhon soara siluman na terdaftar di DPT, dohot ma I tarmasuk akka na golput manang na so mamakke hak soarana”.

Mangihuthon pandohan ni amanta Saragi on, nunga adong 93.888 na terdaftar di DPT Pilkada Samosir 2015. Domu tusi, adong do muse surat edaran (SE) marnomor 729/KPU/X/2015 taringot tu  Pencermatan Ulang DPT (Daftar Pemilih Tetap), na ikkon dicetak do godang ni surat suara I mangihuthon godang ni na adong tarcatat di DPT, las ditambai ma dua satonga porsen sian godang ni DPT di ganup-ganup TPS (Tempat Pemungutan Suara). Artina, gabe adong ma annon 96.235 lobbar surat suara ditambai muse dohot 200 lobba surat suara ulang.

Apala impola ni SE I ima asa terjamin adong surat suara I. Alai on pe gabe sihabiaran do muse alana boi do on dileunghon manang dibahen tu naso tujuanna. Ido umbahen na ikkon manat hita mamarateatehon on jala unang pamura hita mandokkon olo tu manang ise pe na manjanjihon manang mangalehon akka mansam ni suap laho pamonanghon si anu di Pilkada on.

“Na porlu muse, molo siat hata sian hami nian, molo adong lobbar ni surat suara na sega, na so sah, na so tarpakke manang na lobi, tor ditutungi ma nian di ganup-ganup TIPS disi sidung ulaon penghitungan suara”, ninna si Saragi muse. Tujuanna ima asa boi denggan Pilkada on, dang adong pola martiga-tigahon soarana.

Ra marragam do pandapot ni akka na dongan nampuna hak suara i. Alai, molo na olo do hita asa dapotsa parhalado na dumenggan, rap nian hita manat mamarateatehon muse boha do hasil ni rekapitulasi suara I annon muse, ndang holan di TPS alai huhut sahat ma tu setiap tingkatan. Tudos tu si, naeng ma nian akka dongan na di Samosir rade mangihut-ihut boha do gerak-gerik ni KPUD (Komisi Pemilihan Umum Daerah) dohot akka pasangan calon na naeng sipilliton.

Boti ma.

Sumber:  Konfrontasi